DISUSUN OLEH :
GURU PEMBIMBING :
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
BAB I Biografi Imam Syafi’i................................................................................4
1.1 Latar Belakang Syafi’i................................................................................4
1.2 Pendidikan Imam Syafi’i...........................................................................5
1.3 Karya – Karya Imam Syafi’i.......................................................................6
BAB II Kajian Teori.............................................................................................7
2.1 Definisi Hukuman rajam...........................................................................7
2.2 Hukuman Rajam: Pergulatan Teks dan Konteks.......................................8
BAB III Pembahasan........................................................................................10
3.1 Pendapat Imam Syafi’I Tentang Hukuman Rajam Bagi Pelaku Sodomi. 10
3.2 Kerangka Metodologis Pemikiran Imam Syafi’i......................................11
3.3 Pro-Kontra Ulama Fiqih Mengenai Hukuman Rajam Bagi Pelaku Sodomi
Dan Keharaman Homoseksual.....................................................................12
BAB IV Penutup...............................................................................................14
4.1 Kesimpulan.............................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
BAB I
KAJIAN TEORI
Bagi sebagian kalangan, hadits riwayat Bukhari ini dijadikan sandaran utama
untuk menjustifikasi suatu kesimpulan yang fallacy, bahwa hukuman rajam itu telah
di naskh (hapus) aturannya dengan turunnya surat An-Nur ayat 2.7 Sementara bagi
kalangan jumhur ulama dan salafus shalih berpendapat bahwa hukuman rajam
berlaku untuk penzina muhshan (menikah), sedangkan hukuman cambuk
sebagaimana termaktub dalam surat An-Nur ayat 2 lebih ditujukan kepada penzina
ghairu muhshan (belum menikah). Karenanya zina tergolong ke dalam perbuatan
yang dikenai sanksi hukuman hudud.
Berangkat dari sini, terang betapa rahmat dan damainya Islam dalam
memberlakukan hukuman syariat rajam tersebut, sehingga menjadi tak bijak dan
kurang rancak jika kemudian upaya pemberlakuan hukuman rajam itu disikapi
dengan kecurigaan dan resistensi berlebihan.
Menurut para mufassir, pada periode awal Islam, sanksi perzinaan adalah
kurungan bagi wanita yang telah kawin; dicerca bagi gadis, sedang bagi laki-laki
dipermalukan dan dicerca di hadapan publik. Sanksi yang diungkapkan oleh kedua
ayat tersebut bersifat temporer, karena pada ayat ini terdapat pernyataan "sampai
Allah memberikan jalan lain bagi mereka". Hal ini berarti akan ada sanksi lain yang
akan diberlakukan. Kebenaran ini terwujud dalam Q.S. an-Nur (24): 2.Menurut
riwayat ayat ini bersumber dari Aisyah dan Sa'ad ibn Mu'adz yang diwahyukan pada
tahun ke-6 Hijriah. Ayat di atas dengan terang hanya menyebutkan hukuman dera
seratus kali sebatan bagi pelaku zina. Akan halnya hukuman rajam bagi pelaku zina
muhshan dalam Islam, baru mendapatkan legitimasi keabsahannya dari hadits Nabi
Saw. yang merekam peristiwa hukuman mati ini seperti diceritakan dalam kisah
Maiz dan Ghamidiyyah. Namun mesti digarisbawahi, penerapan hukuman rajam
kala itu lebih dikarenakan delik pengaduan si pelaku yang ingin bertaubat serta
meminta dibersihkan dari dosa berzina. Sungguhpun demikian, tak diketahui secara
pasti apakah kasus pelaksanaan hukuman rajam bagi orang Islam dilaksanakan
sebelum atau sesudah turunnya hukum bagi pezina yang tertuang dalam Q.S. al-Nur
(24) ayat 2 tersebut?
