Anda di halaman 1dari 9

PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM :

MEMPERTIMBANGKAN HARUN NASUTION


Sudirman Tebba:

Selama hampir dusa dasawarsa terakhir Harun Nasution dikenal sebagai


seorang intelektual muslim yang sangat concern pada pem- baharuan dalam Islam
yang mencakup Pengertian yang seluas-luasnya, tidak terbatas di bidang
pemikiran saja, seperti teologi, filsafaf, mistisisme (tasawuf), dan juga hukum
(fiqb), tapi meliputi seluruh segi kehidupan kaum muslimin.
Dalam bukunya tentang pembaharuan dalam Islam tampak sekali Harun
Nasution tidak membatasi cakupan pembaharuan itu di bidang pemikiran saja, tapi
juga institusi-institusi dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konsep pembaharuan seperti ini diambil dari pengertian modernisme yang dianut
dalam masyarakat Barat, yakni sebuah konsep yang mengandung pembaharuan
pemikiran, aliran-aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham, adat istiadat,
institusi lama dan sebagainya guna disesuaikan dengan suasana bare yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen.1
Pembaharuan dalam pengertian itu lazim disebut modernisasi. Secara
sosiologis, modernisasi biasanya didefinisikan sebagai suatu proses transformasi,
suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya, seperti.: ekonomi, politik,
kebudayaan, pendidikan, juga pandangan dunia, wawasan keagamaan dan sistem
kepercayaan.2
Di antara aspek-aspek pembaharuan itu, memang bidang keagamaanlah
yang mendapat perhatian lebih besar dari Harun Nasution. Ini dapat dimaklumi,
karena ia merupakan seorang ahli pemikiran keagamaan (Islam), terutama dalam
bidang teologi, filsafat dan mistisisme. Pandangan keagamaan ini sangat
ditekankan oleh Harun Nasution, sebab menurut dia, pandangan keagamaan suatu
masyarakat amat menentukan perkembangan peradabannya, misalnya apakah
masyarakat menganut teologi tradisional atau rasional, teologi jabariyah atau
qadariyah.
Dengan begitu, Harun Nasution membedakan antara pemikiran agama
yang tradisional dengan yang rasional. Pandangan keagamaan tradisional terikat
pada dogma agama tradisi keagamaan yang membuat ruang gerak berpikir umat
Islam menjadi sempit. Ini jelas tidak sesuai dengan dinamika ilmu pengetahuan
dan teknologi moderen yang membawa perubahan pesat secara besar-besaran
dalam segala bidang kehidupan. Yang diperlukan sekarang ialah pemikiran agama
yang rasional. Pemikiran seperti inilah yang pernah membawa kemajuan umat
Islam yang tiada taranya di bidang pengetahuan agama dan sains selama abed ke-
8 sampai ke-13 M.3
Namun perhatian Harun Nasution dalam pengembangan pengetahuan
agama Islam lebih banyak di bidang teologi, filsafat dan mistisisme. Sementara
perhatiannya di bidang hukum Islam relatif kurang dibanding dengan ketiga
pemikiran itu. Mungkin ini disebabkan oleh salab pengertian yang berkembang
selama ini bahwa hukum Islam seolah-olah statis, sedang Harun Nasution lebih

1
Harlin Natant), Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Buten
Bintang, 1975), halaman. 9
2
J. W. Schoorl, Moderniaasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negam-negara Sedang
Berkembang (Jakarta : Grarnedia, 1980), halaman 1-6
3
Harun Nasution, MetodeBemikir yang Diperlukan Umat Islam di Zaman Ifemajuan Pengetahuan
Teknologi Modern, Dialog, No : 23, 1987, halaman 14-19
1
concern pada pemikiran rasional yang bersifat dinamis. Pandangan Harun
Nasution tentang hukum Islam tampak lebih tidak apresiatif lagi bila diamati
pembagian pemikiran Islam yang dibuat olehnya. Bagi Harun Nasution,
pemikiran Islam hanya mencakup tiga bidang saja, yakni teologi, filsafat dan mis-
tisisme. Ketiga bidang pemikiran ini disebut pula sebagai filsafat Islam.4
Dengan begitu, Nasution tidak saja hukum Islam tak dimasukkan sebagai
bagian dari filsafat Islam, malah bukan bagian dari pemikiran Islam. Ini berbeda
sekali dengan penulis lain seperti Mustafa Abdurrazak, ahli filasafat asal Mesir,
yang mengkategorikan hukum Islam itu sebagai bagian filsafat Islam. Bahkan ia
menganggap fiqh (hukum Islam) itu fdsafat Islam yang murni.5
Namun dalam tulisannya yang lain Nasution memasukkan hukum Islam
sebagai salah satu aspek Islam, meski harus diakui bahwa pandangan Nasution
tentang hukum Islam hanya sepintas lalu saja. la hanya menyentuh dasar-dasarnya
saja, itu pun tidak menyeluruh, seperti terbatas pada perlunya pengembangan
ijtihad, perubahan hukum dalam menanggapi kebutuhan hukum by di lingkungan
kehidupan kaum muslimin. Tulisan pendek ini akan menyoroti hal-hal itu serta
perlunya pembaharuan hukum Islam agar memberi kontribusi dalam
pembangunan.

