Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIKIH

Perbedaan Pendapat Imam Madzab dalam Dua Qulah

Guru Pembimbing :
Ibu Suci Handayani, S.Sy

Disusun Oleh :
Nama : Andi Aqil Fairuz Akmar
Kelas : XII IPA 3

MADRASAH ALIYAH NEGERI BATAM


Jalan Brigjen Katamso No.10 Sagulung Kota Batam Kepulauan Riau.
Telp 0778-3993153
Tahun 2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Perbedaan Pendapat
Imam Mazhab dalam Dua Qulah ini tepat pada waktunya.. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada teladan kita Muhammad SAW yang telah menunjukkan
kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dan menjadi rahmat bagi
seluruh alam.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini,
khususnya kepada:
1. Ibu Dra. Khairina selaku Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Negeri 1 Batam.
2. Ibu Suci Handayani, S.Sy selaku guru Fikih yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang mata pelajaran yang saya
tekuni.
3. Ibu Desi Eliza, S.Pd selaku wali kelas XII IPA 3.
4. Serta teman-teman seperjuangan yang telah mendukung saya sehingga saya bisa
menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas guru pada mata pelajaran fikih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Perbedaan Pendapat Imam Mazhab dalam Dua Qulah bagi para
pembaca dan juga bagi penulis. Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini. Harapan saya semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi
harapan berbagai pihak. Amiin

Batam, 30 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB 1 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Riwayat hidup Imam Syafi’i…………………………………………………………… 4
1.2 Pendidikan dan Pengalaman…………………………………………………………… 5
1.3 Kecerdesan Imam Syafi’i ………………………………………………………………5
1.4 Kitab karangan Imam Syafi’i……………………………………………………………6
1.5 Metode istinbath hukum Imam Syafi’i………………………………………………….6

BAB 2 8
KAJIAN PUSTAKA 8
2.1 Pengertian Air dua Qullah……………………………………………………………..8
2.2 Ukuran Air dua Qullah…………………………………………………………………8

BAB 3 ………………………………………………………………………………………9
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………...9
3.1 Pendapat Imam Syafi’i ……………………………………………………………...9

BAB 4 13
KESIMPULAN…….……………………………………………………………………..12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………13

