Disusun Oleh :
Fazriansyah (3120210007)
Kelas PAI(B)
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala nikmat, limpahan rahmat,
taufik, dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isi yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Makalah ini saya akui banyak sekali kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Fazriansyah
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................i
Daftar isi..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.........................................................................................3
Rumusan Masalah....................................................................................3
Tujuan Masalah.......................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Syafi’i...........................................................................4
B. Periode Fiqih Imam Syafi’i...................................................................6
C. Sejarah Awal Mula Madzhab Syafi’i....................................................8
D. Dasar-Dasar Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Penggunaan Dalil.......9
E. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i.............................................................10
F. Qaul Qadim Dan Qaul Jadid..................................................................11
G. Karya-Karya dari Imam Syafi’i............................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam Islm kita mengenal Empat Imam Madzhab besar yang sangat
terkenal. Mereka itu adalah Abu Hanifah Annu’man (Imam Hanafi), Malik Bin
Anas (Imam Maliki), Muhammad Idris Asy-syafi’I (Imam Syafi’i), dan Ahmad
Bin Muhammad Bin Hambal (Imam Hambali.
Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih yang besar dan abadi
yang menjadi kemegahan bagi agama islam dan kaum muslimin umumnya.
Pandangan-pandangan dari ke empat madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi
ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai perbedaan pendapat dalam
menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum islam.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang salah satu imam
madzhab besar yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I rahimahullah
atau Imam Syafi’i. iImam Syafi’i merupakan penceus atau pelopor ilmu ushul
fiqih. Beliau merupakan orang pertama yang menyusun sebuah buku ushul fiqih
yang dikenal dengan Ar-Risalah yang dibuat sebagai disiplin ilmu atau pedoman
untuk para peminat hukum Islam.
Pokok Permasalahan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
miskin. Ayahnya wafat saat dia berumur 2 tahun dan segera dibawa ibunya
ke Mekkah.
Pada hari Imam Syafi’i dilahirkan, dua orang ulama besar
meninggal dunia. Seorang di Baghdad (Iraq), yaitu Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit (pembangun madzhab Hanafi) dan seorang lagi di
Mekkah, yaitu Imam Ibnu Jurej Al-Maky, mufti Hijaz ketika itu. Kata
orang dalam ilmu firasat hal ini adalah suatu pertanda bahwa anak yang
lahir akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan kepintarannya.
Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.
Menurut riwayat, ketika ibunda Imam Syafi’i mengandung, dia
bermimpi di dalam tidurnya. Pada suau malam seakan-akan melihat
bintang keluar dari perutnya, lalu melambung tinggi ke udara dan pecah
kemudian bertebaran ke berbagai negri. Maka ia terbangun dari tidurnya.
Pada pagi harinya ia segera menceritakan mimpinya itu kepada yang ahli
menakwilkan mimpi. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa ia
akan melahirkan seorang laki-laki yang kelak ilmu pengetahuannya
memnuhi muka bumi.
Sejak kecil ia terkenal cerdas, kuat hafalannya, dan gigih menuntut
ilmu. Mejelang umur 9 tahun ia telah hafal 30 Juz Al-Qur’an dan 10 tahun
ia telah menguasai pramasastra Arab dengan baik. Ketika di Mekkah, ia
belajar ilmu Fiqh kepada mufti Mekkah, Muslim Khalid al-Zanji dan ilmu
hadist kepada Sufyann bin Uwainah (Sirajuddin Abbas, 1972). Pada usia
15 tahum (ada yang mengatakan 18 tahun), Imam Syafi’i berfatwa setelah
mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji.
Imam Syafi’i menaruh besar pada syair dan bahasa dan juga adat
istiadat bangsa Arab, sehingga ia hafal syair dari suku hudzail. Kabilah
hudzail adalah suatu kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang
paling baik bahasa arabnya. Sehingga Imam Syafi’i banyak menghafal
syair-syair dan qasidah dari kabilah hudzail. Sebagai bukti, al-Asmai’
pernah berkata bahwa beliau pernah membetulkan atau memperbaiki syair
hudzail dengan seorang pemuda dari keturunan bangsa Quraisy yang
5
disebut dengan namanya Muhammad bin Idris, maksudnya adalah Imam
Syafi’i.
Disamping ia mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai
kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah
sepuluh batang panah tanpa melakukan kesalahan. Beliau pernah berkata :
cita-citaku dua perkara, panah dan ilmu, aku berdaya mengenakan target
sepuluh dari sepuluh. Mendengar itu orang yang bersamanya berkata :
Demi Allah bahwa ilmu mu lebih baik dari memanah.