Menyerukan ijtihad
Menurut Nasution, ijtihad tidak terbatas pada bidang hukum saja, tapi
meliputi semua bidang pemikiran dalam Islam. Ini berbeda dengan anggapan
umum yang berkembang selama ini bahwa ijtihad itu seolah-olah di bidang
hukum Islam saja.
Nasution mengembalikan pengertian ijtihad dalam bahasa Arab bahwa
kata ‘ijtihad’ berasal dari kata ‘al-juhdu’ dan ‘ai-juhdu’, yang berarti daya upaya
atau keija kerns, sehingga ijtihad diartikan sebagai berusaha kerns untuk mencapai
atau memperoleh sesuatu. Kalau pengertian ini dibawa kepada konsep ijtihad
dalam hukum, maker ijtihad berarti berusaha keras untuk mengetahui hukum
melalui agama, al-Qur’an clan hadits.6
Sebenarnya pengertian ijtihad menurut hukum yang diajukan oleh
Nasution belum lengkap. Karena biasanya dalam kajian hukum Islam dibedakan
antara hukum praktis (hukm amaliy) dengan hokum teoritis/ilmiah (hukm ilmiy).
ljtihad yang dipakai di kalangan fuqaha terbatas di bidang hukum praktis. Di luar
hukum praktis tidak disebut (jtihad. Kalau toh disebut ijtihad itu bukan dalam
pengertian yang dipakai di kalangan fuqaha. Jadi ijtihad menurut fuqaha ialah
berusaha keras untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis melalui
jalan istimbath.7 Namun agaknya Nasution tidak ingin terlalu jauh membahas
pengertian ijtihad. Tampaknya yang panting baginya iallth inti ijtihad, yakni
pengembangan daya nalar mengkaji pemikiran keagamaan Islam. Karena itu, is
tidak membatasi cakupan ijtihad pada bidang hukum saja, tapi juga di bidang
teologi, falsafat dan mistisisme, bahkan juga di bidang politik dalam
menyelenggarakan urusan kemanyarakatan dan kenegaraan umat Islam.

