Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“ IMAM SYAFI’I ”

Disusun Oleh :

TRI LESTARI
YUNI MAULIDA
GILANG REZA PRATAMA
DERI ADITIA
ANGGUN LUPITA SARI
WINDA MAYA SARI
LIEN DIAH ARUM
ANANTHA SALSABILA
OKTA LIASARI

SMPN 2 PADANG CERMIN


KEC. PADANG CERMIN KAB. PESAWARAN
TAHUN PELAJARAN 2014/2015

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah. SWT karena atas taufik serta inayahnya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Ucapan terimakasih sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada yang terhormat Guru bidang studi PAI dan teman-teman yang telah
membantu dan mendukung selesainya makalah ini.
Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya
untuk siswa/siswi SMPN 2 Padang Cermin dan mudah-mudahan dapat dijadikan sarana untuk
meningkatkan keberhasilan belajar pada masa yang akan datang. Tak ada gading yang tak
retak, dengan dada terbuka penulis menantikan saran dan kritik yang sifatnya membangun
demi perbaikan laporan makalah ini.
Akhir kata semoga rahmat Allah. SWT dan berkahnya senantiasa bersama kita.
amien….

Padang Cermin, Desember 2014


Penulis,

ii
DAFTAR ISI

Halaman judul............................................................................................................ i
Kata pengantar........................................................................................................... ii
Daftar isi..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Latar Belakang Masalah................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2
A. Riwayat Singkat Kehidupan Imam Syafi’I.................................................... 2
B. Pendidikan Imam Syafi’I............................................................................... 3
C. Karya Tulis Imam Syafi’I.............................................................................. 5
D. Pola pemikiran, faktor-faktor yang mempengaruhi dan metode istidlal
imam syafi’i dalam Menetapkan hukum islam............................................. 6
E. Qoul-qodim dan qoul-jadid, serta kedudukannya dalam madzhab................ 13
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 16

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam islam kita mengenal empat imam madzhab besar, yang tokoh-tokohnya terdiri
dari Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Pandangan-pandangan dari empat ke empat
madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai
perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum islam.
Namun disini pemakalah hanya akan membahas sedikit mengenai imam Syafi’i, bagaimana
kisah hidupnya, cara pengambilan hukum dan sumber hokumnya. Karena Imam Syafi’I secara
khusus dikenang karena membangun dan mensistematisasi metode juris prudensi (secara
tradisional disebut ushul Fiqih) yang membahas dalil-dalil syara’utama, seperti Al Qur’an, as-
Sunnah, Ijma’, Qiyas dan beberapa sumber bernilai lainnya yang tidak seluruhnya diterima
oleh seluruh madzhab-madzhab dibidang hokum.

B. LATAR BELAKANG MASALAH


1. Siapakah Imam Syafi’I dan bagaimana kehidupannya?
2. Jelaskan mengenai pola pemikiran, factor- factor yang mempengaruhi dan metode
ijtihad imam Syafi’i dalam menetapkan hokum islam?
3. Bagaimana seluk beluk Qaul Qodim dan Qoul Jadid?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. RIWAYAT SINGKAT KEHIDUPAN IMAM SYAFI’I


Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani
‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap
khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari
kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam
memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka
sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada
kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-
orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka
berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan
rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan
membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
a) Kelahiran
Ia lahir di Gaza palestina Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i
lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan
bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza.
Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada
tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

b) Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam
Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman
bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin
Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin
Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di
Abdul-Manaf Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad
bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung
Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan
anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu
2
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan
nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim
ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal
dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau. “
HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66

