Anda di halaman 1dari 18

Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M.

Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 371

Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi


dalam Falsafat dan Teologi

Abdus Syakur
Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Jakarta
abdussyakur1991@gmail.com

Abstract: This writing is focused on the polemic that occurred between Harun Nasution and H.M.
Rasjidi, particularly in the problems of philosophy and theology. In terms of philosophy, it is focused
on reason and revelation (al-‘aql wa al-manqūl), whereas of theology is focused on the relevance of
Mu‘tazila rational theology. In the view of Harun Nasution, reason can know God (ma‘rifa Allāh),
the liability to know God (wujūd ma‘rifa Allāh), to know good and evil (ma‘rifa al-ḥusn wa al-qubḥ)
and the liabilities to do good deeds and liabilities to avoid misconduct (wujūb i‘tināq al-ḥasan wa
ijtināb al-qabīḥ), while the revelation serves the details of those are known by reason. In the view of
H.M. Rasjidi, reason can only know God, while the others can only be known through revelation.
Harun Nasution considers that the rational theology of Mu‘tazila is needed as alternative solution
to overcome the backwardness of Muslims. H.M. Rasjidi considers that the rational theology of
Mu‘tazila is considered dangerous to the power of faith.
Keywords: Reason and revelation, Rational theology of Mu‘tazila, Philosophy

Abstraksi: Tulisan ini fokus pada polemik yang terjadi antara Harun Nasution dan H.M. Rasjidi,
khususnya dalam persoalan falsafat dan teologi. Falsafat berfokus pada akal dan wahyu (al-‘aql
wa al-manqūl), sementara teologi berfokus kepada relevansi teologi rasional Mu‘tazilah. Dalam
pandangan Harun Nasution, akal dapat mengetahui Tuhan (ma‘rifah Allah), kewajiban mengetahui
Tuhan (wujūb ma‘rifah Allah), mengetahui baik dan buruk (ma‘rifah al-ḥusn wa al-qubḥ), dan
kewajiban mengerjakan perbuatan baik serta kewajiban menjauhi perbuatan jahat (wujūb i‘tināq al-
ḥasan wa ijtināb al-qabīḥ), sedangkan wahyu berfungsi sebagai perinci terhadap apa yang diketahui
oleh akal tersebut. Dalam pandangan H.M. Rasjidi, akal hanya dapat mengetahui Tuhan, sementara
tiga persoalan lainnya hanya dapat diketahui melalui wahyu. Harun Nasution memandang bahwa
teologi rasional Mu‘tazilah dibutuhkan sebagai solusi alternatif untuk mengatasi keterbelakangan
umat Islam. Sementara menurut H.M. Rasjidi, teologi rasional Mu‘tazilah dianggap berbahaya
terhadap kekuatan iman.
Katakunci: Akal dan wahyu, Teologi rasional Mu‘tazilah, Filsafat


Artikel ini merupakan ringkasan dari skripsi penulis berjudul, Polemik Harun Nasution H.M. Rasjidi dalam
Falsafat dan Teologi. Fakultas Ushuluddin, Aqidah Falsafat UIN Jakarta, 2015.

371
372 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

Pendahuluan di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, setelah


Harun Nasution dan H.M. Rasjidi ada­lah buku ini meluas, H.M. Rasjidi meluncurkan
pemikir yang memiliki pengaruh besar terhadap kritik tajam kepada Harun Nasution menyangkut
corak pemikiran Islam di Indonesia. Akan cara pandangnya tertulis dalam bukunya
tetapi, ada sebuah fenomena yang tidak bisa tersebut. H.M. Rasjidi menulis buku secara
dipungkiri dari dua tokoh tersebut. Sejarah khusus berisi kritik terhadap Harun dengan
pemikiran Islam Indonesia mencatat bahwa judul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution
dua tokoh tersebut pernah terlibat dalam tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
sebuah polemik pemikiran. Kenyataan tersebut (Selanjutnya ditulis Koreksi terhadap Dr. Harun
menorehkan sebuah konflik intelektual yang Nasution). Melalui buku tersebut H.M. Rasjidi
berkepanjangan yang masih kita rasakan hingga mengatakan bahwa pemikiran Harun Nasution
saat ini. sangat berbahaya bagi umat Islam.
Harun Nasution dikenal sebagai pencetus,
pelopor, dan penggerak kajian falsafat Islam Seputar Polemik Harun-Rasjidi
secara akademis di Indonesia. Harun Nasution Ada banyak hal diperbincangkan Harun
juga dikenal sebagai tokoh yang sangat Nasution dan H.M. Rasjidi dalam polemik
gencar dalam menyuarakan pemahaman tersebut. Akan tetapi tulisan ini hanya mengulas
‘Islam rasional.’ Sementara itu, H.M. Rasjidi dua persoalan, yaitu falsafat dan teologi. Falsafat
dikenal sebagai tokoh yang sangat aktif dalam difokuskan pada persoalan akal dan wahyu,
mengritik setiap pandangan yang dianggap sementara teologi difokuskan pada persoalan
tidak sesuai dengan dasar pemikiran Islam. relevansi teologi rasional Mu‘tazilah.
Salah satu bentuk kritik tersebut ditujukan Berkenaan dengan masalah akal dan wahyu,
kepada Harun Nasution. Ia memandang bahwa Harun Nasution memandang bahwa peran akal
Harun Nasution telah menyebarkan semangat sangat tinggi dalam Islam. Hal ini dapat dilihat
Islam liberal di Indonesia. dari ungkapan Harun Nasution berikut,
Pada sekitar tahun 1970an Harun Nasution
menulis sebuah buku berjudul Islam Ditinjau (Islam) mengandung anjuran, dorongan,
dari Berbagai Aspeknya se­bagai salah satu upaya bahkan perintah agar manusia banyak berpikir
untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam dan menggunakan akalnya. Berpikir dan
menggunakan akal adalah ajaran yang jelas dan

Nanang Tahqiq, “Kajian dan Pustaka Falsafat
tegas dalam al-Qur’ān (wahyu).....Begitulah
Islam di Indonesia” dalam Ilmu Ushuluddin, Vol. 2, tinggi kedudukan akal dalam Islam.
No. 2, Juli 2014, Ciputat: Hipius (Himpunan Peminat
Ilmu-Ilmu Ushuluddin), 178.
Ungkapan Harun Nasution di atas me­

Ariendonika, “Sketsa Sosial Intelektual Harun
Nasution” dalam Teologi Rasional: Apresiasi terhadap nunjukkan bahwa dalam Islam akal memiliki
Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta: Ciputat peran yang sangat penting di samping wahyu.
Press, 2001), 22.

Azyumardi Azra, “H.M. Rasjidi, BA:
Pembentukan Kementerian Agama dalam Revolusi” 
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam
dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), (Jakarta: UI-Press, 2011), 48 .
Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik 
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,
(Jakarta: INIS, Balitbang, dan PPIM, 1998), 28. 49.
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 373

Pandangan Harun Nasution yang terkesan untuk memilih aliran teologi atau falsafat hidup
menjunjung tinggi posisi akal mendapat kritik yang sesuai dengan jiwanya.
dari H.M. Rasjidi,
Harun Nasution menunjukkan bahwa selain
Membaca (pemikiran Harun Nasution) Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah, pemikiran
ada pandangan yang sangat penting, tetapi Mu‘tazilah juga tidak keluar dari ajaran Islam.
berbahaya, yaitu kepercayaan yang berlebih- Bagi Harun Nasution setiap individu bebas
lebihan terhadap akal. Mestinya umat Islam memilih teologi tertentu yang dianggap sesuai
ingat kepada ayat al-Qur’ān yang menunjukkan dengan rasio dan jiwanya, termasuk memilih
keterbatasan akal. teologi rasional Mu‘tazilah.
Pandangan Harun Nasution di atas memang
Kutipan di atas merupakan penolakan H.M. bertolak belakang dari pandangan umum
Rasjidi terhadap cara pandang Harun Nasution khususnya di Indonesia yang mengatakan
yang dianggap terlalu memuja kemampuan akal. bahwa Mu‘tazilah adalah aliran yang tidak
Menurutnya, setiap Muslim harus meyakini sesuai dengan ajaran Islam. Wajar apabila H.M.
bahwa semua kebenaran yang timbul sebagai Rasjidi menolak pandangan Harun Nasution
produk akal manusia bersifat nisbi. Kebenaran tersebut. H.M. Rasjidi berkomentar,
yang pasti hanya datang dari Tuhan, sementara
kemampuan akal sangat terbatas. (Harun Nasution berusaha) menghidupkan
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kembali golongan Mu‘tazilah sebagaimana
Harun Nasution dan H.M. Rasjidi memberikan orang terpelajar yang menghayati Islam. Tentu
porsi yang berbeda dalam memandang peran akal saja pemikiran semacam itu sangat berbahaya
dan wahyu. Oleh karena itu, persoalan ini sangat terhadap umat Islam Indonesia.
penting dikaji untuk mengetahui pandangan
Harun Nasution dan H.M. Rasjidi tentang akal Pandangan H.M. Rasjidi sangat kontras
dan wahyu secara lebih mendalam. terhadap pandangan Harun Nasution. Ke­nya­
Dalam bidang teologi, Harun Nasution me­ taan bahwa Harun Nasution dengan tanpa
mang sangat terobsesi kepada spririt rasiona­litas ragu memunculkan kembali spirit teologi ra­
Mu‘tazilah. Sejalan dengan itu, Harun Nasution sional Mu‘tazilah merupakan hal yang cukup
berusaha menjelaskan bahwa pemikiran mengejutkan dalam konteks keagamaan
Mu‘tazilah tidaklah keluar dari ajaran Islam, di Indonesia. Karena itulah H.M. Rasjidi
menganggap pemikiran Harun Nasution
Ketiga aliran ini (Asy‘ariyyah, Māturīdiyyah, sangat berbahaya.
dan Mu‘tazilah) tidak keluar dari ajaran Islam. Inti dari perbedaan pandangan Harun
Semua masih dalam lingkungan Islam dan oleh Nasution dan H.M. Rasjidi di atas ialah me­
karena itu setiap orang Islam punya kebebasan nyangkut persoalan apakah teologi rasional