4
Harum Nasution, Faisa fat Islam Sebagai Berkeynbrow di Timur Tengah clan Pengaruhnya di
Indonesia, malcalah seminar filsafat Himpunan Filsafat Indonesia, 10-11 Agw3tus 1988 di
Jakarta
5
Owner Amin Hoesin, Filsafat Islam (Jakarta : Bolan Bintang, 1975), halaman 215
6
Hanun Nasution, Ittihad : Sandler Iletiga Ajaran Islam, dalam ljtihad datum Sorotan (Bandung :
Mizan, 1988), halaman 108
7
Al-Syaultani, Irsyadul Fuhul (Dand Fikr, tanpa tempet dan tahun penerbitan), halaman 250
2
Menurut Nasution, ajaran Islam yang client oleh umat Islam selain al-
Qur’an clan hadits adalah hasil ijtihad. Karenaitu, dengan mengutip Ali Hasballab
(guru besar hukum Islam Universitas ‘Cairo) Nasution berpendapat bahwa ijtihad
itu sumber ketiga ajaran Islam.
Baginya, ijtihad merupakan satu unsur tenanting dalam ajaran Islam.
Melalui ijtihad, masalah-masalah yang tak ada penyelesaiannya dalam al-Qur’an
dan hadits dapat dipecahkan oleh para ulama. Dengan ijtihad pula ajaran Islam
berkembang pesat di zaman keemasannya. Sebagaimana diketahui bahwa dan
abad ke-8 sampai ke-I3 M Islam merupakan agama yang mempunyai ajaran dan
kebudayaan yang tiada terra.Dengan begitu, kata Nasution, pada hakikatnya
ijtihadlah yang menjadi kunci dinamika Islam. Sejarah membuktikan bahwa sejak
pinta ijtihad dianggap tertutup oleh para ulama pada pertengaban abed ke-4 H,
pemikiran Islam mengalami kemandekan, baik sjaran maupun kebudayaan Islam.
Akibatnya umat Islam mengalami kemunduran dalam segala bidang, sementara
orang-orang Eropa yang mengambil alih jiwa ijtihad itu mengalami kemajuan
pesat.8
Dengan mengemukakan argumen itu Mazatlan yakin bahwa ijtihad itu
tidak terbatas di bidang hukum saja. Karena itu, ijtihad yang diperlukan sekarang
harus meliputi semua bidang pemikiran Islam.Tambahan pula masalah-masalah
yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks sebagai konsekuensi kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Int membuat pemikiran keagamaan ikut
bertambah kompleks pule, sehingga tak dapat dibatasi di bidang hukum saja.
Karenanya untuk mengembangkan ijtihad diperlukan kerjasama para ulama dari
berbagai disiplin ilmu keagamaan. Malah diperlukan kerjasama antara ulama de-
ngan kaum intelektual brbagai disiplin ilmu dari perguruan tinggi sekular. Karma
misalnya masalah keluarga berencana berkaitan erat dengan ilmu kependudukan,
ilmu ekonomi, ilmu jiwa, dan ilmu-ilmu lain termasuk ilmu keagamaan.
Pemikiran Nasution tentang ijtihad yang boleh dikata hanya terbatas pada
anjuran saja (karena is tidak menunjukkan metode ijtihad yang diperlukan mat
sebenarnya sudab dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUD. Organisasi ini
dalam mengeluarkan fatwa-fatwa lebih dahulu mendengar keterangan dari
sarjana-sarjana di bidangnya, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah
baru yang timbal di zaman pembangunan ini. Misalnya keputusan MUI tentang
masalah kependudukan, kesehatan, lingkungan hidup, KB diambil setelah men-
dengar pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh abli ekonomi, lingkungan
dan dokter yagn dianggap berwenang.9
Anjuran Nasution untuk melakukan ijtihad secara kolektif itu tenth saja
ada benarnya. Tapi di zaman sekarang keperluan pada ijtihad tidak selalu
berkaitan langsung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
ijtihad itu tak harus senantiasa melibatkan kalangan intelketual dalam perguruan
tinggi sekuler.
Tidak sedikit masalah hukum yang memerlukan peninjauan kemball
akibat perubahan kesadaran hukum masyarakat. Karenanya, barangkali yang
diperlukan saat ini adalah meninjau kembali konsep ijtihad yang ada selama ini.
