Anda di halaman 1dari 27

BAB III

PENDAPAT IMAM AL-SYAFI’I DAN IMAM AL-SYAIBANI TENTANG

HUKUM MENIKAH KETIKA IHRAM

A. Biografi, Pendapat, dan Metode Istinbāṭ Imam al-Syafi’i Tentang Hukum

Menikah Ketika Ihram

1. Biografi Imam al-Syafi’i

a. Latar belakang Imam al-Syafi’i

Imam al-Syafi‟i bernama asli Muhammad bin Idris bin Abbas bin

Ustman bin Syafi‟i bin Sa‟ib bin „Ubaid bin Abu Yazid bin Hasyim bin al-

Harits bin „Abdul Manaf. Beliau dilahirkan di kota Gaza, Palestina pada

tahun 150 H (767 M) pada zaman dinasti Bani Abbas, tepatnya pada

zaman kekuasaan Abu Ja‟far al-Manshur (137-159 H./754-774 M.).

Ayahnya bernama Idris, dan ibunya bernama Fatimah binti Abdillah al-

Mahd. Beliau masih merupakan keturunan bangsawan Quraisy dan

saudara jauh Rasulullah yang bertemu pada Abdul Manaf (kakek ketiga

Rasulullah), dan dari ibunya Fatimah merupakan cicit Ali bin Abi Thalib

ra.1

Ketika Imam al-Syafi‟i masih dalam kandungan, kedua orang

tuanya meninggalkan Makkah menuju Palestina demi memperjuangkan

dan mencukupi kebutuhan keluarga. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh

sakit dan berpulang ke raḥmatullāh, kemudian beliau diasuh dan

1
A. Djazuli, Ilmu Fikih, Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: Prenadamedia Group, cet. ke-9, 2013, hlm. 129

38
39

dibesarkan oleh ibunya yang dalam kondisi memprihatinkan dan serba

kekurangan.2

Pada usia 2 tahun, Imam al-Syafi‟i bersama ibunya kembali ke

Makkah. Setidaknya ada sejumlah alasan yang menjadi latar belakang

sang Ibu untuk memilih kembali ke Makkah. Pertama, disana masih

banyak keluarga besar dari pihaknya sendiri dan keluarga dari pihak

suaminya sehingga Muhammad bin Idris kecil dapat merasakan

kehangatan kasih sayang dari keluarga besarnya. Kedua, yakni menjadi

tujuan utama sang Ibu yaitu kota suci Makkah merupakan pusat

pengetahuan dan kemuliaan pada masanya, dimana Masjidil Haram

dipenuhi ahli-ahli hukum Islam, ahli-ahli qira‟ah, ahli hadis, dan ahli

tafsir. Ketiga, di sekeliling kota Makkah masih banyak terdapat pedesaan

dimana tata krama dan kesopanan masih terjaga dengan baik, yang amat

berguna bagi terasahnya kepekaan sosial, kecerdasan, moral, dan mental.

Beberapa hal tadi yang menjadi pertimbangan sang Ibu untuk

meninggalkan Palestina dan kembali ke Makkah.3

b. Pendidikan Imam al-Syafi’i

Imam al-Syafi‟i telah menghafal al-Qur‟an dan beberapa hadis

pada usia tujuh tahun. Beliau juga sangat tekun mempelajari kaidah-

kaidah dan nahwu bahasa arab. Saat berusia sembilan tahun beliau telah

menghafal seluruh ayat Al-Qur‟an dengan lancar. Setahun kemudian yaitu

pada usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal dan mengerti kitab al-
2
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: Bulan Bintang,
cet. ke-5, 1986, hlm. 152
3
Hanafi, et al., Biografi Lima Imam Madzhab, Jakarta: Lentera Hati, 2013, hlm. 20-21
40

Muwatha‟ karya Imam Maliki.4 Kecerdasannya inilah yang membuat

dirinya dalam usia sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota

Makkah. Namun demikian Imam al-Syafi‟i belum merasa puas menuntut

ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, beliau merasa

semakin banyak yang belum mengerti.5

Imam al-Syafi‟i belajar kepada ulama-ulama Makkah, baik pada

ulama-ulama fikih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga beliau terkenal

dalam bidang fikih dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang

tersebut. Gurunya Muslim Ibn Khalid al-Zanji, menganjurkan kepada

Imam al-Syafi‟i untuk menjadi seorang Mufti di Makkah. Akan tetapi,

sekalipun beliau telah memperoleh kedudukan yang tinggi itu, beliau terus

mencari dan menjaga ilmu yang dimilikinya.6

Di Makkah Muhammad bin Idris berguru kepada Sufyan bin

Uyainah dan kepada Muslim bin Khalid. Setelah itu pergi ke Madinah

untuk berguru kepada Imam Malik. Sebelum pergi ke Madinah beliau

telah membaca dan hafal kitab al-Muwaṭṭa‟ karya Imam Malik. Beliau

membawa surat dari wali Makkah ditujukan kepada wali Madinah agar

mudah bertemu dengan Imam Malik. Pada waktu itu Muhammad bin Idris

berusia 20 tahun, dan berguru kepada Imam Malik selama 7 tahun.7

4
Dedi Supriyadi, Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka
Setia, 2008, hlm. 109
5
Hanafi, et al., Op. Cit., hlm. 21
6
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 28
7
A. Djazuli, op. cit., hlm. 130
41

Imam al-Syafi‟i juga mempelajari fikih Imam Abu Hanifah dari

Muhammad bin Hasan al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah) selama 2

tahun. Setelah itu Imam al-Syafi‟i kembali ke Makkah, dan bermukim

disana selama 7 tahun. Pada musim haji beliau bertemu dengan ulama-

ulama yang pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dengan

demikian fikih Imam al-Syafi‟i menyebar di seluruh wilayah Islam.

Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad dan berziarah ke

makam Abu Hanifah. Pada saat itu beliau berusia 45 tahun. Di Baghdad

beliau memberikan pelajaran kepada murid-muridnya. Diantara muridnya

yang sangat terkenal ialah Ahmad Ibn Hanbal. Setelah 2 tahun di Baghdad

Imam al-Syafi‟i kembali ke Madinah, dan pada tahun 199 H beliau ke

Mesir dan menetap di Mesir. Di Mesir beliau memberi pelajaran fatwa-

fatwanya, yang kemudian terkenal dengan qaul jadīd. Sedangkan fatwa-

fatwa beliau ketika di Baghdad dikenal dengan qaul qadīm.8

Diantara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam al-

Syafi‟i adalah tentang metode pemahaman al-Qur‟an dan Sunnah atau

yang sering disebut dengan istinbāṭ (ushul fikih). Meskipun para imam

mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya,

namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai

satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam.