B. PENDIDIKAN IMAM SYAFI’I


Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya
ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil
Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i
berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang
disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
a) Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam.
Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Di majelis beliau ini, si anak yatim
tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu
Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya.
Sementara itu As-Syafi`i sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik
di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan
kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi:
“Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan
hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada
Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang
di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik
sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-
Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak
membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari
berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau
kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di
3
samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’
yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin
Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya
Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah
pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan
madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai
kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan
gelar sebagai Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi
menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
b) Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah
sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin,
Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau
melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak
mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga
beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan
masih banyak lagi yang lainnya.
c) Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari
Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar
Rasyid. Dan selama beliau di Iraq, dapatlah menambah dan meluaskan ilmu
pengetahuan fiqh ahli Iraq; pun beliau dapat pula menambah pengetauan tentang cara-
cara Qadhy (hakim) memeriksa perkara dan memutuskan urusan, cara-cara memberi
fatwa dan menjatuhkan hokum dan sebagainya yang dilakukan oleh para Qadht dan
Mufty disana (kepala agama yang bertanggung jawab tentang masalah-masalah
agama), yang selamanya belum pernah beliau ketahui selama di Hijaz. Beliau juga
mendirikan madzhab Qadim / Qaul Qadim.
d) Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di
Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu
fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Kalau di Baghdad ia
menamakan madzhab Al-Qadhim, maka madzhab di Mesir ini disebut Al-Jadid . ada
diantara fatwanya, pada Al-Qadim berbeda dengan fatwanya di Al Jadid ini.
Disebutkan Qaulul Qadim dan Qaulul Jadid. Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul
ilm di akhir bulan Rajab hari jumat 204 H.
4
C. KARYA TULIS IMAM SYAFI’I
Kami hanya mengambil tiga karya Imam Syafi’I yang paling termashyhur saja,
diantaranya adalah :
a) Kitab Ar Risalah
Dalam kitab ini disusun oleh beliau secara sistematis, dimana didalamnya membahas
tentang beberapa ketentuan yang nada di dalam dua nash, baik itu terdapat dalam Al
Qur;an dan al-Hadits, masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya Nasikh-
Mansukh, syarat-syarat penerimaan sanad dari para perowi tunggal, masalah-masalah
yang berkaitan dengan Ijma’, Ijtihad, Istihsan dan al-Qiyas. Kitab ini diriwayatkan
oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murady.
b) Kitab Al Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan
oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman.
Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih
bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah
perkataanku di belakang tembok,” pembahasan dalam kitab ini, terdiri dari masalah-
masalah yang berkaitan ‘Ibadah, Muamalah, masalah pidana da Munakahat. Bahkan
dalam kitab ini dijelaskan tentang adanya bantahan Muhammad bin Hasan al-
Syaibaniy terhadap aliran Madinah dalam bentuk perselisihan pandangan antara Imam
Abu Hanifah dengan Abi Laits. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kitab
al-Umm ini, merupakan hasil dari penggabungan beberapa kitab dalam berbagai
pandangan Mujtahid.
c) Kitab ‘’Ikhtilaf Malik Wa Syafi’I”
Yaitu kitab yang membahas masalah terjadinya ikhtilaf antara Ali dan Ibu Mas’ud dan
antara Imam Syafi’I dengan Abu Hanifah.

D. POLA PEMIKIRAN, FAKTOR-FAKTOR yang MEMPENGARUHI DAN


METODE ISTIDLAL IMAM SYAFI’I DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM

a) Pola Pemikiran dan Faktor


Imam Syafi’i termasuk salah seorang imam madzhab yang masuk kedalam jajaran
“Ahli Al Sunnah wal Jama’ah”, yang didalam bidang “furu’iyyah” ada dua kelompok
yaitu : “Ahl al-Hadits” dan “Ahl al-Ra’yu” dan beliay sendiri termasuk “Ahl al-
Hadits”. Imam Syafi’I termasuk imam madzhab yang mendapat julukan “Rihalah fi
5
Thalab al-‘Ilm” yang pernah meninggalkan Mekkah pergi ke Hijaz untuk menuntut
ilmu kepada Imam Malik dank e Irak menuntut ilmu ke Muhammad Ibn al-Hassan
(seorang murid Imam Abu Hanifah). Karena kedua guru inilah, beliau termasuk
kelompok Ahl al-Hadits, tetapi dalam bidang fiqih banyak terpengaruh oleh kelompok
“Ahl al-Ra’yu” dengan melihat metode penerapan hokum yang beliau pakai. Sebagai
seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu
masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi,
maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.”Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir
as-Sunnah wa al-Hadits.
Orang yang menerima apa yang datang dari Rasulullah berarti ia telah
menerima apa yang datang dari Allah, karena Dia telah mewajibkan kita untuk
mentaatinya”. Beliau berdalil dengan sejumlah ayat di antaranya firman Allah,” Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”, (QS. 4:59).
Bantahan Imam Syafi’i kepada orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah.
1. Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti sunnah Rasulullah dan menyuruh
kita mematuhi perintah dan menjauhi larangannya.
2. Tidak ada cara lain bagi kita untuk mentaati perintah Allah tersebut kecuali dengan
mengamalkan apa yang datang dari Rasulullah dengan lapang dada dan bersih hati
dari keinginan untuk menolaknya, serta pasrah pada perintah dan hukum-
hukumnya.
3. Seorang muslim membutuhkan sunnah Rasulullah untuk menjelaskan globalitas isi
Al-Qur’an.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i tentang hadits Ahad Hadits Ahad adalah hadits yang
tidak memenuhi semua atau sebagian syarat –syarat hadits mutawattir. Yaitu
diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut adat dan logika mereka tidak mungkin
berdusta, dan diriwayatkan dari orang banyak dan menyandarkan hadit kepada sesuatu
yang bisa dirasakan oleh indera.
6
b) Sumber hukum dan Metode Imam Syafi’i dalam berhujjah
Oleh karena itu Imam Syafi'i tidak sekedar mendasarkan sunnah pada al Qur'an, tetapi
juga berupaya meletakkan asumsi dasar bahwa sunnah adalah bagian organik dalam
struktur al Qur'an ditinjau dari pengertian semantiknya. Karena al Qur'an dan Sunnah
menjadi struktur organik semantik, maka syafi'I pun dapat membangun ijma' atas
dasar struktur tersebut hingga menjadi teks tasyri' yang memperleh signifikasinya dari
pengertian teks yang tersusun dari al Qur'an dan sunnah. Sumber ke empat dalam fiqih
Imam Syafi'i adalah qiyas yang juga diambil dari teks yang tersusun dari ke tiga dasar
sebelumnya. Para ulama' setelah Syafi'i menyebutkan al Kitab sebagai sumber hukum
Islam pertama dan sunnah sebagai sumber kedua setelah al kitab, begitu juga sebelum
Imam Syafi'i, seperti Imam Abu Hanifah yang menyetujui bahwa dalam pengambilan
hukum pertama harus dari al kitab, kemudian kalau tidak diperoleh, baru mengambil
dari sunnah. Sama halnya juga dengan Mu'az bin Jabal ketika ditanya oleh nabi:
"Dengan apa kamu memutuskan sesuatu?", kemudian jawabnya: "Saya memutuskan
