Anda di halaman 1dari 14

IMAM MUHAMMAD BIN IDRIS ASY-SYAFI'I

(Pendiri Madzhab Syafi’i )


(150-204 H)

“Nashir al-Hadits” , gelar ini di berikan oleh orang-orang Mekah kepada Imam
Syaf’i karena kecerdasannya dalam memahami hadits. Kecerdasannya sudah tak
diherankan lagi, beliau mempunyai perkembangan otak yang lebih cepat daripada
pertumbuhan jasmaninya, beliau sudah hafal al-Quran sejak berumur tujuh tahun.
Ketika beliau diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan
upah dan mereka terbatas hanya pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru
mengajarkan sesuatu kepada murid-murid, terlihat Syafi’i kecil dengan ketajaman
akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan
gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’i
mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya kepada anak-anak yang
lain, sehingga dari apa yang dilakukannya ini Syafi’i mendapatkan upah.1

1. BIOGRAPHI
Abu ‘abdillah Muhammad bin Idris adalah nama Imam Syafi’i, yang
bernasab al-abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i pernah bertemu dengan nabi
Muhammad SAW di kala masih muda belia. Nenek moyangnya, Saib, dahulu
adalah pembawa panji-panji Bani Hasyim di waktu perang Badar. Setelah beliau
tertawan oleh orang Islam dan menebus diri, kemudian masuk agama Islam. 2
Imam Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H di Gazzah, bertepatan dengan tahun
dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Pada tahun itu ayahnya pergi ke
kota tersebut karena ada suatu keperluan. Di kota tersebut ayahnya meninggal
dunia beberapa saat setelah kelahiran putranya, Imam Syafi’i. Ayahnya bernama
Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’ib bin Abid bin
Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan Rasulullah
bertemu pada Abdu Manaf bin Qushay. Tatkala umurnya mencapai dua tahun,
ibunya memindahkannya ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal
dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Nama ibunya Fathimah bin
Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka
tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin abi
Thalib dan Imam Syafi’i. Diakhir hayatnya, beliau mengidap penyakit ambeien
yang mengantarkan kepada ajalnya di Mesir pada malam jum’at seusai shalat
Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari
jum’atnya di tahun 204 H, atau 819/820 M. Kuburannya berada di kota Kairo, di
dekat Masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang bernama
Imam Syafi’i.3

2. RIWAYAT PENDIDIKAN
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin
Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih
berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah

1 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah Hadits, (Bandung: Al-MA’arif), 1995


2 Ibid
3 Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Mukhtashar Kitab Al-Umm fil Fiqhi (Beirut
Lebanon: Darul Arqam bin Arqam), terj. Muhammad Yasir Abd Muthalib, cet. Keenam, Mei
2008
1
dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh
dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’
fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar,
juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga
menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah
Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl
dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang
fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para
Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik
bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah,
Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami
dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya
membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri
sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam
Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan
pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan
Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau
menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam
Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga
sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau
menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari
kitab Al-Muwattha’.” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-
Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru
yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan
bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami
ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il
bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula
menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau
yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits,
memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk
beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika
pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya
di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi
Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti:
Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya.
Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di
kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang
2
ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah
dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba
ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan
Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H
dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i
menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya.
Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim).
Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab
204 H.
Di Mekkahlah beliau mula-mula sekali belajar dan menerima pelajaran-
pelajaran agama. Setelah beliau berumur genap dua puluh tahun, beliau memberi
fatwa tentang hukum-hukum agama dan lain-lain sebagainya.4 Dalam perantauan-
ilmiahnya, beliau pergi ke Madinah menemui Imam Malik untuk minta izin agar
diperkenankan meriwayatkan hadits-haditsnya. Sebelum Imam Malik
mengizinkannya, beliau di test terlebih dahulu untuk membacakan kitab
Muwaththta’ dihadapannya. Kemudian dibacanya kitab Muwaththa’ di luar
kepala. Sang guru merasa heran atas kepandaian muridnya dan sekaligus berkata:
“jika ada orang yang berbahagia, maka inilah pemudanya. Setelah beliau belajar
dan menerima pelajaran beberapa lamanya pada Imam Malik, beliaupun bersafar.
Dua kali beliau mengunjungi Baghdad mempelajari dan memahami fiqih Hanafi.
Dan akhirnya pada tahun 199 H beliau pergi ke Mesir dan memilih kota terakhir
ini sebagai tempat tinggalnya untuk mengajarkan as-Sunnah dan al-Kitab kepada
khalayak ramai.5
Imam Syafi’i berguru pada banyak ulama yang diantaranya:6 Muslim bin
Khalid Az-Zanji, Mufti Makkah tahun 180 H yang bertepatan dengan tahun 796
M, ia adalah maula (budak) Bani Makhzum.Sufyan bin Uyainah Al-Hilali yang
berada di Makkah, ia adalah salah seorang yang terkenal ke-tsiqqah-annya (jujur
dan adil). Ibrahim bin Yahya, salah seorang ulama Madinah. Malik bin Anas.
Syafi’i pernah membaca kitab Al-Muwaththa’ kepada Imam Malik setelah ia
menghafalnya di luar kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam
Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan tahun 795 M. Waki’ bin Jarrah bin
Malih al-Kufi.Hammad bin Usamah Al-Hasyimi Al-Kufi. Abdul Wahab bin
Abdul Majid Al-Bashri.Dan ada pula ulama-ulama besar yang pernah berguru
kepada beliau, antara lain: Ibnu Hanbal, al-Humaidy, Abu ath-Thahir al-
Buwaithy, Muhammad bin ‘abdul Hakam dan lain-lain.
Kecerdasan beliau dalam memahami berbagai disiplin ilmu yang
ditekuninya dan ketawadhuannya menimbulkan penilaian positif dikalangan
kebanyakan ahli ilmu, juga Imam Ahmad, dalam menginterpretir Hadits Abu
Dawud yang diriwayatkan oleh abu Hurairah radhiallahu ‘anhu: “sungguh Allah
bakal mengutus kepada umat ini, pada tiap-tiap awal 100 tahun, orang yang bakal
4 Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieeeqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits (jakarta: Bulan Bintang)
5 ibid
6 ibid
3
memperbaiki sistim pelaksanaan keagamaan”, menerangkan bahwa mujaddid
pada abad pertama ialah ‘Abdul ‘aziz dan mujaddid pada abad kedua adalah Imam
Syafi’i.7
Dalam kitab al-Umm telah disinggung tentang kelebihan-kelebihan yang ada
pada pribadi Imam Syafi’i, yaitu:
 Keluasan ilmu pengetahuan dalam hal adab (sastra) dan nasab, yang setara
dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib.
 Kekuatan hafalan al-Quran dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan
yang sunnah, serta kecerdasan terhadap seluruh disiplin ilmu yang ia miliki,
yang tidak semua manusia dapat melakukannya
 Kedalaman ilmu tentang sunnah yang shahih dan yang dha’if. Serta ketinggian
ilmunya dalam hal ushul, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadz yang
umum dan yang khusus.
 Imam Ahmad bin Hanbal berkata, para ahli hadits (ashabul hadits) yang
dipakai oleh Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan
Imam Syafi’i. Ia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah dan
Sunnah Rasul SAW, serta sangat peduli terhadap hadits beliau.
 Karabisy berkata, “ Imam Syafi’i adalah rahmat bagi umat Muhammad SAW.
 Ibnu Rahawaih pernah ditanya, “Menurut pendapatmu, bagaimanakah Imam
Syafi’i dapat menguasai kitab ini dalam usia yang masih belia?” ia menjawab,
“Allah SWT mempercepat akalnya karena umurnya yang pendek.”