3
BAB I
BIOGRAFI IMAM SYAFI’I
1.1 Riwayat hidup Imam syafi’i
Imam Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i adalah Muhammad bin Idris
As-Syafi’i al-Quraisyi. Adapun nasab beliau adalah Muhammad bin Idris Abbas bin Usman
bin Syafi’i bin Sa’ib bin Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abd Manaf.
Sedangkan keturunan dari ibunya menurut riwayat al-Hakim Abu Abdillah al-Hafiz adalah
Fatimah binti Abdullah bin Al-Husain Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian jelaslah bahwa
keturunan beliau baik dari ayahnya maupun dari ibunya adalah bertalian erat dengan silsilah
yang menurunkan Nabi Muhammad SAW. Yakni pada Abullah bin Manaf (Datuk Nabi yang
ketiga). Kebanyakan riwayat mengatakan bahwa Imam Syafi’i dilahirkan di Syam, pada
tahun 159 H, bertepatan dengan tahun 767 M, pertengahan abad ke-2 H, bertepatan juga
dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Namun ada juga sejarah yang mengatakan bahwa
Imam Syafi’i lahir di Ghazzah. Beliau dilahirkan ibunya dalam keadaan yatim dan miskin,
dimana ia ditinggalkan oleh ayahnya pada masa waktu kecil. Pada usia dua tahun, atau ada
yang mengatakan sepuluh tahun beliau dibawa ibunya pindah ke Makkah.
Dan dalam usia anak-anak beliau sudah hafal Al-Qur’an dengan fasih dan lancar.
Sesudah itu beliau menghafal hadis-hadis Nabi, bahkan dapat dikatakan karena minatnya
yang begitu besar pada bidang ini, ia selalu berkelana sampai ke pelosok-pelosok pedesaan.
Selama sepuluh tahun Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat Huzail yang terkenal
fasih dalam Bahasa Arab. Barangkali dalam kondisi inilah yang menyebabkan beliau ahli
dalam bidang puisi dan Sastra Arab serta memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyusun
bahasa yang indah. Bidang itu pula yang mula-mula digali Imam Syafi’i ketika di Najran
(Yaman) dengan mendapat sambutan positif dari gubernurnya. Akan tetapi Gubernur inilah
yang kemudian hari menuduhnya bersama-sama dengan Sembilan orang lainnya sebagai
penentang pemerintah Abbasiyah dan pembela golongan Awaliyah. Sembilan orang ini
akhirnya duhukum mati, sedang As-Syafi’i sendiri mendapat ampunan Khalifah Harun Al-
Rasyid lantaran khalifah sangat mengagumi ilmu dan ketangkasan Imam Syafi’i dalam
berbicara. Disamping kelebihan tersebut beliau juga ahli dalam bidang menterjemah dan
memahamkan Al-kitab, Ilmu Balaghah, Ilmu fiqh, Ilmu berdebat juga terkenal sebagai
muhaddis. Orang-orang Makkah memberikan gelar pada beliau sebagai Nasr al-Hadits
(penolong memahamkan Hadits). Imam Syafi’i bin Uyainah bila didatangi seorang yang
diberi fatwa, beliau memerintahkan meminta pada Imam Syafi’i, ia berkata: “bertanyalah
pada pemuda ini” (Imam Syafi’i). Abdullah putra Ahmad bin Hambal, pernah bertanya
kepada ayahnya selalu menyebut-nyebut dan mendo’akan Imam Syafi’i itu adalah bagaikan
matahari untuk dunia, bagaikan kesehatan untuk tubuh dan kedua hal itu tidak ada orang yang
sanggup menggantikannya dan tidak ada gantinya. Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun
204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau
hingga kini masih dibaca orang. Dan makam beliau di Mesir hingga kini masih ramai
diziarahi.

4
1.2 Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i
As-Syafi’i selain mengadakan hubungan yang erat dengan para gurunya di Mekkah dan
di Madinah, juga melawat keberbagai Negeri. Diwaktu kecil beliau melawat ke
perkampungan Huzail dan mengikuti mereka selama sepuluh tahun, dengan demikian Syafi’i
memiliki bahasa Arab yang tinggi kemudian digunakan untuk mentafsirkan Al-Qur’an.
Kemudian beliau melawat ke Madinah untuk mempelajari fiqih dan Hadis. Beliau belajar
fiqih pada Muslim Ibn Khalid dan mempelajari Hadis pada Sofyan Ibn Uyainah guru hadis di
mekkah dan pada Maliki Ibn Anas di Madinah. Pada masa itu pemerintahan berada ditangan
Harun Ar-Rasyid dan pertarungan sedang hebat antara keluarga Abbas dan keluarga Ali.
Pada waktu itu pula As-Syafi’i dituduh memihak kepada keluarga Ali, dan ketika pemuka-
pemuka Syi’ah digiring kepada khalifah, pada tahun 184 H, beliau turut digiring bersama-
sama. Tetapi karena Rahmat Allah beliau tidak menjadi korban pada waktu itu.
Kemudian atas bantuan Al-fadlel Ibn Rabie, yang pada waktu itu menjabat sebagai
perdana menteri Ar-Rasyid, ternyata bahwa beliau bersih dari tuduhan itu. Dalam suasana
inilah As-Syafi’i bergaul dengan Muhammad Hasan dan memperhatikan kitab-kitab ulam
Irak, setelah itu As-Syafi’i kembali ke Hizaj dan menetap di Mekkah.Pada tahun 195 H
beliau kembali lagi ke Irak sesudah Ar-Rasyid meninggal dunia dan Abdullah Ibn Al-Amin
menjadi khalifah.
Pada awalnya beliau pengikut Maliki, akan tetapi setelah beliau banyak melawat ke
berbagai kota dan memperoleh pengalaman baru, beliau mempunyai aliran tersendiri yaitu
mazhab “Qadimnya” sewaktu beliau di Irak, dan mazhab “ Jadidnya” sewaktu beliau sudah di
Mesir. Semenjak itu pula orang-orang berdatangan kepada Imam Syafi’i dan orang yang
berdatangan itu bukanlah orang sembarangan, tetapi terdiri dari para ulama, ahli Syair, Ahli
Kesusastraan Arab, dan orang-orang yang terkemuka, karena dada beliau pada waktu itu telah
penuh dengan Ilmu-ilmu. As-Syafi’i tidak menyukai Ilmu kalam, karena Ilmu kalam itu
dibangun oleh golongan Muktazilah, sedang mereka menyalahi jalan yang ditempuh ulama
Salaf dalam mengungkapkan Aqidah dan Al-Qur’an. Sebagai seorang fiqih/ Muhaddis tentu
saja beliau mengutamakan Ittiba’ dan menjauhi Ibtida’ sedang golongan Muktajilah
mempelajarinya secara falsafah.
1.3 Kecerdasan Imam Syafi’i
Kecerdasan Imam Syafi’i dapat kita ketahui melalui riwayat-riwayat yang mengatakan,
bahwa Imam Syafi’i pada usia 10 tahun sudah hafal dan mengerti kitab Al-Muwaththa’ kitab
Imam Maliki. Karena itulah ketika belajar ilmu hadis kepada imam Sofyan bin Uyainah,
beliau sangat di kagumi guru besar ini dan selanjutnya beliau dapat menempuh ujian Ilmu
Hadis serta lulus mendapat ijazah tentang Ilmu Hadis dari guru-guru besar tersebut.
Kemudian setelah beliau berumur 15 tahun, oleh para gurunya beliau di beri izin untuk
mengajar dan memberi fatwa kepada khalayak ramai.Beliau pun tidak keberatan menduduki
jabatan guru besar dan mufti di dalam Mesjid Al-Haram di Mekkah dan sejak saat itulah
beliau terus memberi fatwa.Tetapi walaupun demikian beliau tetap belajar ilmu pengetahuan
di Mekkah.