sesuatu dengan Kitab Allah. Jika tidak didapati di dalamnya maka dengan sunnah
rosulullah, dan jika tidak didapatkan lagi maka saya berijtihad dengan akal. Syafi'i
meletakkan sunnah sejajar dengan al Qur'an dalam hal sebagai hujjah karena sunnah
juga berasal dari wahyu. Syafi'i tidak menyamakan al Qur'an dan sunnah dalam segala
aspek, menurutnya perbedaannya paling tidak bahwa al Qur'an mutawatir dan
merupakan ibadah bagi yang membacanya sedangkan kebanyakan sunnah tidak
mutawatir juga membacanya tidak dinilai pahala. Kedua, al Qur'an adalah kalam
Allah, sedangkan sunnah adalah perkataan nabi SAW. Syafi'i juga menjelaskan bahwa
sunnah tidak semartabat dengan al Qur'an dalam masalah aqidah.
 Al Qur'an
Syafi'i tidak memberikan batasan definitif bagi al Qur'an, berdasarkan berbagai
uraiannya, para pengikutnyalah yang memberikan definisi terhadap al Qur'an.
Misalnya definisi yang diungkapkan Taj Al Din Al Subki, bahwa al Qur'an adalah
lafadz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai mu'jizat dan
membacanya merupakan ibadah. Menurut Syafi'i al Qur'an itu maknan dan
lafdzon. Seluruh al Qur'an terdiri atas bahasa Arab, tidak satu katapun di dalamnya
yang bukan bahasa Arab. Maka sejalan dengan itu ia mengatakan bahwa setiap
umat Islam diharuskan mempelajari bahasa Arab sedapat mungkin (Mabalagahu
juhduh) sehingga ia dapat mengucapkan syahadat, membaca al Qur'an, dan
mengucapkan dzikir. Tuntutan itu merupakan fardhu ‘ain yang berlaku secara
7
umum, sedangkan penguasaan bahasa Arab secara mendalam diwajibkan secara
terbatas (fardhu kifayah) atas para ulama'. Syafi'i menekankan pentingnya
penguasaan bahasa Arab karena tidak mungkin bisa memahami kandungan al
Qur'an tanpa penguasaan terhadap bahasa Arab.
 Sunnah
Meskipun Syafi'i tidak mengemukakan rumusan dalam bentuk definisi dan batasan
sunnah, dapat diketahui dengan jelas sunnah menurut Syafi'i yaitu perkataan,
perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada nabi SAW. Secara umum, batasan
seperti ini diterima oleh para ulama' yang datang kemudian. Seorang pembaca
kitab-kitab Imam Syafi'i hampir dapat memastikan bahwa penegakkan sunnah
sebagai sumber hukum merupakan obsesi agenda pemikirannya, bahkan yang
paling asasi. Karena itu kita tidak boleh lupa dengan signifikasi historis dari
pemberian gelar nashir al Sunnah (pembela tradisi) kepadanya. Syafi'i menegaskan
bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti samahalnya dengan al Qur'an.
Untuk mendukungnya dia mengajukan beberapa dalil, baik dalil naqli maupun
dalil aqli. Sejalan dengan pandangan tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi'i
menegaskan bila telah ada hadits yang shohih (tsabit) dari Rosulullah SAW, maka
dalil dalil berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi. Jadi bila seseorang
telah menemukan hadits shohih, ia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menerima
dan dan mengikutinya. Syafi'i mengatakan "Tidak benar, kalau sesuatu (dalam hal
ini dunnah) suatu saat dianggap sebagai hujjah tetapi pada kali lainnya tidak".
Tentang hubungan antara sunnah dengan al Qur'an, Syafi'i mengemukakan bahwa
fungsi sunnah sebagai berikut :
 Sebagai penguat dalil dalil dalam al Qur'an
 Sebagai penjelas dari ayat ayat al Qur'an yang masih global (mujmal)
 Sebagai tambahan; artinya mengatur hukum yang belum diatur dalam al Qur'an