H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun 
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 2012), Jil. II, 39.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 111. Selanjutnya ditulis 
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun
Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution. Nasution, 107.
374 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

Mu‘tazilah relevan atau tidak jika dimunculkan (theory of knowledge)11 dan aksiologi (theory
kembali. Mengapa Harun Nasution memandang of value.) Dari ketiga cabang inilah obyek
relevan dan mengapa H.M. Rasjidi menganggap pembahasan falsafat menjadi turunan yang
tidak relevan. Perbedaan pandangan tentang hal lebih rinci, lebih mendalam dan lebih canggih.
ini selalu menghadirkan polemik baru bagi para Akan tetapi pembahasan falsafat dalam
komentator baik yang pro maupun yang kontra tulisan ini lebih ditekankan pada wilayah
terhadap pemikiran kedua tokoh tersebut. Oleh epistemologi, khususnya menyangkut masalah
karena itu, persoalan ini penting dikaji untuk akal dan wahyu.
mengetahui argumentasi Harun dan Rasjidi Dalam dialog masalah akal dan wahyu,
secara lebih mendalam. setidaknya ada dua obyek pembahasan sering
diperbincangkan: teologi dan etika. Teologi
Polemik Falsafat
Secara sederhana falsafat berarti cinta 11
Istilah epistemologi diambil dari bahasa Yunani
kebijaksanaan atau the love pursuits wisdom,10 episteme (pengetahuan) dan logos (teori), sehingga
epistemologi sering diartikan teori pengetahuan (theory
yakni cinta akan pengetahuan yang menda­lam. of knowledge) atau pengetahuan tentang pengetahuan
Dalam pengertian yang lebih luas, falsafat (knowledge about knowledge.) William L. Reese,
adalah cara berpikir yang mendalam terhadap Dictionary of Philosophy and Religion (New York:
Humanity Books, 1999), 205. Secara umum yang
segala sesuatu. Dalam pengertian ini, obyek menjadi fokus pembahasan epistemologi adalah: dari
pemikiran falsafat menjadi tidak terbatas. mana kita memeroleh pengetahuan? Bagaimana hubungan
Falsafat dalam pengertian sebuah disiplin subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui? Apa
kriteria pengetahuan yang disebut benar? Dan sampai
ilmu, digolongkan ke dalam tiga kategori—
di manakah batas pengetahuan? Jadi pada dasarnya
atau disebut juga sistematika falsafat—yaitu epistemologi merupakan upaya evaluatif dan kritis
ontologi (theory of being), epistemologi tentang pengetahuan (knowledge) manusia. Inilah yang
kemudian dikembangkan dalam sistem epistemologi
Barat sehingga melahirkan berbagai aliran. Pengetahuan
10
Secara etimologis, falsafat berasal dari bahasa manusia diperoleh dari sebuah obyek ontologis yang
Yunani, philosophia. Istilah tersebut berasal dari dua menjadi titik tolak dari pengetahuan itu sendiri. Ontologi
gabungan kata, philo berarti ‘cinta’ dan sophia berarti secara garis besar terdapat dua aliran yaitu materialisme
‘kebijaksanaan’ (wisdom.) Paul Edwards (ed.), The dan idealisme. Materialisme adalah pandangan falsafi
Encyclopedia of Philosophy (New York: Macmillan yang menganggap bahwa realitas hanya terdiri dari
Publishing Co., 1967), 216. Orang Arab memindahkan materi. Inilah yang kemudian menjadi konsepsi dasar
kata Yunani philoshophia ke dalam bahasa mereka aliran empirisme. Empirisme adalah aliran epistemologi
disesuaikan dengan tabiat dan susunan kata-kata Arab, yang menganggap bahwa realitas terbatas pada obyek-
dengan pola fa‘lala, fa‘lalah, dan fi‘lālan sehingga obyek yang hanya dapat diobservasi melalui ‘pengalaman’
menjadi falsafa-falsafah-filsāfan. Dengan demikian, indrawi. Aliran ini meyakini bahwa pengalaman (empiris)
mestinya kata benda yang berasal dari kata kerja falsafa merupakan satu-satunya sumber pengetahuan.
adalah falsafah (diakhiri denga huruf tā’ marbūṭah) dan Di sisi lain idealisme menyatakan bahwa ‘idea’
filsāfan. Di Indonesia istilah tersebut dikenal dengan merupakan kunci untuk memahami realitas. Idealisme
‘filsafat.’ Secara etimologis, istilah ‘filsafat’ bukan berpendapat bahwa realitas merupakan penjelmaan dari
berasal dari kata Arab falsafah dan juga bukan dari kata idea atau pikiran. Inilah yang kemudian menjadi asumsi
Barat philosophy. Karena alasan inilah Harun Nasution dasar aliran rasionalisme. Rasionalisme adalah sebuah
lebih sering menggunakan istilah falsafah atau falsafat, aliran epistemologi yang meyakini bahwa akal (rasio)
dan lebih cocok untuk didasarkan kepada bahasa Arab. merupakan sumber utama bagi pengetahuan. Rasionalisme
Lih. Harun Nasution, Falsafat Agama (Jakarta: Bulan berpendapat bahwa proses pemikiran abstrak (rasional)
Bintang, 2003), 3. Begitu pula penggunaan kata ‘falsafat’ dapat mencapai pengetahuan dan kebenaran fundamental
dalam artikel ini. yang tidak dapat diragukan.
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 375

meliputi dua hal, yaitu mengetahui Tuhan Kesadaran.)12 Dalam menjelaskan falsafat Ibn
(ma‘rifah Allah) dan kewajiban mengetahui Ṭufayl itu Harun Nasution menulis,
Tuhan (wujūb ma‘rifah Allah.) Etika juga
meliputi dua hal, yaitu mengetahui baik dan Sungguhpun dari sejak bayi Ḥayy hidup tersen­
buruk (ma‘rifah al-ḥusn wa al-qubḥ) dan diri di suatu pulau terasing dan dibe­sarkan oleh
kewajiban mengerjakan perbuatan baik serta seekor rusa, ia dapat memeroleh pengetahuan-
larangan melakukan perbuatan jahat (wujūb pengetahuan. Pemikiran akal akhirnya dapat
i‘tināq al-ḥasan wa ijtināb al-qabīḥ.) Empat membawa Ḥayy kepada pengetahuan dan
persoalan inilah yang akan dianalisis terkait pengakuan keberadaan Tuhan.13
perbedaan pandangan Harun Nasution dan
H.M. Rasjidi. Dalam falsafat Ibn Ṭufayl, sebagaimana
Untuk menelusuri persoalan di atas, tersirat dalam Ḥayy ibn Yaqẓān, dengan
kita bisa melihat Harun Nasution—sebagai­ melakukan perenungan mendalam terhadap
mana sering dikatakan—sebagai penganut alam semesta, manusia mampu mencapai
pemikiran Mu‘tazilah (neo-Mu‘tazilah), keyakinan akan keberadaan Tuhan.14 Melalui
sementara H.M. Rasjidi sebagai penganut argumen di atas, Harun Nasution menyim­
pemikiran Asy‘ariyyah. pulkan bahwa antara akal dan wahyu (al-ma‘qūl
Dalam bidang pemikiran, Harun Nasution wa al-manqūl) tidak bertentangan. 15 Pada
memang lebih cenderung berpihak pada hakikatnya, baik akal maupun wahyu, akan
pendapat-pendapat Mu‘tazilah. Akan tetapi sampai kepada pengetahuan tentang keberadaan
ini tidak berarti bahwa secara keseluruhan Tuhan. Pengetahuan yang dicapai oleh akal
Harun Nasution sepakat terhadap pandangan- merupakan hasil pemikiran falsafi, sementara
pandangan Mu‘tazilah. Dalam beberapa hal pengetahuan yang didapat dari wahyu adalah
Harun Nasution memberikan komentar kritis informasi yang diberikan Tuhan melalui rasul.
terhadap pendapat-pendapat Mu‘tazilah,
apabila dianggap tidak sesuai dengan pemi­
kirannya. Demikian pula, kita bisa mengin­
12
Pentingnya falsafat Ibn Ṭufayl tentang akal dan
wahyu sering disinggung secara singkat oleh Harun
dentikkan pemikiran H.M. Rasjidi dengan Nasution dalam beberapa karyanya, di antaranya: Islam
pendapat-pendapat Asy‘ariyyah, mengingat Dintinjau dari Berbagai Aspeknya, jil. II, 52; Teologi
ia sangat kuat dalam membela pandangan- Islam (Jakarta: UI-Press, 2010), 97; Akal dan Wahyu
dalam Islam, 86.
pandangan Asy‘ariyyah. Ini adalah langkah 13
Harun Nasution, Islam Dintinjau dari Berbagai
awal untuk mengidentifikasi pemikiran dua Aspeknya, Jil. II, 52.
tokoh tersebut secara lebih jauh. 14
Melalui karya monumental Ḥayy ibn Yaqẓān,
Ibn Ṭufayl berpendapat bahwa akal dapat mencapai
Dalam persoalan mengetahui Tuhan,
pengetahuan hakiki dan ‘Kebenaran Mutlak,’ yaitu
Harun Nasution tampak sepakat bahwa Tuhan. Secara esoterik akal dapat mengetahui Tuhan,
akal dapat mengetahui Tuhan. Argumen meskipun seandainya tidak ada wahyu. Pengetahuan
yang dicapai oleh akal menurutnya tidak bertentangan
ini terlihat dari pemaparan Harun Nasution
dengan apa yang terdapat dalam wahyu. Untuk
dalam mengemukakan falsafat Ibn Ṭufayl mengetahui falsafat Ibn Ṭufayl secara lebih jauh tentang
tentang Ḥayy ibn Yaqẓān (Kehidupan anak harmonisasi akal dan wahyu, lih. Aḥmad Amīn (ed.),
Ḥayy ibn Yaqẓān (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1966.)
15
Harun Nasiton, Akal dan Wahyu dalam Islam, 86.
376 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

