Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KE AS-SYAFI’IYAHAN

“MADZHAB DAN METODOLOGI IMAM SYAFI’I”


Dosen Pengampu :
Dra. Neneng Munajah, M.A

Disusun Oleh :
Fazriansyah (3120210007)
Kelas PAI(B)

Fakultas Agama Islam


Prodi Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam As-Syafi’iyah
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala nikmat, limpahan rahmat,
taufik, dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isi yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui banyak sekali kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Bekasi, 6 Januari 2022

Fazriansyah

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...............................................................................................i
Daftar isi..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.........................................................................................3
Rumusan Masalah....................................................................................3
Tujuan Masalah.......................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Syafi’i...........................................................................4
B. Periode Fiqih Imam Syafi’i...................................................................6
C. Sejarah Awal Mula Madzhab Syafi’i....................................................8
D. Dasar-Dasar Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Penggunaan Dalil.......9
E. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i.............................................................10
F. Qaul Qadim Dan Qaul Jadid..................................................................11
G. Karya-Karya dari Imam Syafi’i............................................................12

BAB III PENUTUP


Kesimpulan...............................................................................................14
Daftar Pustaka..........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam Islm kita mengenal Empat Imam Madzhab besar yang sangat
terkenal. Mereka itu adalah Abu Hanifah Annu’man (Imam Hanafi), Malik Bin
Anas (Imam Maliki), Muhammad Idris Asy-syafi’I (Imam Syafi’i), dan Ahmad
Bin Muhammad Bin Hambal (Imam Hambali.
Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih yang besar dan abadi
yang menjadi kemegahan bagi agama islam dan kaum muslimin umumnya.
Pandangan-pandangan dari ke empat madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi
ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai perbedaan pendapat dalam
menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum islam.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang salah satu imam
madzhab besar yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I rahimahullah
atau Imam Syafi’i. iImam Syafi’i merupakan penceus atau pelopor ilmu ushul
fiqih. Beliau merupakan orang pertama yang menyusun sebuah buku ushul fiqih
yang dikenal dengan Ar-Risalah yang dibuat sebagai disiplin ilmu atau pedoman
untuk para peminat hukum Islam.

Pokok Permasalahan

Tentang landasan hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam menentukan


hukum Islam serta perkembangan hukum Islam atau madzhab Syafi’i tersebut
Tujuan
Agar tidak ada terjadinya kesalahan dalam pengertian syari’at yang ada
dalam Al-Qur’an dan Hadist maka dibutuhkannya kaidah-kaidah dan peraturan-
peraturan yang kemudian dinamakan ushul fiqih tersebut.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Syafi’i

Nama lengkap dari Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris


bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu
Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Abu Abdillah Al Qurasyi Asy-
Syafi’i al-Maliki, keluarga dekat Rasulullah dan putra pamannya.
Al-Muthalib adalah saudara Hasyim, ayah dari Abdul Muthalib,
kakek Rasulullah SAW, dan kakek Imam Syafi’i berkumpul (bertemu
nasabnya) pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah SAW. Idris,
ayah Asy-Syafi’i tinggal di tanah Hijaz, ia adalah keturunan Arab dari
Kabilah Quraisy. Kemudian ibunya yang bernama Fathimah Al-Azdiyyah
adalah berasal dari salah satu Kabilah di Yaman, yang hidup dan menetap
di Hijaz. Semenjak kecil Fathimah merupakan gadis yang banyak
beribadah memegang agamanya dengan kuat dan sangat taat dengan rabb-
Nya. Dia dikenal cerdas dan mengetahui seluk beluk Al-Qur’an dan
Sunnah, baik ushul maupun furu’/cabang.
Imam An-Nawawi berkata : Imam Asy-Syafi’i adalah Quraisy
(berasal dari suku Quraisy) dan Muthalib (keturunan Muthalib)
berdasarkan ijma’ para ahli riwayat dari semua golongan, sementara
ibunya berasal dari suku Azdiyyah. Imam Syafi’i dinisbahkan kepada
kakeknya yang bernama Syafi’i bin As-Saib, seorang sahabat kecil yang
sempat bertemu dengan Rasulullah SAW ketika masih muda.
Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina tahun 150 H / 767 M. Imam
Syafi’i hidup pada zaman/masa khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin, al-
Makmun dari dinasti Abbasiyah. Beliau dibesarkan dalam keluarga