3. Karya-karya beliau diantaranya adalah:


 Ar-Risalah Al-Qadimah (Kitab Al-Hujjah)
 Ar-Risalah Al-Jadidah
 Ikhtilaf Al-Hadits
 Ibthal Al-Istihsan
 Ahkam Al-Quran
 Bayadh Al-Fardh
 Sifat Al-Amr wa Nahyi
 Ikhtilaf Al-Malik wa Syafi’i
 Ikhtilaf Al-Iraqiyin
 Ikhtilaf Muhammad bin Husain
 Fadha’il Al-Quraisy
 Kitab Al-Umm
 Kitab As-Sunan

4. Dasar Pemikiran Madzhab Syafi’i


Di dalam ar Risalah beliau menerangkan bahwa dasar-dasar Tasyri’ yang
dipegangnya ialah:
1) Al Qura’n menurut dzahirnya
2) As Sunnah walaupun Ahad
3) Ijma’
4) Qiyas
Imam Syafi’i telah mengumpulkan antara thariqat ahlu Ra’yi(rasional)
daengan Thariqat ahli Hadist. Lantaran itulah madzhabnya tidak terlalu cenderung

7 ibid
4
pada salah satu thariqath keduanya sehingga madzhab beliau berada ada tengah-
tengah.adapun uraian beliau mengenai dasar-dasar itu adalah sebagai berikut:8
1) Al Qur’an
Mashdar-mashdar istidlal banyak namun kesemuanya kembali pada dua
dasar pokok yaitu: al Qur’an dan as Sunnah,akan tetepi dalam sebagian
kitabnya beliau mengatakan bahwa as Sunnah tidak semartabat dengan al
qur’an, kemudian dijumpai pula mengatakan as Sunnah ditempat al qur’an,
karena as Sunnah merupakan penjelas bagi al qur’an , walaupun hadist ahad
tidak senilai dengan al Qur’an.
Kemudian dijawab olehnya, al Qur’an dan as Sunnah kedua-duanya
berasal dari Allah dan kedua-duanya yang membentuk sumber Syar’at.
Mengingat hal ini pandangan beliau sebetulnya sependapat dengan pandangan
kebanyakan shahabat.9 As Syafi’i menetapkan bahwa as Sunnah harus diikuti
sebagaimana mengikuti al Qur’an, namun demikian, bukan berarti hadist yang
diriwayatkan Nabi semuanya berfaidah yakin beliau menyamakam as Sunnah
dengan al Qur’an ketika mengistinbathkan hukum, juga tidak memberi
pengertian as Sunnah mempunyai kekuatan dalam metetapkan aqidah.Orang
yang mengingkari hadist dalam bidang aqidah tidaklah dikafirkan.
Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa arab
yang murni,yang tidak tercampur dengan bahasa yang lain. Dan
mengharuskan kepada kita untuk belajar bahasa arab, sehingga dapat
mengucapkan Syahadah dengan bahasa arab, membaba al Qur’an dan dzikir-
dzikir yang harus diucapkan dalam bahasa arab seperti: takbir, tahmid, dan
lain-lain.10 Tujuannya adalah untuk menetapkan orang yang tidak tahu bahasa
arab makna-maknanya dan ushlub-ushlubnya dapat memahami al qur’an.
Dengah kita mengetahui ushlub bahasa arab kita dapat menetahui maksud ‘am
dan khash a Qur’an.
2) As Sunnah
Dalam ar Risalah Imam Syafi’i mengemukakan sejuml`h hujjah untuk
membuktikan bahwa as Sunnah merupakan salah satu hujjah dari hujjah-
hujjah agama.Karena jasa beliau mengumpulkan dalil-dalil bukti kehujjahan
as Sunnah itulah sebabnya imam Syafi’i dijuluki ‘ Nashirus Sunnah’.
Imam Syafi’i mengemukakan lima dalil yang menandaskan hadist ahad
sebagai hujjah, namun ia tidak menempatkannya sejajar al Qur’an, atau hadist
Mutawatir, karena al Qur’an dan hadist Mutamatirlah yang qath’i tsubutnya,
yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh untuk bertaubat.
Syarat-syaratnya itu ialah:
1. Perwinya kepercayaan, ia tidak menerima hadist dari orang yang tidak
dipercaya.
2. Berakal, memahami apa yang diriwayatkan
3. Dhabit, kuat ingatannya
4. Mendengatkan langsung dari perawinya
5. Tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.
Adapun pertentangan antara sunnah dengan sunnah membagi pada dua
bagian:

8 Pengantar ilmu ushul fiqh


9 Al Risalah: 32, lihat pokok-pokok pegengan imam madzhab,hal.239, Teungku Muhammah
Habsy ash-Shidiqi, Pustaka Rizki Putra , Semarang,1967
10 Ar-Risalah, hal. 42,al Muwaffaqath,hal. 43, ibid, hal. 240
5
1. Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh mansukhnya. Diamalkanlah yang
nasikh dan ini tidak dinamkan perselisihan
2. Ikhtilaf yang tidak dapat diketahui nasikh mansukhnya, bagian ini dibagi
maenjadi dua:
a) Yang dapat dipertemukan haruslah dipertemukan
b) Yang tidak dapat dipertemukan dan jika terjadi pertentangan yang
tidak dapat dipertamukan, imam Syafi’i menempuh tiga cara:
- Menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian, yang
dahulu dipandang mansukh. Yang harus dicari adalah sejarah wurud
hadist itu.
- Jika tidak diketahui mana yanh dahulu dan mana yang kemudian,
maka dikuatkan salah satunya berdasarkan sanad-sanadnya.
- Mengambil hadiat yang dikuatkan petunjuknya atau oleh hadist yang
lain.
Hadist yang berlawanan dzahirnya satu sama lain supaya
dikompromikan. Mengkompromikan itu adakalanya dengan jalan menasakh,
adakalanya dengan mentarjihkan salah satunya. Mengenai kedudukan as
Sunnah beliau berkata:
Pertama, menerangkan kemujmalan al Qur’an seperti menerangkan
kemujmalan ayat sholat dan ayat tentang puasa. Kedua, menerangkan ‘am al
Qur’an yang dikehendaki ‘amdan yang ‘am dikehendaki khash. Ketiga,
menerangkan tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah ditetapkan al
Qur’an. Keempat, mendatangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al
Qur’an. Kelima, menerangkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.11

3) Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan ijma’ itu adalah hujjah dan metapkannya setelah
al Qur’an dan as Sunnah sebelum Qiyas. Qiyas lebih lemah daripada ijma’,
karena sama nilainya dengan tayammum. Ijma’ menurut as Syafi’i ialah
kesepakatan seluruh ulama semasa tarhadap suatu hukum.
Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat
dan menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’
sebagai hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia,
asy Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang
menjadi hujjah Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah
ijma’ shahabat dan menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau
menerima ijma’ sebagai hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama
diseluruh dunia, asy Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak
merupakan ijma’ yang menjadi hujjah.12 Walaupun Imam syafi’i menentang
pendapat Imam Malik dan mengkritik para pengikutnya mengenai ijma’
Ulama madinah sebagai hujjah tetapi beliau tetap menghargai pendapat
mereka.