Dengan demikian jelas bahwa Harun Nasution falsafat Ibn Ṭufayl. Akal betul dapat mengetahui
memandang akal dapat mengetahui Tuhan. kewajiban menyembah Tuhan, tetapi wahyu—
Soal kewajiban mengetahui Tuhan, Harun syari‘at—lah yang menjelaskan bentuk-bentuk
Nasution memang terlihat tidak memiliki kewajiban tersebut.19 Mengenai falsafat Ibn
pendirian yang tegas. Akan tetapi melalui Ṭufayl Harun Nasution menuliskan,
komentar-komentarnya terhadap Mu‘tazilah
dapat terlihat bagaimana kecen­derungannya. Jadi, ketika Amsal, seorang ulama dari pulau
Dalam pandangan Mu‘tazilah, Abū Hudzayl— lain, pindah ke tempat terpencil itu dan
salah satu tokoh penting dalam aliran menjelaskan kepada Ḥayy tentang syari‘at
Mu‘tazilah—berpendapat bah­wa sebelum yang diwahyukan Tuhan kepada manusia,
diturunkan wahyu, manusia wajib mengetahui Ḥayy dapat mengerti dan menerima ajaran-
Tuhan. Kalau ia menga­baikannya, ia akan ajaran itu. Tapi Ḥayy tidak tahu cara sebenarnya
dikenakan dosa dan siksa.16 Demikian pula ia menyembah Tuhan, dan Amsallah yang
mengetahui kewajiban untuk menyembah atau menerangkan kepadanya salat, zakat, puasa,
berterima kasih kepada Tuhan. Dalam hal ini, dan naik haji ke Makkah.20
Harun Nasution memberikan komentar,
Melalui argumen di atas, Harun Nasution
Akal betul dapat mengetahui kewajiban benar-benar ingin mengatakan kepada kita
berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah bahwa pada dasarnya akal sebenarnya mampu
yang menerangkan kepada manusia cara yang mengetahui Tuhan. Akan tetapi akal tidak
tepat menyembah Tuhan.17 mampu mengetahui dengan pasti bagaimana
cara berterima kasih kepada Tuhan yang
Komentar Harun Nasution di atas juga merupakan bentuk kewajiban manusia terhadap
di­dasarkan pada pendapat salah satu pemuka Tuhan. Yang demikian itu dapat diketahui
Mu‘tazilah lainnya, Abū Hāsyim. Ia menga­ melalui wahyu.
takan bahwa praktik-praktik dalam ibadah Mengenai persoalan di atas, H.M. Rasjidi
seperti dalam pelaksanaa salat dan tawaf di tampak memiliki pendapat yang berbeda dari
sekeliling Ka‘bah diketahui bukan melalui akal, Harun Nasution. Dalam soal mengetahui Tuhan,
melainkan melalui wahyu.18 Harun Nasution terlihat H.M. Rasjidi memandang bahwa Tuhan
juga menyandarkan argumen tersebut pada
19
Argumen ini disandarkan pada falsafat Ibn
16
Al-Syahrastānī, Al-Milal wa al-Niḥal, 46. Ṭufayl sebagaimana terdapat dalam kisah Ḥayy ibn
17
Harun Nasution, Kaum Mu‘tazilah dan Yaqẓān. Ḥayy dari kecil tidak pernah mengenal
Pandangan Rasionalnya (Jakarta: Yayasan Tridharma wahyu. Namun melalui kekuatan akalnya, ia mampu
Utama, 1979), 22-3. mengetahui Tuhan. Meski demikian Ḥayy tidak bisa
18
Harun Nasution, Teologi Islam, 96. Kalau mengetahui bagaimana cara menyembah Tuhan.
merujuk kepada pandangan-pandangan Abū Hasyim Hingga akhirnya Ḥayy bertemu seseorang yang
sebagaimana terdapat dalam Al-Milal wa al-Niḥal, tidak bernama Amsal. Kemudian Amsal menjelaskan syari’at
ditemukan pendapat yang demikian. Namun argumen Tuhan yang disampaikan melaui wahyu kepada Ḥayy.
tersebut betul dikemukakan oleh tokoh Mu‘tazilah Dari Amsallah kemudian Ḥayy mengetahui bagaimana
sebagaimana disampaikan oleh ‘Abd al-Jabbār Aḥmad cara menyembah Tuhan. Harun Nasution, Teologi
dalam Syarḥ Uṣūl al-Khamsah (Kairo: Maktabah Islam, 96.
Wahbah, 1988), 563. 20 Harun Nasution, Teologi Islam, 97.
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 377

tidak dapat diketahui oleh akal.21 Hal itu dapat Ada kemungkinan lain untuk menelusuri
diketahui dari ungkapannya sebagai berikut, persoalan di atas. Dalam menjelaskan ke­
mampuan akal, H.M. Rasjidi bertolak pada
Soal kepercayaan atau metafisika tidak dapat epistemologi Immanuel Kant (1724-1804.)
diketahui oleh akal karena tak ada orang yang H.M. Rasjidi mengatakan bahwa akal hanya
dapat membuktikan dengan meyakinkan dapat mengetahui phenoumenon dan tidak
mengenai apa yang dianggapnya benar.22 dapat mengetahui noumenon. Tentang falsafat
Imanuel Kant H.M. Rasjidi menuliskan,
Kutipan di atas sangat cukup untuk
menyimpulkan bahwa dalam pandangan H.M. Immanuel Kant—yang disebut sebagai bapak
Rasjidi hal-hal yang menyangkut metafisika falsafat kritik—telah menulis buku yang
tidak dapat dibuktikan melalui akal. Dengan berjudul Critique of Pure Reason. Dalam buku
demikian, pengetahuan tentang Tuhan juga tersebut ia menganalisis akal dan fungsinya
tidak dapat dipahami dan dibuktikan melalui serta menunjukkan keterbatasan akal. Yang
akal. Hal itu dipertegas dengan penjelasannya diketahui akal adalah phenoumenon, hal-hal
tentang periodisasi turun wahyu. Al-Qur’ān yang tampak (secara empiris.) Di belakang
yang pertama-tama turun lebih menekankan phenoumenon ada noumenon atau hakikat
kepercayaan kepada Tuhan. Ayat-ayat tersebut sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal.24
ditandai dengan penjelasan tentang keteraturan
alam semesta. Maka kemudian manusia beriman Yang akan kita bicarakan di sini adalah
dan meyakini keberadaan Tuhan.23 Singkatnya, apa yang dimaksud dengan noumenon karena
melalui perantara wahyulah manusia bisa itulah yang menyangkut pengetahuan metafisik,
mengetahui Tuhan. sedangkan phenoumenon adalah obyek fisik
Jika kesimpulan di atas betul, berarti yang jelas dapat diketahui secara empiris.
pandangan H.M. Rasjidi sangat ekstrim, bahkan Bagi Kant, noumenon adalah sebuah substansi
lebih tradisional dibandingkan Asy‘ariyyah, yang menransendensi pengalaman dan seluruh
karena menurut Asy‘ariyyah Tuhan dapat pengetahuan rasional. Rasio megetahui bahwa
diketahui melalui akal. Akan tetapi apakah itu ‘ada,’ tetapi tidak mengetahui seperti
betul pandangan H.M. Rasjidi demikian? ‘apakah’ eksistensinya.25 Dengan kata lain,
noumenon itu ada dapat dipahami oleh rasio,
21
Dalam salah satu tulisannya, H.M. Rasijidi
tetapi rasio tidak dapat mengetahui seperti
meyepakati sebuah pernyataan “satu-satunya yang tak apa dan bagaimana ‘keberadaanNya.’ Dengan
dapat dimengerti adalah Tuhan.” H.M. Rasjidi, Koreksi demikian, sebe­narnya akal dapat mengetahui
terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi
keberadaan Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui
(Jakarta: Bulan Bintang, 1972),19. Ungkapan tersebut
bukan berarti bahwa Tuhan tak dapat diketahui akal, seperti apa dan bagaimana wujudnya. Hal ini
akan tetapi bahwa semua hal yang menyangkut Tuhan se­suai dengan ungkapan H.M. Rasjidi yang me­
tidak dapat dibuktikan secara ‘ilmu pengetahuan’ dalam
arti sains-positif.
22
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun 24
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun
Nasution, 107. Nasution, 112.
23
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun 25
Philipus Tule, Kamus Filsafat (Bandung:
Nasution, 72. Rosdakarya, 1995), cet. I, 226-7.
378 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