Al-Syahrastani berpendapat bahwa ijtihad harus memenuhi lima syarat, yakni
mengerti bahasa Arab yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’; mengetahui
tafsir al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan hukum; memahami Hadits matan
dan sanadanya; mengerti hukum-hukum didasarkan pada para sahabat, tabi’in
8
AlByahrestant Al-Milal wa An-Nihal (Beirut : Dant Fikr, t t), halaman 200-201
9
Al-Syaukani, Op. cit, halaman 252
3
dan tabi’ ittabi,in; dan mengerti pemakaian qiyas (analogi).10
Sedang Al-Syaukani menambahkan syarat-syarat ijtihad tadi dengan
keharusan menguasai ilmu ushul fiqh dan nasikh mansukh dalam al-Qur’an dan
Hadits agar tidal( menetapkan hukum yang telah dinasakh. 11 Sementara M.
Khudhari Bek juga mengajukan syarat-syarat di atas sambil menambahkan bahwa
lapanian ijtihad itu hanya pada hukum-hukum yang dalilnya bersifat zhanni. 12 Dan
syarat-syarat itu ada hal-hal yang sulit dipertahankan sekarang, seperti keharusan
memperhatikan hukum yang telah dinasakh (dihapus), pemakaian qiyas, ijma’
sahabat/tabi’in/ tabi’ittabi’in, karena tidak adanya kesepakatan ulama mengenai
penggunaan metode-metode hukum ini. Bahkan sekarang sudah terbukti hukum
yang ditetapkan atas dalil qath’i pun tidak selalu dapat dipertahankan, apalagi
hukum yang ditetapkan melalui metode naaakk, Unta dan qiyas.
Selama jni qath’i tidaknya suatu dalil diukur dad segi babasa yang
diartikan secant harfiah, tapi pengertian harfiah sekarang tidal selalu dapat
diterima, sehingga yang qath’i bukan anti harfiahnya, tapi jiwanya saja. Misalnya
ketentuan pembagian harta waris antara min dengan wanita 2: 1 yang terdapat
dalam ayat 11 Surat An-Nisa adalah qath tapi ketentuan ayat ini. mulai
ditinggalkan oleh umat. Begitu pula ayat-ayat tentang budak atau hamba sahaya
yang terdapat dalam ayat 30 An-Nisa, ayat 6 Al-Mukminun, ayat 52 Al-Ahzab
dan ayat 30 surat Al-Ma’arij sudah tidak relevan.13
Kalau data qath’i .saja bisa ditolak karena secara harfiah tidak relevan
dengan perkembangan zaman sekarang, sehingga hanya semangatnya alga yang
dapat diterima, make hukum yang ditetapkan dengan metode qiyas dan nasakh di
masa lalu tentu lebih mungkin lagi ditinjau kembali. Ini berarti bahwa konsep
ijtihad yang berkembang selama ini hams diperbarui. Hal ini agaknya Input dari
pengamatan Nasution.
Di samping itu, kedudukan ijtihad dalam hukum Islam juga tidak
mendapat perhatian yang memadai dari Nasution. Bagi Nasution, ijtihad dan
begitu pula ijma, qiyas, mashalih mursalah, istihsan dan ‘urf merupakan sumber
hukum setelah al-Qur’an dan Hadits. Anggapan ini memang umumnya diterima
kajian hukum Islam selama ini.
Namun anggapan itu sebenarnya patut dilihat kembali, karena dalam
prakteknya sumber hukum Islam itu hanya al-Qur’an dan Hadits. Sedang ijma’,
qiyas, mashalih mursalah, istihsan, urf bukan sumber tapi metode penetapan
hukum Islam yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan atas
dasar al-Qur’an dan Hadits. Hukum yang ditetapkan, melalui metode-metode tadi,
tapi bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an dan Hadits, make tidalclah dapat
diterima sebagai hukum yang sah. Bahkan Hadits sendiri bila bertentangan dengan
al-Qur’an harus dikesampingkan. Apalagi ijma’, qiyas dan sebagainya tentu harus
didasarkan atau bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Asumsi bahwa sumber hukum Islam hanya al-Qur’an dan Hadits adalah
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa beliau
meninggallcan dna bush pusaka yang harm diikuti agar tidak temesat, yaitu al-
Qur’an dan Hadits. Dengan begini, maka ijma’, qiyas dan sebagainya itu bukan