Dalam kondisi yang demikianlah Imam al-Syafi‟i menyusun sebuah buku

ushul fikih. Idenya ini juga didukung oleh seorang ahli hadis bernama

8
Ibid., hlm. 131
42

Abdurrahman bin Mahdi (W. 198 H) di Baghdad agar Imam al-Syafi‟i

menyusun metodologi istinbāṭ.9

Imam al-Syafi‟i wafat di Mesir pada usia 54 tahun, tepatnya pada

hari Jum‟at tanggal 30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan dan manfaat

kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga saat ini masih banyak

dibaca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih diziarahi

orang.10

c. Karya-karya Imam al-Syafi’i

Imam al-Syafi‟i menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fikih,

sastra (adab), sejarah, dan ushul fikih, Adapun kitab-kitab karangan

Imam al-Syafi‟i pada umumnya dibagi kepada dua bagian. Pertama, yang

diajarkan dan didiktekan kepada murid-murid beliau selama beliau

berada di Makkah dan di Baghdad. Kumpulan kitab-kitab ini berisi qaul

al-qadīm yaitu pendapat Imam al-Syafi‟i sebelum beliau pergi ke Mesir.

Kedua, yang diajarkan dan didiktekan kepada murid-murid beliau

selama beliau mengajar di Mesir, yaitu disebut qaul al-jadīd yaitu

pendapat-pendapat Imam al-Syafi‟i setelah berada di Mesir.11

Kitab-kitab karya Imam al-Syafi‟i dibagi oleh ahli sejarah

menjadi dua bagian:

1. Ditulis oleh Imam al-Syafi‟i sendiri, seperti: al-Umm dan al-

Risālah (riwayat al-Buwaiti dilanjutkan oleh Rabi‟ Ibn Sulaiman)

9
Jaih Mubarok, op. cit., hlm. 29
10
Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm. 1680
11
Muslim Ibrahim, Pengantar Fikih Muqaran, Jakarta: Erlangga, 1991, hlm. 94-95.
43

2. Ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtaṣar oleh al-Muzanni

dan Mukhtaṣar oleh al-Buwaiti (keduanya merupakan ikhtisar dari

kitab Imam al-Syafi‟i: al-Imla‟ dan al-Amaly).12

Kitab-kitab Imam al-Syafi‟i, baik yang ditulisnya sendiri,

didiktekan kepada muridnya, maupun dinisbatkan kepadanya, antara lain

sebagai berikut:

1) Kitab al-Risalah.

2) Kitab al-Umm.

3) Kitab al-Musnad.

4) Al-Imla‟

5) Al-Amaliy

6) Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah

Ibn Yahya)

7) Mukhtaṣar al-Muzaniy (dinisbatkan kepada Imam al-Syafi‟i)

8) Mukhtaṣar al-Buwaithiy (dinisbatkan kepada Imam al-Syafi‟i)

9) Kitab Ikhtilāf al-Ḥadis (penjelasan Imam al-Syafi‟i tentang hadis-

hadis Nabi Saw.).13

Di samping itu juga ada beberapa risalah dan karangan-karangan

beliau baik yang dikarang langsung atau tidak langsung, tetapi belum

pernah dicetak atau belum dicetak kembali.14

2. Metode Istinbāṭ Imam al-Syafi’i

12
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 134.
13
Jaih Mubarok, op. cit., hlm.44
14
Muslim Ibrahim, op. cit., hlm. 96.
44

Metode istinbāṭ Imam al-Syafi‟i secara berurutan adalah pertama ia

berpegang pada ayat al-Quran. Jika tidak menemukan dalam ayat al-Quran

maka ia menggunakan hadis mutawatir. Jika tidak menemukannya, maka

mencari hadis ahad. Menurutnya bahwa hadis ahad itu termasuk dalil

żanni al-wurūd, oleh karena itu dapat dijadikan dalil jika telah memenuhi

beberapa syarat, yaitu: perawinya itu (1) ṡiqqah; (2) berakal; (3) dlābiṭ; (4)

mendengar sendiri; dan (5) tidak menyalahi ahli ilmu yang juga

meriwayatkan hadis.15

Jika tidak menemukan hadis ahad, maka ia melihat pada żāhir an-

nāṣ al-Quran dan sunnah secara berurutan dan dengan teliti ia mencari

segi-segi kekhususannya. Jika tidak menemukan melalui żāhir an-nāṣ,

maka ia berpegang pada ijmak. Konsep ijmaknya adalah bahwa ijmak

yang otoritatif itu harus merupakan hasil kesepakatan ulama seluruh dunia,

tanpa kecuali. Oleh karena itu ia hanya menerima ijmak sahabat karena

yang paling mungkin terjadi kesepakatan seluruh ulama. Sedangkan ijmak

setelah generasi sahabat, ia menolaknya. Ijmak sahabat inilah yang

menjadi hujjah dalam istidlāl. Kehujjahannya berdasarkan keyakinannya

bahwa umat Islam itu tidak mungkin sepakat dalam sesuatu yang

menyimpang dari nas. Namun demikian, ia mensyaratkan bahwa ijmak itu

harus disandarkan kepada al-Quran dan sunnah. Disamping itu ia hanya

menerima ijmak ṣarih dan menolak ijmak sukuti.16

15
Abdul Mugits, Kritik Nalar Fikih Pesantren, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 79.
16
Ibid., hlm. 80.
45

Menurutnya bahwa ijmak dibagi dua, pertama, ijmak al-nuṣūṣ, atau

yang berdasarkan pada nas, seperti dalam kewajiban ṣalat lima waktu,

jumlah rakaat dan waktunya ṣalat, zakat dan manasik haji. Jika ada dalil

juz‟i (parsial) yang bertentangan dengan jenis ijmak ini, maka

mengunggulkan ijmaknya. Kedua, ijmak dalam hukum-hukum yang masih

menjadi objek perselisihan ulama, seperti pendapat Umar bin Khattab yang

tidak memberikan jatah rampasan perang kepada prajurit. Meskipun ijmak

sukuty ini dapat dipegangi setelah tidak ada ijmak nuṣuṣ namun bagi

pengingkarnya tidak dihukumi kafir, tidak seperti dalam ijmak nuṣuṣ tadi.

Jika ijmak ini bertentangan dengan dengan nas, meskipun parsial, maka ia

memilih nasnya. 17

Jika tidak menemukan ijmak sahabat di atas, maka ia menerapkan

metode qiyas. Qiyas menurut Imam al-Syafi‟i ini hampir sama dengan

konsep qiyas para ulama pendahulunya. Hanya saja bedanya, al-Syafi‟i

memberikan pengertian „illat sebagai sifat yang jelas dan tegas (jaly) dan

harus disandarkan secara dalālah naṣ ke nas, bukan yang samar (khafi)

seperti maslahat dalam istihsan. Imam al-Syafi‟i dikenal sebagai orang

yang pertama kali merumuskan qiyas secara konseptual, meskipun secara

teoritis sudah ada sejak masa Nabi. Qiyas menurutnya identik dengan

ijtihad, sebagaimana ucapan Mu‟aż bin Jabal “ajtahidu ra‟yi wa la alu”.