ngatakan bahwa, untuk mengetahui Keberadaan diketahui malalui wahyu. Dengan demikian,
Tuhan, bisa ditempuh dengan pemikiran.26 pendapat H.M. Rasjidi sama dengan pan­dangan
Dari uraian di atas, semestinya H.M. Asy‘ariyyah, yakni kewajiban-kewa­jiban hanya
Rasjidi menerima pendapat bahwa akal dapat dapat diketahui melalui wahyu, termasuk
mengetahui Tuhan. Alasan ini tentu lebih kuat kewajiban mengetahui Tuhan.
dibandingkan dengan kemungkinan pertama. Selanjutnya kita beralih pada persoal­
Hal ini juga sesuai dengan pandangan an etika, yakni persoalan baik dan buruk.
Asy‘ariyyah bahwa akal dapat mengetahui Dalam persoalan mengetahui baik dan buruk,
Tuhan.27 Dengan demikian, dapat dikata­ Harun Nasution menolak anggapan bahwa
kan bahwa menurut H.M. Rasjidi akal menurut Mu‘tazilah akal dapat mengetahui
dapat mengetahui Tuhan, tetapi ia memiliki segala yang baik dan segala yang buruk,
pemikiran kontradiktif: di satu sisi menerima, sebagaimana dikatakan oleh al-Syahrastānī
di sisi lain menolak. dalam Al-Milal wa al-Niḥal. Dalam hal ini
Dalam soal kewajiban mengetahui Harun Nasution menuliskan,
Tuhan atau berterima kasih kepada Tuhan,
pandangan H.M. Rasjidi tidaklah jelas dalam Menurut al-Syahrastānī, Mu‘tazilah ber­
tulisan-tulisannya. Untuk mengetahuinya, keyakinan akal dapat mengetahui segala apa
bisa dilihat dari penjelasannya tentang ibadah yang baik dan segala apa yang buruk. Akan
kepada Tuhan, tetapi keterangan al-Syahrastānī tersebut
kelihatannya kurang tepat. Bagi Mu‘tazilah
Syari‘at Islam yang pokok adalah ta‘abbud, akal dapat mengetahui sebagian dari yang baik
yakni lakukan apa yang diperintahkan oleh dan sebagian dari yang buruk.29
agama (wahyu) dengan jangan tanya mengapa
demikian. Kewajiban-kewajiban telah Melalui prinsip di atas kemudian Harun
ditentukan oleh agama (wahyu.)28 Nasution menjelaskan bahwa akal dapat
me­ngetahui kewajiban secara garis besar,
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa tetapi tidak dapat mengetahui perinciannya.30
kewajiban-kewajiaban kepada Tuhan dapat Misalnya, akal dapat memahami kewajiban
untuk menjauhi perbuatan yang membawa
‘Pemikiran’ yang dimaksud adalah pere­nungan
26
kemudaratan, tetapi akal tidak dapat menge­
yang mendalam terhadap segala sesuatu. Misal,
perenungan yang mendalam terhadap etika menjadikan
tahui secara rinci perbuatan apa saja membawa
manusia yakin terhadap keberadaan Tuhan dan Hari kebaikan atau kemudaratan. Sebagai contoh,
Akhir. H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun kejahatan tidak dapat diketahui oleh akal
Nasution, 51.
adalah zina. Dengan menyandarkan kepada
27
Abū Ḥasan al-Asy‘arī—pendiri madzhab
Asy‘ariyyah—memandang bahwa akal dapat pendapat-pendapat Mu‘tazilah Harun Nasution
mengetahui Tuhan. Sedangkan kewajiban-kewajiban mengatakan, jika sekiranya kita tidak percaya
dapat diketahui melalui wahyu. Lih. Al-Syahrastānī,
kepada wahyu dibawa Nabi Muḥammad,
Al-Milal wa al-Niḥal, 88. Yang dimaksud kewajiban-
kewajiban meliputi kewajiban mengetahui Tuhan dan
kewajiban melakukan perbuatan baik. 29
Harun Nasution, Teologi Islam, 83.
28
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun 30
Harun Nasution, Kaum Mu‘tazilah dan
Nasution, 82. Pandangan Rasionalnya; Teologi Islam, 98.
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 379

kejahatan yang terkandung dalam zina akan melalui wahyu. Dalam soal mencuri, Harun
lenyap. 31 Oleh karena itu, wahyu tetap diperlukan Nasution berbeda pendapat dari Mu‘tazilah.
untuk menentukan baik dan buruk. Mu‘tazilah mengatakan bahwa mencuri adalah
Untuk menjelaskan persoalan di atas Harun manākir al-syar‘iyyah, sementara menurut
Nasution menyandarkan kepada pendapat- Harun Nasution memandang bahwa mencuri
pendapat yang dikemukakan oleh al-Qāḍī ‘Abd adalah perbuatan buruk yang dapat diketahui
al-Jabbār—salah satu pemuka Mu‘tazilah. melalui akal atau manākir al-‘qliyyah. 35
Sebagaimana dijelaskan Harun Nasution, Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
‘Abd al-Jabbār membagi perbuatan manusia menurut Harun Nasution betul akal dapat
ke dalam empat hal. Pertama, manākir al- mengetahui baik dan buruk, tetapi hanya
‘aqliyyah, yaitu perbuatan yang dicela atau garis besarnya saja. Kewajiban-kewajiban dan
perbuatan buruk yang dapat diketahui oleh larangan-larangan secara lebih rinci, dapat
akal, seperti ketidakadilan dan dusta. Kedua, diketahui melalui wahyu. Oleh karena itu,
manākir al-syar‘iyyah, yaitu perbuatan yang wahyu mutlak dibutuhkan karena akal tidak
dicela oleh syari‘at atau hanya diketahui dapat mengetahui segalanya.
melalui wahyu, seperti mencuri, berzina, dan Selanjutnya, bagaimana pendapat H.M.
memimun minuman keras.32 Ketiga, al-wājibāt Rasjidi tentang dua persoalan di atas? H.M.
al-‘aqliyyah yaitu kewajiban atau perbuatan Rasjidi tidak banyak membahas persoalan
baik yang diketahui oleh akal, seperti kewajiban tersebut dalam berbagai tulisannya. Namun
berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban demikian H.M. Rasjidi mengatakan bahwa
membayar hutang. Keempat, al-wājibāt al- salah satu problem yang dihadapi manusia
syar‘iyyah yaitu kewajiban atau perbuatan adalah menentukan manakah perbuatan yang
baik yang diketahui melalui wahyu, seperti baik dan manakah perbuatan yang buruk.
mengucapkan kedua kalimat syahādah dan Dengan demikian, di situlah letak pentingnya
kewajiban melaksanakan salat.33 agama (wahyu.)36 Singkatnya, perbuatan baik
Pendapat di atas dipertegas oleh Harun dan buruk dalam pandangan H.M. Rasjidi
Nasution dengan mengatakan bahwa sekalipun tidak dapat diketahui oleh akal, tetapi diketahui
akal tidak dapat mengetahui kenapa makan melalui wahyu. Hal ini dapat dilihat dari
babi atau minum minuman keras adalah buruk, ungkapan H.M. Rasjidi dalam mengemukakan
akal tidak dapat mengubahnya. Hal itu bersifat baik dan buruk menurut Islam,
mutlak dan tidak boleh dilanggar karena sudah
ditetapkan oleh wahyu.34 Artinya, bahwa minum Seorang yang beragama Islam ukuran baik
minuman keras dilarang hanya dapat diketahui dan rusaknya sebuah tindakan adalah apakah
tindakan tersebut dipandang baik oleh Allah
31
Harun Nasution, Teologi Islam, 98. atau tidak.37
32
‘Abd al-Jabbār Aḥmad, Syarḥ Uṣūl al-
Khamsah,147.
33
‘Abd al-Jabbār Aḥmad, Syarḥ Uṣūl al- 35
Harun Nasution, Teologi Islam, 99.
Khamsah,75. 36
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis
34
Harun Nasution, “Yang Absolut dan yang Madjid, 15.
Relatif” dalam Aqib Suminto, 70 Tahun Harun 37
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis
Nasution, 54. Madjid, 64.
380 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa buruk itu sendiri. Sudah jelas menurut H.M.
menurut H.M. Rasjidi baik buruk dalam Rasjidi baik dan buruk tidak dapat diketahui
Islam sepenuhnya tergantung kepada baik akal. Dengan demikian, dapat dikatakan
buruk menurut Allah. Secara logis tentu bahwa kewajiban berbuat baik dan larangan
persoalan tersebut tidak dapat diketahui berbuat buruk tidak dapat diketahui oleh akal,
kecuali melalui perantara wahyu. Dengan melainkan diketahui melalui wahyu.
demikian dapat kita katakan bahwa baik Kalau persoalan baik dan buruk di atas kita
buruk dalam pandangan H.M. Rasjidi tidak simpulkan, sebenarnya Harun Nasution dan
dapat diketahui oleh akal, tetapi diketahui H.M. Rasjidi tidak berbeda pendapat dalam
melalui wahyu. Dalam tulisannya yang lain hal bahwa semua baik-buruk yang terdapat
H.M. Rasjidi juga mengatakan, dalam wahyu tidak dapat dibantah oleh akal.
Hanya saja Harun Nasution memberikan
Dalam al-Qur’ān disebutkan tempat-tempat penjelasan bahwa di samping apa yang dapat
suci seperti Bayt al-Maqdis dan Bayt al-Ḥarām. diketahui oleh akal, pada hakikatnya wahyu
Ada binatang yang dilarang untuk dimakan mutlak dibutuhkan untuk mengetahui baik
seperti babi, minuman yang dilarang yaitu buruk secara lebih rinci. Sementara bagi H.M
minuman keras, kawin dengan saudara sendiri, Rasjidi baik buruk sepenuhnya dapat diketahui
dan sebagainya. 38 melalui wahyu.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Polemik Teologi