PEMBAHASAN
3.1 Pendapat Imam Syafi’I Tentang Hukuman Rajam Bagi Pelaku Sodomi
Menurut Imam Syafi’ i, dalam suatu pendapatnya ia menyatakan bahwa para
pelaku homoseks atau liwath dikenakan hukum rajam bagi yang muhshan,
sedangkan yang ghair muhshan dihukum jilid serta di buang. Pendapat ini
berdasarkan, Pertama yaitu dalil Hadits Rasulullah saw:
Kedua, Imam Syafi’i mengambil pendapat dari hadits yang diriwayatkan dari
ar-Robi’, bahwa sahabat Ali memberi hukuman rajam bagi pelaku sodomi,
sebagaimana dituliskan dalam kitab al-Umm, yaitu:
و.ان عليا عليه السالم رجم لوطيا:الوليد عن يزيد اراه ابن مذكورذا نْأ خذنرجم اللوطى محصنا كان غير
رجع الشافعى عن.السنة ان يرجم الوطى احصن اولم يحصن: وهذا قول ابن عباس وسعيد ابن المسيب يقول.محصن
يكون قد احصن24 اليرجم اال ان: هذا فقال.
“Telah mengabarkan ar-Robi’ berkata: Imam Syafi’i telah mengabarkan kepada kami
berkata: seorang laki-laki telah mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzieb dari
Qosim bin Walid dari Yazid saya melihat Ibnu Madzkur berkata bahwa Sohabat Ali
merajam pelaku sodomi atau liwath, demikianlah yang kita ambil, kita merajam bagi
pelaku sodomi atau liwath baik muhsan atau ghair muhsan. Pendapat ini adalah
pendapat Ibnu Abbas dan Said bin Musayyab yang mengatakan: Sunnah atau hadits
merajam pelaku liwath baik muhsan atau ghair muhsan. Imam Syafi’i kembali dari
ini kemudian Imam Syafi’i berkata:tidak dirajam kecuali muhsan”.
Dalam kitab Badaiusshonai’ fi tartibi as-Syaro’i, Juz IX, Latar belakang Imam
Syafi’i menginginkan agar diberi hukuman rajam dengan batu sampai mati bagi
pelaku sodomi baik perjaka maupun gadis karena ia melihat sodomi atau liwath
dianggap sebagai suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai
jarimah (tindak pidana).
Seorang pelaku sodomi yang muhsan dan ghair muhsan berbeda hukumannya
yaitu bila muhsan di hukum rajam dan ghair muhsan di hukum jilid seratus kali.
Imam Syafi’i, dalam satu riwayatnya, bahwa liwath itu hukumannya di rajam,
baik pelakunya maupun yang dikerjainya, baik jejaka maupun sudah berkeluarga
(nikah).
Untuk itu Imam Syafi’i, memberi pendapat tentang hukuman bagi orang yang
melakukan sodomi itu dirajam sampai mati. karena pada zaman itu Imam Syafi’i
hidup diantara dua pemikir antara Imam Maliki dan Imam Hanafi yang keduanya
sudah memberi pendapat masing-masing terhadap perbuatan sodomi, ada yang
memberi pendapat pelakunya harus di ta’zir dan ada yang memberi pendapat,
pelakunya harus di hukumi had.
Karena pada awalnya hukuman bagi pelaku sodomi itu ada tiga pendapat
yaitu: dibunuh dan dibuang, dirajam, dan didera. untuk itu Imam Syafi’i mengambil
jalan tengah yaitu dengan sebuah metode istinbatnya qiyas, karena
permasalahannya mempunyai kesamaan alas an (illat) yang mana satu
perbuatannya sudah ada nashnya.
3.3 Pro-Kontra Ulama Fiqih Mengenai Hukuman Rajam Bagi Pelaku Sodomi Dan
Keharaman Homoseksual
Para ulama fiqh sepakat atas keharaman homoseks menurut ketentuan
syari’at. Homoseks merupakan perbuatan keji sebagaimana jariamah zina. Keduanya
termasuk dosa besar, dan merupakan perbuatan yang merusak akhlak, tidak sesuai
dengan fitrah manusia. Di samping menyimpang dari fitrah, dari segi kesehatan pun
sangat berbahaya. Dapat dibayangkan betapa kotor dan menjijikkannya perbuatan
sodomi, karena dubur adalah tempat pembuangan kotoran (air besar atau tinja).