Bahwa sunnah tidak dapat menaskh al-Kitab. Fungsi sunnah terhadap al-Kitab
hanyalah mengikuti apa yang diturunkan sebagai naskh,danmenafsirkan apa yang
diturunkan secara global (mujmal)… Dan firman Allah “tidak ada sepatutnya
bagiku untuk mengantinya dari diriku sendiri” (Yunus : 15) merupakan penjelasan
dari apa yang telah dikemukakan, bahwa al-kitab hanya bias dinaskhkan oleh al-
Kitab . Allah mengawaliturunnya kewajiban, maka Dialah yang menghilangkan

8
apa yang Ia kehendaki. Hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh siapapun diantara
makhlukNya.
 Syarat syarat penerimaan sunnah
Syafi'i membagi hadits menjadi dua, yaitu kabar al-ammah (hadits mutawatir)
dan kabar khashah (hadits ahad). Ia memandang hadits mutawatir itu pasti,
sehingga hadits tersebut mutlak harus diterima sebagai dalil. Akan tetapi hadits
ahad hanya wajib diamalkan apabila hadits tersebut shohih. Pada pokoknya,
persyaratan yang ditetapkan oleh Syafi'i agar suatu hadits dapat diamalkan
sama dengan yang dikemukakan oleh para ahli hadits dan ahli ushul fiqh pada
masa kemudian, yakni menyangkut tsiqoh (adalah dan dhobith) yang harus
terpenuhi pada setiap perawi dan kesinambungan sanad yang diriwayatkannya
serta tidak adanya cacat atau kelainan dalam hadits tersebut.
 Ijma'
"Ijma' adalah hujjah atas segala sesuatu karena ijma' itu tidak mungkin salah"
(Syafi'i). Syafi'i menyepakati bahwa ijma' merupakan hujjah agama (hujjatd
din). Ijma' menurut Syafi'i adalah kesepakatan para ulama' pada suatu masa
tentang hukum syara'. Kedudukan ijma' sebagai hujjah adalah setelah al Qur'an
dan sunnah. Sehingga ijma' diakhirkan dari pada al Qur'an dan sunnah. Oleh
karena itu, ijma' yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah bukan merupakan
hujjah dan dalam kenyataannya tidak mungkin ada ijma' yang menyelisihi al
Qur'an dan sunnah. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu
dikemukakan kepada semua Mujtahid diwaktu terjadinya. Para Mjtahid itu
sepakat memutuskan/menentukan hukumnya. Ijma' umat terbagi menjadi dua:
1. Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan
pendapatnya dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak
mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut
Imam Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya.
Menurut Imam Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma'
yang sebenarnya. Selain ijma' umat tersebut masih ada macam-macam
ijma' yang lain, yaitu: Ijma' sahabat, Ijma' Khalifah yang empat, Ijma' Abu
Bakar dan Umar ,Ijma' ulama Madinah , Ijma' ulama Kufah dan Basrah ,
ijma' itrah (golongan Syiah)

9
3. Sandaran Ijma’
Ijma' tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran, sebab ijma' bukan
merupakan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran tersebut dapat berupa dalil
qath'i yaitu Qur'an dan Hadits mutawatir, juga dapat berupa dalil zhanni yaitu
Hadits ahad dan qiyas.Rumusan Syafi'i berbeda dengan rumusan Imam Malik
yang menganggap kesepakatan penduduk Madinah sebagai ijma' dan rumusan
madzhab Zahiri yang membatasinya hanya pada kesepakatan para sahabat.
Ijma' yang mula-mula mendapat i'tibar dari Imam Syafi'i ialah ijma sahabat
dan ia menerima ijma' sebagai hujjah di tempat tak ada nash. Kemudian yang
perlu di ingatkan bahwa Imam Syafi'i tidak menerima ijma' sukuti. Sedangkan
menurut Dr. Muh Zuhri yang dimaksud ijma menurut Imam Syafi’ri adalah
kesepakatan seluruh ulama dalam kurun waktu yang sama, disana tidak boleh
ada seorang pun menyatakan perselisihan pendapatnya dalam kasus yang
dicarikan kesepakatannya. Teori ijma’ Imam Syafi’i tentunya sulit diwujudkan
kalau hendak dikatakan tidak mungkin. Namun tampaknya ide ijma’ sebagai
sumber hokum ini merupakan upaya antisipasif agar masyarakat islam tetap
terpelihara dalam persatuan. Ulama fiqih termasuk Imam Syafi’I melihat
pertikaian politik dalam pemerintahan Islam yang melibatkan semua
masyarakat islam sudah sampai pada titik yang membahayakan. Perpecahan
ummat yang disebabkan perbedaan inilah yang dirasa membahayakan
persatuan. Lembaga ijma’ dimaksudkan untuk menyatukan pandangan di
kalangan para ulama. Dengan kesatuan ulama maka akan terwujudlah
persatuan ummat islam.
 Qiyas
Imam Syafi'i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para
fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-Ra'yu tanpa menentukan batas-batasnya
dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma Ra'yu yang
shahih dan yang tidak shahih. Imam Syafi'i membuat kaedah kaedah yang harus
dipegangi dalam menentukan mana ra'yu yang shahih dan yang tidak shahih. Ia
membuat kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah. Ia menentukan batas-batas
qiyas, martabat-martabatnya, dan kekutan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada qiyas. Sesudah itu
diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang lain
yang dipandang, kecuali qiyas. Dengan demikian Imam Syafi'i adalah orang
pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Imam Syafi'i sendiri tidak membuat