Penyamaan qiyas dengan ijtihad ini berangkat dari anggapannya bahwa

tidak ada ijtihad menggunakan akal kecuali hanya qiyas. Oleh karena itu ia

17
Ibid., hlm. 81-82.
46

menolak metode-metode rasio lainnya, seperti istihsān, istiṣlāh, zari‟ah,

dan „urf, kerena menurutnya, bahwa al-Quran itu sudah meng-cover semua

peristiwa hukum dalam kehidupan manusia, meskipun dipahami dengan

pendekatan ta‟lili. Oleh karena itu, qiyas bukan merupakan ketetapan

hukum mujtahid tetapi penjelasan terhadap hukum syara‟ dalam masalah

yang menjadi objek ijtihad. Qiyas, menururtnya, dibagi menjadi tiga

tingkatan, yaitu, secara berurutan, qiyas awlawi (dalalah an-naṣ), qiyas

musawah dan qiyas dunya.

Jika tidak dapat ditempuh dengan qiyas, maka ia mencari qaul

sahabat. Menurut satu riwayat, al-Syafi‟i banyak menggunakan dalil qaul

sahabat ini dalam qaul qadimnya dan bukan dalam qaul jadidnya. Tetapi

menurut Rabi‟ ibn Sulaiman bahwa ia juga menggunakan dalam qaul

jadidnya. Menurutnya qaul sahabat ini dibagi menjadi tiga, yaitu (1) qaul

sahabat yang disepakati semua sahabat lainnya (ijmak sahabat) yang

menurutnya termasuk dalil qaṭ‟iy yang menjadi hujjah, (2) qaul sahabat

secara perseorangan yang didiamkan oleh para sahabat lainnya atau sering

disebut ijmak sukuti. Terhadap qaul yang terakhir ini al-Syafi‟i tetap

memeganginya asal tidak menemukan dalil dalam nas dan ijmak sahabat

yang ṣarih, dan (3) qaul sahabat yang diperselisihkan ulama. Terhadap

dalil ini al-Syafi‟i memilih yang lebih dekat dengan nas dan ijmak yang

mengunggulkannya dengan qiyas, sebagaimana pendapat Abu Hanifah.

Jika tidak ada yang lebih dekat, maka ia mengikuti pendapat Abu Bakar,

Umar, dan Ali.


47

Menurut al-Syafi‟i bahwa istihsan tidak menjadi hujjah.

Menurutnya , “barangsiapa yang beristihsan, maka sama halnya telah

membuat syari‟at” sementara otoritas tasyri‟ hanyalah di ”tangan” Tuhan.

Secara terperinci ia menyebutkan alasanya menolak istihsan: (1) ber-

istihsan sama halnya menganggap bahwa syariat ini tidak meng-cover

semua masalah hukum, sementara syari‟at ini berlaku untuk semua zaman

dan konteks; (2) Bahwa ketaatan itu hanya kepada Allah dan Rasul-Nya,

oleh karena itu semua hukum harus disandarkan pada semua ketetapan-

Nya; (3) Nabi tidak pernah menjelaskan hukum-hukumnya dengan

istihsan tetapi dengan wahyu dan qiyas; (4) Nabi pernah mengingkari

keputusan sahabat yang menggunakan istihsan; (5) Istihsan adalah teori

hukum yang tidak ada patokan dan ukurannya sehingga peran rasio dan

hanya menambahkan metode istidlalnya dengan qiyas dan membatasi

penggunaan maslahat, sehingga kurang dapat mengimbangi dinamika

hukum di masyarakat akan mengantarkan pada perselisihan; dan (6) jika

istihsan diperbolehkan, maka banyak sekali hukum ini hanya dapat

diistinbāṭkan oleh orang yang berakal saja tanpa melibatkan ahli ilmu.

Tampak sekali bahwa al-Syafi‟i dalam beristidlal sangat membatasi.18

3. Pendapat Imam al-Syafi’i tentang hukum menikah ketika ihram

Imam al-Syafi‟i berpendapat bahwa orang yang sedang ihram tidak

boleh melakukan pernikahan baik untuk dirinya sendiri maupun orang

18
Ibid., hlm. 81-96.
48

lain. Berikut ulasan lengkap pendapat beliau yang diungkapkan dalam

kitab al-Umm:

ُ ‫َوبِ َه َذا ُكلِّ ِو نَأ‬ ِ :)‫الشافِ ِع ُّي‬


ُ‫ْخ ُذ فَِإذَا نَ َك َح ال ُْم ْح ِرُم أ َْو أَنْ َك َح غَْي َره‬ - ُ‫َرح َموُ اللَّو‬ - َّ ‫ال‬
َ َ‫(ق‬

ِ ‫ت بِابْتِ َد ِاء النِّ َك‬


‫اح‬ ْ َ‫الر ْج َعةَ قَ ْد ثَبَت‬
َّ ‫َن‬ ِ ‫خ ولِلْم ْح ِرِم أَ ْن ي ر‬
َّ ‫اج َع ْام َرأَتَوُ ِِل‬ ِ
َُ ُ َ ٌ ‫سو‬ ُ ‫احوُ َم ْف‬
ُ ‫فَن َك‬
ٍ
َ ِ‫اح َكا َن َو ُى َو غَْي ُر ُم ْح ِرم َوَك َذل‬
َ ‫ك لَوُ أَ ْن يَ ْشتَ ِر‬
‫ي‬ ٍ ‫اح إنَّ َما ِى َي َش ْيءٌ لَوُ فِي نِ َك‬
ِ ‫ت بِالنِّ َك‬
ْ ‫س‬
َ ‫َولَْي‬
ِ ِ ‫ْاِلَمةَ لِلْوط‬
ُ ‫ْء َوغَْي ِرهِ َوبِ َه َذا نَ ُق‬
.19‫خ‬
ٌ ‫سو‬ ُ ‫ول فَِإ ْن نَ َك َح ال ُْم ْح ِرُم فَن َك‬
ُ ‫احوُ َم ْف‬ َ َ
Artinya: Imam al-Syafi‟i rohimahullāh berkata: dan dengan semua ini
kami mengambil (istinbāṭ), maka ketika seorang yang sedang
ihram menikah atau menikahkan orang lain maka nikahnya
dihukumi faskh (rusak/batal). Dan orang yang sedang ihram
diperbolehkan merujuk istrinya karena sesungguhnya ketetapan
rujuk itu terkait dengan permulaan nikah, dan rujuk bukanlah
suatu pernikahan akan tetapi suatu hal yang ada dalam pernikahan
yang ada dan dia tidak sedang ihram. Begitu pula orang yang
sedang ihram, diperbolehkan baginya membeli budak perempuan
untuk disetubuhi dan selainnya. Maka dengan ini kami
berpendapat: jika orang yang sedang ihram menikah maka
nikahnya dihukumi rusak.

Dalam pendapat diatas, Imam al-Syafi‟i secara jelas menyatakan

bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh melakukan pernikahan baik

untuk dirinya sendiri maupun orang lain, dan jika pernikahan itu terjadi

maka hukumnya faskh (rusak/batal). Berbeda halnya dengan hukum

menikah ketika ihram, Imam al-Syafi‟i membolehkan seorang suami

ketika ihram merujuk istrinya dan juga membolehkan seorang laki-laki

ketika ihram membeli budak perempuan yang bertujuan untuk disetubuhi.