Pada usia 20 tahun Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan belajar
kepada Imam Malik. Dia membaca sendiri kitab al-Muwatta’ di hadapan
Imam Malik bin Anas dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum
terhadap bacaan dan kemauannya. Kemudian tahun 195 H, beliau pergi ke
Baghdad dan belajar kepada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy (murid
Abu Hanifah) selama 2 tahun. Setelah itu beliau kembali ke Mekkah dan
kembali lagi ke Baghdad dan menetap disana selama beberapa bulan.
Kemudian pada tahun itu juga ia pergi ke Mesir dan menetap disana
sampai wafat pada tanggal 29 Rajab tahun 204 H. Oleh sebab itu, pada diri
Imam Syafi’i terhimpun pengetahuan fiqh ashab al-Hadis dari Imam Malik
dan fiqh ashab al-ra’y dari Abu Hanifah.
1. Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam
bidang fiqih. Setelah meninggalkan kota Baghdad, dia tinggal di
6
Makkah selama 9 tahun. Di kota Makkah ini dia telah
mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di
sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan
mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak
pernah ia lakukan. Karena itu Imam Syafi’i sering menemukan
pertentangan antara hadits yang satu dengan yang lainnya dan
dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu pendapat di
antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut
yang dijadikan sandarannya atau dari segi ketidak berlakuan
sebuah dalill (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil Al-Qur’an dan
menghimpun berbagai hadits. Upaya tersebut membuatnya tahu
sejauh mana kedudukan hadits di sisi Al-Qur’an. Kitab Ar-Risalah
adalah buah karya Imam Syafi’i selama periode Mekkah yang
sengaja ia susun atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi
2. Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. ia tinggal
disana selama kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i
mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa
dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini
pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya
dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Syafi’i memilih
pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
3. Periode ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah
ke Mesir pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat
tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi’i mengalami
kematangan-kematangannya.
mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi’i memiliki lima sumber
yang kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata
“Ilmu memiliki beberapa tingkatan: pertama, Al-Qur’an dan As-
7
Sunnah yang dianngap valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila
yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam Al-Qur’an
maupun As-Sunnah. Ketiga, pendapat salah satu sahabat lain yang
menentangnya. Keempat, sesuatu yang telah di sepakati oleh para
sahabat Nabi SAW. Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu
yang bisa dijadikan referensi, selama ada Al-Qur’an dan Hadits”
8
Kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mekkah dan membawa kitab-
kitab fiqih ulama Iraq, dan tinggal di Mekkah untuk mengajar, berfatwa,
dan bertemu dengan banyak ulama di musim haji selama sembilan tahun.
Demikianlah, ia menghimpun pada dirinya fiqih Hijaz dan fiqih Iraq, dan
mengkaji perkembangan terakhir fiqih dan mempelajarinya secara teliti
dan tekun.
Imam Syafi’i bisa mengkaji dengan mudah madzhab-madzhab
yang telah dikenal di zamannya, dengan kritis, analisis, dan komparatif.
Imam Syafi’i menolak istihsan dari Imam Abu Hanifah atau mashalih dari
mursalah dari Imam Malik. Tetapi, Imam Syafi’i menerima penggunaan
Qiyas secara lebih luas dari Imam Malik. Dari sinilah tampak kepribadian
Imam Syafi’i dengan fiqih baru dengan menggabungkan fiqih ulama Iraq
dengan ulama Hijaz, dan mulai memisahkan diri dengan mendirikan
madzhab baru yang khas.
Setelah itu beliau pergi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada
tahun 195 H, dan bermukim disana selama dua tahun, kemudian kembali
ke Mekkah. Lalu ia kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H dan
bermukim disana selama beberapa bulan. Kemudia beliau kembali ke
Mesir pada akhir tahun 199 H. ia menetap disana, mengajar, berfatwa,
mengarang, dan mengajar murid-muridnya hingga wafat pada tahun 204
H.
Meskipun berada dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan
Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, ushul fiqih, dan hadits pada zamannya
membuat madzhabnya memperoleh banyak pengikut.
9
mutafaq’alaih (dalil-dalil hukum yang disepakati), mashadiru al-ahkam al-
mutafaq’alaih (sumber-sumber hukum yang diisepakati), ‘adillah al-ahkam
al-mukhtalaf’alaiha (dalil-dalil yang diperselisihkan), mashadiru al-ahkam
al-mukhtalaf’alaih (sumber-sumber hhukum yang diperselisihkan).
Sedangkan dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur)
ulama ahl al-sunah ada empat, yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas.
Sementara selebihnya seperti istihsan, istishab, istishlah dan
sebagainya, merupakan dalil/sumber yang diperselisihkan oleh para ulama.
