Kelas : B2TMR
FAKULTAS TARBIYAH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrahim,
Puji syukur selalu kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Logika yang berjudul Sejarah Madzhab Imam Ibn Malik dan Imam Asy-Syafi’i.
Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Agung
Muhammad SAW, semoga kita menjadi umat yang kelak mendapatkan syafa’atnya sehingga
kita termasuk umat yang bersama-sama masuk surga bersama beliau. Aamiin.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada H. Mohammad Zubaidi Sujiman, LC.,
M.Ag., selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Metodologi Studi Fiqih yang telah
meluangkan waktu dan membimbing kami dalam menyelesaian tugas makalah ini. Dan
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang terlibat dalam pembuatan karya
tulis yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 13
B. Saran ..................................................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa dinasti Abbasiyah tahun 750 – 1258 M muncul mazhab – mazhab fiqh
yang diantaranya empat imam mazhab yang terkenal yaitu Imam Hanafi dari kufah,
Imam Maliki dari madinah, Imam Syafi’i dari gaza, dan Imam Hambali dari baghdad.
Mereka merupakan ulama fiqh yang paling agung dan tiada tandingannya di dunia
dengan kitab- kitab yang terkenal yang sangat memberi andil dalam pengembangan ilmu
fiqh yaitu al-fiqhul Akbar karangan Imam Abu Hanifah, kitab Al-Muwattha karangan
Imam Maliki, kitab al-umm karangan Imam Syafi’i dan Kitab Al- kharraj karangan
Imam Hambali. Pada masa ini ulama juga telah menyusun ilmu ushul fiqh yaitu ilmu
tentang kaidah – kaidah dalam pengambilan hukum Islam. Ar- Risalah Karangan Imam
Syafi’i merupakan Kitab Ushul Fiqh yang paling pertama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi kehidupan Imam Ibn Malik?
2. Bagaimana latar belakang mazhab Imam Ibn Malik?
3. Bagaimana metode istinbath Imam Ibn Malik?
4. Bagaimana biografi kehidupan Imam Asy-Syafi’i?
5. Bagaimana latar belakang mazhab Imam Asy-Syafi’i?
6. Bagaimana metode istinbath Imam Asy-Syafi’i?
C. Tujuan Pembahasan
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi 4 Imam Madzhab, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993), cet, II, h. 71
2
Huzaemah Thido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, ( Jakarta; Logos, 1997), cet. I, h. 103
3
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Rosdakaarya, 2000), cet. II, h. 79
2
Pada awalnya, Imam Malik memfokuskan studinya pada ilmu hadis. Ia
mengarahkan perhatiannya pada fiqh ra’yu (penalaran) ahli Madinah yang diterimanya.
Corak ra’yudi Madinah adalah perpaduan antara nash-nash dan berbagai maslahat. Imam
Malik mengajar ilmu hadis di Masjid Nabawi. Ia juga memberikan fatwa terhadap kasus
yang sudah terjadi. Imam Malik tidak mau memberikan fatwa terhadap kasus yang
belum pernah terjadi, walaupun hal tersebut diramalkan akan terjadi. Ia juga tidak ingin
memutuskan fatwa terkait wewenang hakim. Dalam menanggapi pemikiran yang
berbeda dalam masalah akidah, sang ulama besar itu selalu menggunakan fikih dan hadis
sebagai jalan keluarnya.
Kitab terbesar Imam Malik adalah Al-Muwatta’, yaitu kitab hadis pertama yang
pernah disusun. Kitab ini berisi hadis-hadis dalam tema fikih yang pernah dibahas Imam
Malik, seperti praktik penduduk Madinah, pendapat tabiin, dan pendapat sahabat tabiin
yang ditemuinya. Alquran menjadi dasar istinbatmazhab ini. Seperti halnya mazhab yang
lain, Alquran menjadi dasar utama syariat dan hujah mazhab Maliki. Imam Malik
mengambil dari nas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk lahirnya. Dasar
keduanya adalah Sunah. Sunah yang diambil oleh Imam Malik untuk mazhabnya adalah
sunah mutawatir, yaitu yang diriwayatkan oleh suatu golong an kepada orang banyak
yang diyakini tidak akan membuat kesepakatan bohong atau dusta, sunah masyhur, dan
khabar ahad.