4
miskin. Ayahnya wafat saat dia berumur 2 tahun dan segera dibawa ibunya
ke Mekkah.
Pada hari Imam Syafi’i dilahirkan, dua orang ulama besar
meninggal dunia. Seorang di Baghdad (Iraq), yaitu Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit (pembangun madzhab Hanafi) dan seorang lagi di
Mekkah, yaitu Imam Ibnu Jurej Al-Maky, mufti Hijaz ketika itu. Kata
orang dalam ilmu firasat hal ini adalah suatu pertanda bahwa anak yang
lahir akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan kepintarannya.
Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.
Menurut riwayat, ketika ibunda Imam Syafi’i mengandung, dia
bermimpi di dalam tidurnya. Pada suau malam seakan-akan melihat
bintang keluar dari perutnya, lalu melambung tinggi ke udara dan pecah
kemudian bertebaran ke berbagai negri. Maka ia terbangun dari tidurnya.
Pada pagi harinya ia segera menceritakan mimpinya itu kepada yang ahli
menakwilkan mimpi. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa ia
akan melahirkan seorang laki-laki yang kelak ilmu pengetahuannya
memnuhi muka bumi.
Sejak kecil ia terkenal cerdas, kuat hafalannya, dan gigih menuntut
ilmu. Mejelang umur 9 tahun ia telah hafal 30 Juz Al-Qur’an dan 10 tahun
ia telah menguasai pramasastra Arab dengan baik. Ketika di Mekkah, ia
belajar ilmu Fiqh kepada mufti Mekkah, Muslim Khalid al-Zanji dan ilmu
hadist kepada Sufyann bin Uwainah (Sirajuddin Abbas, 1972). Pada usia
15 tahum (ada yang mengatakan 18 tahun), Imam Syafi’i berfatwa setelah
mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid Az-Zanji.
Imam Syafi’i menaruh besar pada syair dan bahasa dan juga adat
istiadat bangsa Arab, sehingga ia hafal syair dari suku hudzail. Kabilah
hudzail adalah suatu kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang
paling baik bahasa arabnya. Sehingga Imam Syafi’i banyak menghafal
syair-syair dan qasidah dari kabilah hudzail. Sebagai bukti, al-Asmai’
pernah berkata bahwa beliau pernah membetulkan atau memperbaiki syair
hudzail dengan seorang pemuda dari keturunan bangsa Quraisy yang

5
disebut dengan namanya Muhammad bin Idris, maksudnya adalah Imam
Syafi’i.
Disamping ia mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai
kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah
sepuluh batang panah tanpa melakukan kesalahan. Beliau pernah berkata :
cita-citaku dua perkara, panah dan ilmu, aku berdaya mengenakan target
sepuluh dari sepuluh. Mendengar itu orang yang bersamanya berkata :
Demi Allah bahwa ilmu mu lebih baik dari memanah.
Pada usia 20 tahun Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan belajar
kepada Imam Malik. Dia membaca sendiri kitab al-Muwatta’ di hadapan
Imam Malik bin Anas dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum
terhadap bacaan dan kemauannya. Kemudian tahun 195 H, beliau pergi ke
Baghdad dan belajar kepada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy (murid
Abu Hanifah) selama 2 tahun. Setelah itu beliau kembali ke Mekkah dan
kembali lagi ke Baghdad dan menetap disana selama beberapa bulan.
Kemudian pada tahun itu juga ia pergi ke Mesir dan menetap disana
sampai wafat pada tanggal 29 Rajab tahun 204 H. Oleh sebab itu, pada diri
Imam Syafi’i terhimpun pengetahuan fiqh ashab al-Hadis dari Imam Malik
dan fiqh ashab al-ra’y dari Abu Hanifah.

B. Periode Fiqih Imam Syafi’i

Di dalam buku karangan Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayyumi


tahun 2009 yang berjudul “Imam Syafi’i Pelopor Fiqih dan Sastra”,
dijelaskan periode fiqih Imam Syafi’i yang di bagi menjadi 3 sesuai
dengan kota-kota tempat ia berkiprah dalam menentukan hukum Islam.

1. Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam
bidang fiqih. Setelah meninggalkan kota Baghdad, dia tinggal di

6
Makkah selama 9 tahun. Di kota Makkah ini dia telah
mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di
sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan
mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak
pernah ia lakukan. Karena itu Imam Syafi’i sering menemukan
pertentangan antara hadits yang satu dengan yang lainnya dan
dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu pendapat di
antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut
yang dijadikan sandarannya atau dari segi ketidak berlakuan
sebuah dalill (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil Al-Qur’an dan
menghimpun berbagai hadits. Upaya tersebut membuatnya tahu
sejauh mana kedudukan hadits di sisi Al-Qur’an. Kitab Ar-Risalah
adalah buah karya Imam Syafi’i selama periode Mekkah yang
sengaja ia susun atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi
2. Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. ia tinggal
disana selama kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i
mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa
dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini
pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya
dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Syafi’i memilih
pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
3. Periode ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah
ke Mesir pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat
tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi’i mengalami
kematangan-kematangannya.
mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi’i memiliki lima sumber
yang kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata
“Ilmu memiliki beberapa tingkatan: pertama, Al-Qur’an dan As-

7
Sunnah yang dianngap valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila
yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam Al-Qur’an
maupun As-Sunnah. Ketiga, pendapat salah satu sahabat lain yang
menentangnya. Keempat, sesuatu yang telah di sepakati oleh para
sahabat Nabi SAW. Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu
yang bisa dijadikan referensi, selama ada Al-Qur’an dan Hadits”

C. Sejarah Awal Mula Madzhab Syafi’i

Pemikiran madzhab ini di awali oleh Muhammad bin Idris Asy-


Syafi’i atu yang lebih di kenal dengan sebutan Imam Syafi’i, yang hidup
pada zaman pertengahan antara ahlul hadits (cenderung berpegang pada
teks hadits) dan ahlul ra’yi (cenderung berpegang pada akal fikiran atau
ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahlul
hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sebagai tokoh ahlul
ra’yi yang juga murid Imam Abu Hanifah.
Saat umur 20 tahun Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan belajar
Fiqih dari Imam Malik dan menyertainya hingga Imam Malik wafat pada
tahun 179 H. Kemudian Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Di sana ia bertemu
dengan Umar bin Abu Salamah yang merupakan murid dari al-Auza’i dan
belajar darinya fiqih syaikhnya Imam Syafi’i juga belajar fiqih pada Yahya
bin Husain yang merupakan murid dari al-Laits bin Sa’d, yang merupakan
seorang ulama besar dalam ilmu fiqih di Mesir.
Pada tahun 184 H, Imam Syafi’i didatangkan ke Baghdad karena
dituduh menentang Daulah Abbasiyah, namun ia terbebas dari tuduhan.
Kedatangannya ini menjadi sebab pertemuannya dengan ulama fiqih Irak
yaitu Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang merupakan murid dari
Abu Hanifah, dan menyertainya (mulazamah dengannya, membacakan
kitab-kitabnya meriwayatkan darinya, dan belajar masalah-masalah fiqih
darinya).

8
Kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mekkah dan membawa kitab-
kitab fiqih ulama Iraq, dan tinggal di Mekkah untuk mengajar, berfatwa,
dan bertemu dengan banyak ulama di musim haji selama sembilan tahun.
Demikianlah, ia menghimpun pada dirinya fiqih Hijaz dan fiqih Iraq, dan
mengkaji perkembangan terakhir fiqih dan mempelajarinya secara teliti
dan tekun.
Imam Syafi’i bisa mengkaji dengan mudah madzhab-madzhab
yang telah dikenal di zamannya, dengan kritis, analisis, dan komparatif.
Imam Syafi’i menolak istihsan dari Imam Abu Hanifah atau mashalih dari
mursalah dari Imam Malik. Tetapi, Imam Syafi’i menerima penggunaan
Qiyas secara lebih luas dari Imam Malik. Dari sinilah tampak kepribadian
Imam Syafi’i dengan fiqih baru dengan menggabungkan fiqih ulama Iraq
dengan ulama Hijaz, dan mulai memisahkan diri dengan mendirikan
madzhab baru yang khas.
Setelah itu beliau pergi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada
tahun 195 H, dan bermukim disana selama dua tahun, kemudian kembali
ke Mekkah. Lalu ia kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H dan
bermukim disana selama beberapa bulan. Kemudia beliau kembali ke
Mesir pada akhir tahun 199 H. ia menetap disana, mengajar, berfatwa,
mengarang, dan mengajar murid-muridnya hingga wafat pada tahun 204
H.
Meskipun berada dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan
Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, ushul fiqih, dan hadits pada zamannya
membuat madzhabnya memperoleh banyak pengikut.

