Imam al-Syafi‟i bernama asli Muhammad bin Idris bin Abbas bin
Ustman bin Syafi‟i bin Sa‟ib bin „Ubaid bin Abu Yazid bin Hasyim bin al-
Harits bin „Abdul Manaf. Beliau dilahirkan di kota Gaza, Palestina pada
tahun 150 H (767 M) pada zaman dinasti Bani Abbas, tepatnya pada
Ayahnya bernama Idris, dan ibunya bernama Fatimah binti Abdillah al-
saudara jauh Rasulullah yang bertemu pada Abdul Manaf (kakek ketiga
Rasulullah), dan dari ibunya Fatimah merupakan cicit Ali bin Abi Thalib
ra.1
1
A. Djazuli, Ilmu Fikih, Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: Prenadamedia Group, cet. ke-9, 2013, hlm. 129
38
39
kekurangan.2
banyak keluarga besar dari pihaknya sendiri dan keluarga dari pihak
tujuan utama sang Ibu yaitu kota suci Makkah merupakan pusat
dipenuhi ahli-ahli hukum Islam, ahli-ahli qira‟ah, ahli hadis, dan ahli
dimana tata krama dan kesopanan masih terjaga dengan baik, yang amat
pada usia tujuh tahun. Beliau juga sangat tekun mempelajari kaidah-
kaidah dan nahwu bahasa arab. Saat berusia sembilan tahun beliau telah
pada usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal dan mengerti kitab al-
2
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang,
cet. ke-5, 1986, hlm. 152
3
Hanafi, et al., Biografi Lima Imam Madzhab, Jakarta: Lentera Hati, 2013, hlm. 20-21
40
dirinya dalam usia sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota
ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, beliau merasa
dalam bidang fikih dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang
sekalipun beliau telah memperoleh kedudukan yang tinggi itu, beliau terus
Uyainah dan kepada Muslim bin Khalid. Setelah itu pergi ke Madinah
telah membaca dan hafal kitab al-Muwaṭṭa‟ karya Imam Malik. Beliau
membawa surat dari wali Makkah ditujukan kepada wali Madinah agar
mudah bertemu dengan Imam Malik. Pada waktu itu Muhammad bin Idris
4
Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka
Setia, 2008, hlm. 109
5
Hanafi, et al., Op. Cit., hlm. 21
6
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 28
7
A. Djazuli, op. cit., hlm. 130
41
disana selama 7 tahun. Pada musim haji beliau bertemu dengan ulama-
makam Abu Hanifah. Pada saat itu beliau berusia 45 tahun. Di Baghdad
yang sangat terkenal ialah Ahmad Ibn Hanbal. Setelah 2 tahun di Baghdad
yang sering disebut dengan istinbāṭ (ushul fikih). Meskipun para imam
namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai
satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam.
ushul fikih. Idenya ini juga didukung oleh seorang ahli hadis bernama
8
Ibid., hlm. 131
42
kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga saat ini masih banyak
dibaca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih diziarahi
orang.10
Imam al-Syafi‟i pada umumnya dibagi kepada dua bagian. Pertama, yang
9
Jaih Mubarok, op. cit., hlm. 29
10
Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm. 1680
11
Muslim Ibrahim, Pengantar Fikih Muqaran, Jakarta: Erlangga, 1991, hlm. 94-95.
43
sebagai berikut:
1) Kitab al-Risalah.
2) Kitab al-Umm.
3) Kitab al-Musnad.
4) Al-Imla‟
5) Al-Amaliy
Ibn Yahya)
beliau baik yang dikarang langsung atau tidak langsung, tetapi belum
12
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 134.
13
Jaih Mubarok, op. cit., hlm.44
14
Muslim Ibrahim, op. cit., hlm. 96.