kita dapat mengetahui Bayt al-Maqdis dan Mu‘tazilah adalah salah satu kelompok
Bayt al-Ḥarām adalah tempat yang suci teologi Islam yang memiliki kecenderungan
atau baik karena hal demikian disampaikan rasionalitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan
oleh wahyu. Makan babi, minum minuman Mu‘tazilah memberikan penghargaan yang
keras, dan menikahi saudara sendiri dilarang sangat besar terhadap peran akal. Bagi mereka,
karena terdapat dalam wahyu. Akal tidak ajaran Islam harus bisa dipahami dan diterima
mengetahui hal tersebut, seandainya tidak secara rasional. Ada beberapa ciri yang
dijelaskan oleh wahyu. menjadi alasan kenapa Mu‘tazilah disebut
Dari uraian di atas, kita juga dapat menge­ sebagai aliran teologi rasional dalam Islam.
tahui bagaimana pandangan H.M. Rasjidi Pertama, Mu‘tazilah sangat menekankan
me­ngenai kewajiban-kewajiban dan larangan- prinsip-prinsip penalaran rasional dalam setiap
larangan dalam persoalan baik dan buruk. pendapatnya.39 Kedua, Mu‘tazilah mengadopsi
Untuk mengetahui suatu perbuatan adalah pemikiran-pemikiran falsafat Yunani yang
wajib atau tidak, harus diketahui terlebih dahulu secara metodologis dijadikan pegangan untuk
hakikat dari sesuatu itu sendiri. Tegasnya, untuk menjelaskan prinsip teologi Islam40 sehingga
mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik
39
Muḥammad Abū Zahrah, Tārīkh al-Madzāhib
dan kewajiban meninggalkan yang buruk, harus
al-Islāmiyyah, 144.
diketahui terlebih dahulu hakikat baik dan 40
Secara historis, pada masa pemerintahan
‘Abbāsiyyah, falsafat Yunani mulai bersinggungan
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis
38
dengan pemikiran Islam. Falsafat Yunani diperke­
Madjid, 23. nalkan kepada Islam melalui Persia dan Syria. Kondisi
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 381

teologi mereka bersifat mendalam dan falsafi. bahwa setiap individu memiliki kebe­basan
Ketiga, dalam memahami al-Qur’ān Mu‘tazilah untuk memilih teologi yang mana yang
lebih menekankan makna metaforis (ta’wīl) sesuai dengan jiwa setiap orang. Jadi bukan
daripada makna tekstualnya.41 Karena alasan secara kebetulan apabila kemudian Harun
itulah para ahli baik Islam maupun Barat Nasution sangat menaruh perhatian terhadap
menyebut Mu‘tazilah sebagai aliran teologi pemikiran Mu‘tazilah. Sikap Harun Nasution
rasional dalam Islam. tersebut sangat disayangkan oleh H.M.
Harun Nasution dan H.M. Rasjidi memiliki Rasjidi. Oleh karena itu, H.M. Rasjidi dalam
penilaian yang berbeda terhadap kelompok kritiknya mengatakan,
Mu‘tazilah. Dalam tulisan-tulisannya, Harun
Nasution memang jelas mengatakan spirit Maksud (Harun Nasution) itu ialah meng­
pemikiran Mu‘tazilah mulai muncul kembali hidupkan kembali golongan Mu‘tazilah
di abad modern ini, sebagai nama bagi orang-orang terpelajar
(akademisi) yang menghayati Islam. Tentu
Aliran-aliran (teologi Islam) yang ada dan saja pemikiran semacam itu sangat berbahaya
mulai timbul kembali ialah Asy‘ariyyah, kepada umat Islam.43
Māturīdiyyah, dan Mu‘tazilah. Ketiga aliran
ini sama halnya dengan madzhab-madzhab Pernyataan H.M. Rasjidi bukanlah sekedar
hukum Islam, tidak keluar dari ajaran-ajaran tuduhan belaka. Akan tetapi memang betul
Islam. Semua masih dalam lingkungan Islam bahwa Harun Nasution ingin memunculkan
dan oleh karena itu setiap orang Islam punya kembali spirit pemikiran Mu‘tazilah. Dalam
kebebasan untuk memilih aliran teologi atau hal ini Harun Nasution mengatakan,
falsafat hidup yang sesuai dengan jiwanya.42
Aku melihat pemikiran Mu‘tazilah maju
Secara tidak langsung Harun Nasution sekali. Kaum Mu‘tazilahlah yang yang bisa
ingin mengatakan bahwa di samping Ahl mengadakan suatu gerakan pemikiran dan
al-Sunnah (Asy‘ariyyah dan Māturīdiyyah), peradaban Islam. Ini yang membuat aku
Mu‘tazilah merupakan salah satu madzhab berpikir, kalau zaman dulu begitu, mengapa
teologi yang muncul kembali di zaman Islam sekarang tidak. Sebaliknya Islam zaman
modern. Harun Nasution juga mengata­kan sekarang lebih didorong lagi ke arah sana.44

inilah yang membuat Mu‘tazilah banyak terpengaruh Harun Nasution melihat pemikiran Islam
dan mengambil falsafat Yunani untuk menemukan di Indonesia cenderung bersifat dogmatis. Ia
landasan-landasan mereka. Hal itu terlihat dari argumen-
memiliki orientasi agar pemikiran Islam, khu­
argumen mereka yang menggunakan landasan falsafat
sebagai metode berpikir. Oleh karena itu, Abū Zahrah susnya teologi dapat dihayati secara kritis dan
mengatakan bahwa tokoh-tokoh Mu‘tazilah dapat
dikategorikan sebagai failasuf Muslim. Muḥammad
Abū Zahrah, Tārīkh al-Madzāhib al-Islāmiyyah,145. 43
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun
41
Muḥammad Abū Zahrah, Tārīkh al-Madzāhib Nasution, 107.
al-Islāmiyyah, 149. 44
Harun Nasution, “Mencari Islam di McGill”
42
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai dalam Aqib Suminto (ed.), Refleksi Pembaharuan
Aspeknaya, Jil. II, 39. Pemikiran Islam, 37.
382 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