4) Qiyas
As Syafi’i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar qiyas. Para
Fuqoha sebelumnya membahas tentang ar Ra’yu tanpa menentukan batas-

11 pokok-pokok pegengan imam madzhab,hal. 247, Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi,


Pustaka Rizki Putra , Semarang,1967
12 Ar-Risalah :hal. 534, Al- Umm j uz 7 hal:242, ibid hal.255
6
batasanya.dan dasar penggunaannya, tanpa menentukan norma-norma ra’yu
yang shahih dan yang tidak shahih.
Oleh karena itu dibuatlah kaedah-kaedah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ra’yu yang shahih dan mana yang tidak shahih, kemudian
kriteria bagi istinbath-istinbath yang salah, batas-batas qiyas, martabat-
martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas. Sesudah itu
diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbath yang
lain yang dipandang kecuali qiyas. Denga demikian beliaulah merupakan
orang yang pertama dalam menerangkan hakekat qiyas. Akan tetapii imam
Syafi’i sendiri belum membuat ta’rif qiyas, namun penjelasan-penjelasannya ,
contoh-contoh, bagian-bagiandan syarat-syaranya telah menjelaskan hakekat
qiyas, yang kemudian dibuat ta’rifnyaoleh ulama ushul.
Ulama ushul menta’rifkan qiyas dengan “Menghubungkan suatu urusan
yang tidak dinashkan hukumnya dengan suatu urusan yang diketahui
hukumnya karena bersekutu dalam illat hukum.”. Mengetahui hukum Syara’
menurut Asy Syafi’I ada dua macam:
Pertama, mengetahui secara lengkap zahih dan batin. Orang yang
memiliki pengetahuan yang sedemikian itu mengetahui bena zahir batinnya.
Inilah ilmu yang semua manusia harus mengetahuinya. Kedua, mengetahui
zahir saja sedang hakekat terserah kepada Allah sendiri. Hal ini mengenai
pengetahuan yang kita peroleh dengan jalan dzan dan dengan jalan
tarjih.Pengetahuan yang pertama hanyalah apa yang dinashkan al-Qur’an dan
Hadist Mutawatir, atau sesuatu yang dinukilkan oleh umum umat.13
Ilmu yang zahir saja, sedang hakekat terserah kepada Allah ialah ilmu atau
hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan hadist ahad, atau dengan jalan
khobar khashashah, dengan ijma’, dan qiyas. Mengetahui sesuatu dengan
jalan-jalan ini, tidak dapat meyakinkan bahwa demikian ketetapan Allah.
Qiyas menghasilkan ilmu zahir. Mengamalkan ketetapan qiyas, berarti
mengamalkan nash, bukan melepaskan nash.14
Asy Syafi’i mensyaratkan orang-orang yang boleh melakukan qiyas
hendaknya mempunyai beberapa keahlian.
 Mengetahui benar-benar bahasa arab.
 Mengerti hukum Allah tentang fardlu, adad, nasikh, mansukh, ‘am, khas
dan petunjuk lafal-lafal itu.
 Mengetahui as-Sunnah, pendapat-pendapat ulama salaf dan ikhtilaf
 Cerdas dan berfikiran tajam.15

Beberapa Pemikiran Imam Syafi’i


1. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Metoda yang digunakan oleh Imam Syafi’i yang kita kenal dengan metode
Deduktif (umum-khusus).Jadi jelasnya yang dinamakan metode deduktif ialah
pengambilan hukum dari atas ke bawah yakni dari AL Qur’an, Assunnah,
Ijma,Qiyas sampai dengan Qoidah-Qoidah (yang telah dirumuskan oleh Imam
Syafi’i). Jadi Deduktif adalah kebalikan dari Induktif. Agar lebih jelas perhatikan
contoh Qoidah Imam Syafi’i berikut:
‫األموربمقاصدها‬

13 ar Risalah hal. 482, ibid ,hal. 258


14 ar Risalah hal. 482, 493, 496, 497 , ibid , hal. 258
15 Ibid, hal. 260
7
Segala urusan tergantung kepada tujuan(niat)nya”
Qoidah tersebut dirumuskan oleh imam Syafi’I didasarkan atas:
a. Firman Allah: Surat ali imron ayat 145
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat
itu. dan Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur

b. Sabda Rasulullah saw. :


‫فمن كانت هجرته‬,‫انمااألعمال بالنّيات وانمالك ّل امرئ ما نوى‬
)‫الى اللهورسوله فهجرته الى هللا ورسوله (متفق عليه‬
“Amal-amal itu hanyalah dengan niat. Bagi setiap orang hanyalah
memperoleh apa yang diniatkannya.Karena itu barang siapa yang hijrah
kepada Allah dan Rasulnya maka hijrahnya pada Allah dan Rasulnya.”
Jadi contoh Qoidah tersebut, awal penetapannya karena ada dalil dari Al-
Quran dan Asunnah. Sehingga ketika ada dalil yang menetapkan segala sesuatu
(perbuatan) tergantung pada niatnya (ayat diatas), oleh imam syafi’I dibuatlah
Qoidah tersebut yang mana pada intinya pembuatan Qoidah tersebut disebabkan
adanya dalil itu. Kemudian menurut Imam Syafi’I disari’atkan niat adalah untuk
membedakan antara perbuatan-perbuatan ‘IBADAT dan ‘ADAT serta untuk
menentukan tingkatan satu sama lain.16