Dasar ketiga dari mazhab yang tersebar di Hedjaz ini adalah praktik penduduk
Madinah yang dipandang sebagai hujah, apabila praktik tersebut benar-benar dinukilkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Imam Malik mencela ahli fikih yang tidak mau mengambil
praktik penduduk Madinah, bahkan menyalahinya. Sebagai dasar keempat, Imam Malik
mengambil fatwa sahabat. Ia memandang fatwa ini wajib dilaksanakan karena tidak
mungkin mereka melakukan hal tersebut tanpa perintah dari Rasulullah. Qiyas menjadi
dasar kelima dari mazhab Imam Malik yang lahir di Madinah ini. Ia mengambil qiyas
dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum perkara. Dasar terakhir
yang dipakai adalah az-zara'i, yaitu sarana yang membawa pada hal haram akan menjadi
haram dan sebaliknya.4
4
Muhammad Hafil. “Sejarah Mazhab Maliki,”Islam Disged. 2022.
3
C. Metode Istinbath Imam Ibn Malik
Imam Malik merupakan imam mazhab yang memiliki perbedaan Istimbat hukum
dengan imam mazhab lainnya. Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar
fiqhiyah yang menjadikan pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka- pemuka maszhab ini,
murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu, mengumpulkan dasar-
dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menulisnya. Dasar-dasar fiqhiyah itu kendatipun
tidak ditulis sendiri oleh Imam Malik, akan tetapi mempunyai kesinambungan pemikiran,
paling tidak beberapa isyarat itu dapat dijumpai dalam fatwa-fatwa Imam Malik dalam
bukunya “almuwatha’” dan dalam almuawatha’ , secara jelas Imam Malik menerangkan
bahwa dia mengambil “tradisi orang-orang Madinah” sebagai salah satu sumber hukum
setelah al-Qur’an dan as-sunnah. Bahkan ia mengambil hadis munqathi’ dan mursal
selama tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah.
Mengenai metode istimbath Imam Malik telah dijelaskan oleh Al-qadi iyat dalam al-
Madarik dar Al Rasyid, dan juga salah seorang fuqaha malikiyah. Kemudian dalam kitab
al-Bahjah yang di simpulkan oleh pengarang kitab Tarikh al-Madzhabil Islamiyah
disebutkan sebagai berikut:
”kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ulama ini dan yang lainya
bahwasanya metode ijtihad imam Darul Hijriyah itu adalah apabila beliau tidak
mendapat suatu nash didalamnya maka dia mencarinya di dalam sunnah, dan menurut
beliau yang masih tergolong kategori sunnah perkataan Rasulullah saw, fatwa-fatwa
sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah. Setelah sunnah
dengan berbagai cabangnya berulah datang (dipakai) qiyas.”5
Walaupun para ulama hadits yang ditemui oleh Imam Malik termasuk kelompok
ulama tradisional yang menolak pemakaian akal dalam kajian hukum, namun pengaruh
Rabi’ah bin yahya bin Sa’id tetap kuat pada corak kajian fiqihnya. Hal ini dapat dilihat
pada metodologi kajian hukum madzhab Malik yang bersumber pada: Al-Qur’an, Hadits,
tradisi masyarakat Madinah, fatwa sahabat, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, sadd al-
dzara’i.
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiedieqy mengatakan Imam Malik bin Anas
mendasarkan fatwanya kepada kitabullah, sunnah yang beliau pandang shohih, amal ahli
Madinah, qiyas, istihsan. Menuurt as-Satibi dalam kitab al-Muwafaqot menyimpulkan
dasar-dasar Imam Malik ada empat yaitu al-Qur’an, Hadits, ijma’, ra’yu. Sedangkan
5
Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. II, h. 423
4
fatwa sahabat dan amal ahli Madinah digolongkan dalam sunnah. Ro’yu meliputi
masalahah mursalah, sadd al zara’i, adat (urf), istihsan dan istishab.
Secara garis besar, dasar-dasar Imam Malik dalam menetapkan suatu hukum dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
bahasa Arab yang di riwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.6 Dalam
mengambil hukum di dalam al-Qur’an beliau berdasarkan atas dzahir nash Al-Qur’an
atau keumumannya, meliputi mahfum al-muwafaqoh dan mahfum aula dengan
memperhatikan illatnya.
2. Sunnah (Hadits)
Ialah segala perakataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi Muhammad
SAW yang berkaitan dengan hukum. Dalam mengambil hukum, Imam Malik
mengikuti cara yang dilakukan dalam mengambil hukum di dalam al-Qur’an. Beliau
lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada dhahir sunnah (
sunnah Mutawatir atau masyhur).