dipahami secara mendalam. Jika demi­kian, terus dinamis dan mampu berjalan beriringan
salah satu pemikiran teologi yang memiliki dengan perkembangan zaman. Jadi bukan tanpa
corak rasional dan kritis sudah ditunjukkan oleh alasan apabila Harun Nasution menjadikan
Mu‘tazilah. Dengan demikian, rasionalisme teologi rasional Mu‘tazilah sebagai solusi
Mu‘tazilah dianggap relevan dengan zaman alternatif untuk mengatasi kemandekan umat,
modern yang memang meng­hendaki cara khususnya di Indonesia,
berpikir dinamis dan kritis.
Menurut Harun Nasution paham Sejak saat itu harapanku cuma satu, yaitu
Asy‘ariyyah, khususnya yang diterima pemikiran Asy‘ariyyah mesti diganti dengan
masya­rakat Indonesia, cenderung bersifat pemikiran Mu‘tazilah, pemikiran falsafat atau
jabariyyah.45 Hal tersebut menjadikan ma­ pemikiran rasional atau dalam istilah sekarang
nusia bersikap statis dan tidak berkembang. metodologi rasional Mu‘tazilah. Teologi
Berbeda dari Asy‘ariyyah, Mu‘tazilah tradisional Asy‘ariyyah harus diganti dangan
sangat menekankan paham qadariyyah (free teologi rasional Mu‘tazilah.48
will dan predestination) yang meyakini
bahwa manusia memiliki kebebasan dalam Pandangan Harun Nasution di atas ditepis
menentukan perbuatannya. oleh H.M. Rasjidi, yang memandang bahwa
Lebih jauh dari itu, Harun Nasution berusaha rasionalisme Mu‘tazilah sebagaimana diusung
menarik persoalan teologi pada wilayah praktis. oleh Harun Nasution berbahaya dan tidak
Ia memandang bahwa keterbelakangan umat relevan. Akan tetapi kritik yang disampaikan
Islam, tak terkecuali di Indonesia, diakibatkan H.M. Rasjidi tersebut tidak dibarengi dengan
oleh dominan pandangan hidup tradisional argumen yang tegas kenapa rasionalisme
(jabariyyah) dan lambat mengambil bagian Mu‘tazilah dianggap berbahaya dan tidak
dalam modernisasi. Dalam kondisi inilah relevan. Ia mengatakan,
Harun Nasution berusaha mengganti doktrin
jabariyyah dengan qadariyyah dan mengatakan Rasionalisme Mu‘tazilah telah menjadikan
bahwa “pemikiran Asy‘ariyyah mesti diganti agama sebagai pikiran-pikiran yang pasif.
dengan pemikiran rasional Mu‘tazilah.”46 Agama yang melampaui batas akan kehilangan
Terkait argumen di atas, Harun Nasution kekuatan iman dan agama tidak dengan
mengatakan bahwa, rukun iman yang ke­ kekuatan iman tidak ada lagi faedahnya.49
enam—percaya kepada taqdir, sebagaimana
diyakini oleh pengikut Asy‘ariyyah—boleh
ditinggalkan.47 Dengan begitu, manusia akan Adapun Ḥadīts yang menjelaskan adalah ẓannī al-
wurūd. Oleh karena itu, tidak bersifat mutlak dan boleh
ditinggalkan. Harun Nasution, “Yang Absolut dan
45
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Yang Relatif” dalam Aqib Suminto dkk. (ed.), Refleksi
Aspeknya, jil. II, 38. Pembaharuan Pemikiran Islam, 55.
46
Harun Nasution, “Perlu Ulama Macam 48
Harun Nasution, “Mencari Islam di McGill,”
Khomeini” dalam Aqib Suminto (ed.), Refleksi 37; lih. juga Harun Nasution, “Perlu Ulama Macam
Pembaharuan Pemikiran Islam, 61. Khomeini” dalam Aqib Suminto (ed.), Refleksi
47
Menurut Harun Nasution, di dalam al-Qura’ān Pembaharuan Pemikiran Islam, 61.
tidak disebutkan bahwa percaya kepada taqdir adalah 49
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun
rukun iman, karena yang disebutkan hanya ada lima. Nasution, 110.
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 383

Dalam teologi Asy‘ariyyah, percaya apakah betul spirit rasionalisme menjadikan


terhadap taqdir adalah salah satu rukun iman agama pasif? Belum ada penjelasan.
yang dianggap mutlak dan tak dapat diganggu Berbanding terbalik dengan pandangan
gugat.50 Sementara dalam teologi Mu‘tazilah, H.M. Rasjidi, justru menurut Harun Nasution
percaya terhadap taqdir—dalam pengertian teologi rasional dapat membawa umat ke­
tertentu—tampak dinafikan. Dengan demikian, pada kemajuan. Dengan mengubah teologi
sekarang bisa dipahami kenapa H.M. Rasjidi tradisional menjadi teologi rasional, maka cita-
mengatakan bahwa rasionalisme Mu‘tazilah umat Islam untuk mencapai peradaban tinggi,
akan merongrong kekuatan iman. tanpa terkecuali di Indonesia, akan tercapai,
Pernyataan H.M. Rasjidi bahwa rasio­
nalisme Mu‘tazilah menjadikan umat Islam Dengan bertambah berkembang teologi
pasif didasarkan pada pernyataan Aḥmad rasional itu di kalangan umat Islam, cita-cita
Amīn bahwa “rasionalisme Mu‘tazilah untuk memeroleh peradaban tinggi Islam di
telah menjadikan agama sebagai pikiran- zaman modern ini akan bisa tercapai.52
pikiran yang pasif.”51 Aḥmad Amīn sendiri,
sebagaimana juga diakui oleh H.M. Rasjidi, Maksud dari teologi rasional dalam ucapan
dikenal sebagai orang yang menjunjung Harun Nasution di atas tidak lain adalah
pemikiran Mu‘tazilah. Oleh karena itu, tentu pemikiran Mu‘tazilah. Harun Nasution memang
ada konteks lain apa yang dimaksud oleh sering mengidentikkan kelompok Mu‘tazilah
Aḥmad Amīn dengan ungkapan tersebut. sebagai kelompok teologi rasional sementara
Secara historis, oknum-oknum Mu‘tazilah Asy‘ariyyah tradisional. Karena alasan itulah
telah berupaya menyebarkan ajarannya dengan menurut Harun Nasution pemikiran Mu‘tazilah
cara paksa bahkan dengan jalan kekerasan, lebih menarik bagi kalangan akademisi dan
sebagaimana telah diketahui dalam peristiwa intelektual. Harun Nasution mengatakan,
mihnah. Sebagai kelompok rasional, adalah
sangat aneh apabila me­lakukan pemaksaan dan Teologi atau falsafat hidup Asy‘ariyyah yang
diskriminasi agar ajarannya diterima. Dengan memiliki corak tradisional kurang sesuai
kata lain, ketika itu kelompok Mu‘tazilah dengan pandangan hidup mereka (kaum
membatasi umat Islam lain untuk berbeda terpelajar), yang lebih dapat mereka terima
pendapat. Hal ini sangat tidak sesuai dengan ialah teologi atau falsafat hidup Mu‘tazilah
spirit rasionalitas yang digembor-gemborkan. yang lebih banyak memiliki corak liberal.53
Oleh karena itu, pantas apabilah dikatakan
bahwa secara historis rasionalisme Mu‘tazilah H.M. Rasjidi mengritik pandangan
membuat agama menjadi pasif. Akan tetapi Harun Nasution yang sering mengidentikkan
Mu‘tazilah sebagai kelompok teologi rasional,
50
Muḥammad al-Ghazālī, ‘Aqīdah al-Muslim (Dār
al-Kutub al-Islāmiyyah, 1983), 108-9.
51
Lih. H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. 52
Harun Nasution, “Kata Sambutan” dalam Hasan
Harun Nasution, 110. Sayang, H.M. Rasjidi tidak Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam: Tafsir al-
memberikan catatan kaki menyangkut pernyataan Mārāghī (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), vii.
tersebut berasal dari Muḥammad Amīn, sehingga susah 53
Harun Nasution Islam Ditinjau dari Berbagai
untuk dilacak. Aspeknya Jilid II (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 34.
384 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

sementara Asy‘ariyyah sebagai kelompok akal.57 Di samping itu, menurut Harun Nasution
teologi tradisional. Menurut H.M. Rasjidi, baik doktrin qadariyyah 58 lebih bisa diterima
Mu‘tazilah maupun Asy‘ariyyah sama-sama secara rasional daripada doktrin jabariyyah.59
menggunakan argumentasi rasional untuk Setidaknya, dengan alasan itulah Harun
memertahankan pendapatnya. Perbedaannya Nasution mengidentifikasi bahwa Mu‘tazilah
hanyalah titik tekan pada beberapa masalah, di lebih rasional dibandingkan Asy‘ariyyah.
mana Asya’ariyyah lebih bersifat konservatif Menyangkut pernyataan H.M. Rasjidi
daripada Mu‘tazilah. Dalam kritiknya H.M. bahwa, Asy‘ariyyah lebih ‘konservatif’
Rasjidi mengatakan, dibanding Asy‘ariyyah, itu hanya persoalan
terminologis. Pasalnya, ‘konservatif’ dalam
Asy‘ariyyah juga pakai akal, Mu‘tazilah juga kasus ini memiliki arti yang sama dengan
pakai akal. Perbedaannya adalah titik berat kata tradisional. Dengan demikian, pernyataan
dalam beberapa masalah, sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa Mu‘tazilah lebih
57
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, jil. II, 37-8; Kedudukan Akal dalam Islam,
rasional dari Asy‘ariyyah dan lebih menarik 22. Uraian lebih lengkap Lih. Harun Nasution, Teologi
kaum terpelajar.54 Islam, 81-8.
58
Qadariyyah adalah sebuah paham yang
meyakini bahwa manusialah yang menciptakan segala
Mengenai kritik di atas, Harun Nasution perbuatannya. Mu‘tazilah memang meyakini bahwa
memiliki alasan mengapa mengatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan
Mu‘tazilah lebih rasional dibandingkan Allah tidak campur tangan terhadap segala perbuatan
manusia. Jika dikatakan bahwa Allah yang menentukan
Asy‘ariyyah. Menurut Harun Nasution perbedaan
perbuatan manusia, berarti apabila manusia melakukan
dasar antara Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah perbuatan buruk, itu juga perbuatan Allah. Sementara
terletak pada pendapat tentang kekuatan akal.55 Allah tidak tidak mungkin berbuat buruk kepada
manusia. Lih ‘Al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār Uṣūl al-
Dalam memahami al-Qur’ān, Mu‘tazilah lebih
Khamsah (Kuwait: Kuwait Universty, 1998), 77-8.
menekankan argumentasi rasional, sementara Keaena prinsip itulah sehingga Mu‘tazilah juga disebut
Asy‘ariyyah lebih terpaku kepada interpretasi dengan kelompok Qadariyyah. Lih. Al-Syahrastānī,
harfiah. 56 Dalam persoalan epistemologi, Al-Milal wa al-Niḥal, 38.
59
Jabariyyah adalah sebuah paham yang me­
sebagaimana dilihat sebelumnya, Mu‘tazilah yakini bahwa segala perbuatan manusia ditentukan
berpendapat bahwa mengetahui Tuhan, Tuhan dan manusia tidak punya kekuasaan atas
kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik segala perbuatannya. Kalau kita merujuk kepada
karya-karya Abū Ḥasan al-Asy‘arī sebagai pendiri
buruk dan kewajiban melakukan perbuatan baik madzhab Asy‘ariyyah, tidak akan ditemukan sebuah
serta meninggalkan perbuatan jahat, empat hal pernyataan bahwa Abū Ḥasan al-Asy‘rī menganut
tersebut dapat diketahui oleh akal. Sementara paham jabariyyah. Abū Ḥasan al-Asy‘arī justru ingin
menengahi paham jabariyyah dan qadariyyah dengan
itu, dalam pandangan Asy‘ariyyah hanya
teori al-kasb. Lih. Abū Ḥasan al-Asy‘arī, Maqālāt
mengetahui Tuhanlah yang dapat diketahui Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Muṣallīn (Constantinopel:
Matba‘ah al-Dawlah, 1930), juz II, 221. Akan tetapi
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun
54
di tangan Asy‘ariyyah atau para pengikut Abū Ḥasan
Nasution, 111. al-Asy‘arī prinsip al-kasb lebih cenderung dipahami
55
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai sebagai jabariyyah sehingga tidak salah apabilah
Aspeknya, jil. II, 37. muncul penilaian bahwa Asy‘ariyyah menganut paham
56
Harun Nasution, Kedudukan Akal dalam Islam, jabariyyah. Nurcholish Madjid, “Abduhisme Pak
25. Harun” dalam Refleksi Pemikiran Islam, 106-7.
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 385