10
M. Khudhari Bak, Ushul Fiq h (Beirut : Dant Fikr, 1988), halaman 374
11
Harun Nasutioan,Htihad : S umber Ketiga Ajar= Islam, Op-Cit halaman 113
12
Kumpulan Falun Majelis (llama Indonesia (Jakarta : Pustaka Penjimes, 1984)
13
Angka-angka ini dikutip oleh Nasution dari Abdul Wahhab Kahllaf, Ilmu Ushut Fiqh (Jakarta :
Al.Majelis Al-Ala al-Indonesia G Ad-Da’wah .41.1slam(yah, 1972), halanum 32.33, Lihat
Nasution,clan Wahyu dalam Islam (Jakarta : Ul Press,1982),halaman 27-28
4
sumber hukum, tapi hanya metode penetapan hukum islam yang harus bersumber
dari al-Qur’an dan Hadits.14

Perubahan dan perkembangan hukum Islam


Gagasan lain yang juga cukup menonjol dari Nasution adalah
kemungkinan pemikiran Islam itu termasuk di bidang hukum untuk berubah
sesuai dengan tantangan zaman. Ini tercermin pada penegasannya yang
berulangkali dalam banyak tulisannya bahwa dari 6236 ayat al-Qur’an hanya 500
ayat yang berkenaan dengan seal iman, ibadat dan muamalat serta ditambah 500
ayat tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan
fenomena alam.
Dari 500 ayat di atas 140 ayat di antaranya mengenai ibadat 228 ayat
mengenai muamalat, dan sisanya berkenaan dengan soal iman. Kemudian dari 228
ayat ini dibagi lagi pada bidang hukum kekeluargaan 70 ayat, perekonomian 70
ayat, hukum pidana 30 ayat, hubungan orang Islam dengan golongan non-muslim
25 ayat, soal peradilan 19 ayat, hubungan kaya-miskin 10 ayat, dan soal
kenegaraan 10 ayat15
Ayat-ayat tentang hukum ibadat dan muamalat yang sangat sedikit itu
hanya mengatur dasar-dasar saja. Itupun sebagian kecil ayat itu yang dalilnya
bersifat qath’i (absolut) yang mengandung anti yangjelas tanpa dilakukan
interpretasi lagi, dan sebagian besar ayat-ayat itu bersifat Zhanni (relatif),
sehingga terbuka kepada berbagai penafsiran. Dalam sejarah pemikiran Islam di
bidang hukum ayat-ayat Zhanni telah menimbulkan berbagai macam interpretasi
yang terbesar dalam banyak mazhab, antara lain Hanafiyah, Malikiyah, Syafilyah
dan Hanabilah.
Salan pikiran seperti itu dikemukakan oleh Nasution untuk mendukung
argumennya bahwa pemikiran Islam termasuk di bidang hukum dapat berubah
sesuai dengan tantangan bare yang dihadapi. Hanya saja Nasution tidak pernah
menjelaskan ukuran yang dipakai untuk menilai suatu dalil bersifat qath’i atau
Zhanni. Biasanya ukuran yang dipakai adalah pengertian bahasa Arab bahwa nash
atau ayat yang dari segi bahasa hanya mengandung satu pengertian tanpa
interpretasi macam-macam dianggap qath’i.
Namun sekarang pemahaman semacam itu terasa tidak memadai lagi,
karena munculnya tantangan baru dalam kehidupan sosial kadangkadang
membuat umat Islam berpegang kepada pengertian yang tersimt, bukan pada yang
tersurat menurut bahasa suatu nash atau ayat, sehingga ayat yang semula dianggap
qath’i menjadi &kik qath’i lagi. Misalnya ayat 11 Surat An-Nisa yang telah
dikemukakan di alas bahwa pembagian harta waris antara pria dengan wanita
adalah 2:1 dulu dianggap qath’i, tapi umat Islam dewasaini cenderung memahami
makmiyang tersirat dengan menghubungkan pada konteks sosial Arab ketika ayat
itu turun, yang intinya menekankan rasa keadilan dalam hubungan antara pria
dengan wanita. Soalnya rasa keadilan itu berubah sejalan dengan perubahan
struktur sosial dari yang feodal-tradisional menuju struktur sosial moderen, den
perubahan sistem kekerabatan dari sistem patrilineal pada masyarakat Arab
menuju sistem kekerabatan -bilateral yang mulai berkembang seat ini di
Indonesia.16 Karena itu dapat dimengerti bila timbul gagasan yang menghendaki
14