5
1.4 Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i
Ada beberapa khusus untuk kepustakaan Indonesia yaitu ;
1. Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul fiqh yang di dalamnya diterangkan
mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i dalam menginstinbathkan suatu hukum.
2. Al-Umm
Kitab induk ini berisikan hasil-hasil ijtihad Asy-Syafi’i yang telah dikodifikasikan dalam
bentuk juz dan jilid yang membahas masalah Thaharah, Ibadah, Amaliyah, Munakahat dan
lain sebagainya.
3. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut Ikhtilaf Al-hadits karena di dalamnya mengungkapkan perbedaan para ulama dalam
persepsinya tentang hadis mulai dari Sanad sampai perawi yang dapat dipegangi, termasuk
analisisnya tentang hadis yang menurutnya dapat dipegangi sebagai hujjah.
4. Musnad
Kitab Al-Musnad isinya hampir sama dengan yang ada di dalam kitab Ikhtilaf Al-Hadits,
kitab ini juga menggunakan persoalan mengenai hadis hanya dalam hal ini terdapat kesan
bahwa hadis yang disebut dalam kitab ini adalah hadis yang dipergunakan Imam Syafi’i,
khususnya yang berkaitan jelaskan dengan fiqh dalam kitab al-Umm, dimana dari segi
sanadnya telah dijelaskan secara jelas dan rinci.
1.5 Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i
Imam Syafi’i apabila hendak memutuskan suatu hukum beliau pertama-tama
mendahulukan tindakan yang lebih tinggi sebagai diterangkan dalam kitab Ar-Risalah, bahwa
dasar Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah :
1. Kitab Allah SAW (Al-Qur’an)
Imam Syafi’i mengambil dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan yang
menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau harus dituruti.
2. Sunnah Rasul (Al-Hadis)
Imam Syafi’i mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad
pun diambil dan di pergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syarat
nya, yakni selama perawi. Hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung
langsung sampai kepada Nabi SAW.
3. Ijma’
Menurut Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan ijma’ adalah; berkumpul nya ulama di suatu
masa tentang hukum Syar’i ‘amali dari suatu dalil yang dipeganginya. Kemudian jika tidak
terdapat ketentuan hukum sesuatu secara eksplisit, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam As-
Sunnah dan tidak terdapat pula dalam ijma’ ( kesepakatan para ulama) maka Imam Syafi’i
mempergunakan Istinbath Qiyas ( analogi). Dalam kitab ar-risalah Imam Syafi’i