bahwa Asy‘ariyyah lebih ‘konservatif’ dari­ berusah mencari solusi keterbelakangan umat
pada Mu‘tazilah sama saja dengan pernyataan Islam dengan mengintegrasikan ajaran Islam
bahwa Asy‘ariyyah lebih ‘tradisional’ diban­ dengan ilmu pengetahuan Barat modern.
dingkan Mu‘tazilah. Kemudian H.M. Rasjidi mengatakan,
Menurut Harun Nasution, Mu‘tazilah
yang memiliki corak rasional lebih menarik Baik Jamāl al-Dīn al-Afghānī, Muḥammad
khususnya bagi kalangan akademisi. Oleh ‘Abduh dan Aḥmad Khān adalah Ahl
karena itu, spirit pemikiran rasional Mu‘tazilah al-Sunnah wa al-Jamā‘ah karena mereka
mulai ditimbulkan kembali di zaman modern bukan Syī‘ah.61
ini. Beberapa tokoh yang sering disebut-sebut
sebagai neo-Mu‘tazilah oleh Harun Nasution di Pernyataan H.M. Rasjidi ini betul, karena
antaranya Muḥammad ‘Abduh dan al-Afghānī mungkin tokoh-tokoh tersebut secara terang-
di Mesir, dan Aḥmad Khān di India, terangan tidak pernah menyatakan diri sebagai
pengikut Mu‘tazilah. Akan tetapi Harun
Pemikiran-pemikiran Mu‘tazilah mulai Naution punya alasan mengeluarkan statement
ditimbulkan kembali oleh pemuka-pemuka tersebut. Misal, secara substansial Muḥammad
pembaharu dalam Islam pada abad ke -19 M., ‘Abduh tampak lebih sepakat terhadap
terutama Jamāl al-Dīn al-Afghānī, Muḥammad paham qadariyyah ketimbang jabariyyah.62
‘Abduh dan Aḥmad Khān di India.60 Begitu pun dengan tokoh-tokoh pembaharu
lainnya. Dengan alasan itulah Harun Nasution
Pernyataan tersebut langsung ditepis memandang mereka sebagai neo-Mu‘tazilah di
oleh H.M. Rasjidi. Ia menyatakan bahwa zaman modern.
tokoh-tokoh tersebut tidak menganut paham Di samping berbagai kritik di atas, H.M.
Mu‘tazilah, tetapi Ahl al-Sunnah wa al- Rasjidi juga menarik kembali persoalan
Jamā‘ah. H.M. Rasjidi menjelaskan posisi tersebut kepada sejarah. Khalifah al-
ketiga tokoh di atas dalam pembaharuan Islam. Mutawakkil telah berhasil menghancurkan
Ketiga tokoh tersebut adalah pembaharu yang paham Mu‘tazilah dan memunculkan kembali
paham Asy‘ariyyah karena paham Mu‘tazilah
60
Di samping ketiga tokoh di atas, dalam dianggap berbahaya. Dengan paham Ahl al-
tulisan yang lain Harun Nasution juga menyebut Sunnah wa al-Jamā‘ah, umat Islam kembali
nama Muḥammad Iqbāl sebagai tokoh pembaharu
yang memunculkan kembali paham Mu‘tazilah. Lih.
bersatu dan tidak terpecah belah.
Harun Nasution, Kaum Mu‘tazilah dan Pandangan
Rasionalnya, 31. Pembaharuan Islam yang dilakukan Anjuran khalifah al-Mutawakkil itu sangat
oleh Jamāl al-Dīn al-Afghānī, Muḥammad ‘Abduh,
berguna bagi kesatuan umat Islam sampai hari
Aḥmad Khān dan Muḥammad Iqbāl ditulis oleh Harun
Nasution secara rinci dalam Pembaharun dalam ini. Tentu saja di antara sekian ratus juta umat
Islam. Dalam buku tersebut Harun Nasution memang Islam di dunia selalu ada aliran-aliran sebagai
tidak melakukan indentifikasi pengaruh pemikiran
Mu‘tazilah terhadap tokoh-tokoh pembaharu tersebut.
Akan tetapi secara tegas Harun Nasution menampilkan 61
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun
bahwa tokoh-tokoh tersebut sangat menentang doktrin Nasution, 111.
jabariyyah dan berpangku doktrin qadariyyah sebagai 62
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi
basis pembaharuan yang mereka lakukan. Rasional Mu‘tazilah, 94.
386 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

akibat dari perbedaan sejarah dan perbedan merupakan sebagian kecil dari keseluruhan
lingkungan. Akan tetapi kesatuan umum itu doktrin Mu‘tazilah.
terpelihara adalah sangat tidak bijaksana untuk Terkait masalah di atas Abū al-Ḥasan al-
mengorek sejarah hitam yang pernah terjadi di Khiyāṭ mengatakan dalam buku Al-Intiṣār,
kalangan umat Islam.63 sebagaimana disampaikan oleh Abū Zahrah
bahwa seseorang tidak bisa dikatakan sebagai
Harun Nasution memiliki pandangan Mu‘tazilah sehingga dia mengakui uṣūl al-
lain terhadap fakta sejarah di atas. Harun khamsah (lima dasar) sebagaimana menjadi
Nasution melihat bahwa berbagai perbedaan doktrin Mu‘tazilah.65 Jadi Harun Nasution
pendapat khususnya persoalan teologi serta baru bisa dikatakan sebagai Mu‘tazilī kalau
berbagai proses penyebarannya tidak lepas terbukti bahwa Harun Nasution mengakui uṣūl
dari pengaruh kondisi sosial-politik.64 Terkait al-khamsah tersebut. Selama belum ada bukti
alasan ketenggelaman Mu‘tazilah dalam yang memadai, kita tidak dapat mengatakan
sejarah, tidak terlalu menjadi pertimbangan. Harun Nasution sebagai Mu‘tazilī.
Analisis Harun Nasution lebih ditekankan
pada beberapa masalah dalam menghadapi Simpulan
persoalan yang muncul di zaman modern. Dalam persoalan falsafat, yakni hubungan
Sementara, H.M. Rasjidi, melihat rasionalisme akal dan wahyu, Harun Nasution dan H.M.
Mu‘tazilah tenggelam dalam sejarah karena Rasjidi sepakat menempatkan al-Qur‘ān
memang pemikiran Mu‘tazilah dianggap pada posisi mutlak di atas kemampuan akal.
berbahaya terhadap kekuatan iman. Hal inilah Hanya saja, mereka berbeda pandangan dalam
yang dijadikan bukti kuat bahwa rasionalisme beberapa masalah. Secara epistemologi-teologis,
Mu‘tazilah tidak relevan dengan zaman modern, Harun Nasution memandang bahwa akal dapat
khususnya di Indonesia. mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui
Satu hal perlu kita catat. Kita jangan Tuhan, mengetahui baik buruk, dan kewajiban
dengan mudah mengeluarkan sebuah statement berbuat baik serta kewajiban meninggalkan
bahwa Harun Nasution adalah penganut perbuatan buruk. Sedangkan al-Qur’ān berfungsi
Mu‘tazilah. Kita belum memiliki bukti yang sebagai perinci terhadap apa yang dapat
cukup kuat terkait apakah secara keseluruhan diketahui oleh akal. Berbeda dari Harun
Harun Nasution sepakat dengan pendapat- Nasution, bagi H.M. Rasjidi, akal hanya dapat
pendapat Mu‘tazilah. Betul bahwa Harun mengetahui Tuhan, sementara tiga persoalan
Nasution dalam beberapa hal lebih tertarik lainnya hanya dapat diketahui melalui wahyu.
kepada pemikiran Mu‘tazilah. Itu pun hanya Hal ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh
mengenai penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Mu‘tazilah pada diri Harun Nasution
peran akal dan doktrin qadariyyah yang
65
Uṣūl al-khamsah tersebut adalah al-tawḥīd,
al-‘adl, al-wa‘d wa al-wa‘īd, al-manzilah bayn al-
63
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun manzilatayn dan al-amr bi al-ma‘rūf wa al-nahy
Nasution, 109. ‘an al-munkar. Penjelasan lebih rinci mengenai uṣūl
64
Lih. uraian Harun Nasution dalam mema­parkan al-khamsah tersebut lih. Muḥammad Abū Zahrah,
ketenggelaman kelompok Mu‘tazilah. Harun Nasution, Tārīkh al-Mazdāhib al-Islāmyyah (Kairo: Dār al-Fikr
Teologi Islam, 64-9. al-‘Arābī, t.t.), 140-4.
Abdus Syakur, Polemik Harun Nasution-H.M. Rasjidi dalam Falsafat dan Teologi 387