2. Pemikiran Imam Syafi’i tentang Hadits


Mengenai pengertian as-Sunnah, Imam Syafi’i tidak sependapat dengan
gurunya, Imam Malik, yang memasukkan qaul sahabat dan fatwa tabi’in dalam
kitabnya al-Muwatha’ sedangkan menurut Imam Syafi’i as-Sunnah adalah
muthlaq as-Sunnah yatanawaluhu sunnata rasulillahi faqat. 17 bahwa sunnah lebh
luas dari pada hadits.
Imam syafi’i meletakkan sunnah dalam satu peringkat dengan al-Kitab hal ini
berpatokan pada pemikrannya yang mendudukkan al-Kitab sebagai bayan kulli
yang mempunyai dua corak:
 Ada yang berupa nash tidak membutuhkan penjelasan sumber lain.
 Ada yang bukan merupakan nash sehingga membutuhkan sumber lain.
Kalau al-Kitab dinyatakan sebagai sesuatu yang kulli, maka istinbat dengan al-
Kitab tidak boleh lepas dengan syarahnya, yaitu hadits.18
Pendirian tersebut membawa kepada suatu pemikiran mengenai fungsi hadits
terhadap al-Quran. Ada dua fungsi pokok as-Sunnah yaitu bayan dan istiqlal,
memberi penjelasan dan menambah hukum dalam al-Quran. Fungsi yang pertama
mencakup penjelasan terhadap ayat yang mujmal atau umum dan penjelasan
tentang naskh. Perlu dijelaskan disini bahwa fungsi naskh bukanlah berarti hadits
menghapus hukum al-Quran, tetapi hadits yang menjelaskan adanya naskh itu.
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa naskh dapat terjadi antara al-Quran dengan al-
Quran dan antara hadits, hanya saja yang menjelaskan adanya naskh antara al-
Quran dengan al-Quran adalah hadits. Fungsi yang kedua merupakan penambahan
ketentuan yang ada di dalam al-Quran, baik dari sesuatu yang ditetapkan atau
yang belum ditetapkan di dalam al-Quran.
16 Rif’at Fauzi ‘Abd al-Mutalib, Tausiq al-Sunnah fi Qarn al-Sani al-Hijri Asasuhu wa
17 Ittijahuhu (Mesir: Maktabah Khanj), 1981, dikutip oleh Indal abror dalam Studi Kitab Hadits
18 Alfatih Suryadilaga, dkk, Studi Kitab Hadits (Yogyakarta: TERAS), cet. Kedua, Oktober 2009
8
3. Pemikiran Imam Syafi’i Berkaitan dgn Al-Qur’an

Naskh Ayat Al-Quran Menurut Imam Syafi’i


Imam Syafi’i berpendapat bahwa naskh boleh terjadi dalam Al-Quran.
Pendapat ini seirama dengan pendapat jumhur ulama. Tetapi Imam Syafi’i
berpendapat bahwa Naskh Al-Quran tidak diperbolehkan, kecuali dengan Al-
Quran. Menaskh Al-Quran tidak boleh dengan As-Sunnah.19 Dalil yang
dikemukakan Imam Syafi’i di antaranya, yaitu firman Allah SWT:

ِ ‫َما نَ ْن َس ْخ ِم ْن َءايَ ٍة َأوْ نُ ْن ِسهَا نَْأ‬


‫ت بِخَ ي ٍْر ِم ْنهَا َأوْ ِم ْثلِهَا َألَ ْم تَ ْعلَ ْم َأ َّن هَّللا َ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”.20

Kata Imam Syafi’i: “Allah telah memberitakan dalam ayat ini bahwa menaskh Al-
Quran dan mengakhirkan nasikh (ayat yang menaskh) hanya dengan Al-Quran
yang sebanding”.21 Sedangkan tentang As-Sunnah tidak boleh menaskh ayat Al-
Quran, Imam Syafi’i memakai dalil firman Allah:

‫ون لي أن‬‰‰‫ا يك‬‰‫ل م‬‰‫ه ق‬‰‰‫وإذا تتلى عليهم آياتنا بينات قال الذين ال يرجون لقاءنا ائت بقرآن غير هذا أو بدل‬
‫أبدله من تلقاء نفسي إن أتبع إال ما يوحى إلي إني أخاف إن عصيت ربي عذاب يوم عظيم‬

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-
orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata:
"Datangkanlah Al Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah:
"Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak
mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut
jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)".22

Kata Imam Syafi’i: “(Dalam ayat ini) Allah memberitakan bahwa Ia mewajibkan
Nabi untuk mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya dan tidak mengijinkan
Nabi untuk mengganti wahyu dari pihak diri Nabi sendiri. Firman Allah:
‫قل ما يكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي‬
“Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri”,

Menjelaskan apa yang saya katakan, bahwa tidak bisa menaskh Kitabullah kecuali
Kitabullah”23

Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Bahasa Al-Quran


Menurut Imam Syafi’i semua bahasa dalam Al-Quran adalah bahasa Arab.
Al-Quran sendiri yang menunjukkan bahwa di dalamnya tiada satu kata pun yang
bukan Bahasa Arab.24 Orang yang mengatakan bahwa di dalam Al-Quran terdapat
kata-kata bukan Arab dan pendapat ini diterima orang lain, mungkin karena ia

19 Ibid,
20 Surat Al-Baqarah ayat 106
21 Ar-Risalah paragraf 321
22 Surat Yunus ayat 15
23 Ar-Risalah paragraf 312 – 320
9
melihat bahwa Al-Quran terdapat kata-kata khusus yang tidak dimengerti oleh
sebagian orang Arab.25 Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat luas dan beragam
perbendaharaannya, demikian pendapat Imam Syafi’i. Masih kata Imam Syafi’i,
ia tidak mengetahui orang yang menguasai pengetahuan bahasa Al-Quran selain
Nabi.26 Namun dari seluruh bahasa Al-Quran itu tidak ada sesuatu yang asing
yang tidak dapat dipahami orang.27 Dalil Yang dikemukakan Imam Syafi’i ialah
firman Allah SWT.