6
menyebutkan bahwa semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu
ada hukum yang jelas dan mengikat sekurang- kurangnya adat ketentuan umum yang
menunjukkan kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan ijtihad
dan ijtihad itu tidak lain adalah Qiyas.
4. Qiyas.
Pendirian Imam Syafi’i tentang hukum Qiyas sangat hati-hati dan sangat keras, karena
menurutnya Qiyas dalam soal-soal keagamaan itu tidak begitu perlu diadakan kecuali jika
memang keadaan memaksa. Dibawah beberapa perkataan beliau tentang hukum Qiyas.
Selain dari pada itu hukum Qiyas yang terpaksa diadakan adalah hukum-hukum yang tidak
mengenai urusan Ibadat, yang pada pokoknya tidak dapat dipikirkan sebab-sebabnya, atau
tidak dapat dimengerti bagimana tujuan yang sebenarnya seperti, ibadah shalat dan puasa.
Oleh karena itu beliau berkata: “Tidak ada Qiyas dalam hubungan ibadat karena sesuatu yang
berkaitan dengan urusan-urusan ibadah itu telah cukup sempurna dari Al-Qur’an dan
Sunnah”.
Imam Syafi’i adalah Mujtahid pertama yang membicarakan Qiyas dengan patokan kaedah
nya dan menjelaskan asas-asanya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalupun telah
menggunakan Qiyas dalam berijtihad, namun belum membuat rumusan patokan kaidah dan
asas- asasnya, bahkan dalam praktik ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang
jelas, sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru.
Disinilah Imam Syafi’i tampil kedepan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka
teorotis dan metodologinya dalam bentuk kaidah yang rasional namun tetap praktis. Terdapat
di dalam Q.S An – Nisa ayat 59 yaitu :

ٰ ‫ش ْيء فَ ُرد ُّْوهُ اهلَى‬


‫ّللاه‬ َ ‫س ْو َل َواُو هلى ْاْلَ ْم هر هم ْن ُك ْم فَا ْهن تَنَازَ ْعت ُ ْم فه ْي‬ َّ ‫ّللاَ َواَ هط ْيعُوا‬
ُ ‫الر‬ ٰ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ هذيْنَ ٰا َمنُ ْْٓوا اَ هط ْيعُوا‬
‫سنُ تَأ ْ هوي ًْل‬ َ ْ‫اْل هخ هر ٰذلهكَ َخيْر َّواَح‬
ٰ ْ ‫اّلل َو ْال َي ْو هم‬
‫س ْو هل ا ْهن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ همنُ ْونَ هب ٰ ه‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫َو‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa maksud “Kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” itu
ialah qiyas kanlah kepada salah satu, dari Al- Qura’n dan Sunnah.