Pada feses (kotoran manusia) tersebut banyak sekali bakteri yang dapat
menimbulkan berbagai penyakit dan inveksi. Bakteri itu bisa masuk ke dalam tubuh
suami lewat penis. Sementara, istri akan merasa sakit sekali karena tidak ada cairan
yang membasahi anus sebagaimana dalam vagina. Pendek kata, secara logika dan
agama, anal seks tidak bisa dibenarkan.
Menurut Imam Syafi’i wathi pada dubur (sodomi) dianggap sebagai zina, baik
yang di wathi itu laki-laki maupun perempuan. Alasannya adalah: bentuknya sama
dengan zina dalam segi memasukkan alat kelamin dengan sayhwat dan kenikmatan.
Dengan demikian, tindak pidana ini termasuk kepada kelompok zina dengan
hukuman-hukuman yang sudah tercantum dalam nash.
Pendapat Syafi’i berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Menurut Abu Hanifah
dan para pengikutnya, Wathi pada dubur (homoseksual) tidak dianggap sebagai
zina, baik yang di wathi itu laki-laki maupun perempuan. Alasannya adalah wathi
pada qubul disebut zina sedangkan wathi pada dubur disebut liwath.
Adapun Imam Abu Hanifah tetap pada pendiriannya semula, yaitu bahwa
liwath tidak dianggap sebagai zina, melainkan merupakan perbuatan maksiat yang
diancam dengan hukuman ta’zir, baik dilakukan terhadap istri sendiri maupun
orang lain.
Menurut fatwa Imam Syafi’i orang yang melakukan perbuatan kaum Luth itu
dihukum seperti orang yang berzina, yaitu: “Jika ia seorang janda dihukum rajam
dan jika ia seorang bujang didera dan dibuang ke luar negeri. Menurut fatwa Imam
Syafi’i bahwa wajib dilakukan hukum bunuh atas orang yang melakukan perbuatan
kaum Luth, karena perbuatan itu masuk dosa besar yang belum pernah kejadian
pada umat-umat dalam sepanjang masa kecuali pada umat Nabi Luth, sekalipun
mereka belum kawin. Dalam kontek ini, Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pelaku
sodomi yang muhsan dihukum rajam. Karena homoseks merupakan perbuatan keji
yang dapat merusak akal fikiran dan akhlak manusia.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penolakan dan resistensi terhadap pemberlakuan hukuman rajam sejatinya
tidak perlu dicari justifikasi dengan dalih bahwa hukuman itu tidak pernah disebut
di dalam Al-Qur'an. Sebab jika mau ditelusuri dan dieksplorasi lebih jauh dalam
hadits-hadits Rasulullah Saw. dapatlah diketemukan bahwa hukuman rajam itu
pernah berwujud di masa Nabi, bahkan menjadi suatu konsensus di kalangan
Shahabat dan terus berlanjut di kalangan jumhur ulama yang hidup sesudahnya
bahwa rajam diberlakukan bagi pelaku zina muhshan.
Conference di Banda Aceh, 19-21 Juli 2007 Abu Zahrah, Muhammad, al-'Uqubat fi al-
Fiqh al-Islamiy, (Cairo: Dar el-Fikr, t.t.) al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin
Isma'il, Shahih al-Bukhari, Semarang: Toha Puta, t.t., Juz. 8 al-Khafif, Ali, Muhadharat
fi Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha', (Cairo: Arab League, 1956) al-Maududi, Abu A'la, Tafsir
Surah al-Nur, (Damascus: Dar al-Fikr, t.t.) al-Razi, Muhammad, al-Tafsir al-Kabir,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1985) al-Shabuniy, Muhammad 'Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam,
Risalah, 1968, Jld. 2 Az-Zarqa', Musthafa Ahmad, al-Madkhal al-Fiqhiy al-'Am, 1986,
jld. 1 Ghozali, Abdul Moqsith, "Tafsir Atas "Rajam" dalam Islam", dalam situs Islam
(Cairo: Al-Azhar University, 2003), Cet. 2 Zuhaily, Wahbah, Ushl al-Fiqh al-Islamiy,