1
Harlin Natant), Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Buten
Bintang, 1975), halaman. 9
2
J. W. Schoorl, Moderniaasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negam-negara Sedang
Berkembang (Jakarta : Grarnedia, 1980), halaman 1-6
3
Harun Nasution, MetodeBemikir yang Diperlukan Umat Islam di Zaman Ifemajuan Pengetahuan
Teknologi Modern, Dialog, No : 23, 1987, halaman 14-19
1
concern pada pemikiran rasional yang bersifat dinamis. Pandangan Harun
Nasution tentang hukum Islam tampak lebih tidak apresiatif lagi bila diamati
pembagian pemikiran Islam yang dibuat olehnya. Bagi Harun Nasution,
pemikiran Islam hanya mencakup tiga bidang saja, yakni teologi, filsafat dan mis-
tisisme. Ketiga bidang pemikiran ini disebut pula sebagai filsafat Islam.4
Dengan begitu, Nasution tidak saja hukum Islam tak dimasukkan sebagai
bagian dari filsafat Islam, malah bukan bagian dari pemikiran Islam. Ini berbeda
sekali dengan penulis lain seperti Mustafa Abdurrazak, ahli filasafat asal Mesir,
yang mengkategorikan hukum Islam itu sebagai bagian filsafat Islam. Bahkan ia
menganggap fiqh (hukum Islam) itu fdsafat Islam yang murni.5
Namun dalam tulisannya yang lain Nasution memasukkan hukum Islam
sebagai salah satu aspek Islam, meski harus diakui bahwa pandangan Nasution
tentang hukum Islam hanya sepintas lalu saja. la hanya menyentuh dasar-dasarnya
saja, itu pun tidak menyeluruh, seperti terbatas pada perlunya pengembangan
ijtihad, perubahan hukum dalam menanggapi kebutuhan hukum by di lingkungan
kehidupan kaum muslimin. Tulisan pendek ini akan menyoroti hal-hal itu serta
perlunya pembaharuan hukum Islam agar memberi kontribusi dalam
pembangunan.
Menyerukan ijtihad
Menurut Nasution, ijtihad tidak terbatas pada bidang hukum saja, tapi
meliputi semua bidang pemikiran dalam Islam. Ini berbeda dengan anggapan
umum yang berkembang selama ini bahwa ijtihad itu seolah-olah di bidang
hukum Islam saja.
Nasution mengembalikan pengertian ijtihad dalam bahasa Arab bahwa
kata ‘ijtihad’ berasal dari kata ‘al-juhdu’ dan ‘ai-juhdu’, yang berarti daya upaya
atau keija kerns, sehingga ijtihad diartikan sebagai berusaha kerns untuk mencapai
atau memperoleh sesuatu. Kalau pengertian ini dibawa kepada konsep ijtihad
dalam hukum, maker ijtihad berarti berusaha keras untuk mengetahui hukum
melalui agama, al-Qur’an clan hadits.6
Sebenarnya pengertian ijtihad menurut hukum yang diajukan oleh
Nasution belum lengkap. Karena biasanya dalam kajian hukum Islam dibedakan
antara hukum praktis (hukm amaliy) dengan hokum teoritis/ilmiah (hukm ilmiy).
ljtihad yang dipakai di kalangan fuqaha terbatas di bidang hukum praktis. Di luar
hukum praktis tidak disebut (jtihad. Kalau toh disebut ijtihad itu bukan dalam
pengertian yang dipakai di kalangan fuqaha. Jadi ijtihad menurut fuqaha ialah
berusaha keras untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis melalui
jalan istimbath.7 Namun agaknya Nasution tidak ingin terlalu jauh membahas
pengertian ijtihad. Tampaknya yang panting baginya iallth inti ijtihad, yakni
pengembangan daya nalar mengkaji pemikiran keagamaan Islam. Karena itu, is
tidak membatasi cakupan ijtihad pada bidang hukum saja, tapi juga di bidang
teologi, falsafat dan mistisisme, bahkan juga di bidang politik dalam
menyelenggarakan urusan kemanyarakatan dan kenegaraan umat Islam.