7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Air 2 Qulah
Karena terdengar asing, masyarakat awam banyak yang bertanya tentang ukuran 2
qullah berapa kilo. Menurut keterangan dalam Kitab At-taqrirat Al-sadidah karya Habib
Hasan bin ahmad, volume air 2 qullah setara dengan 217 liter.
Dalam kitabnya, beliau berkata: "Dua qullah secara bahasa adalah 2 kendi besar,
diukur dengan satuan masa kini sekitar 217 liter."
2.2 Ukuran dua Qullah dalam Ilmu Fiqih
Istilah qullah dalam pembahasan fiqih berarti ukuran volume air. Ukuran ini sering
digunakan pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabat serta khalifah Islam. Dua abad
setelahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan Mesir sudah tidak menggunakan istilah ini lagi.
Mereka menggantinya dengan ukuran rithl yang sering disamakan dengan istilah kati.
Sayangnya, ukuran rithl juga tidak sesuai dengan standar. Satu rithl air untuk orang Bagdad
berbeda dengan satu rithl air untuk orang Mesir. Perbedaan ini ternyata cukup menyulitkan
masyarakat setempat.
Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume 2 qullah sama dengan
500 rithl Bagdad. Akan tetapi, kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya menjadi berbeda.
Orang Mesir mengukur 2 qullah sama dengan 446 3/7 rithl air. Berbeda lagi dengan orang-
orang Syam yang menyamakannya dengan ukuran 81 rithl.
Karena perbedaan ini, para ulama kontemporer pun mencoba mengukurnya dengan
besaran zaman sekarang. Sehingga dalam ukuran masa kini, 2 qullah setara dengan 270 liter.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Wahbah Az-zuhaili dalam kitab Al-fiqhul Al-
Islami Wa adillatuh.
"Dua qullah: sekitar 500 rithl Baghdad atau 446 3/7 rithl Mesir atau 81 rithl Syam.
Rithl Syam ini setara 2 ½ kilogram, maka (81) rithl Baghdad sama dengan 112, 195 Kg atau
sama dengan 10 Tankah. Dikatakan juga 15 Tankah atau 270 liter.” terangnya dalam kitab
tersebut.
Ukuran 2 qullah ini menjadi batas minimum sebuah sumber air bisa digunakan
sebagai alat bersuci. Jika kurang dari itu, maka tidak diperkenankan.
Jika air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk
berwudu atau mandi janabah, maka dianggap sudah musta'mal. Air itu suci secara fisik, tetapi
tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Namun, jika digunakan untuk keperluan lain seperti mandi, cuci tangan, dan cuci
piring, maka air ini tidak dikategorikan sebagai air musta'mal. Pendapat ini shahih dan telah
disepakati oleh mayoritas ulama fiqih.

8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Menurut Pendapat Imam Syafi’i
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk
bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis
pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami
perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air
itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka
tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian
wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Imam Ar-Razi menyatakan bahwa ulama’ yang tidak setuju dengan keberadaan air
musta’mal adalah Imam Malik. Imam Malik meyakini bahwa air musta’mal atau bekas
digunakan berwudhu, hukumnya tetap suci dan mensucikan. Dasar hukum yang dipakai
adalah firman Allah:

َ ‫سفَر ا َ ْو َج ۤا َء ا َ َحد هم ْن ُك ْم همنَ ْالغ َۤاىِٕطه اَ ْو ٰل َم ْست ُ ُم النه‬


‫س ۤا َء فَلَ ْم ت هَجد ُْوا َم ۤا ًء فَتَيَ َّم ُم ْوا‬ َ ‫ع ٰلى‬
َ ‫َوا ْهن ُك ْنت ُ ْم َّم ْرضٰ ْٓ ى ا َ ْو‬
“Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari
tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati
air, maka bertayamumlah kamu”(QS. An-Nisa’ [4] :43)
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum
dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai
menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang
lagi untuk wudhu`/ mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu
musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang
jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu
menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Alat yang boleh digunakan untuk bersuci adalah air. Jika air tidak ada maka bisa
digantikan dengan tanah sebagaimana sudah maklum dalam pembahasan-pembahasan ilmu
fiqih. Namun air yang digunakan untuk bersuci itu ada ketentuannya. Antaranya adalah
ukuran air dua qullah dan ukuran air tidak dua qullah. Keduanya ada pengaruh tersendiri
dalam hal bersuci.
Ukuran air dua qullah menurut ulama fiqih Mazhab Syafii ada beberapa kategori:
1. Menurut Imam Nawawi ukuran lebih kurang 55,9 cm = 174,58 Liter
2. Menurut Imam Rafi’i ukuran lebih kurang 56,1 cm = 176,245 Liter
3. Menurut ulama Iraq ukuran lebih kurang 63,4 cm = 255,325 Liter
4. Menurut mayoritas ulama ukuran lebih kurang 60 cm = 216 Liter