D. Dasar-Dasar Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Penggunaan Dalil

Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara’, dalam beberapa kitab


ushul fiqh selalu berkisar di seputar dalil-dalil syara’ yang disepakati dan
dalil-dalil syara’ yang diperselisihkan. Beberapa istilah populer dari dalil
syara’ atau sumber hukum itu antara lain adalah ‘adillah al-ahkam al-

9
mutafaq’alaih (dalil-dalil hukum yang disepakati), mashadiru al-ahkam al-
mutafaq’alaih (sumber-sumber hukum yang diisepakati), ‘adillah al-ahkam
al-mukhtalaf’alaiha (dalil-dalil yang diperselisihkan), mashadiru al-ahkam
al-mukhtalaf’alaih (sumber-sumber hhukum yang diperselisihkan).
Sedangkan dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur)
ulama ahl al-sunah ada empat, yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas.
Sementara selebihnya seperti istihsan, istishab, istishlah dan
sebagainya, merupakan dalil/sumber yang diperselisihkan oleh para ulama.
Dalam buku Ushul Fiqih tahun 1993 yang berjudul “Dasar-dasar
pembinaan Hukum Fiqih Islam” karangan Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan
Prof. Dr. Fatchurrahman, dijelaskan bahwa kalangan Syafi’i
mengklasifikasikan dalil menjadi dua, yaitu dalil syara’ yang telah
disepakati serta wajii di amalkan dan dalil syara’ yang masih
diperselisihkan. Dalil-dalil yang telah disepakati oleh mayoritas ahli ushul
menurut Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah Al-Qur’an,
sunah, Ijma’, Qiyas dan Istishab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil
yang dikelompokkan pada dalil yanag diperselisihkan dan tidak wajib
diamalkan menurut al-Syafi’i, yaitu isttishan, maslahah mursalah, ‘uruf,
madzhab shahabi, dan syar’u man qablaha.

E. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i

Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq


al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya yang
dijelaskan dalam buku karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddiqiey pada tahun 1997 yang berjudul “Pengantar Hukum Islam”
adalah sebagai berikut :
1. Dhahir-dhahir Al-Qur’an selama belum ada dalil yang
menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan dhahirnya.
2. Sunnatur Rasull. Asy-Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama
perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya

10
kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain dari pada itu.
Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau
menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
3. Ijma’. Menurut pahamnya ialah : “tidak diketahui ada perselisihan
pada hukum yang dimaksud”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini
telah terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
4. Qiyas. Beliau menolak dasar istihsan dan dasar istislah.
Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan
logika keuali terbatas pada Qiyas saja.
5. Istdlal Asy-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik figh ulama
Hijaz dan fiqh ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan
munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan Hujjahnya.

F. Qaul Qadim dan Qaul Jadid

Di dalam buku DR. Jaih Mubarok pada tahun 2000 yang berjudul
“Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam”, Ahmad Amin menjelaskan
bahwa ulama membagi pendapat Asy-Syafi’i menjadi dua : Qaul Qadim
dan Qaul Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat Asy-Safi’i yang
dikemukakan dan di tulis di Iraq. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat
Imam Asy-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H,
Imam Syafi’i tinggal di Iraq pada zaman pemerintahan Al-Amin. Di Iraq,
ia belajar kepada ulama Iraq dan banyak mengambil pendapat ulama Iraq
yang termasuk ahlul ra’yi. Di antara ulama Iraq yang banyak mengambil
pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin
Hanbal, Al-Karabisi, Al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Iraq, Asy-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir
kemudian tinggal disana. Di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru
kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik. Imam
Malik adalah penerus fiqih ulama Madinah yang dikenal sebagai ahli

11
Hadit. Karena perjalanan intelektualnya itu, Imam Syafi’i mengubah
beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Qaul Jahid. Dengan
demikian, Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i yang bercorak ra’yu.
Sedangkan Qaul Jahid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya Qaul Qadim dan Qaul Jadid adalah karena
Imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang
diriwayatkan ulama Mesir yang tergolong ahlu hadits. Para ahli
berkesimpulan bahwa munculnya Qaul Jadid merupakan dampak dari
perkembangan baru yang di alami oleh Imam Syafi’i dari penemuan
hadits, pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia
tinggal di Iraq dan di Hijaz. Dan diantaranya pendapat Qaul Jadid ini
dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah terti wudhu. Qaul Qadim mengatakan
orang yang wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan Qaul
Jadid mengatakan bahwa orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun
karena lupa adalah tidak sah. Contoh lain dalam masalah tayamum. Qaul
Qadim mengatakan bahwa seseorang diperolehkan tayamum dengan pasir.
Sedangkan Qaul Jadid mengatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan
tayamum dengan pasir.