4
Harum Nasution, Faisa fat Islam Sebagai Berkeynbrow di Timur Tengah clan Pengaruhnya di
Indonesia, malcalah seminar filsafat Himpunan Filsafat Indonesia, 10-11 Agw3tus 1988 di
Jakarta
5
Owner Amin Hoesin, Filsafat Islam (Jakarta : Bolan Bintang, 1975), halaman 215
6
Hanun Nasution, Ittihad : Sandler Iletiga Ajaran Islam, dalam ljtihad datum Sorotan (Bandung :
Mizan, 1988), halaman 108
7
Al-Syaultani, Irsyadul Fuhul (Dand Fikr, tanpa tempet dan tahun penerbitan), halaman 250
2
Menurut Nasution, ajaran Islam yang client oleh umat Islam selain al-
Qur’an clan hadits adalah hasil ijtihad. Karenaitu, dengan mengutip Ali Hasballab
(guru besar hukum Islam Universitas ‘Cairo) Nasution berpendapat bahwa ijtihad
itu sumber ketiga ajaran Islam.
Baginya, ijtihad merupakan satu unsur tenanting dalam ajaran Islam.
Melalui ijtihad, masalah-masalah yang tak ada penyelesaiannya dalam al-Qur’an
dan hadits dapat dipecahkan oleh para ulama. Dengan ijtihad pula ajaran Islam
berkembang pesat di zaman keemasannya. Sebagaimana diketahui bahwa dan
abad ke-8 sampai ke-I3 M Islam merupakan agama yang mempunyai ajaran dan
kebudayaan yang tiada terra.Dengan begitu, kata Nasution, pada hakikatnya
ijtihadlah yang menjadi kunci dinamika Islam. Sejarah membuktikan bahwa sejak
pinta ijtihad dianggap tertutup oleh para ulama pada pertengaban abed ke-4 H,
pemikiran Islam mengalami kemandekan, baik sjaran maupun kebudayaan Islam.
Akibatnya umat Islam mengalami kemunduran dalam segala bidang, sementara
orang-orang Eropa yang mengambil alih jiwa ijtihad itu mengalami kemajuan
pesat.8
Dengan mengemukakan argumen itu Mazatlan yakin bahwa ijtihad itu
tidak terbatas di bidang hukum saja. Karena itu, ijtihad yang diperlukan sekarang
harus meliputi semua bidang pemikiran Islam.Tambahan pula masalah-masalah
yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks sebagai konsekuensi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Int membuat pemikiran keagamaan ikut
bertambah kompleks pule, sehingga tak dapat dibatasi di bidang hukum saja.
Karenanya untuk mengembangkan ijtihad diperlukan kerjasama para ulama dari
berbagai disiplin ilmu keagamaan. Malah diperlukan kerjasama antara ulama de-
ngan kaum intelektual brbagai disiplin ilmu dari perguruan tinggi sekular. Karma
misalnya masalah keluarga berencana berkaitan erat dengan ilmu kependudukan,
ilmu ekonomi, ilmu jiwa, dan ilmu-ilmu lain termasuk ilmu keagamaan.
Pemikiran Nasution tentang ijtihad yang boleh dikata hanya terbatas pada
anjuran saja (karena is tidak menunjukkan metode ijtihad yang diperlukan mat
sebenarnya sudab dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUD. Organisasi ini
dalam mengeluarkan fatwa-fatwa lebih dahulu mendengar keterangan dari
sarjana-sarjana di bidangnya, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah
baru yang timbal di zaman pembangunan ini. Misalnya keputusan MUI tentang
masalah kependudukan, kesehatan, lingkungan hidup, KB diambil setelah men-
dengar pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh abli ekonomi, lingkungan
dan dokter yagn dianggap berwenang.9
Anjuran Nasution untuk melakukan ijtihad secara kolektif itu tenth saja
ada benarnya. Tapi di zaman sekarang keperluan pada ijtihad tidak selalu
berkaitan langsung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
ijtihad itu tak harus senantiasa melibatkan kalangan intelketual dalam perguruan
tinggi sekuler.
Tidak sedikit masalah hukum yang memerlukan peninjauan kemball
akibat perubahan kesadaran hukum masyarakat. Karenanya, barangkali yang
diperlukan saat ini adalah meninjau kembali konsep ijtihad yang ada selama ini.
Al-Syahrastani berpendapat bahwa ijtihad harus memenuhi lima syarat, yakni
mengerti bahasa Arab yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’; mengetahui
tafsir al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan hukum; memahami Hadits matan
dan sanadanya; mengerti hukum-hukum didasarkan pada para sahabat, tabi’in
8
AlByahrestant Al-Milal wa An-Nihal (Beirut : Dant Fikr, t t), halaman 200-201
9
Al-Syaukani, Op. cit, halaman 252
3
dan tabi’ ittabi,in; dan mengerti pemakaian qiyas (analogi).10
Sedang Al-Syaukani menambahkan syarat-syarat ijtihad tadi dengan
keharusan menguasai ilmu ushul fiqh dan nasikh mansukh dalam al-Qur’an dan
Hadits agar tidal( menetapkan hukum yang telah dinasakh. 11 Sementara M.