9
Air yang kurang dari ukuran dua qullah tersebut jika masuk najis dalamnya maka air
itu menjadi air najis, baik air itu ada perubahan atau tidak. Ketika itu maka air tersebut tidak
bisa lagi dipakai untuk bersuci.
Maka air itu tidak bisa lagi dipakai untuk raf’i al-hadts (menghilangkan hadas besar
atau kecil), seperti untuk mandi wajib dan wudhu. Tidak bisa lagi dipakai untuk izaalatin
najis (mengangkat najis pada barang yang terkena najis).
Namun air tersebut dapat digunakan kembali apabila ditambah ukurannya dengan air
suci lain hingga sampai lebih dari ukuran dua qullah dan tidak ada perubahan apa pun
padanya.
Terus bagaimana misalnya ada orang yang memakai air yang sudah bernajis atau
sudah tercampur najis, apa hukumnya? Hukumnya adalah sama seperti kita memakai barang
najis.
Kemudian air yang tidak sampai ukuran dua qullah tersebut apabila digunakan untuk
mensucikan najis, maka air bekas cucian najis tersebut sebenarnya bisa menjadi suci dengan
3 syarat, yaitu:
1. Air dan najisnya dapat dipisah dan tidak berubah salah satu sifat airnya.
2. Bobot air bekas cucian najis tersebut tidak bertambah dengan mengukur kadar air
yang terserap pada cucian serta kotorannya.
3. Cara pencuciannya adalah air yang disiramkan atas benda kena najis, bukan benda
kena najis itu dimasukkan dalam air. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh al-
’Ibadaat li as-Syafi’iy juz-I, hal. 52.
Yang ketiga ini Imam Syafii menjadikan sebagai salah satu syarat berdasarkan dari inti sari
hadis Nabi saw:

‫ كتاب‬/(1 ‫إذا استيقظ أحدكم من نومه فل يغمس يده في اإلناء حتى يغسلها ثلثا فإنه ْل يدري أين باتت يده ) مسلم ج‬
‫ في رواية عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬، 87/ 26 ‫الطهارة باب‬

“Apabila salah seorang kalian bangun dari tidur maka jangan mencelup tangannya dalam
bejana sehingga ia membasuhnya dahulu tiga kali karena ia tidak tahu dimana letak
tangannya dalam tidur”. (Muslim juz-1, Kitab thaharah, Bab 26/87 pada riwayat Abu
Hurairah).
Lau air yang tidak sampai ukuran dua qullah ini apabila terpercik sesuatu dalamnya
maka sepanjang tidak yakin yang terperciki itu adalah najis maka tidak masalah. Ia tetap suci.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fath al-Jawaad hal. 59:
‫وحاصل المعتمد ان يقال كل من الرغوة والرشاش ان تحقق كونه من البول فنجس واْل فطاهر‬
“Kesimpulan pendapat yang kuat kalau ada kejelasan bahwa busa dan percikan
tersebut dari kencing maka menjadi najis, kalau tidak ada kejelasan maka suci”.

10
Imam An-Nawawi, seorang pakar perbandingan mazhab serta penganut Mazhab
Syafi’i menyatakan, hadis yang dipakai sebagai dasar keberadaan ukuran Dua Kulah didalam
hadis yang diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar dan berbunyi:

َِ ‫» إِذَا كَانََ ا ْل َماءَ قلَّتَي‬


ََ َ‫ْن لَ َْم يَحْ ِم َِل ا ْل َخب‬
«‫ث‬
Ketika air mencapai Dua Kulah, maka tidak menjadi najis sebab terkena najis (HR.
Abu Dawud, Imam Syafi’I, Ahmad, At-Tirmidzi. Ibn Majah dan Al-Hakim)
Dalam riwayat lain disebutkan:

َِ ‫» ِإذَا َبلَ ََغ ا ْل َماءَ قلَّتَي‬


ْ ‫ْن لَ َْم ينَ ِج‬
« َ‫سهَ ش َْىء‬
Ketika air mencapai Dua Kulah, maka tidak sesuatupun yang membuatnya najis
Imam An-Nawawi menilai bahwa hadis di atas adalah hadis hasan. Ia juga mengutip
pernyataan Al-Hakim bahwa hadis tersebut adalah hadis sahih berdasar kreteria Imam
Bukhari dan Muslim. Imam Al-Baihaqi juga berkomentar bahwa sanad hadis tersebut adalah
sanad yang sahih (Al-Majmu’/1/112).
Imam Mawardi menjelaskan bahwa hadis di atas adalah hadis sahih. Selain itu,
ulama’ telah sepakat bahwa air menjadi najis tatkala terkena najis serta berubah sifat-sifatnya.
Perbedaan pendapat muncul terkait standar kenajisan suatu air. Mazhab Syafi’i termasuk
yang meyakini bahwa najisnya sebuah air tidak melulu diukur dari perubahan sifat-sifatnya,
melainkan juga dari banyak dan sedikitnya air. Yakni kurang dari Dua Kulah dinilai sedikit,
sedang mencapai Dua Kulah dinilai banyak (Al-Hawi Al-Kabir/1/635).

11
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai ukuran air dua Qullah menurut Imam
Syafi’I bahwa air dikatakan jumlahnya banyak jika mencapai dua ukuran Qullah. Air yang
jumlahnya mencapai dua qullah atau lebih seandainya ada benda najis yang masuk ke
dalamnya biasanya air tersebut tidak berubah menjadi najis. Sehingga bisa dikatakan air yang
jumlahnya 200 liter atau lebih aman dari najis.
Kecuali jika seandainya benda najis yang masuk ke dalam air tersebut jumlahnya
banyak, sehingga air berubah baunya, atau warnanya maka air tersebut menjadi najis. Hal ini
juga berlaku sebaliknya, jika air jumlahnya kurang dari 200 liter, maka air tersebut dianggap
jumlahnya sedikit. Sehingga jika ada benda najis yang masuk ke dalamnya air tersebut
menjadi najis.
Imam Nawawi rahimahullah di dalam kitab Minhajut Thalibin berkata :
َ ‫س قُلَّتَا ْال َماءه به ُم َلقَاةه ن هَجس فَإه ْن‬
‫غي ََّرهُ فَن هَجس‬ ُ ‫َو َْل ت َ ْن ُج‬
“Air dua qullah tidak berubah menjadi najis hanya karena ‘bersentuhan’ dengan
benda najis. Akan tetapi jika benda najis tersebut merubah sifat air yang jumlahnya dua
qullah ; maka air tersebut menjadi najis.”
Disebutkan di dalam kitab ‘Umdatus Salik :
‫ودونهما ينجس بمجرد ملقاة النجاسة وإن لم يتغير‬
“Air yang kurang dari dua qullah berubah menjadi najis ; hanya karena bersentuhan
dengan benda najis meskipun tidak ada perubahan sifat air tersebut …”

12
DAFTAR PUSTAKA
Biografi Imam Syafi’i.
https://www.academia.edu/42247681/BIografi_Imam_Asy-Syafii
Berapa liter dua Qullah. https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-299-
dua-qullah-itu-berapa-liter.html
Fiqih tentang air dua Qullah. https://alukhuwah.com/2022/08/13/fiqih-air-
dua-qullah/
Menurut mazhab Syafi’i.
https://www.laduni.id/post/read/58736/penjelasan-tentang-mazhab-syafii
Ukuran air dua Qullah. https://pecihitam.org/ukuran-air-dua-qullah-yang-
dapat-digunakan-untuk-bersuci/
https://islam.nu.or.id/thaharah/ukuran-dua-kulah-air-untuk-bersuci-
jvHOo
https://yopiefranz.id/air-2-qullah-berapa-liter/
https://kumparan.com/berita-hari-ini/ukuran-2-qullah-berapa-liter-ini-
penjelasannya-menurut-ulama-fiqih-1xkMH1mW0h3
Tafsir Ahkam: Mazhab Syafi’I dan dasar hukum. tafsiralquran-
id.cdn.ampproject.org/

13

Anda mungkin juga menyukai