Dalam buku Ushul Fiqih tahun 1993 yang berjudul “Dasar-dasar
pembinaan Hukum Fiqih Islam” karangan Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan
Prof. Dr. Fatchurrahman, dijelaskan bahwa kalangan Syafi’i
mengklasifikasikan dalil menjadi dua, yaitu dalil syara’ yang telah
disepakati serta wajii di amalkan dan dalil syara’ yang masih
diperselisihkan. Dalil-dalil yang telah disepakati oleh mayoritas ahli ushul
menurut Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah Al-Qur’an,
sunah, Ijma’, Qiyas dan Istishab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil
yang dikelompokkan pada dalil yanag diperselisihkan dan tidak wajib
diamalkan menurut al-Syafi’i, yaitu isttishan, maslahah mursalah, ‘uruf,
madzhab shahabi, dan syar’u man qablaha.
10
kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain dari pada itu.
Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau
menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
3. Ijma’. Menurut pahamnya ialah : “tidak diketahui ada perselisihan
pada hukum yang dimaksud”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini
telah terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
4. Qiyas. Beliau menolak dasar istihsan dan dasar istislah.
Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan
logika keuali terbatas pada Qiyas saja.
5. Istdlal Asy-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik figh ulama
Hijaz dan fiqh ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan
munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan Hujjahnya.
Di dalam buku DR. Jaih Mubarok pada tahun 2000 yang berjudul
“Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam”, Ahmad Amin menjelaskan
bahwa ulama membagi pendapat Asy-Syafi’i menjadi dua : Qaul Qadim
dan Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat Asy-Safi’i yang
dikemukakan dan di tulis di Iraq. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat
Imam Asy-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H,
Imam Syafi’i tinggal di Iraq pada zaman pemerintahan Al-Amin. Di Iraq,
ia belajar kepada ulama Iraq dan banyak mengambil pendapat ulama Iraq
yang termasuk ahlul ra’yi. Di antara ulama Iraq yang banyak mengambil
pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin
Hanbal, Al-Karabisi, Al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Iraq, Asy-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir
kemudian tinggal disana. Di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru
kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik. Imam
Malik adalah penerus fiqih ulama Madinah yang dikenal sebagai ahli
11
Hadit. Karena perjalanan intelektualnya itu, Imam Syafi’i mengubah
beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Qaul Jahid. Dengan
demikian, Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’yu.
Sedangkan Qaul Jahid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya Qaul Qadim dan Qaul Jadid adalah karena
Imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang
diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong ahlu hadits. Para ahli
berkesimpulan bahwa munculnya Qaul Jadid merupakan dampak dari
perkembangan baru yang di alami oleh Imam Syafi’i dari penemuan
hadits, pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia
tinggal di Iraq dan di Hijaz. Dan diantaranya pendapat Qaul Jadid ini
dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah terti wudhu. Qaul Qadim mengatakan
orang yang wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan Qaul
Jadid mengatakan bahwa orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun
karena lupa adalah tidak sah. Contoh lain dalam masalah tayamum. Qaul
Qadim mengatakan bahwa seseorang diperolehkan tayamum dengan pasir.
Sedangkan Qaul Jadid mengatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan
tayamum dengan pasir.
12
dicetak bersama Al-Umm. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa
Kitab ini bukanlah pena dari Imam Syafi’i, melainkan karangan Al-
Buwaiti yang di susun oleh Ar-Rabi’in bin sulaiman Al-Muradi.
Bersama dengan Kitab Al-Umm, dicetak pula kitab-kitab lainnya, yaitu :
1. Kitab Jima’ul ‘Ilmi sebagai pembela terhadap As-Sunah dan
pengalamannya.
2. Kitab Ibthaalul Istihsan, sebagai sanggahan terhadap para fuqaha
(Ahli Fiqih) dari madzhab Hanafi.
3. Kitab perbedaan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i.
4. Kitab Ar-Radd’alaa Muhammad biin Hasan (bantahan terhadap
Muhammad bin Hasan).
Kitab Al-Musnad
Ahkamul Al-Qur’an
13
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Imam Syafi’i adalah salah satu dari 4 Imam madzhab yang telah
menciptakan mahakarya di dunia Islam. Beliau adalah Imam yang memiliki
karakteristik akhlak yang mulia dan memiliki kecerdesan luar biasa. Beliau
merupakan orang yang menentukan ushul fiqh sebagai disiplin dasar hukum Islam
yang sering digunakan sampai sekarang. Beliau dikenal sebagai seorang pemikir
Islam yang menggabungkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan pendapat para sahabat
nabiyang telah disepakati. Selain itu, beliau juga menggunakan Ijma’ dan Qiyas
untuk menentukan dasar-dasar hukum Islam yang telah ada. Beliau
menerjemahkan/ menafsirkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Nabi SAW yang telah ada
menggunakan keempat dasar hukum tersebut yang kemudian didapatkan
artian/terjemahan yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat banyak. Ilmu
hukum Islam tersebut terkenal dengan nama Madzhab Syafi’i lebih tertumpu
kepada elastisitas dan keakuratan dalil dan logika yang menjadi acuannya
sehingga dapat berkembang sampai kini.
15
DAFTAR PUSTAKA
16