‫دي من‬‰‰‫وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه ليبين لهم فيضل هللا من يشاء ويه‬
‫يشاء وهو العزيز الحكيم‬
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.
Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi
Maha Bijaksana”.28

Kenyataan bahwa Nabi diutus untuk seluruh umat manusia tidak bisa dibuat
argumentasi bahwa dalam Al-Quran ada kata selain Arab. Hal ini karena bahasa
itu sangat banyak dan bangsa yang satu tidak selalu mengerti bahasa milik bangsa
lain. Maka sebagian dari mereka harus ada yang menyerap bahasa sebagian yang
lain. Tentu rujukan harus kembali kepada bahasa yang diserapnya. 29 Dan yang
paling pantas untuk menerima keutamaan semacam itu adalah bangsa yang
bahasanya adalah bahasa Nabi. Tidak boleh terjadi mereka yang sebahasa dengan
Nabi menjadi pengikut orang-orang berbahasa lain, walaupun hanya satu huruf.
Tapi sebaliknya, setiap bahasa lain harus mengikuti bahasanya, seperti halnya
setia penganut agama yang datang sebelumnya harus mengikuti agama yang
dibawanya.30 Allah menerangkan ini lebih dari satu ayat dalam kitabnya:

‫ون من‬‰‰‫ك لتك‬‰‰‫ على قلب‬, ‫روح األمين‬‰‰‫ه ال‬‰‰‫زل ب‬‰‰‫ ن‬. ‫المين‬‰‰‫ل رب الع‬‰‰‫ه لتنزي‬‰‰‫وإن‬
‫ بلسان عربي مبين‬,‫المنذرين‬
“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam,dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.31

‫وكذلك أنزلناه حكما عربيا‬


“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qur'an itu sebagai peraturan
(yang benar) dalam bahasa Arab”.32

‫وكذلك أوحينا إليك قرآنا عربيا لتنذر أم القرى ومن حولها‬


24 Ar-Risalah Paragraf 134. Tentang perbedaan pendapat apakah seluruh bahasa Al-Quran
merupakan bahasa Arab atau beberapa di antaranya ada serapan dari bahasa ajam, bahasa Parsi
misalnya, bisa ditelaah dalam Al-Itqaan paragraf 2641
25 Ar-Risalah Paragraf 137
26 Al-Itqaan paragraf 2647
27 Ar-Risalah Paragraf 138
28 Surat Ibrahim ayat 4
29 Ar-Risalah Paragraf 150,151,152
30 Ar-Risalah Paragraf 153
31 Surat Asy-Syu’araa’: ayat 192 – 195
32 Surat Ar-Ra’d: ayat 37
10
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur'an dalam bahasa Arab
supaya kamu memberi peringatan kepada umulqura (penduduk Mekah) dan
penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya”.33

4. Pemikiran Aqidah Imam Syafi’i dalam masalah Iman


Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Rabi’ bin Sulaiman Al-
Muradi, ia berkata,”Saya mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata,”Iman adalah
ucapan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang”. Di antara dlalil yang
digunakan oleh Imam Asy-Syafi’I adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫وا إيمانا‬‰‰‫ ويزداد الذين أمن‬Artinya,” Dan supaya orang-orang yang beriman bertambah
imannya”, (QS. Al-Muddatsir: 35). Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Artinya,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang
apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada
Rabblah mereka bertawakkal”. (QS. 8:2). Baca juga firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala di surat At- Taubah: 124.
Adapun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah sebagaimana
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda:
‫ فأفضلها قول‬، ‫ أو بضع وستون شعبة‬، ‫اإليمان بضع وسبعون‬
‫ والحياء‬، ‫ وأدناها إماطة األذى عن الطريق‬، ‫ال إله إال هللا‬
‫شعبة من اإليمان‬
Artinya,” Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang atau enampuluh lebih
cabang. Yang paling tinggi ialah ucapan La Ilaaha Illallah, sedang yang paling
rendah adalahmenyingkirkan duri (sesuatu yang mengganggu) dari jalan dan
malu adalah sebagian dari iman”,(HR.Bukhari dan Muslim).