44
berpegang pada ayat al-Quran. Jika tidak menemukan dalam ayat al-Quran
mencari hadis ahad. Menurutnya bahwa hadis ahad itu termasuk dalil
żanni al-wurūd, oleh karena itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi
beberapa syarat, yaitu: perawinya itu (1) ṡiqqah; (2) berakal; (3) dlābiṭ; (4)
mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli ilmu yang juga
meriwayatkan hadis.15
Jika tidak menemukan hadis ahad, maka ia melihat pada żāhir an-
nāṣ al-Quran dan sunnah secara berurutan dan dengan teliti ia mencari
yang otoritatif itu harus merupakan hasil kesepakatan ulama seluruh dunia,
tanpa kecuali. Oleh karena itu ia hanya menerima ijmak sahabat karena
bahwa umat Islam itu tidak mungkin sepakat dalam sesuatu yang
15
Abdul Mugits, Kritik Nalar Fikih Pesantren, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 79.
16
Ibid., hlm. 80.
45
yang berdasarkan pada nas, seperti dalam kewajiban ṣalat lima waktu,
jumlah rakaat dan waktunya ṣalat, zakat dan manasik haji. Jika ada dalil
menjadi objek perselisihan ulama, seperti pendapat Umar bin Khattab yang
sukuty ini dapat dipegangi setelah tidak ada ijmak nuṣuṣ namun bagi
pengingkarnya tidak dihukumi kafir, tidak seperti dalam ijmak nuṣuṣ tadi.
Jika ijmak ini bertentangan dengan dengan nas, meskipun parsial, maka ia
memilih nasnya. 17
metode qiyas. Qiyas menurut Imam al-Syafi‟i ini hampir sama dengan
memberikan pengertian „illat sebagai sifat yang jelas dan tegas (jaly) dan
harus disandarkan secara dalālah naṣ ke nas, bukan yang samar (khafi)
teoritis sudah ada sejak masa Nabi. Qiyas menurutnya identik dengan
tidak ada ijtihad menggunakan akal kecuali hanya qiyas. Oleh karena itu ia
17
Ibid., hlm. 81-82.
46
dan „urf, kerena menurutnya, bahwa al-Quran itu sudah meng-cover semua
sahabat ini dalam qaul qadimnya dan bukan dalam qaul jadidnya. Tetapi
jadidnya. Menurutnya qaul sahabat ini dibagi menjadi tiga, yaitu (1) qaul
menurutnya termasuk dalil qaṭ‟iy yang menjadi hujjah, (2) qaul sahabat
secara perseorangan yang didiamkan oleh para sahabat lainnya atau sering
disebut ijmak sukuti. Terhadap qaul yang terakhir ini al-Syafi‟i tetap
memeganginya asal tidak menemukan dalil dalam nas dan ijmak sahabat
yang ṣarih, dan (3) qaul sahabat yang diperselisihkan ulama. Terhadap
dalil ini al-Syafi‟i memilih yang lebih dekat dengan nas dan ijmak yang
Jika tidak ada yang lebih dekat, maka ia mengikuti pendapat Abu Bakar,
semua masalah hukum, sementara syari‟at ini berlaku untuk semua zaman
dan konteks; (2) Bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan Rasul-Nya,
oleh karena itu semua hukum harus disandarkan pada semua ketetapan-
istihsan tetapi dengan wahyu dan qiyas; (4) Nabi pernah mengingkari
hukum yang tidak ada patokan dan ukurannya sehingga peran rasio dan
diistinbāṭkan oleh orang yang berakal saja tanpa melibatkan ahli ilmu.
18
Ibid., hlm. 81-96.
48
kitab al-Umm:
bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan pernikahan baik
untuk dirinya sendiri maupun orang lain, dan jika pernikahan itu terjadi
19
Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, op. cit., hlm. 453.
49
tidak ihram.