Alasan Imam al-Syafi‟i membolehkan rujuk adalah karena rujuk bukanlah

pernikahan, tetapi sesuatu yang ada dalam pernikahan sehingga ketetapan

19
Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, op. cit., hlm. 453.
49

hukumnya dikaitkan dengan awal terjadinya pernikahan, yaitu ketika dia

tidak ihram.

Imam al-Syafi‟i juga menjelaskan perihal batas waktu pelarangan

nikah ketika ihram, baik ihram haji ataupun umrah. Berikut penjelasan

beliau yang disampaikan dalam kitab Mukhtaṣar al-Muzanī:

‫ت يَ ْو َم‬ِ ‫وف بِالْب ْي‬ ِ ِ ِّ ‫ فَِإ ْن َكا َن ال ُْم ْح ِرُم َح‬:)‫الشافِ ِع ُّي‬
َّ ‫ال‬
َ َ ُ‫اجا فَ َحتَّى يَ ْرم َي َويَ ْحل َق َويَط‬ َ َ‫(ق‬
‫ت َويَ ْس َعى َويَ ْح ِل َق فَِإ ْن نَ َك َح قَ ْب َل‬
ِ ‫وف بِالْب ْي‬ ِ
َ َ ُ‫ َوإِ ْن َكا َن ُم ْعتَم ًرا فَ َحتَّى يَط‬،ُ‫َّح ِر أ َْو بَ ْع َده‬
ْ ‫الن‬
20
.‫الش َه َادةُ َعلَى النِّ َك ِاح لَْي َسا بِنِ َك ٍاح‬
َّ ‫الر ْج َعةُ َو‬
َّ ‫خ َو‬
ٌ ‫سو‬ َ ِ‫َذل‬
ُ ‫ك فَ َم ْف‬
Artinya: Imam al-Syafi‟i berkata, jika orang berihram haji maka (larangan
itu) hingga melempar (jumrah), bercukur (taḥallul) dan tawaf di
Baitullāh pada hari kurban atau setelahnya. Dan jika orang
berihram umrah maka (larangan itu) hingga tawaf di Baitullāh,
sa‟i, dan bercukur (taḥallul). Dan jika melakukan pernikahan
sebelum mengerjakan hal yang disebutkan tadi maka nikahnya
dihukumi faskh (rusak). Sedangkan rujuk dan bersaksi atas
pernikahan, keduanya bukanlah nikah.

Dari perkataan Imam al-Syafi‟i diatas dapat kita ketahui bahwa

batas waktu yang dilarang menikah ketika ihram haji adalah sampai

mengerjakan tawaf pada hari kurban atau setelahnya. Sedangkan untuk

ihram umrah maka batas waktunya sampai bercukur (taḥallul).

4. Metode istinbāṭ Imam al-Syafi’i tentang hukum menikah ketika

ihram.

Dalam berpendapat tentang hukum menikah ketika ihram, Imam al-

Syafi‟i melakukan istinbāṭ dengan mengambil hukum dari hadis, yaitu hadis

yang diriwayatkan oleh sahabat „Uṡmān ibn „Affān ra Sebagai berikut:

20
Ismail ibn Yahya ibn Ismail, Mukhtaṣar al-Muzani Beirut: Dār al-Kutb al-„Alamiyyah,
1998, hlm. 235-236.
50

َّ ‫ أ‬:ُ‫الدا ِر أَ ْخبَ َره‬


‫َن‬ ِ‫ب أ‬
َّ ‫َخي بَنِي َع ْب ِد‬ ٌ ِ‫ أَ ْخبَ َرنَا َمال‬:‫الشافِ ِع ُّي‬
ٍ ‫ك َع ْن نَافِ ٍع َع ْن نُبَ ْي ِو بْ ِن َو ْى‬ َّ ‫ال‬
َ َ‫ق‬

‫ اِنِّ ْي‬:‫ان‬
ِ ‫اج و ُىما م ْح ِرم‬
َ ُ َ َ ِّ ‫ْح‬
ِ ٍِ ِ ِ
َ ‫ َوأَبَا َن يَ ْوَمئذ أَم ْي ُر ال‬,‫عُ َم َر بْ َن َع ْبد اللَّوَ أَ ْر َس َل إلَى أَبَا َن بْ ِن عُثْ َما َن‬

َ ِ‫ض َر فَأَنْ َك َر َذل‬


‫ك‬ ُ ‫ت أَ ْن تَ ْح‬ َ ‫ْح َة بْ َن عُ َم َر بِْن‬
ُ ‫ َوأ ََر ْد‬,‫ت َش ْيبَةَ بْ َن ُجبَ ْي ٍر‬ َ ‫ت أَ ْن أَنْ َك َح طَل‬
ُ ‫قَ ْد أ ََر ْد‬

‫ ََل‬:‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬


َ ‫ول اللَّو‬ ُ ‫ َس ِم ْع‬:‫ال‬
ُ ‫ت عُثْ َما َن بْ َن َع َّفا َن يَ ُق‬
ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ول‬ َ َ‫أَبَا َن َوق‬
21
.‫يَ ْن ِك ُح ال ُْم ْح ِرُم َوََل يُْن َك ُح‬
Artinya: Imam al-Syafi‟i berkata: Imam Malik memberitakan kepada kami
dari nāfi‟ dari Nubaih ibn Wahb saudara Bani „Abd al-dar, ia
memberitakan kepadanya: bahwasanya „Umar ibn „Abdillāh
mengirimkan utusan kepada Abān ibn „Uṡmān, dan Abān pada hari
itu adalah sebagai amīr al-hājj dan keduanya adalah orang yang
sedang ihram: sesungguhnya saya ingin menikahkan ṭalḥah ibn
„Umar dengan anak perempuan Syaibah ibn Jubair, dan saya ingin
mendatangkan perempuan itu. Maka Abān mengingkari hal itu dan
berkata: Saya mendengar „Uṡmān ibn „Affān berkata: orang yang
ihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan.

Hadis diatas berisi larangan bagi orang sedang ihram melakukan

pernikahan atau dinikahkan. Larangan disini berarti pekerjaan tersebut harus

ditinggalkan, dan jika pekerjaan tersebut dilakukan maka hukum haram,

karena jika terdapat kalimat larangan yang berdiri sendiri dengan tidak disertai

adanya qarīnah (tanda-tanda) yang menunjukkan kepada hukum lain maka

larangan tersebut mengandung hukum haram, sebagaimana pernyataan Abu

Ishāq al-Syairāzi dalam kitabnya al-Luma‟:

22
‫َّح ِريْ َم‬ ِ ِ ‫ت‬ ْ ‫َواِ َذا تَ َج َّر َد‬
ْ ‫ت الت‬
ْ ‫ض‬
َ َ‫ص ْي غَتُوُ اقْت‬

21
Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, op. cit., hlm. 452.
22
Abu Ishāq al-Syairāzi, al-Luma‟, Indonesia: dār Ihya‟ al-Kutb al-„Arabiyyah, t.th., hlm.
13
51

Artinya: Jika nahi (larangan) bentuknya tunggal maka menunjukkan hukum


haram.