Pendapat Imam Asy-Syafi’i ini sesuai dengan pendapat para sahabat, tabi’in,
dan lainnya, sebagaimana perkataan Umar bin Khattab kepada teman-temannya,”
Mari kita menambah keimanan kita”. Kemudian mereka berzikrullah.
Pengecualian Dalam Iman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Yang
dimaksud dengan pengecualian dalam masalah iman adalah seperti seorang
berkata,”Saya seorang mukmin, Insya’ Allah Subhanahu wa Ta’ala”. Tentang
masalah ini para ulama berselisih pendapat: ada yang mewajibkannya, ada yang
mengharamkannya dan ada yang membolehkannya dan inilah pendapat yang
paling shahih”. Dan pendapat inilah yang diambil oleh Imam Asy- Syafi’i
sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abu Al- Baqa’ Al-Futuhy,” Boleh
mengaku beriman dengan pengecualian seperti seorang mengatakan,”Saya
beriman Insya’ Allah Subhanahu wa Ta’ala”, pendapat ini ditegaskan oleh Imam
Ahmad, Imam Asy-Syafi’i dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud”. Perbedaan
Antara Islam dan Iman Ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat mereka terbagi menjadi tiga golongan;
1. Islam dan Iman adalah satu, yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al-
Bukhari 22, Imam Muh. bin Nashir Al-Marwadzi 23, Imam Ibnu Mandah 24.
2. Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda. Imam Az-Zuhri berkata,”Islam
adalah kalimat atau ucapan, sedangkan iman adalah amal”. Abdul Malik Al-
Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, apakah iman dan Islam berbeda?,
beliau menjawab,”Ya”, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’alasurat
Al-Hujarat:14.
33 Surat Asy-Syuura: ayat 7
11
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Khattabi dan Ibnu Rajab menyebutkan
bahwa apabila iman dan Islam disebut secara terpisah maka keduanya
bermakna sama, namun bila disebutkan bersamaan maka keduanya terdapat
perbedaan. Iman adalah pengakuan dan keyakinan hati dan pengamalannya
sedangkan Islam adalah ketundukan yang tercermin dalam amal. Berdasarkan
beberapa perkataan Imam Syafi’i, maka beliau termasuk yang berpendapat
iman dan Islam bermakna satu dan tidak ada perbedaan antara keduanya.

5. Pemikiran Imam Syafe’i dalam masalah Bid’ah


Bid’ah secara bahasa artinya membuat sesuatu yang baru tanpa ada contoh
sebelumnya, misalnya Allah berfirman :“ (Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Al-
Baqarah: 117) Maksudnya Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi
tanpa contoh sebelumnya. Contoh lainnya adalah mengerjakan sesuatu dengan
cara yang belum pernah dikerjakan oleh orang (pergi dengan mengendarai mobil,
mencatat menggunakan laptop, berkomunikasi menggunakan handphone, dll).
Bid’ah secara syar’i adalah melakukan sebuah ibadah yang tidak berdasarkan
dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. Contoh: sholat fardlu 5 waktu ditambah menjadi 6 waktu. Bid’
itu ada 2 macam, yaitu:
1) Dalam hal adat (urusan keduniaan). Hal ini tidak dilarang karena hukum asal
dalam adat itu adalah mubah. Contoh: penemuan-penemuan modern.
2) Dalam hal agama. Hal ini haram hukumnya karena hukum asal dalam hal
keagamaan adalah tauqif (terbatas pada apa yang diajarkan oleh syariat).
Bid’ah dalam hal agama ada 2 macam:
1) Bid’ah pandangan dalam keyakinan Contoh: perkataan kelompok Jahmiyah,
Mu’tawazilah serta kelompok sesat lainya dan keyakinan-keyakinan mereka.
2) Bid’ah dalam ibadah Contoh: beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak
diajarkan oleh Rasulullah. Bid’ah ini terbagi menjadi beberapa bagian:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal usul ibadah Contoh: Melakukan sholat atau
puasa yang tidak ada ajaran syariat’t.
b. Bid’ah berupa penambahan terhadap ibadah yang memang disyariatkan.
Contoh: Menambah rakaat ke empat pada sholat Maghrip.
c. Bid’ah yang terjadi pada cara pelaksanaan ibadah yang disyaritkan.
Contoh: Melakukan ibadah haji dengan cara yang tidak diajarkan
Rasulullah.
d. Bid’ah berupa pengkhususan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah.
Penyebab timbulnya bid’ah, yaitu:
 Ketidaktauhan terhadap hukup agama.
 Mengikuti hawa nafsu.
 Fanatisme terhadap pendapat atau tokoh tertentu.
 Meniru orang kafir
Bahaya-bahaya bid’ah antara lain, sbb:
1) Keluar dari ajaran Rasulullah SAW. Allah berfirman: “Katakanlah; Jikalau
kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku (Rasulullah SAW).
Niscaya Allah akan mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Imran: 31)
Ayat di atas menerangkan bahwa barang siapa yang beribadah kepada Allah
dengan cara yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah, maka ia telah keluar dari
tuntunan Rasulullah.