Munawir Sjadzali, Gejala Krisis Integritas Ilmials di Kalangan Ilmuwan Islam, Dialog No. : 23,
1987, halaman 6
15
Abdoerroef, A1-Qur’an dan Ilmu Hukum (Jakarta : Milan Bintang, 1970), halaman 59-60
16
Tentang cistern-cistern kekerabatan ini, lihat Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi
5
pembagian harta waris itu bukan lagi 2:1, tapi 1:1. Pembagian 1:1 dirasakan tidak
bertentangan dengan al-Qur’an, tapi malah dianggap sejalan dengan prinsip
egalitarianisme atau persarrsan yang dibawa oleh kitab suci ini.
Untuk merumuskan kembali hukum islam guna dicari relevansinya dengan
perkembangan masyarakat kontemporer memang banyak konsep kunci yang
diwarisi dari zaman klasik yang hams dilihat kembali, selain konsep qath’i-
zhanni, jugs misalnya konsep nasikh-mansukh (penghapusan hukum). Konsep
nasakh ini perlu ditinjau kembali karena syarat-syarat penerapannya yang dibuat
oleh para ulama klasik terasa tidak memadai lagi. Kalau konsep nasakh ini
diperbaharui, make akan banyak aturan-aturan hukum yang selama ini dianggap
tidak bisa ditawar lagi akan dapat diperbaharui sejalan dengan munculnya
kesadaran hukum baru di kalangan umat.
Syarat-syarat nasakh tidak memadai lagi, karma tidak memperhitungkan
konteks sosial masing-masing nas atau dalil-dalil yang sating bertentangan.
Syarat-syarat nasakh yang berkembang selama ini ialah bahwa nasakh think
berkaitan dengan hukum yang berlakunya bersifat kekal seperti hukum jihad,
hukum yang dinasakh bukan hal-hal yang dianggap baik atau buruk menurut akal
seperti berbuat adil dan aniaya, hukum yang menasakh datang kemudian setelah
hukum yang dina-akh, dan dua clalil yang bertentangan itu talc dapat
dikompromikan.17
Di situ terlihat bahwa tiada disebut munculnya dalil-dalil karena
mempunyai konteks sosial tertentu, sehingga dalil-dalil yang tampak bertentangan
dapat dilihat konteks sosialnya masing-masing. Ini berarti konsep nasakh hares
diperbaharui dengan melihat konteks sosialnya. Kalau konsep nasakh diperbaharui
akan banyak ketentuan hokum yang dianggap baku Akan dapat dibongkar lagi.
Salah satu contoh aturan atau ketentuan hukum yang dapat diperbaharui
dengan meninjau kembali konsep naPqkh adalah hokum nikah mut’ah. Sebagian
besar ulama sepakat bahwa hukum nikah mut’ah adalah haram. Karma Nabi
memang pernah menghalalkan nikah tapi beliau kemudian mengharamkannya.
Hadits yang mengharamkan !Weak mut’ah yang datang kemudian menasakh
ketentuan hadits tentang halalnya nikah itu yang ada lebih dahulu.
Hadits yang menghalalkan nikah mut’ah antara lain sebuah riwayat dari
Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan “Kami pergi berperang bersama-sama
Nabi SAW, sedang kami tidak membawa istri. Karena itu, kami bertanya, apakah
tidak lebih balk kami mengebirikan diri haul? Rasulullah mencegah kami berbuat
demikian. Kemudian Rasulullah membolehkan kami mengawini wanita dengan
sekerat kain (untuk bates waktu tertentu). Sesudah itu beliau membaca ayat :
Wahai para mukmin, jangan kamu mengharamkan yang baik-baik, yang telah
Allah halalkan untukmu. “ Sedang hadits yang melarang nikah mut’ah antara lain
dari All bin Abi Thalib yang menjelaskan “Sesungguhnya Rasulullah mencegah
kita mengawini secara mut’ah pada hari Khaibar.”18
Kedua hadits yang bertentangan itu mempunyai konteks sosial yang
berbeda. Hadits tentang halalnya nikah mut’ah muncul pada mesa perang, yakni
ketika tentara-tentara muslim meninggalkan tempat tinggalnya untuk berperang di
daerah lain, sehingga mereka berada jauh dari istri mereka dan dikhawatirkan
mereka berbuat zina. Jadi ‘illat (alasan) hukum tentang halalnya nikah mut’ah