G. Karya-Karya dari Imam Syafi’i

Imam Syafi’i memiliki karya tulis yang banyak sekali, di antaranya


yang paling terkenal adalah :
Kitab Al-Umm
Kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi ke
dalam 40 bab lebih. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Jumlah Kitab
(masalah) dalam kitab Al-Umm lebih dari 140 Bab wallahu a’lam.
Dimulai dari kitab At-Thaharah (masalah bersuci) kemudian kitab As-
Shalah (Masalah Sholat). Begitu seterusnya yang beliau susun berdasarkan
bab-bab fiqih. Kitabnya yang diringkas oleh Al-Muzani yang kemudian

12
dicetak bersama Al-Umm. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa
Kitab ini bukanlah pena dari Imam Syafi’i, melainkan karangan Al-
Buwaiti yang di susun oleh Ar-Rabi’in bin sulaiman Al-Muradi.
Bersama dengan Kitab Al-Umm, dicetak pula kitab-kitab lainnya, yaitu :
1. Kitab Jima’ul ‘Ilmi sebagai pembela terhadap As-Sunah dan
pengalamannya.
2. Kitab Ibthaalul Istihsan, sebagai sanggahan terhadap para fuqaha
(Ahli Fiqih) dari madzhab Hanafi.
3. Kitab perbedaan antara Imam Malik dan Imam Syafi’i.
4. Kitab Ar-Radd’alaa Muhammad biin Hasan (bantahan terhadap
Muhammad bin Hasan).

Kitab Al-Risalah Al-Jadidah


Kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu
jilid besar yang sudah di tahqiq (diteliti) oleh Ahmad Syakir, yang diambil
dari riwayat Ar-Eabi’in bin Sulaiman dari Imam Asy-Syafi’i. Di dalam
kitab ini Imam Syafi’i berbicara tentang Al-Qur’an dan penjelasannya,
beliau mengemukakan bahwa banyak dalil mengenai keharusan berhujjah
dan beragumentasi dengan As-Sunah. Beliau juga mengupas masalah
nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, menguraikan
tentang ‘ilal (cacat) yang terdapat pada bagian hadits dan alasan dari
keharusan mengambil hadits ahad sebagai hujjahj dab dasar hukum, serta
apa yang boleh diperselisihkan di dalamnya.

Kitab Al-Musnad

Kitab As-Sunanar-Radd ‘ala Al-Baraahimiyah

Kitab Mihnatusy Imam Asy-Syafi’i

Ahkamul Al-Qur’an

13
14
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Imam Syafi’i adalah salah satu dari 4 Imam madzhab yang telah
menciptakan mahakarya di dunia Islam. Beliau adalah Imam yang memiliki
karakteristik akhlak yang mulia dan memiliki kecerdesan luar biasa. Beliau
merupakan orang yang menentukan ushul fiqh sebagai disiplin dasar hukum Islam
yang sering digunakan sampai sekarang. Beliau dikenal sebagai seorang pemikir
Islam yang menggabungkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan pendapat para sahabat
nabiyang telah disepakati. Selain itu, beliau juga menggunakan Ijma’ dan Qiyas
untuk menentukan dasar-dasar hukum Islam yang telah ada. Beliau
menerjemahkan/ menafsirkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Nabi SAW yang telah ada
menggunakan keempat dasar hukum tersebut yang kemudian didapatkan
artian/terjemahan yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat banyak. Ilmu
hukum Islam tersebut terkenal dengan nama Madzhab Syafi’i lebih tertumpu
kepada elastisitas dan keakuratan dalil dan logika yang menjadi acuannya
sehingga dapat berkembang sampai kini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajuddin. 1972. Sejarah Madzhab Syafi’i cetakan II.


Ahmad Musa, Madzhab Imam Syafi’i salam sorotan, (Bandung: Pustaka Nabilah,
2016)
Al-Fayyumi, Muhammad Ibrahim. 2009. Imam Syafi’i Pelopor Fikih dan Sastra.
Jakarta Erlangga.
Al-Jamal, Syaikh Muhammad. 2003. Biografi 10 Imam Besar. Indonesia : Pustaka
Al-Kautsar. Ash-Shiddiqiey, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar
Hukum Islam. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
Basyir Abdillah, Metodologi Syafi’iyah dalam hukum Islam, ( Jakarta: Pustaka
Logos,2013 )
Chalil, Munawwar. 1995. Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab. Jakarta :
Bula Bintang.
Hidayatullah, Imam Syafi’i dan Metodologinya dalam Hukum Islam, (Bandung:
Pustaka Al-Asror, 2012)

16

Anda mungkin juga menyukai