12
2) Bertentangan dengan kalimat syahadat yang diucapkan “Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah” Syahadat rasul ini memiliki beberapa
konsekuensi yaitu, sbb;
a. Mentaati apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW.
b. Membenarkan apa yang dikabarkan. Orang yang berbuat bid’ah berarti
mereka tidak membenarkan kabar dari Rasulullah SAW. Dimana
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap bid’ah itu sesat, setiap yang sesat itu di
neraka”. “Barang siapa yang beramal yang tidak ada perintah dari kami,
maka amalan itu tertolak”
c. Meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasulullah SAW
d. Tidaklah Allah diibadahi kecuali dengan apa yang telah disyariatkan.
3) Mencela islam. Orang yang telah berbuat bid’ah berarti tersirat dalam
pikirannya bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu ditambah
dengan bid’ah yang mereka ada-adakan sendiri. Padahal Allah SWT telah
berfirman bahwa Islam sudah sempurna.
Allah SWT berfirman: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian
agama kalian, dan telah Ku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan Aku ridha
Islam menjadi agama bagi kalian”. (Al-Maidah: 3)
4) Mencela Rasulullah SAW. Orang yang berbuat bid’ah berarti telah tersirat
dalam pikirannya bahwa Rasulullah SAW tidak menyampaikan semua risalah
kepada umatnya, sehingga masih perlu ditambah dengan bid’ah yang mereka
ada-adakan sendiri.
5) Bid’ah bisa menjadikan umat Islam terpecah belah. Jika telah di buka pintu-
pintu bid’ah, maka setiap kelompok akan membuat bid’ah seperti yang telah
terjadi pada umat Islam sekarang ini. Setiap kelompok membanggakan apa
yang ada pada kelompoknya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
SWT: “Tiap kelompok bangga dengan apa yang ada pada kelompoknya.”
(Ar-Rum: 32). Masing-masing kelompok akan berkata “Kebenaran ada
bersama kami dan yang lain sesat”.
Allah SWT berfirman: “Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah
jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-
jalan (yang lain), karena jalan-jalan (subul) itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya.” (Al-An’am: 153)
6) Memudarkan sunnah. Sebagaimana ulama salaf berkata:”Tidaklah suatu kaum
berbuat bid’ah kecuali mereka telah menghilangkan sunnah yang sepertinya
atau yang lebih besar darinya.”
7) Amalan bid’ah tidak diterima oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang membuat hal yang baru dalam urusan agama kami ini
sesuatu yang tidak ada didalamnya, maka ia tertolak.”
Allah SWT berfirman: “Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatanya, yaitu orang
yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi: 103-104)
8) Bid’ah sama dengan mengikuti hawa nafsu. Jika seseorang menggunakan
hawa nafsunya dalam masalah agama maka sungguh dia adalah orang yang
difirmankan oleh Allah SWT: “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang
yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah
.” (Al-Qashash: 50)
9) Bid’ah lebih dicintai iblis daripada perbuatan maksiat. Amalan buruk (bid’ah)
telah dihiasi oleh setan sehingga orang melihatnya sebagai suatu kebaikan.
13
Permulaan taubat adalah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan itu
buruk, sehingga bertaubat dari perbuatan tersebut. Maka selama ia melihat
perbuatannya suatu kebaikan, niscaya ia tidak akan bertaubat.
10) Bid’ah termasuk sikap ghuluw (melampaui batas syari’at). Allah SWT
berfirman: “Wahai ahli kitab janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah SWT kecuali yang
benar.” (An-Nisa’: 171).
11) Menanggung dosa bid’ah dan dosa-dosa orang yang mengamalkannya sampai
hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menyeru kepada
petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala yang
mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun.
Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan
dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa
mereka sedikitpun.” (HR.Muslim).
12) Ahli bid’ah memposisikan dirinya pada kedudukan menyerupai pembuat
syari’at. Pembuat syari’at (Allah SWT) telah membuat peraturan-peraturan
kemudian mewajibkan makhluk untuk melaksanakannya yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW. Maka orang-orang yang mengadakan perkara-perkara
baru di dalam agama Allah SWT berarti dia telah menempatkan dirinya
sebanding dengan pembuat syari’at.
13) Akan diusir dari telaga Rasulullah SAW pada hari kiamat. Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya aku mendahului dan menanti kamu di telaga.
Barang siapa yang melewatiku niscaya dia minum, dan barang siapa yang
minum niscaya dia tidak akan haus selama-lamanya. Sesungguhnya
sekelompok orang akan mendatangiku. Aku mengenal mereka dan mereka
mengenalku. Kemudian dihalangi antara aku dengan mereka, maka aku
berkata: “Sesungguhnya mereka dari pengikutku” tetapi dijawab
“Sesunggunya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan secara
baru setelahmu.” Maka aku (Rasulullah SAW) berkata: jauh!!!! Bagi orang-
orang yang merubah agama setelahku.” (H.R Bukhari-Muslim)
14) Diancam dengan laknat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang
suatu kaum yang akan membunuh sunnah dan berlebihan tentang agama,
maka atas mereka itu laknat Allah SWT dan laknat orang-orang yang
melaknat, dan laknat malaikat, serta segenap manusia.” (H.R. ad Dailami).
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mengicuh umatku, maka murka
Allah SWT kepadanya, dan murka malaikat, dan murka segenap manusia.
Beliau ditanya: “Ya Rasulullah, apa yang dinamakan mengicuh?” Beliau
menjawab: “Bahwa ia berbuat bid’ah kepada mereka suatu bid’ah lalu
dikerjakannya.”

14

Anda mungkin juga menyukai