Berdasarkan hadis tersebut diatas, maka Imam al-Syafi‟i melarang

orang yang sedang ihram melakukan pernikahan, dan jika terjadi pernikahan

maka hukum nikahnya faskh (rusak/batal).

Akan tetapi kata nikah dalam hadis tersebut mempunyai makna ganda,

bisa bermakna akad sebagaimana pemaknaan oleh Imam al-Syafi‟i, tapi juga

bisa bermakna waṭi (bersetubuh) sebagaimana pemaknaan ulama Hanafiyyah.

Sehingga kalangan Hanafiyyah menganggap bahwa hadis tersebut adalah

Hadits tentang larangan bagi orang yang sedang ihram melakukan

persetubuhan. Keterangan lebih lengkap akan penulis urai dalam bab IV.

Selain ber-istinbāṭ dengan hadis diatas, Imam al-Syafi‟i juga

memperkuat pendapatnya dengan hadis riwayat Yazīd ibn al-„Aṣam yang

menyatakan bahwa Nabi Saw menikahi Maimunah saat beliau dalam keadaan

halal (tidak ihram), berikut hadisnya:

‫ َع ْن‬,‫ َع ْن َع ْم ِرو ابْ ِن ِديْنَا ٍر‬,َ‫ أَ ْخبَ َرنَا ابْ ُن ُعيَ ْي نَة‬:‫ال‬
َ َ‫الشافِ ِع ُّي ق‬ َ َ‫الربِْي ُع ق‬
َّ ‫ أَ ْخبَ َرنَا‬:‫ال‬ َّ ‫اَ ْخبَ َرنَا‬
23 ِ َّ ‫ أ‬:‫َص ِّم‬ ِ
.‫ج َم ْي ُم ْونَةَ َو ُى َو َحالَ ٌل‬
َ ‫َن َر ُس ْو َل اهلل تَ َزَّو‬ َ ‫يَ ِزيْد ابْ ِن ْاِل‬
Artinya: Rabī‟ memberitakan kepada kami, dia berkata: Imam al-Syafi‟i
memberitakan kepada kami, beliau berkata: Ibn „Uyainah
memberitakan kepada kami, dari „Amr ibn dinār, dari yazīd ibn al-
„Aṣam: bahwasanya Rasulullah menikahi Maimunah sedangkan
Beliau dalam keadaan halal (tidak ihram).

hadis tersebut dihadirkan Imam al-Syafi‟i dalam rangka menepis

pendapat golongan ulama yang membolehkan menikah ketika ihram, karena

23
Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i, op. cit., hlm. 452.
52

mereka ber-istinbāṭ menggunakan hadis yang menyatakan bahwa Nabi

menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram.

B. Biografi, Pendapat, dan Metode Istinbāṭ Imam al-Syaibani Tentang

Hukum Menikah Ketika Ihram

1. Biografi Imam al-Syaibani

a. Latar belakang Imam al-Syaibani

Al-Syaibani adalah ahli fikih dan tokoh ketiga mazhab Hanafi yang

berperan besar dalam mengembangkan dan menulis beberapa pandangan

Imam Abu Hanifah. Nama lengkapnya adalah Abu „Abdillah Muhammad

Ibn al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau dilahirkan dari sebuah desa di

Damsyiq di daerah Wasiṭ yang bernama Harrasta-Damaskus24 yaitu pada

tahun 132 H/ 749 M. Ia sejak kecil bertempat tinggal di kota Kufah, lalu

pindah dan menetap di Baghdad. Ayahnya bernama Hasan adalah seorang

komandan pasukan di Syam, ia adalah seorang wali dan penisbatannya

kepada al-Syaibani disebabkan karena keturunan wali. Al-Syaibani

tumbuh dan berkembang di Kufah kemudian menetap di Baghdad dalam

naungan orang-orang Abbasiyah. 25

Al-Syaibani adalah seorang sangat berkecukupan dalam hal

kekayaan, ia mampu membiayai studinya sebanyak tiga puluh ribu dirham.

penampilannya sangat elegan, berpakaian rapi dan bagus, fasih

24
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz H, cet. X, Beirut, Lebanon: Dār al-Kutub al-„Araby,
tth., hlm. 203.
25
Munawwar Kholil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
Cet. ke-4, 1983, hlm. 35.
53

ucapannya, matang ilmu fikihnya.26 Beliau berprofesi sebagai guru besar

di Baghdad dan banyak berjasa dalam mengembangkan fikih mazhab

Hanafi. Al-Syaibani pernah bertemu dan bersahabat dengan Imam al-

Syafi‟i di Kufah, pada saat itu umur dari imam al-Syafi‟i masih berusia 22

tahun. Mereka sering bertukar pikiran dan saling memberi soal-soal ilmu

pengetahuan Imam al-Syafi‟i sendiri sering ikut dalam ḥalāqah al-

Syaibani. 27

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid yang terkenal,

al-Syaibani diangkat menjadi Hakim Agung (Qadhi al-Qudah) di al-

Riqqah (Irak). Al-Syaibani dalam memegang posisinya sebagai hakim di

al-Riqqah yaitu selama 7 tahun di umurnya yang ke-48 tahun dari 180 H/

797 M sampai 187 H/ 803 M. Meskipun telah menjabat sebagai hakim

tetapi dia tetap meneruskan untuk menulis dan membuat karya sastra, dia

telah membuktikan sebagai penulis karya sastra atraktif.28 Tidak lama al-

Syaibani menjabat sebagai hakim agung, Khalifah Harun al-Rasyid

mengajaknya menyertainya dalam perjalanan ke timur dan al-Syaibani

meninggal dekat Ray di Persia sekitar tahun 189 H/804 M.29

b. Pendidikan Imam al-Syaibani

Dari sejak mudanya, ia menuntut ilmu bermacam-macam ilmu

pengetahuan agama dan mempelajari ilmu hadis, jenjang pendidikannya

26
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 203.
27
Ahmad Asy Syurbasyi, al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, “4 Mutiara Zaman
Biografi Empat Imam Mazhab”, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 31
28
Abdul Aziz Dahlan, et al., op. cit., Jilid V, hlm. 1687
29
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, Cet. ke-1, 1971, hlm. 195
54

berasal dari lingkungan keluarganya sendiri dibawah bimbingan langsung

ayahnya yang juga seorang ahli fikih pada zamannya. Pada usia belia, al-

Syaibani telah menghafal al-Qur‟an. Kemudian pada saat usia beliau 14

tahun dengan perantaraan para ulama di Irak ia lalu belajar kepada Imam

Abu Hanifah. Setelah berjalan selama 4 tahun beliau belajar pada Abu

Hanifah, tiba-tiba gurunya itu meninggal dunia, padahal waktu itu ia baru

berusia delapan belas tahun, oleh sebab itu ia lalu melanjutkan belajar

kepada murid Imam Abu Hanifah yang lain yaitu Abu Yusuf karena ia

mengerti bahwa imam Abu Yusuf itu adalah seorang murid Imam Abu

Hanifah yang terpandai dan terkemuka.30Al-Syaibani tumbuh menjadi

pendukung utama dalam perumusan mazhab tersebut dari kedua gurunya

itu. Dikemudian hari beliau banyak menulis ragam pengetahuan yang

pernah disampaikan Imam Abu Hanifah kepadanya.31

Selanjutnya ia belajar di Madinah (wilayah munculnya hadis)