11
ta'rif qiyas. Akan tetapi penjelasan penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian
dan syarat-syarat menjelaskan hakekat qiyas, yang kemudian dibuat ta'rifnya oleh
ulama' ushul. Biarpun ulama' ushul berbeda pendapat dalam merumuskan definisi
qias, namun secara implisit mereka mempunyai kesepakatan terhadap rukun rukun
qiyas. Hal ini karena definisi yang berbeda tersebut tetap menekankan pada empat
unsur pembentuk qiyas, yaitu kasus yang ditetapkan oleh nash (ashl), kasus yang
baru akan ditentukan hukumnya (far'u), sebab hkum ('illat), dan hukum yang telah
ditentukan oleh nash (hukm ashl). Ulama' ushul kemudian memberikan syarat
syarat terhadap masing masing unsur qiyas tersebut.
Pembagian Qiyas
Qiyas dilihat dari kekuatan 'illat yang terdapat pada far dan ashl menurut al-Syafi'i
dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
a) Qiyas yang iillat hukum cabangnya (far') lebih kuat daripada iillat pada hukum
ashl. Qiyas ini, oleh ulama ushul figh Syafi'iyah disebut sebagai qiyas awlawi.
Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan "ah". Keharaman pada
perbuatan memukul lebih kuat daripada kaharaman ucapan "ah", karena sifat
menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada
ucapan "ah".
b) Qiyas yang illat pada far' sama keadaan dan kekuatan dengan 'illat yang pada
ashl. Qiyas seperti ini, disebut oleh ulama ushul Syafi'iyyah dengan al-qiyas al-
musawi. Misalnya mengqiyaskan membakar harta anak yatim kapada
memakannya secara tidak patut dalam menetapkan hukum haram. Artinya
membakar harta anak yatim atau memakannya secara tidak patut adalah sama-
sama merusak harta anak yatim dan hukumnya sama-sama haram.
c) Qiyas yang illat hukum cabangnya (far') lebih lemah dibamdingkan dengan
illat hukum ashl. Qiyas seperti ini, disebut dengan qiyas al-adna, seperti
mengqiyaskan apel dengan gandum dalam berlakunya riba fadhl, mengandung
illat yang sama, yaitu sama-sama makanan. Memperlakukan riba pada apel
lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena illat lebih
kuat.

12
E. QOUL-QODIM DAN QOUL-JADID, SERTA KEDUDUKANNYA DALAM
MADZHAB.
Qaul Qodim dan Qoul jaded merupakan produk hokum yang bernuansa social-politik
dan social-kultur adalah dua fatwa Imam Syafi’i yang dilakukan di dua daerah yang berbeda
sosio-kultur dan sosio-politiknya yaitu :
 Qaul Qadim : dimana situasi bagdad saat itu merupakan daerah yang sangat sederhana dan
boleh dikatakan sangat terbelakang disbanding dengan daerah lain.
 Qaul jaded : dimana daerah Mesir saat itu merupakan daerah Metropolis yang
mengharuskan untuk berinteraksi dengan memodifikasi terhadap putusan-putusan atau
fatwa-fatwa yang sudah pernah diputuskan, sehingga prinsip Maslahah menjadi
pertimbangan yang sangat penting dalam setiap mengambil keputusan, sebab keputusan
yang diambil dalam wujud qaul jadid merupakan pertimbangan terhadap qaul qadim.