3. Amal Ahli Madinah
Mazhab maliki memberikan kedudukan yang penting bagi perbuatan orang-
orang Madinah, sehingga kadang-kadang mengenyampingkan hadts ahad, karena
amalan ahli Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah sedangkan hadts ahad
merupakan pemberitaan perorangan. Apabila pekerjaan itu bertentangan denganng
dan pekerjaan orang Madinah, menurut pandangannya sama kedudukannya dengan
yang diriwayatkan mereka, dimana mereka mewarisi pekerjaan tersebut dari nenek
moyang mereka secara berurutan sampai kepada para sahabat. Imam Malik
menggunakan dasar amal ahli Madinah karena mereka paling banyak mendengar dan
menerima hadts. Amal Ahli Madinah yang digunakan sebagai dasar hukum
merupakan hasil mencontoh Rasulullah SAW bukan dari Ijtihad ahli Madinah, serta
amal ahli Madinah sebelum terbunuhnya Usman Bin Affan.
4. Fatwa sahabat
Fatwa sahabat merupakan fatwa yang berasal sahabat besar yang didasarkan
pada al-naql. Dan fatwa sahabat itu berwujud hadts yang wajib diamalkan, karena
menurut Imam Malik sahabat tersebut tidak akan memberikan fatwa kecuali atas
6
Tengku Muhammad Hasby Ash-Shiedieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Riski, 1997), h.88
5
dasar apa yang dipahami dari rasulullah SAW, dalam hal ini Imam Malik
mensyaratkan fatwa sahabat tersebut harus tidak bertentangan dengan hadts marfu’.
5. Qiyas
Isthisan Qiyas merupakan menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nash
kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh
nashnya karena adanya kesamaan dua kejadian itu didalam “illat hukum’. Dan qiyas
ini merupakan pintu awal dalam ijtihad untuk menentukan hukum yang tidak ada
nashnya baik dalam al-Qur’an atau sunnah.
6. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah yaitu memilihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang menolak mahluk. Sedangkan isthisan adalah menurut
hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dari dalil yaitu
bersipat kulli (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-mursal dari
pada qiyas, sebab menggunakan isthisan itu, bukan berarti hanya mendasarkan pada
pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada
maksud pembuat syara’ secara keseluruhan. Dalam hal ini, ketika Imam Malik
menemui sebuah kasus dan tidak menemukan pemecahanya pada al-Qur’an, sunnah,
serta ijma’ sahabat Madinah. Barulah ia mengqiyaskan kasus yang baru itu dengan
kasus yang mirip yang pernah terjadi. Jika pada dua kasus terjadi banyak illat (sebab,
alasan) yang serupa atau hampir serupa. Akan tetapi jika hasil pengqiyasan itu
ternyata berlawanan dengan kemaslahatan umum, baginya lebih baik menetapkan
keputusan hukumnya atas dasar prinsip kemaslahatan umum.
7. Istihsan
Selanjutnya metode Istihsan hukum yang digunakan Imam Malik adalah
Maslahah yang bersifat umum bukan sekedar Maslahah yang hanya berlaku untuk
orang tertentu. Selain itu maslahah tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan Nash (baik al-Quran maupun Sunnah).
8. Zadd al-zarai’
Imam Malik menggunakan zadd al-zarai’ sebagai landasan dalam menetapkan
hukum, karena menurutnya semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram
atau larangan, hukumnya haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada
yang halal, halal pula hukumnya.
6
D. Biografi Imam Asy-Syafi’i
Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi atau
singkatnya Imam Asy-Syafi'i (Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H/767 M -Fusthat, Mesir,
204 H/820 M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i.
Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib,
yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan
kakek Muhammad. Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'i dikirim ibunya untuk pergi
ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun
kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama
namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.7
7
“Abu Abdullah Muhammad Asy-Syafi’i,” Wikipedia, 16 April, 2022,
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdullah_Muhammad_asy-Syafi%27i
8
Hamid, Mohd. Liki, Pengajian Tamadun Islam, ed. ke-2, (Malaysia: PTS Professional)
7
Kemudian dia juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari
pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari
Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id
bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin
menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
Imam Syafi’i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat
dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i terkenal sebagai
perumus pertama metodologi hukum Islam. Ushul fiqh (atau metodologi hukum Islam),
yang tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, baru lahir setelah Imam Syafi’i menulis
Ar-Risalah. Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif
di antara mazhab-mazhab fiqh Sunni lainnya. Dari mazhab ini berbagai ilmu keislaman
telah bersemi berkat dorongan metodologi hukum Islam yang dikembangkan para
pendukungnya. Imam Syafi’i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun
Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi’i menerima
penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari
kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh,
dan hadits pada zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan
kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji
kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya,
Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau yang paling terkenal antara lain
adalah Imam ahmad bin hanbal.9
9
Almanar On, Ust. Saiful Anwar. “Mazhab Dan Perkembangannya,”.2022.