tentang ilmu hadis dan ilmu riwayat dibawah bimbingan Imam Malik

untuk beberapa lama,32 dan belajar kepada Sufyan al-ṡaury dan

Abdurrahman al-Awza‟i. Bergurunya al-Syaibani kepada Imam Malik

kerena Imam Malik mempunyai latar belakang sebagai ulama Ahl al-hadis

dan ia belajar selama lebih kurang tiga tahun. Kebenaran al-Syaibani

belajar pada Imam Malik yaitu al-Syaibani pernah berkata, “Aku duduk

30
Munawwar Kholil, op. cit., hlm. 35.
31
Abdul Aziz Dahlan, et al., op. cit., hlm. 1686.
32
W. Montgomery Watt, The Majesty That What Islam, Kejayaan Islam: terj. Hartono
Hadikusumo, “Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis”, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. ke-1, 1990,
hlm. 127.
55

dipintu rumah Malik selama tiga tahun dan telah mendengar lebih dari 700

hadis”.33

Belajar mengenai hadis kepada Imam Malik telah memberikan

wawasannya dalam pemikiran hukumnya, al-Syaibani menjadi tahu lebih

banyak hadis yang selama ini luput dari pengamatan Abu Hanifah yang

lebih menekankan pada aspek penalaran (al-ra‟yu). Sehingga al-Syaibani

banyak mempunyai kemiripan dengan Abu Yusuf dalam hal penguasaan

hukum ahlu al-ra‟yu di Kufah dan hukum ahlu al-Hadīs di Madinah.

Demikian juga dalam disiplin keilmuannya juga seperti Abu Yusuf. Al-

Syaibani menguasai sastra, nahwu, lughat, syair, ilmu-ilmu agama, seperti

al-Qur‟an, hadis dan fikih. Karenanya, ia ahli dalam bahasa dan proses

pentasyri‟an hukum dari ragam kasus yang berbeda-beda.34

c. Karya-Karya Imam al-Syaibani

Karya-karya al-Syaibani terhitung cukup banyak, akan tetapi

karya-karya yang dianggap muktabar (terkenal) sebagai kitab rujukan

pertama dalam hukum dibagi menjadi 2 bagian.35 yaitu:

1. Ẓāhir ar-Riwāyah (riwayat yang tampak), merupakan kitab yang

ditulis berdasarkan pelajaran yang disampaikan oleh Imam Abu

Hanifah. Sebagaimana dijelaskan bahwa Abu Hanifah tidak

meninggalkan karya yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya

dalam hukum. Al-Syaibani-lah yang merekam pandangan Abu

33
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar Dan Pemikir Islam Dari Masa ke
Masa, Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet. ke-1, 1985, hlm. 225.
34
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 203.
35
Hudari Bik, Tarikh Tasyri‟ al-Islamy, Ter.Mohammad Zuhri, “Sejarah Pembentukan
Hukum Islam”, Indonesia: Dar al-Ihya, t.th,. hlm. 416
56

Hanifah dalam Ẓāhir ar-Riwāyah ini. Kitab Ẓāhir ar-Riwāyah terdiri

atas enam judul, yaitu:

a. Kitab al-Aṣl atau al-Mabsuṭ (Uraian)

Kitab ini dikenal sebagai kitab induk dan kitab terpanjang yang

ditulis oleh al-Syaibani. Manuskrip kitab ini ada di Istambul Turki.

Dalam kitab ini dikumpulkan beribu-ribu masalah yang diselisihi oleh

Abu Yusuf dan al-Syaibani.

b. Kitab al-Jami‟ al-Kabīr (kumpulan hadis yang besar)

Kitab ini menguraikan berbagai masalah fikih yang lebih luas.

Secara garis besar kitab ini mengulas tentang permasalahan ibadah

(ubudiyah) dan hubungan antar sesama manusia (mu‟amalah)

c. Kitab al-Jami al- ṣagīr (kumpulan hadis yang kecil)

Dalam kitab ini dikumpulkan masalah-masalah yang diriwayatkan

dari al-Syaibani, oleh muridnya Isa Bin Aban dan Muhammad bin

Sina‟ah.

d. Kitab al-Siyār al- ṣagir (perjalanan kecil)

Kitab ini membahas permasalahan jihad dan hubungan antara

muslim dan non muslim. Manuskrip buku ini masih ada di

Istambul dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.

e. Kitab al-Siyār al-Kabīr (perjalanan besar)

Kitab ini juga membahas tentang permasalahan jihad dan

hubungan antara muslim dan non muslim. Manuskrip buku ini


57

masih ada di Istambul dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Turki.36

f. Kitab al-Ziyādah (tambahan)

Disusun oleh imam al-Syaibani setelah ia menyusun kitab al-Jami‟

al-Kabir. Dalam buku ini dibahas persoalan yang tidak tercakup

dalam al-Jami‟ al-Kabīr.

2. Kitab al-Nawādir disusun oleh Imam al-Syaibani berdasarkan

pandangannya sendiri. Kitab ini memuat permasalahan yang belum

termuat dalam kitab-kitab Ẓāhir ar-Riwāyah sehingga diberi judul al-

Nawādir (yang langka). Kitab-kitab yang termasuk dalam al-Nawadir

adalah

a. Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan al-Syaibani tentang

berbagai masalah hukum),

b. Al-Ruqayyāt (himpunan keputusan terhadap masalah-masalah

yang dihadapinya ketika menjadi Hakim di al-Riqqah),

c. Al-Mukharij al-Khiyāl (tentang masalah hilah dan jalan

keluarnya),

d. al-Hujjah „alā Ahli al-Madīnah atau al-Radd alā Ahli al-Madīnah

(penolakan atau sanggahan terhadap pandangan penduduk

Madinah),

e. Al-Āṭar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-

hak non muslim di negara Islam.37

36
Abdul Azis Dahlan, et al., op. cit., Jilid III, hlm. 1687
58

2. Metode Istinbāṭ Imam al-Syaibani

Al-Syaibani adalah pendukung utama dalam perumusan mazhab

Hanafi. Mazhab Hanafi sendiri didirikan oleh al-Nu‟man bin Ṭābit Ibnu Zufiy

at-Taimy, atau masyhur dengan sebutan Abu Hanifah. Sebagai seorang

pengikut mazhab Ḥanafi, al-Syaibani juga menggunakan metode-metode

istinbāṭ hukum yang lazim digunakan di kalangan mazhab Hanafi,

diantaranya:

1) Al-Qur’an

Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama yang berprinsip

bahwa al-Qur‟an adalah sumber dari seluruh ketentuan syari‟ah. Al-Qur‟an

memaparkan berbagai ketentuan syari‟ah, baik ketentuan yang langsung

bisa dipahami operasionalisasinya, maupun yang memerlukan penjelasan

lebih lanjut dari al-Sunnah. Al-Qur‟an sebagai sumber hukum berperan

juga sebagai hukum asal yang dijadikan rujukan dalam proses kajian

analogis, atau legislasi terhadap berbagai metode kajian hukum yang

dirumuskan oleh mujtahid.38

2) Sunnah

Menurut ulama ahli uṣul fikih, sunnah diartikan sebagai segala

yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, selain al-Qur‟an, baik berupa

perkataan, perbuatan maupun ketetapannya berkenaan dengan hukum

syara‟.