dan pengaruh pemikiran Asy‘ariyyah pada diri al-Bayhāqī, Aḥmad ibn al-Ḥusayn, Al-Sunan
H.M. Rasjidi. Walaupun berbeda, mereka tetap al-Kubrā, Juz. 10. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2003.
sepakat bahwa al-Qur’ān mutlak dibutuhkan
al-Dārimī,‘Abdullāh ibn ‘Abd al-Raḥmān, Sunan al-
karena akal tidak dapat mengetahui segalanya. Dārimī. Beirut: Dār al-Mughnī, t.t.
Dalam persoalan teologi, Harun Nasution Dāwud, Abū, Sunan Abī Dāwud. Beirut: Dār al-Fikr,
memandang bahwa keterbelakangan umat Islam, t.t,.
tidak terkecuali di Indonesia, dikare­nakan sikap Edwards, Paul (ed.), The Encyclopedia of Philosophy.
New York: Macmillan Publishing Co., 1967.
fatalisme yang diakibatkan oleh pandangan
al-Ghazālī,Muḥammad, ‘Aqīdah al-Muslim. Kairo:
teologi tradisional Asy‘ariyyah. Oleh karena
Dār al-Kutub al-Islāmiyyah, 1983.
itu, Harun Nasution berupaya menghidupkan al-Ghazālī, Abū Ḥamī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Jil. I.
kembali spirit teologi rasional Mu‘tazilah Kairo: Dār al-Ḥadīts, 1998.
untuk membangkitkan umat Islam dari sikap Goldzher, Ignaz. Pengantar Teologi dan Hukum Islam,
fatalisme. Dalam konteks ini, teologi rasional terj. Hersri Setiawan. Jakarta: INIS, 1991.
Mu‘tazilah bukan hanya dianggap relevan, Halim, Abdul (ed.). Teologi Islam Rasional: Apresiasi
terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution.
melainkan dibutuhkan sebagai solusi alternatif Jakarta: Ciputat Press, 2001.
atas keterbelakangan umat Islam. Sebaliknya, Husaini, Adian, Hegemoni Kristen-Barat dalam
bagi H.M. Rasjidi teologi rasional Mu‘tazilah Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani Press,
justru dianggap berbahaya. Dalam hal ini, H.M. 2006.
Rasjidi tidak terlihat memberikan kritik secara -------, “Membongkar Mitos Harun Nasution.”
Republika, 21 Maret 2013.
substansial terhadap pokok-pokok pemikiran
Ilmu Ushuluddin: Jurnal Himpunan Peminat Ilmu-
teologi rasional, tetapi lebih menunjukkan ada ilmu Ushuluddin, Vol. I, No. 6, Ciputat: Hipius
bahaya dari pendekatan teologis yang terlalu (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Suhuluddin),
bersifat rasional dan kritis. Dalam konteks 2013.
ini, teologi rasional Mu‘tazilah bukan hanya Izutsu, Toshishiko. Etika Beragama dalam Qur’an,
terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka
dianggap tidak relevan, tetapi justru dianggap Firdaus, 1966.
berbahaya bagi kekuatan iman. Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, terj. Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kitti, Philip K., History of the Arabs, terj. R. Cecep
Pustaka Acuan Lukman Yasin dkk. Jakarta: Serambi, 2014.
‘Abduh, Muḥammad, Al-I‘māl al-Kāmilah, Jil. III. Tule, Philipus. Kamus Filsafat. Bandung: Rosdakarya,
Beirut: Dār al-Syurūq, 1993. 1995.
Aḥmad , ‘Abd al-Jabbār, Syarḥ Uṣūl al-Khamsah. Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam.
Kairo: Maktabah wahbah, 1988. Jakarta: UI-Press, 1986.
Ananda, Endang Basri, 70 Tahun Prof. Dr. H.M. -------, Falsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang,
Rasjidi. Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985. 2003.
al-Asbihānī, Hilyah al-Awliyā’ wa Ṭabiqāh al-Aṣfiyā’. -------, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arābī, 1974. Bulan Bintang, 2011.
Azra, Azyumardi dan Saiful Umam (ed.), Menteri- -------, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid
Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. I. Jakarta: UI-Press, 2013.
Jakarta: INIS, Balitbang dan PPIM, 1998. -------, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II. Jakarta: UI-Press, 2012.
388 Ilmu ���������� Volume 2, Nomor 4, Juli 2015
����� Ushuluddin,

-------, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. -------, Islam Menentang Komunisme. Jakarta:
Jakarta: Mizan, 1995. Yayasan Study Club Indonesia, 1966.
-------, “Kata Sambutan” dalam Hasan Zaini, Tafsir -------, Koreksi Prof. Dr. H.M. Rasjidi terhadap Prof.
Tematik Ayat-Ayat Kalam: Tafsir al-Mārāghī. Dr. Harun Nasution dalam Uraiannya “Ajaran
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996. Islam tentang Akal dan Akhlak.” Jakarta: Media
-------, Kaum Mu‘tazilah dan Pandangan Rasionalnya. Dakwah, 1985.
Jakarta: Yayasan Tridharma Utama, 1979. -------, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang
-------, Kedudukan Akal dalam Islam. Jakarta: Yayasan Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:
Idayu Press: 1773. Bulan Bintang, 1977.
-------, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, dan -------, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid
Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986. tentang Sekularisasi. Jakarta: Bulan Bintang,
1972.
-------, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran
dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Reese, William L. Dictionary of Philosophy and
Religion. New York: Humanity Books, 1999.
-------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu‘tazilah, Jakarta: UI-Press, 1997. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’ān.
Bandung: Mizan 2013.
-------, “Perlunya Menghidupkan Kembali Pendidikan
Moral” dalam Saiful Mujani dan Arief Subhan. Sirry, Mu’im, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi
Pendidikan dalam Agama-Agama. Jakarta: DIKTI atas Kritik al-Qur’ān terhadap Agama Lain.
Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, Jakarta: Gramedia, 2013.
1995. Suminto, Aqib dkk. Refleksi Pembaharuan Pemikiran
-------, dan Azra, Azyumardi (ed.). Perkembangan Islam: 70 Tahun Nasution. Jakarta: Lembaga
Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Studi Agama dan Filsafat, 1989.
Indonesia, 1985. al-Syahrastānī, Al-Milal wa al-Niḥal. Beirut: Dār al-
-------, “Kedudukan Tasawuf dalam Islam” dalam Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Harun Nasution (ed), Toriqot Qodiryyah Syamsudin, M., H.M. Rasjidi: Perjuangan dan
Naqsabandiyyah: Sejarah, Asal Usul, dan Pemikirannya. Yogyakarta, Azizah, 2004.
Perkembangannya (Tasikmalaya: IAILM, Syaykh, Sa‘īd. Kamus Filsafat Islam, terj. Tim
1990. Rajawali. Jakarta: Rajawali Press, t.t.
Rasjidi, H.M., Apa Itu Syiah? Jakarta: Pelita, 1984. Syefriyeni, Relativisme Etika: Studi Perdebatan
-------, Di Sekitar Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang, Sekularisasi antara Nurcholish Madjid dan H.M.
1972. Rasjidi. Ciputat: Pustaka Anak Negeri, 2013.
-------, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan al-Tirmīdzī, Ibn ‘Īsā, Al-Jāmi‘ al-Kabīr. Beirut: Dār
Tinggi. Jakarta: Bulan Bintang, 1983. al-Gharb al-Islāmī, t.t.
-------, Falsafat Agama, Jakarta: Pemandangan, Tule, Philipus, Kamus Filsafat. Bandung: Rosdakarya,
1965. 1995.
-------, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Zahrah, Muḥammad Abū, Tārīkh al-Madzāhib al-
Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang 1976. Islāmiyyah: Fī al-Siyāsah wa al-‘Aqā’id. Kairo:
-------, Islam dan Kebatinan. Jakarta: Bulan Bintang, Dār al-Fikr al-‘Arabī, t.t.
1992. Zaini, Hasan. Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam:
-------, Islam dan Indonesia di Zaman Modern. Tafsir al-Mārāghī. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta: UI-Press, 1968. 1996.
-------, Islam dan Socilalisme. Jakarat: Yayasan Study
Club Indonesia, 1966.

Anda mungkin juga menyukai