“ IMAM SYAFI’I ”
Disusun Oleh :
TRI LESTARI
YUNI MAULIDA
GILANG REZA PRATAMA
DERI ADITIA
ANGGUN LUPITA SARI
WINDA MAYA SARI
LIEN DIAH ARUM
ANANTHA SALSABILA
OKTA LIASARI
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah. SWT karena atas taufik serta inayahnya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada yang terhormat Guru bidang studi PAI dan teman-teman yang telah
membantu dan mendukung selesainya makalah ini.
Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya
untuk siswa/siswi SMPN 2 Padang Cermin dan mudah-mudahan dapat dijadikan sarana untuk
meningkatkan keberhasilan belajar pada masa yang akan datang. Tak ada gading yang tak
retak, dengan dada terbuka penulis menantikan saran dan kritik yang sifatnya membangun
demi perbaikan laporan makalah ini.
Akhir kata semoga rahmat Allah. SWT dan berkahnya senantiasa bersama kita.
amien….
ii
DAFTAR ISI
Halaman judul............................................................................................................ i
Kata pengantar........................................................................................................... ii
Daftar isi..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Latar Belakang Masalah................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2
A. Riwayat Singkat Kehidupan Imam Syafi’I.................................................... 2
B. Pendidikan Imam Syafi’I............................................................................... 3
C. Karya Tulis Imam Syafi’I.............................................................................. 5
D. Pola pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi dan metode istidlal
imam syafi’i dalam Menetapkan hukum islam............................................. 6
E. Qoul-qodim dan qoul-jadid, serta kedudukannya dalam madzhab................ 13
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam islam kita mengenal empat imam madzhab besar, yang tokoh-tokohnya terdiri
dari Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Pandangan-pandangan dari empat ke empat
madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai
perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum islam.
Namun disini pemakalah hanya akan membahas sedikit mengenai imam Syafi’i, bagaimana
kisah hidupnya, cara pengambilan hukum dan sumber hokumnya. Karena Imam Syafi’I secara
khusus dikenang karena membangun dan mensistematisasi metode juris prudensi (secara
tradisional disebut ushul Fiqih) yang membahas dalil-dalil syara’utama, seperti Al Qur’an, as-
Sunnah, Ijma’, Qiyas dan beberapa sumber bernilai lainnya yang tidak seluruhnya diterima
oleh seluruh madzhab-madzhab dibidang hokum.
1
BAB II
PEMBAHASAN
b) Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam
Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman
bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin
Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di
Abdul-Manaf Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad
bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung
Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan
anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu
2
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan
nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim
ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal
dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau. “
HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66
Bahwa sunnah tidak dapat menaskh al-Kitab. Fungsi sunnah terhadap al-Kitab
hanyalah mengikuti apa yang diturunkan sebagai naskh,danmenafsirkan apa yang
diturunkan secara global (mujmal)… Dan firman Allah “tidak ada sepatutnya
bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” (Yunus : 15) merupakan penjelasan
dari apa yang telah dikemukakan, bahwa al-kitab hanya bias dinaskhkan oleh al-
Kitab . Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang menghilangkan
8
apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh siapapun diantara
makhlukNya.
Syarat syarat penerimaan sunnah
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar al-ammah (hadits mutawatir)
dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu pasti,
sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits
ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya,
persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan
sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada
masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus
terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya
serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.
Ijma'
"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena ijma' itu tidak mungkin salah"
(Syafi'i). Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatd
din). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa
tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an
dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh
karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan
hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al
Qur'an dan sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu
dikemukakan kepada semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu
sepakat memutuskan/menentukan hukumnya. Ijma' umat terbagi menjadi dua:
1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan
pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak
mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut
Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya.
Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma'
yang sebenarnya. Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam
ijma' yang lain, yaitu: Ijma' sahabat, Ijma' Khalifah yang empat, Ijma' Abu
Bakar dan Umar ,Ijma' ulama Madinah , Ijma' ulama Kufah dan Basrah ,
ijma' itrah (golongan Syiah)
9
3. Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan
merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil
qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu
Hadits ahad dan qiyas.Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik
yang menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan
madzhab Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat.