37
Ibid.
38
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
cet. 5, 1999, hlm. 141-142. Rachmat Syafe‟i, Ilmu Uṣul Fikih, Bandung: Pustaka Setia, cet. ke 1,
1998, hlm. 50.
59

Dilihat dari segi periwayatannya, jumhur ulama uṣul fikih

membagi sunah menjadi mutawatir dan ahad. Mutawatir, apabila sunah itu

diriwayatkan secara bersambung oleh banyak orang, dan tidak mungkin

mereka sepakat untuk berdusta.39 Sedangkan sunah ahad yaitu sunah yang

diriwayatkan oleh beberapa orang saja yang tidak sampai derajat

mutawatir. Sedangkan hadis ahad itu terbagi lagi menjadi tiga, yaitu

Ṣahīh, hasan, dan dla‟īf. Namun menurut Hanafiyyah, hadis itu terbagi

menjadi tiga bagian, yaitu mutawātir, masyhūr, dan ahad.

3) Ijmak

Ijmak adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin

pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw. atas sesuatu hukum

syara‟dalam suatu kasus tertentu. Ditinjau dari cara terjadinya dan

martabatnya, ijmak ada dua macam, yaitu: ijmak Ṣarih dan ijmak Sukuty.

4) Qaul Sahabat

Menurut jumhur ulama uṣul, sahabat adalah mereka yang bertemu

dengan Nabi Muhammmad Saw dan beriman kepadanya serta senantiasa

bersama Nabi selama masa yang lama, seperti Khulafaurrasyidin,

Ummahatul mu‟minin, Ibnu Mas‟ud, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn Al „Aṣ dan

Zaid bin Jabal.40

5) Qiyas

Definisi qiyas menurut ulama uṣul fikih ialah menghubungkan

suatu kejadian yang tidak ada naṣnya kepada kejadian lain yang ada

39
Asmawi, Perbandingan Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, cet. ke 1, 2011, hlm. 67.
40
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, cet. 3, 2007, hlm.64.
60

naṣnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh naṣ karena adanya

kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.41

Imam Ḥanafi menggunakan qiyas apabila dalam Al-Qur‟an dan

Sunnah tidak menyatakan secara eksplisit ketentuan hukum bagi

persoalan-persoalan yang dihadapinya. Beliau mengaplikasikan qiyas

dengan cara menghubungkan persoalan-persoalan (furu‟) tersebut kepada

sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya oleh naṣ (aṣl), dengan melihat

kesamaan illat, maka hukum furu‟ sama dengan hukum aṣl.42

6) Istihsan

Istihsan adalah menganggap sesuatu lebih baik, adanya sesuatu itu

lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang

lebih baik untuk diikuti. Adapun menurut istilah syara‟ istihsan ialah

berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jaly (jelas) kepada qiyas khafi

(samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian

dikarenakan adanya dalil yang membenarkannya.43

7) „Urf

Kata „urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan

diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi „urf berarti sesuatu

yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan

41
Muhammad Abu Zahrah, Uṣul Fikih, terj. Saefullah Ma‟ṣum, dkk. Jakarta: Pustaka
Firdaus, cet.12, 2008, hlm.336.
42
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
cet. 5, 1999, hlm. 143.
43
Sapiudin Shidiq, Jakarta: Prenadamedia Group, cet. 1, 2011, hlm. 82
61

dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau

perkataan.44

3. Pendapat Imam al-Syaibani tentang hukum menikah ketika ihram

Untuk mengetahui pendapat Imam al-Syaibani tentang hukum

menikah ketika ihram maka penulis mengambil pendapat beliau dalam kitab

al-Hujjah „alā Ahli al-Madīnah, nama lain kitab ini adalah al-Rādd „alā Ahli

al-Madīnah (penolakan/sanggahan terhadap pendapat Ahlu al-Madīnah),

berikut ulasan pendapat Imam al-Syaibani:

ِ ِ
‫ج‬
ُ ‫ف ََل يتَ َزَّو‬
َ ‫ال ُم َح َّم ٌد َوَك ْي‬ ُ ‫ج ال ُْم ْح ِرُم َوإِ ْن تَ َزَّوج فَالنِّ َك‬
َ َ‫ق‬.‫اح َم ْر ُد ْو ٌد‬ ُ ‫ال أَ ْى ُل ال َْمدينَة ََل يَتَ َزَّو‬
َ َ‫َوق‬

‫َن َى ِذه ُع ْق َدةٌ يَ ِح ُّل بِ َها‬ ِ ‫صنَع َش ْيئا ِم َّما ح َّرموُ اهلل َعلَْي ِو ِمن ال‬
َّ ‫ْج َم ِاع؟ قَالُوا ِِل‬ َ ُ ََ ُ ْ َ‫ال ُْم ْح ِرُم َو ُى َو ََل ي‬

‫ك فَِا ْن‬ ِ
َ ِ‫ْج َماعُ ِق ْي َل لَ ُه ْم فَ َما تَ ُق ْولُْو َن فِ ْي َر ُج ٍل ا ْشتَ َرى َجا ِريَةً َو ُى َو ُم ْح ِرٌم ِم ْن َر ُج ٍل أَيَ ُج ْوُز ذَل‬
ِ ‫ال‬

ِ ِ ِ ِّ َ‫قَالُْوا نَ َع ْم ا‬
َ َ‫لش َراءُ َجائ ٌز َولَك ْن ََل يَطَأُ َىا َوََل يُ َقبِّ لُ َها َحتَّى يَح َّل قُلْنَا قَ ْد أ‬
‫ص ْبتُ ْم َوتَ َرْكتُ ْم‬

‫ض لَ َها بُِق ْب لَ ٍة َوََل‬ ِ


َ ‫س يَ ْنبَغي لَوُ اَ ْن يتَ َع َّر‬ ِ َ ِ‫ضا َك َذل‬
َ ‫ك يَ ُج ْوُز الت َّْزويْ ُج َولَْي‬ ِ ‫قَ ْولُ ُك ْم فِي النِّ َك‬
ً ْ‫اح اَي‬
45
.‫بِغَْي ِرَىا َحتَّى يَ ِح َّل‬
Artinya: Ahlu al-Madīnah berkata: orang yang sedang ihram tidak boleh
menikah dan jika dia melakukannya maka pernikahannya mardūd
(tertolak). Muhammad berkata: bagaimana mungkin orang yang
sedang ihram tidak boleh menikah sedangkan dia tidak berbuat
sesuatu yang Allah haramkan baginya, yaitu bersetubuh?. Ahlu al-
Madīnah berkata: karena ini adalah akad yang bisa menghalalkan
bersetubuh. Dikatakan kepada mereka: maka apa yang akan kalian
katakan terkait laki-laki yang membeli budak perempuan sedangkan
dia seorang laki-laki yang sedang ihram, apakah hal tersebut
diperbolehkan? Maka jika mereka berkata: ya, boleh membeli tapi
tidak boleh mensetubuhi dan menciumnya sampai dia halal (tidak
ihram). Kami berkata: sungguh kalian tepat dan kalian telah
44
A Satria Effendi, Uṣul Fikih, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 153
45
Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, op. cit., hlm. 210.
62

meninggalkan pendapat kalian sendiri, dalam hal pernikahan juga


seperti itu (membeli budak tadi), orang yang ihram boleh menikah
dan tidak diperbolehkan menghadap istrinya dengan ciuman dan
selainnya hingga ia halal (tidak ihram).