Sosial (Jakarta :Dian Rakjat, 1974), halaman 129-130


17
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Darul Fikr, tanpa tempat den tahun penerbitan), halaman 190-191
18
T. M Hasbi Ash-shiddieqy, 2002 Mutiaralladits, 7 jilid (Jakarta : Buten Bintang, 1974), jilid 5,
halaman 170-171
6
adalab keadaan darurat.
Sedang hadits yang menyatakan haramnya nikah mut’ah lahir pada masa
damai, yaitu masa di mana para sahabat berada di tempat masing-massing
bersama istri mereka. Ini berarti bahwa hadits yang bertentangan tali tentang
nikah mut’ah tidak saling menasakh, tapi berdiri sendiri, sehingga berarti bahwa
dalam keadaan darurat nikah mut’ah halal, tapi dalam keadaan damai atau normal
nikah semacam itu Karam.
Pembaharuan hukum Islam selain meninjau kembali konsep-konsep kunci
seperti qath’i dan zhanni, nasikh mansukh, juga dari watak hukum Islam itu yang
telah dirumuskan dalam kaidah-kaidah fiqh (legal maxims) seperti : “Takdapat
diingkari bahwa hukum itu berubah karena perubahan zaman. “ Soal perubahan
hukum ini kurang mendapat perhatian mendalam oleh Nasution.
Di samping itu perkembangan hukum Islam dalam pandangan Nasution
seolah-olah tidak mengalami kemajuan pada masa sekarang. Ini terlihat pada
pembagian tahap-tahap perkembangan hukum Islam yang dibuat oleh Nasution.
Nasution membagi periodisasi perkembangan hukum Islam pada empat tahap,
yaitu periode Nabi, periode sahabat, periode ijtihad dan kemajuan, serta periode
taqlid dan kemunduran.19
Periodisasi perkembangan hukum Islam itu menunjukkan bahwa sejak
periode ijtihad berakhir, maka mundurlah perkembangan hukum Islam sampai
sekarang. Periode ijtihad berlangsung dari tahun 700 sampai 1000 M. Periode ini
disebut juga periode pengumpulan hadits, ijtihad atau fatwa sahabat dan tabi’in.
Asumsi Nasution tentang kemunduran hukum Islam berbeda dengan
banyak penulis hukum Islam, balk dad kalangan Islam sendiri maupun orientalis.
Umumnya penulis hukum Islam berpendapat bahwa sejak awal abad ke-14 H
hukum Islam memasuki tahap barn dalam perkembangannya, yaitu tahap
kebangkitan setelah mengalami kemunduran kemunduran ratusan tahun.20
Tahap baru itu juga lazim disebut fase kebangkitan hukum Islam. Ini
ditandai dengan munculnya para penganjur pembaharuan dalam Islam seperti
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka mengajak
umat Islam untuk mempelajari huktim Islam dengan langsung merujuk kepada al-
Qur’an dan Hadits dalam menghadapi permasalahan hukum yang makin kompleks
di zaman moderen. Oleh sebagian penulis hukum Islam, fase kebangkitan ini
disebut sebagai fase nea-ijtihad.21 Ada pula yang menyebut periode kebangkitan
ini sebagai periode free will dalam perkembangan hukum Islam.22
Munculnya periode baru dalam perkembangan hukum Islam yang mulai
meninggalkan fase taqlid tidak berarti taqlid itu sudah hilang sama sekali. Taqlid
itu masih ada, yang terbukti dengan dipertahankannya mazhab-mazhab hukum
yang lahir dari periode ijtihad. Tapi dalam bermazhab umat Islam tidak lagi
bersikap tertutup pada mazhab lain yang pendapatnya dianggap lebih relevan
dengan permasalahan hukum barer.
Dengan begitu, periode kebangkitan hukum Islam ditandai juga dengan
perkembangannya metode perbandingan antara satu mazhab dengan mazhab lain
19
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 2 jilid (Jakarta : Bulan Bintang, 1974),
jilid 2, halaman 10
20
Sobhi Mahmassani, PHs*, Hokum &nom Islam (Bandung : Al-Maaric, 1977) halaman 37; juga
Hasbi Ash-Shiddiegy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkentbangan Hukum Islam (Jakarta : Bulan
Bintang, 1971), halaman 13
21
N. J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah (Jakarta : P3M, 1987) halaman 234-251
22
Anwar Ahmed Qadri, Islamic Jurisprudence in the Modern Work (Lahore-Pakistan : SH.
Muhammad Ashraelfashmiri Bazar, 1973), halaman 77-78
7
atau antara seorang ulama dengan ulama lain. Melalui can ini umat Islam dapat
mempertimbangkan pikiran-pikiran hukum Islam yang lebih sesuai dengan
kebutuhannya, mesh resminya umat Islam Indonesia menganut mazhab tertentu,
yakni mazhab Syafilyah.23
Pada periode kebangkitan hukum Islam ini telah banyak buku-buku
hukum ditulis yang tidak lagi mengikuti mazhab tertentu seperti di zaman taqlid.
Di antara buku-buku itu yang juga dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan
tinggi Islam seperti lAIN dan perguruan tinggi agama Islam yang lain ialah buku
Hadits hukum Subul As-Salarn, kaiya Ash- Shan’ani 2dan buku hukum Fiqh As-
Sunnah, karya Sayid Sabig.24
Dalam Fiqh As-Sunnah misalnya setiap pendapat suatu hukum selalu
dikembalikan kepada al-Qur’an dan Hadits secara pemikiran yang berkembang di
kalangan ulama, baik di lingkungan mazhab Ahlus-sunnah yang empat
(Hanafiyah, Malikiyah, Syafilyah, Hanbaliah) maupun di luar mereka, sehingga
toleransi bermazhab yang sering diserukan oleh Nasution telah baik sekali
diamalkan oleh buku ini.