nikah ketika ihram, baik ihram haji ataupun umrah. Berikut penjelasan
ت يَ ْو َمِ وف بِالْب ْي ِ ِ ِّ فَِإ ْن َكا َن ال ُْم ْح ِرُم َح:)الشافِ ِع ُّي
َّ ال
َ َ ُاجا فَ َحتَّى يَ ْرم َي َويَ ْحل َق َويَط َ َ(ق
ت َويَ ْس َعى َويَ ْح ِل َق فَِإ ْن نَ َك َح قَ ْب َل
ِ وف بِالْب ْي ِ
َ َ ُ َوإِ ْن َكا َن ُم ْعتَم ًرا فَ َحتَّى يَط،َُّح ِر أ َْو بَ ْع َده
ْ الن
20
.الش َه َادةُ َعلَى النِّ َك ِاح لَْي َسا بِنِ َك ٍاح
َّ الر ْج َعةُ َو
َّ خ َو
ٌ سو َ َِذل
ُ ك فَ َم ْف
Artinya: Imam al-Syafi‟i berkata, jika orang berihram haji maka (larangan
itu) hingga melempar (jumrah), bercukur (taḥallul) dan tawaf di
Baitullāh pada hari kurban atau setelahnya. Dan jika orang
berihram umrah maka (larangan itu) hingga tawaf di Baitullāh,
sa‟i, dan bercukur (taḥallul). Dan jika melakukan pernikahan
sebelum mengerjakan hal yang disebutkan tadi maka nikahnya
dihukumi faskh (rusak). Sedangkan rujuk dan bersaksi atas
pernikahan, keduanya bukanlah nikah.
batas waktu yang dilarang menikah ketika ihram haji adalah sampai
ihram.
Syafi‟i melakukan istinbāṭ dengan mengambil hukum dari hadis, yaitu hadis
20
Ismail ibn Yahya ibn Ismail, Mukhtaṣar al-Muzani Beirut: Dār al-Kutb al-„Alamiyyah,
1998, hlm. 235-236.
50
اِنِّ ْي:ان
ِ اج و ُىما م ْح ِرم
َ ُ َ َ ِّ ْح
ِ ٍِ ِ ِ
َ َوأَبَا َن يَ ْوَمئذ أَم ْي ُر ال,عُ َم َر بْ َن َع ْبد اللَّوَ أَ ْر َس َل إلَى أَبَا َن بْ ِن عُثْ َما َن
karena jika terdapat kalimat larangan yang berdiri sendiri dengan tidak disertai
22
َّح ِريْ َم ِ ِ ت ْ َواِ َذا تَ َج َّر َد
ْ ت الت
ْ ض
َ َص ْي غَتُوُ اقْت
21
Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, op. cit., hlm. 452.
22
Abu Ishāq al-Syairāzi, al-Luma‟, Indonesia: dār Ihya‟ al-Kutb al-„Arabiyyah, t.th., hlm.
13
51
orang yang sedang ihram melakukan pernikahan, dan jika terjadi pernikahan
Akan tetapi kata nikah dalam hadis tersebut mempunyai makna ganda,
bisa bermakna akad sebagaimana pemaknaan oleh Imam al-Syafi‟i, tapi juga
persetubuhan. Keterangan lebih lengkap akan penulis urai dalam bab IV.
menyatakan bahwa Nabi Saw menikahi Maimunah saat beliau dalam keadaan
َع ْن, َع ْن َع ْم ِرو ابْ ِن ِديْنَا ٍر,َ أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن ُعيَ ْي نَة:ال
َ َالشافِ ِع ُّي ق َ َالربِْي ُع ق
َّ أَ ْخبَ َرنَا:ال َّ اَ ْخبَ َرنَا
23 ِ َّ أ:َص ِّم ِ
.ج َم ْي ُم ْونَةَ َو ُى َو َحالَ ٌل
َ َن َر ُس ْو َل اهلل تَ َزَّو َ يَ ِزيْد ابْ ِن ْاِل
Artinya: Rabī‟ memberitakan kepada kami, dia berkata: Imam al-Syafi‟i
memberitakan kepada kami, beliau berkata: Ibn „Uyainah
memberitakan kepada kami, dari „Amr ibn dinār, dari yazīd ibn al-
„Aṣam: bahwasanya Rasulullah menikahi Maimunah sedangkan
Beliau dalam keadaan halal (tidak ihram).
23
Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, op. cit., hlm. 452.
52
Al-Syaibani adalah ahli fikih dan tokoh ketiga mazhab Hanafi yang
Ibn al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau dilahirkan dari sebuah desa di
tahun 132 H/ 749 M. Ia sejak kecil bertempat tinggal di kota Kufah, lalu
24
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz H, cet. X, Beirut, Lebanon: Dār al-Kutub al-„Araby,
tth., hlm. 203.
25
Munawwar Kholil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
Cet. ke-4, 1983, hlm. 35.