Secara umum bisa di katakan bahwa yang dianggap pendapat Madzhab adalah ‘Qoul-
Jadid’ seperti yang di katakan Imam Syafi’i : “tidak dibenarkan menganggap Qoul Qodim
sebagai pendapat madzhab” , dan ini sesuai dengan Qoidah Usuliyah : Jika seorang mujtahid
berpendapat, kemudian setelah itu dia berpendapat lain, maka yang kedua dianggap
Ruju’/ralat bagi yang pertama. Tetapi Ulama Syafi’iyah merinci lebih jelas lagi :
1. Qoul-Jadid yang harus di pakai, sedang Qoul-Qodim harus ditinggalkan, kecuali
beberapa masalah yang berkisar antara 14 sampai dengan 30 masalah.
2. Qoul-Jadid tidak bisa dianggap pendapat madzhab kecuali dengan jelas Imam Syafi’i
mengatakan bahwa dia sudah meralat Qoul-Qodim. Sedang bilamana tidak ada
penjelasan dari Imam Syafi’i, maka dianggap ada 2 pendapat dalam madzhab.
3. Qoul Jadid secara mutlak dianggap sebagai pendapat madzhab.

Dan pendapat ketiga inilah yang lebih medekati kebenaran, mengingat ulama
Syafi’iyyah setelah meneliti dengan seksama, menyimpulkan bahwa masalah-masalah yang
tersebut dalam qoul-qodim ternyata semuanya tersebut dalam qoul-jadid , kalaupun ada ulama
Syafi’iyyah yang memakai dan berfatwa dengan qoul qodim, pada hakikatnya beliau
berijtihad dan ternyata sesuai dengan qoul qodim, seperti yang disampaikan Imam
Nawawi( 676 H). Sedangkan pendapat yang kedua, ditolak oleh mayoritas ulama,
sebagaimana dikatakan Abu Ishaq Al-Syiroozi ( 476 H) dan Imam Nawawi : “Pendapat ini
jelas salah, sebab antara Qoul Qodim dan Qoul Jadid seperti dua nash yang bertentangan,
apabila tidak mungkin dipadukan, maka yang terakhir yang harus dipakai sedang yang
pertama di buang.

13
Sementara itu ada yang membandingkan dengan madzhab Hanafi, yang bertentangan
dengan madzhab Hanafi adalah dianggap sebagai pendapat madzhab bukan yang sejalan,
sebab tidak mungkin Imam Syafi’i berbeda pendapat kecuali ada dalil yang lebih kuat, dan itu
adalah pilihan Syech Abu Hamid Al-Ashfarooiniy ; tapi menurut Al-Qoffal Al-Syasyi ( 365 H
) justru sebaliknya.

14
BAB III
PENUTUP

Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al
Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum
yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Imam Syafi'i pernah
menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya,
yang mana disebut sebagai Qaul Qadim. Karena adanya pergolakan serta munculnya aliran
Mu’tazilah yang ketika itu telah berhasil mempengaruhi Kekhalifahan. Akhirnya Imam
Syafi’i pindah ke Mesir, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan masalah
sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad). Imam Syafi’I kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad
baru, yang dinamakan sebagai Qaul Jadid. Daerah/negara yang Menganut Mazhab mayoritas
Syafi’I : Libia, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Palestina, Yordania, Libanon, Siriya,
Irak, Hijaz, Pakistan, India Jaziraa, dll.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://pesantren.uii.ac.id/content/view/119/52/1/2/
http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Syafi%27i

16

Anda mungkin juga menyukai