Hukum Islam dan pembangunan


Dengan melihat hukum Islam bangkit kembali sejak abad ke-14 H, maka
gagasan pembaharuan pemikiran Islam di bidang hukum khususnya yang
diserukan oleh Nasution bukanlah hal barn. Tapi ini sama sekali tidak
mengecilkan arti Fsruan Nasution itu, karena pars ulama dan cendekiawan muslim
yang menyerukan ijtihad dan pembaharuan pemikiran hukum Islam masih relatif
kecil jumlahnya dibanding dengan mereka yang tidak begitu tertarik pada isyu
pembaharuan. Hanya saja masalah yang belum begitu disentuh oleh Nasution
ialah arah atau orientasi ijtihad dan pembaharuan pemikiran itu. Tampaknya
pembaharuan pemikiran Islam dimaksudkan untuk memacu kemajuan pemikiran
Islam dan kaum muslimin. Tapi kerangkanya belum ditunjukkan oleh Nasution.
Kajian hukum dewasa ini biasanya selalu dikaitkan dengan pembangunan.
Barangkali pembaharuan hukum Islam yang diserukan oleh Nasution juga
mempunyai tujuan seperti itu, sehingga yang harus dilakukan bila gagasan ijtihad
itu hendak dikembangkan ialah membuat hukum Islam itu berperan dalam proses
pembangunan. Tentu saja yang hams dipahami di sini ialah bagaimana hukum
Islam dapat menjalankan peran itu.
Dalam kaitan ini ada baiknya diketahui bahwa kajian hukum dalam proses
pembangunan sering dibedakan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial
dan rekayasa sosial. Sebagai sarana pengendalian sosial, hukum berfungsi untuk
mempertahankan suatu tertib atau pola kehidupan yang telah ada. Hukum di sini
sekedar menjalankan perannya sebagaimana yang telah ditentukan. Sedang
sebagai sarana rekayasa sosial, hukum berfungsi untuk melakukan perubahan
dalam masyarakat. Hukum tidak sekedar menegakkan pola-pola yang memang
telah ada dalam masyarakat, tapi juga berusaha untuk menciptakan hal-hal atau
hubungan-hubungan baru. Perubahan ini hendak dicapai dengan menga- rahkan
individu-individu kepada tujuan-tujuan yang hendak dicapai.25
Dilihat dari dua fungsi hukum itu, tampaknya hukum Islam lebih banyak
menjalankan fungsi yang pertama, yaitu sarana pengendalian sosial. Pembaharuan
23
Satjipto Rahardjo,Pernanjaatan Ilmu-ilmu Sosial Bagi pengembangan Ilmu Hukum (Bandung :
Alumni, 1977), halaman 143-145
24
Ash-Shen’ani, Subul As-Salam, 4 jilid (Bandung : Dahlan, t. t.)
25
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, 3 jilid (Beirut : Darul Fikl, 1983)
8
hukum Islam yang berlangsung selama ini terutama diarahkan pada pelaksanaan
fungsi ini. Pembentukan kompilasi hukum Islam baru-baru ini misalnya antara
lain untuk mencegah timbulnya konflik di kalangan umat akibat berkembangnya
berbagai pendapat ulama dan mazhab yang berbeda-beda tentang suatu masalah
hukum.
Padahal untuk mendorong pembangunan, hukum Islam hares juga
menjalankan fungsi rekayasa sosial, di samping fungsi pengendalian masyarakat.
Untuk ini seharusnya dirumuskan bentuk masyarakat muslim yang akan datang
katakanlah wujud baldatun thayythah wa rabbun ghafur (masyarakt sejahtera
yang diridhoi Tuhan) pada tahun 2000 atau abad ke-21 mendatang, kemudian
dirumuskan peran hukum Islam menuju masyarakat yang dibayangkan itu.
Namun hukum Islam saja tentu tidak cukup, tapi seluruh dimensi
pemikiran Islam harus diarahkan untuk memproyeksikan masyarakat masa depan,
sebagaimana pemikiran sosial moderen telah melakukannya atau
membayangkannya yang melahirkan berbagai macam proyeksi ten-tang
masyarakat di masa depan. Dengan kata lain, barangkali diperlukan integrasi
pemikiran Islam yang tak lagi terpecah-pecah secara tegas antara teologi, filsafat,
mistisisme dan hukum seperti yang teijadi saat
Dalam kaitan itu gagasan Nasution yang menyerukan ijtihad di semua
bidang pemikiran Islam cukup relevan. Hanya saja dalam usianya 70 tahun ini
Nasution tidak bisa diharap lebih banyak lagi berkiprah secara nyata dalam
pengembangan dan pembaharuan pemikiran Islam. Tugas generasi berikutnyalah
untuk melanjutkan pengembangan gagasan besar ini. Allahu ‘slam.

Anda mungkin juga menyukai