53
Syafi‟i di Kufah, pada saat itu umur dari imam al-Syafi‟i masih berusia 22
tahun. Mereka sering bertukar pikiran dan saling memberi soal-soal ilmu
Syaibani. 27
al-Riqqah yaitu selama 7 tahun di umurnya yang ke-48 tahun dari 180 H/
tetapi dia tetap meneruskan untuk menulis dan membuat karya sastra, dia
telah membuktikan sebagai penulis karya sastra atraktif.28 Tidak lama al-
26
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 203.
27
Ahmad Asy Syurbasyi, al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, “4 Mutiara Zaman
Biografi Empat Imam Mazhab”, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 31
28
Abdul Aziz Dahlan, et al., op. cit., Jilid V, hlm. 1687
29
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-1, 1971, hlm. 195
54
ayahnya yang juga seorang ahli fikih pada zamannya. Pada usia belia, al-
tahun dengan perantaraan para ulama di Irak ia lalu belajar kepada Imam
Abu Hanifah. Setelah berjalan selama 4 tahun beliau belajar pada Abu
Hanifah, tiba-tiba gurunya itu meninggal dunia, padahal waktu itu ia baru
berusia delapan belas tahun, oleh sebab itu ia lalu melanjutkan belajar
kepada murid Imam Abu Hanifah yang lain yaitu Abu Yusuf karena ia
mengerti bahwa imam Abu Yusuf itu adalah seorang murid Imam Abu
tentang ilmu hadis dan ilmu riwayat dibawah bimbingan Imam Malik
kerena Imam Malik mempunyai latar belakang sebagai ulama Ahl al-hadis
belajar pada Imam Malik yaitu al-Syaibani pernah berkata, “Aku duduk
30
Munawwar Kholil, op. cit., hlm. 35.
31
Abdul Aziz Dahlan, et al., op. cit., hlm. 1686.
32
W. Montgomery Watt, The Majesty That What Islam, Kejayaan Islam: terj. Hartono
Hadikusumo, “Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis”, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. ke-1, 1990,
hlm. 127.
55
dipintu rumah Malik selama tiga tahun dan telah mendengar lebih dari 700
hadis”.33
banyak hadis yang selama ini luput dari pengamatan Abu Hanifah yang
Demikian juga dalam disiplin keilmuannya juga seperti Abu Yusuf. Al-
al-Qur‟an, hadis dan fikih. Karenanya, ia ahli dalam bahasa dan proses
33
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa ke
Masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet. ke-1, 1985, hlm. 225.
34
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 203.
35
Hudari Bik, Tarikh Tasyri‟ al-Islamy, Ter.Mohammad Zuhri, “Sejarah Pembentukan
Hukum Islam”, Indonesia: Dar al-Ihya, t.th,. hlm. 416
56
Kitab ini dikenal sebagai kitab induk dan kitab terpanjang yang
dari al-Syaibani, oleh muridnya Isa Bin Aban dan Muhammad bin
Sina‟ah.
Turki.36
adalah
keluarnya),
Madinah),
36
Abdul Azis Dahlan, et al., op. cit., Jilid III, hlm. 1687
58
Hanafi. Mazhab Hanafi sendiri didirikan oleh al-Nu‟man bin Ṭābit Ibnu Zufiy
diantaranya:
1) Al-Qur’an
juga sebagai hukum asal yang dijadikan rujukan dalam proses kajian
2) Sunnah
syara‟.
37
Ibid.
38
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
cet. 5, 1999, hlm. 141-142. Rachmat Syafe‟i, Ilmu Uṣul Fikih, Bandung: Pustaka Setia, cet. ke 1,
1998, hlm. 50.
59
membagi sunah menjadi mutawatir dan ahad. Mutawatir, apabila sunah itu
mereka sepakat untuk berdusta.39 Sedangkan sunah ahad yaitu sunah yang
mutawatir. Sedangkan hadis ahad itu terbagi lagi menjadi tiga, yaitu
Ṣahīh, hasan, dan dla‟īf. Namun menurut Hanafiyyah, hadis itu terbagi
3) Ijmak
pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw. atas sesuatu hukum
martabatnya, ijmak ada dua macam, yaitu: ijmak Ṣarih dan ijmak Sukuty.