8
Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Qur‟an dan sunnah seperti Qiyas, Istihsan,
Istishlah, dan lainnya, tetapi dalil ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya
merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al-
Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Karena hanya sebagai alat bantu untuk memahami
AlQur‟an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai metode istinbath. Oleh
karena yang disebut sebagai “dalil-dalil pendukung” di atas pada sisi lain disebut juga
sebagai metode istinbath, para ulama Imam mazhab tidak sependapat dalam
mempergunakannya sebagai sumber hukum Islam.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam Istinbāţ hukum,
antara lain :
1) A-Quran
2) Sunnah
3) Ijmak
4) Menggunakan al-Qiyas dan at-Takhyir bila menghadapi ikhtilaf.10
10
Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996, C ke I,
h. 113-9. Lihat juga Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh, h. 155. Lihat Khudhari Beik, Tarikh alTasyri‟ al-Islami,
diterjemahkan oleh M. Zuhri dengan judul Tarjamah Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, Semarang; Daarul Ihya, t.th.,
h. 436-7.
11
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, h. 105-106.
9
atau berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau
sunnah.
b) Ijmak, merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi’i
menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai
kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar’i
dengan bersandar kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh
imam Syafi’i adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak
diakhirkan dalam berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila mmasalah yang
sudah disepakati bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak ada hujjah
padanya.
c) Pendapat para sahabat. Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga
bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk
membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh
pemiliknya. Ijmak seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya
serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada
yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i
tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka
dalam hal ini imam Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan
Alquran, sunnah atau ijmak, atau mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat
dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan
pendapat yang sudah ada.
d) Qiyas. Imam Syafi’i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi
syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak
ada nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan
sebuah hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum
syariat dalam masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
e) Istidlal. Imam Syafi’i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila
tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua sumber
istidlal yang diakui oleh imam Syafi’i adalah adat istiadat (‘urf) dan undang-
undang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu, kedua
sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi’i sebagai
dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi’i. 12
12
Rasyad Hasan Khalil, Op. Cit., h. 189-190.
10
Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Qaul Qadim dan
Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis
di Irak. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan
ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil
pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak
mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin
Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir
kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama
Mesir yang pada umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih
Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu,
imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Qaul Jadid.
Dengan demikian, Qaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu,
sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.
Beberapa contoh pendapat Qaul Qadim dan Qaul Jadid antara lain:
a. Air yang terkena najis. Qaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah,
atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis
selama air itu tidak berubah. Qaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua
kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air
mutanajjis apakah air itu berubah atau tidak.
b. Zakat buah-buahan. Qaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan,
walaupun yang tidak tahan lama. Qaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat
buahbuahan yang tidak tahan lama.
c. Membaca talbiyah dalam thawaf. Qaul Qadim: sunat hukumnya membaca
talbiyah dalam melakukan thawaf. Qaul Jadid: tidak sunat membaca talbiyah
dalam melakukan thawaf.13
13
M. Ali Hasan, Op. Cit., h. 215-218.
11
pendapat imam Syafi’i terlalu kaku. Sebaliknya, pendapat imam Syafi’i sangat
fleksibel seperti yang dicontohkan beliau dalam Kaul Qadim dan Kaul Jadid.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam Malik adalah imam kedua dari imam empat dalam islam dari segi umur
beliau lahir 13 tahun sesudah Abu Hanifah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi Amir Ibn Amir bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin
Amr bin Haris al-Asbahi al-Humairi. Mazhab Maliki didirikan oleh Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir al-Asbahi, atau yang dikenal dengan nama Imam Malik. Ia lahir di
Madinah pada 93 H dan wafat pada 179 H. Imam Malik adalah seorang ahli hadis dan
fikih yang paling terpercaya. Ia menguasai fatwa Umar bin Khathab, Abdullah bin
Umar bin Khathab, dan Aisyah binti Abu Bakar.
B. Saran
Karya tulis yang kami buat ini memberikan pembahasan tentang “Sejarah Madzhab
Imam Ibn Malik dan Imam Asy-Syafi’i”, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Pembaca dapat mengambil beberapa pelajaran dari karya tulis ini,
diantaranya memahami sejarah mazhab dari Imam Malik dan Imam Syafi’i serta dapat
menambah wawasan tentang mazhab dari dua imam besar tersebut.
13