Ijma' yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat
dan ia menerima ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang
perlu di ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti. Sedangkan
menurut Dr. Muh Zuhri yang dimaksud ijma menurut Imam Syafi’ri adalah
kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh
ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus yang
dicarikan kesepakatannya. Teori ijma’ Imam Syafi’i tentunya sulit diwujudkan
kalau hendak dikatakan tidak mungkin. Namun tampaknya ide ijma’ sebagai
sumber hokum ini merupakan upaya antisipasif agar masyarakat islam tetap
terpelihara dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam Syafi’I melihat
pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua
masyarakat islam sudah sampai pada titik yang membahayakan. Perpecahan
ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan
persatuan. Lembaga ijma’ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di
kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah
persatuan ummat islam.
Qiyas
Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para
fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya
dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma Ra'yu yang
shahih dan yang tidak shahih. Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus
dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia
membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas
qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas. Sesudah itu
diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain
yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang
pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat
11
ta'rif qiyas. Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian
dan syarat-syarat menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh
ulama' ushul. Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi
qias, namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun
qiyas. Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat
unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang
baru akan ditentukan hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah
ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat
syarat terhadap masing masing unsur qiyas tersebut.
Pembagian Qiyas
Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far dan ashl menurut al-Syafi'i
dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
a) Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat daripada iillat pada hukum
ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi.
Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada
perbuatan memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena sifat
menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada
ucapan "ah".
b) Qiyas yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan dengan 'illat yang pada
ashl. Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-
musawi. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada
memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram. Artinya
membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-
sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram.
c) Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah dibamdingkan dengan
illat hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas al-adna, seperti
mengqiyaskan apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung
illat yang sama, yaitu sama-sama makanan. Memperlakukan riba pada apel
lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat lebih
kuat.
12
E. QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID, SERTA KEDUDUKANNYA DALAM
MADZHAB.
Qaul Qodim dan Qoul jaded merupakan produk hokum yang bernuansa social-politik
dan social-kultur adalah dua fatwa Imam Syafi’i yang dilakukan di dua daerah yang berbeda
sosio-kultur dan sosio-politiknya yaitu :
Qaul Qadim : dimana situasi bagdad saat itu merupakan daerah yang sangat sederhana dan
boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan daerah lain.
Qaul jaded : dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah Metropolis yang
mengharuskan untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap putusan-putusan atau
fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip Maslahah menjadi
pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil keputusan, sebab keputusan
yang diambil dalam wujud qaul jadid merupakan pertimbangan terhadap qaul qadim.
Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah ‘Qoul-
Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim
sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid
berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap
Ruju’/ralat bagi yang pertama. Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi :
1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali
beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah.
2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi’i
mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada
penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab.
3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab.
Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama
Syafi’iyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang
tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid , kalaupun ada ulama
Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau
berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam
Nawawi( 676 H). Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama,
sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini
jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan,
apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang
pertama di buang.
13
Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan
dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan,
sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu
adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H
) justru sebaliknya.
14
BAB III
PENUTUP
Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al
Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum
yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Imam Syafi'i pernah
menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya,
yang mana disebut sebagai Qaul Qadim. Karena adanya pergolakan serta munculnya aliran
Mu’tazilah yang ketika itu telah berhasil mempengaruhi Kekhalifahan. Akhirnya Imam
Syafi’i pindah ke Mesir, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan masalah
sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad). Imam Syafi’I kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad
baru, yang dinamakan sebagai Qaul Jadid. Daerah/negara yang Menganut Mazhab mayoritas
Syafi’I : Libia, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Palestina, Yordania, Libanon, Siriya,
Irak, Hijaz, Pakistan, India Jaziraa, dll.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://pesantren.uii.ac.id/content/view/119/52/1/2/
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Syafi%27i
16