4) Qaul Sahabat
Ummahatul mu‟minin, Ibnu Mas‟ud, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn Al „Aṣ dan
5) Qiyas
suatu kejadian yang tidak ada naṣnya kepada kejadian lain yang ada
39
Asmawi, Perbandingan Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, cet. ke 1, 2011, hlm. 67.
40
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, cet. 3, 2007, hlm.64.
60
naṣnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh naṣ karena adanya
sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya oleh naṣ (aṣl), dengan melihat
6) Istihsan
lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti. Adapun menurut istilah syara‟ istihsan ialah
berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jaly (jelas) kepada qiyas khafi
7) „Urf
Kata „urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi „urf berarti sesuatu
yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan
41
Muhammad Abu Zahrah, Uṣul Fikih, terj. Saefullah Ma‟ṣum, dkk. Jakarta: Pustaka
Firdaus, cet.12, 2008, hlm.336.
42
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
cet. 5, 1999, hlm. 143.
43
Sapiudin Shidiq, Jakarta: Prenadamedia Group, cet. 1, 2011, hlm. 82
61
perkataan.44
menikah ketika ihram maka penulis mengambil pendapat beliau dalam kitab
al-Hujjah „alā Ahli al-Madīnah, nama lain kitab ini adalah al-Rādd „alā Ahli
ِ ِ
ج
ُ ف ََل يتَ َزَّو
َ ال ُم َح َّم ٌد َوَك ْي ُ ج ال ُْم ْح ِرُم َوإِ ْن تَ َزَّوج فَالنِّ َك
َ َق.اح َم ْر ُد ْو ٌد ُ ال أَ ْى ُل ال َْمدينَة ََل يَتَ َزَّو
َ ََوق
َن َى ِذه ُع ْق َدةٌ يَ ِح ُّل بِ َها ِ صنَع َش ْيئا ِم َّما ح َّرموُ اهلل َعلَْي ِو ِمن ال
َّ ْج َم ِاع؟ قَالُوا ِِل َ ُ ََ ُ ْ َال ُْم ْح ِرُم َو ُى َو ََل ي
ك فَِا ْن ِ
َ ِْج َماعُ ِق ْي َل لَ ُه ْم فَ َما تَ ُق ْولُْو َن فِ ْي َر ُج ٍل ا ْشتَ َرى َجا ِريَةً َو ُى َو ُم ْح ِرٌم ِم ْن َر ُج ٍل أَيَ ُج ْوُز ذَل
ِ ال
ِ ِ ِ ِّ َقَالُْوا نَ َع ْم ا
َ َلش َراءُ َجائ ٌز َولَك ْن ََل يَطَأُ َىا َوََل يُ َقبِّ لُ َها َحتَّى يَح َّل قُلْنَا قَ ْد أ
ص ْبتُ ْم َوتَ َرْكتُ ْم
bahwa orang yang sedang ihram diperbolehkan menikah tapi dengan catatan
dia tidak boleh menggauli istrinya, mencium, dan semisalnya sampai dia halal
(tidak ihram).
46
Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, Muwaṭṭa‟ al-Imam Mālik, Kaero: Lajnah Ihya‟ al-
Turoṡ, 1994, hlm. 141
63
beliau membolehkan menikah ketika ihram, akan tetapi dengan catatan bahwa
orang tersebut tidak boleh melakukan ciuman dan semisalnya. Dan pendapat
yang seperti itu merupakan pendapat Imam Abi Hanifah dan mayoritas ulama
Hanafiyyah.
ihram
sama halnya dengan Imam al-Syafi‟i, beliau juga ber-istinbāṭ dari hadis, yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbās yang menyatakan bahwasanya Nabi
Artinya: Dan telah sampai kepada kami dari „Abdullāh Ibnu „Abbās ra dan
dia (Maimunah) adalah bibinya dan beliau juga tidak diragukan ke-
faqīh-an dan kealimannya, bahwasanya dia berkata: sesungguhnya
Rasulullah Saw menikahi Maimunah sedangkan beliau dalam
keadaan ihram.
jika memang Nabi melarang, pastinya Nabi tidak akan melakukannya, maka
47
Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, Kitāb al-Hujjah „alā Ahli al-Madīnah, op. cit., hlm.
217
64