Dari pernyataan diatas, Imam al-Syaibani dengan jelas menyatakan

bahwa orang yang sedang ihram diperbolehkan menikah tapi dengan catatan

dia tidak boleh menggauli istrinya, mencium, dan semisalnya sampai dia halal

(tidak ihram).

Selain pendapat beliau diatas, juga diperkuat dengan pendapat beliau

yang dikemukakan dalam kitab Muwaṭṭa‟ al-Imam Mālik riwayat Muhammad

ibn Hasan al-Syaibani, berikut ulasannya:

ِ ِِ ِ ٌ َ‫اء ِف ْى َى َذا ا ْختِال‬


َ ‫ َوأ‬,‫اح ال ُْم ْح ِرم‬
‫َج َاز أ َْى ُل‬ َ ‫ فَأَبْطَ َل أ َْى ُل ال َْمديْنَة ن َك‬,‫ف‬ َ ‫ قَ ْد َج‬:‫ال ُم َح َّم ٌد‬
َ َ‫ق‬

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ َّ ‫اس أ‬


َ ‫َن َر ُس ْو َل اهلل‬ ٍ َّ‫اهلل بْ ِن َعب‬ ََ َ َ
ِ ‫م َّك َة و أ َْىل ال ِْعر‬
ِ ‫ وروى َع ْب ُد‬,ُ‫اق نِ َكاحو‬
َ ُ َ َ
‫ فَالَ نَ ْعلَ ُم اَ َح ًدا يَ ْنبَ ِغ ْي اَ ْن يَ ُك ْو َن اَ ْعلَ ُم بِتَ َزُّو ِج‬.‫ َو ُى َو ُم ْح ِرٌم‬,‫ث‬
ِ ‫ت الْحا ِر‬
َ
ِ ‫تَزَّوج م ْيمونَةَ بِْن‬
ُْ َ َ َ
ِ ‫ و‬.‫ فَالَ نَرى بِتَ زُّو ِج الْمح ِرِم بأْسا‬.‫ وىو اِبن اُ ْختِها‬,‫اس‬ ِ ِ ِ ‫رسو ِل‬
َ‫لكنَّوُ َل‬ َ ًَ ُْ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ ٍ َّ‫اهلل َم ْي ُم ْونَةَ م ْن ابْ ِن َعب‬ ُْ َ
46 ِ
.‫ َو ُى َو قَ ْو ُل اَبِى َحنِْي َفةَ َوال َْع َّام ِة ِم ْن فُ َق َهائنَا‬,‫س َحتَّى يَ ِح َّل‬
ُّ ‫يُ َقبِّ ُل َوَلَيَ َم‬

Artinya: Muhammad berkata: sungguh telah ada perselisihan pada masalah


ini, maka Ahlu al-Madīnah telah menghukumi batal pernikahan
orang yang ihram, dan Ahlu Makkah dan Ahlu al-‟Irāq telah
membolehkan pernikahannya. Dan Abdullah ibn „Abbās telah
meriwayatkan: sesungguhnya Rasulullah Saw menikahi Maimunah
binti al-Ḥāriṡ dan beliau sedang ihram. Maka saya tidak mengetahui
seseorang yang patut yang dirinya lebih mengetahui tentang
Rasulullah menikahi Maimunah daripada Ibnu „Abbās, dan dia
(Ibnu „Abbās) adalah anak laki-laki dari saudara perempuannya

46
Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, Muwaṭṭa‟ al-Imam Mālik, Kaero: Lajnah Ihya‟ al-
Turoṡ, 1994, hlm. 141
63

(Maimunah). Maka saya berpandangan tidak masalah dengan


menikahnya orang yang sedang ihram. Akan tetapi dia tidak boleh
mencium dan tidak oleh menyentuh sehingga dia halal, dan itu
adalah pendapat Abu Hanifah dan mayoritas fuqaha kita
(Hanafiyyah).

Pendapat diatas Imam al-Syaibani menyatakan dengan jelas bahwa

beliau membolehkan menikah ketika ihram, akan tetapi dengan catatan bahwa

orang tersebut tidak boleh melakukan ciuman dan semisalnya. Dan pendapat

yang seperti itu merupakan pendapat Imam Abi Hanifah dan mayoritas ulama

Hanafiyyah.

4. Metode istinbāṭ Imam al-Syaibani terhadap hukum menikah ketika

ihram

Imam al-Syaibani dalam menetapkan hukum menikah ketika ihram,

sama halnya dengan Imam al-Syafi‟i, beliau juga ber-istinbāṭ dari hadis, yaitu

hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbās yang menyatakan bahwasanya Nabi

menikahi Maimunah saat beliau sedang ihram, berikut hadisnya:

َّ ‫ض َي اهللُ َع ْن ُه َما َو ِى َي َخالَتُوُ َم َع ِف ْق ِه ِو َو ِع ْل ِم ِو ََل َش‬


ُ‫ك ِف ِيو أَنَّو‬ ِ ‫اس ر‬ ِ ِ
َ ٍ َّ‫َوبَلَّغَنَا َع ْن َع ْبد اهلل بْ ِن َعب‬
ِ ِ
َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم تَ َزَّو‬
َ ‫ال إِ َّن َر ُس ْو َل اهلل‬
47
‫ج َم ْي ُم ْونَةَ َو ُى َو ُم ْح ِرٌم‬ َ َ‫ق‬

Artinya: Dan telah sampai kepada kami dari „Abdullāh Ibnu „Abbās ra dan
dia (Maimunah) adalah bibinya dan beliau juga tidak diragukan ke-
faqīh-an dan kealimannya, bahwasanya dia berkata: sesungguhnya
Rasulullah Saw menikahi Maimunah sedangkan beliau dalam
keadaan ihram.

Hadis diatas menunjukkan kebolehan menikah ketika ihram, karena

jika memang Nabi melarang, pastinya Nabi tidak akan melakukannya, maka

47
Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani, Kitāb al-Hujjah „alā Ahli al-Madīnah, op. cit., hlm.
217
64

dengan dasar hadis tersebut Imam al-Syaibani menetapkan hukum menikah

ketika ihram adalah boleh, yang berarti nikahnya dihukumi sah.

Anda mungkin juga menyukai