Khudhari Bek juga mengajukan syarat-syarat di atas sambil menambahkan bahwa
lapanian ijtihad itu hanya pada hukum-hukum yang dalilnya bersifat zhanni. 12 Dan
syarat-syarat itu ada hal-hal yang sulit dipertahankan sekarang, seperti keharusan
memperhatikan hukum yang telah dinasakh (dihapus), pemakaian qiyas, ijma’
sahabat/tabi’in/ tabi’ittabi’in, karena tidak adanya kesepakatan ulama mengenai
penggunaan metode-metode hukum ini. Bahkan sekarang sudah terbukti hukum
yang ditetapkan atas dalil qath’i pun tidak selalu dapat dipertahankan, apalagi
hukum yang ditetapkan melalui metode naaakk, Unta dan qiyas.
Selama jni qath’i tidaknya suatu dalil diukur dad segi babasa yang
diartikan secant harfiah, tapi pengertian harfiah sekarang tidal selalu dapat
diterima, sehingga yang qath’i bukan anti harfiahnya, tapi jiwanya saja. Misalnya
ketentuan pembagian harta waris antara min dengan wanita 2: 1 yang terdapat
dalam ayat 11 Surat An-Nisa adalah qath tapi ketentuan ayat ini. mulai
ditinggalkan oleh umat. Begitu pula ayat-ayat tentang budak atau hamba sahaya
yang terdapat dalam ayat 30 An-Nisa, ayat 6 Al-Mukminun, ayat 52 Al-Ahzab
dan ayat 30 surat Al-Ma’arij sudah tidak relevan.13
Kalau data qath’i .saja bisa ditolak karena secara harfiah tidak relevan
dengan perkembangan zaman sekarang, sehingga hanya semangatnya alga yang
dapat diterima, make hukum yang ditetapkan dengan metode qiyas dan nasakh di
masa lalu tentu lebih mungkin lagi ditinjau kembali. Ini berarti bahwa konsep
ijtihad yang berkembang selama ini hams diperbarui. Hal ini agaknya Input dari
pengamatan Nasution.
Di samping itu, kedudukan ijtihad dalam hukum Islam juga tidak
mendapat perhatian yang memadai dari Nasution. Bagi Nasution, ijtihad dan
begitu pula ijma, qiyas, mashalih mursalah, istihsan dan ‘urf merupakan sumber
hukum setelah al-Qur’an dan Hadits. Anggapan ini memang umumnya diterima
kajian hukum Islam selama ini.
Namun anggapan itu sebenarnya patut dilihat kembali, karena dalam
prakteknya sumber hukum Islam itu hanya al-Qur’an dan Hadits. Sedang ijma’,
qiyas, mashalih mursalah, istihsan, urf bukan sumber tapi metode penetapan
hukum Islam yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan atas
dasar al-Qur’an dan Hadits. Hukum yang ditetapkan, melalui metode-metode tadi,
tapi bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an dan Hadits, make tidalclah dapat
diterima sebagai hukum yang sah. Bahkan Hadits sendiri bila bertentangan dengan
al-Qur’an harus dikesampingkan. Apalagi ijma’, qiyas dan sebagainya tentu harus
didasarkan atau bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Asumsi bahwa sumber hukum Islam hanya al-Qur’an dan Hadits adalah
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa beliau
meninggallcan dna bush pusaka yang harm diikuti agar tidak temesat, yaitu al-
Qur’an dan Hadits. Dengan begini, maka ijma’, qiyas dan sebagainya itu bukan
10
M. Khudhari Bak, Ushul Fiq h (Beirut : Dant Fikr, 1988), halaman 374
11
Harun Nasutioan,Htihad : S umber Ketiga Ajar= Islam, Op-Cit halaman 113
12
Kumpulan Falun Majelis (llama Indonesia (Jakarta : Pustaka Penjimes, 1984)
13
Angka-angka ini dikutip oleh Nasution dari Abdul Wahhab Kahllaf, Ilmu Ushut Fiqh (Jakarta :
Al.Majelis Al-Ala al-Indonesia G Ad-Da’wah .41.1slam(yah, 1972), halanum 32.33, Lihat
Nasution,clan Wahyu dalam Islam (Jakarta : Ul Press,1982),halaman 27-28
4
sumber hukum, tapi hanya metode penetapan hukum islam yang harus bersumber
dari al-Qur’an dan Hadits.14