Anda di halaman 1dari 10

PEMIKIRAN HARUN NASUTION

Abdillah,Akhmed,Risfan,Melani,Suci,Sundari

Absrtact
Harun is a figure that can be recorded in the history of Indonesian Islam, because with his
rational thoughts Harun tries to eliminate one of the causes of the decline of Indonesian
Muslims, namely the dominance of Asy'arism which is very Jabariyah (too directed to
destiny) or fatalism. As an effort in that direction, Harun in his various writings always
connects reason with revelation and more sharply sees the function of reason in the view
of the Qur'an which is so important and free.
For the view of rational theology, Harun often refers to the Mu'tazilah tradition of
theological thought as well as the following reformers such as Muhammad Abduh and
others. However, Harun's traditional theological view points to the Ash'ariyah view.
The purpose of this study is to find out Harun Nasution's thoughts on reason and
revelation. The usefulness of this research is academically, namely: it can be used as
important information for subsequent research. Theoretically, namely: it can be a simple
contribution to the development of Islamic studies in general regarding reason and
revelation.
Abstrak
Harun adalah seorang figur yang dapat dicatat dalam sejarah Islam Indonesia, sebab
dengan pemikiran-pemikiran rasionalnya Harun mencoba untuk menghilangkan salah
satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia, yaitu dominasi Asy’arisme yang sangat
bersifat Jabariyah (terlalu mengarah kepada takdir) atau faham fatalisme. Sebagai usaha
ke arah itu, Harun dalam berbagai tulisannya selalu menghubungkan akal dengan wahyu
dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu ke dalam pandangan Al-Qur’an yang demikian
penting dan bebas.
Untuk pandangan teologi rasional, Harun sering kali menunjukkan pada tradisi pemikiran
teologi Mu’tazilah dan juga para pemikir pembaharu berikut seperti Muhammad Abduh
dan lainnya. Tapi, mengenai pandangan teologi tradisional Harun menunjukkan pada
pandangan Asy’ariyah.
Tujuan dari penelitian ini adalah agar dapat mengetahui pemikiran Harun Nasution
tentang akal dan wahyu. Kegunaan penelitian ini adalah secara Akademis yaitu: dapat
dijadikan sebagai informasi yang penting bagi penelitian-penelitian berikutnya, secara
Teoritis yaitu: dapat menjadi sumbangsih sederhana bagi pengembangan studi Islam
secara umum mengenai akal dan wahyu.
Pendahuluan
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian
berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada Zaman Klasik
Islam, sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada Zaman Pertengahan Islam
(1250-1800 M).
Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan
akal seperti terdapat dalam AI-Quran dan hadits. Pertemuan Islam dan peradaban Yunani
ini melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam Zaman Klasik.
Oleh karena itu, kalau di Yunani berkembang pemikiran rasional yang J sekular, maka
dalam Islam Zaman Klasik berkembang pemikiran rasional yang agamis. Pemikiran
ulama filsafat dan ulama sains, sebagaimana halnya pada para ulama dalam bidang agama
sendiri, terikat pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber utama tersebut.
Dengan demikian, dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosof dan penemuan-
penemuan ulama sains tidak ada yang bertentangan dengan AI-Quran dan hadits. 1
Sejak abad kesembilan belas ini kembali tumbuh di Dunia Islam pemikiran rasional yang
agamis dengan perhatian pada filsafat, sains, dan teknologi. Di abad kedua puluh
perkembangan itu lebih maju lagi, lahir interpretasi rasional dan baru atas Al-Qur’an dan
hadits. Pemikiran tradisional Islam segera mendapat tantangan dari pemikiran rasional
agamis ini.
Dalam pemikiran rasional agamis manusia punya kebebasan dan akal mempunyai
kedudukan tinggi dalam memahami ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hadits. Kebebasan akal
hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu, yakni ajaran-
ajaran yang disebut dalam istilah qath ‘iy al-wurud dan qath’iy al-dalalah. Maksud ayat
Al-Qur’an dan hadits ditangkap sesuai dengan pendapat akal. 2
Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu)
pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar. Ayah
Harun juga seorang ulama yang menguasai kitab-kitab Jawi dan suka membaca kitab
kuning berbahasa Melayu. Sedangkan, ibunya seorang boru Mandailing Tapanuli,
Maimunah keturunan seorang ulama, pernah bermukim di Mekkah, dan mengikuti
beberapa kegiatan di Masjidil Haram. Harun berasal dari keturunan yang taat beragama,
keturunan orang terpandang, dan mempunyai strata ekonomi yang lumayan. Kondisi
keluarganya yang seperti itu membuat Harun bisa lancar dalam melanjutkan cita-citanya
mendalami ilmu pengetahuan.

1
Syaiful Muzani. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. (Mizan. Bandung.
1995). Hlm. 7

2
Ibid. hlm. 9
Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS)
pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu
pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di
lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya
dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya 3
Selama 7 tahun ia belajar di HIS dan tamat pada tahun 1934 ketika berumur 14 tahun.
Pelajaran yang disenanginya adalah ilmu pengetahuan alam dan sejarah 4.
Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern (MIK).
Setelah sekolah di MIK, ternyata sikap keberagamaan Harun mulai tampak berbeda
dengan sikap keberagamaan yang selama ini dijalankan oleh orang tuanya, termasuk
lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedang orang tua dan lingkungannya
bersikap tradisional.
Di negeri gurun pasir itu, Harun tidak lama dan memohon pada orang tuanya agar
mengizinkannya pindah studi ke Mesir. Di Mesir, dia mulai mendalami Islam pada
Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, di Kairo.
Pada usia 24 tahun beliau rnenikahi gadis Mesir, Sayedah. Pada saat itu pula Harun telah
menyelesaikan studinya di Uninversitas Amerika di Cairo yang berhasil mendapatkan
gelar B. A (serjana muda5).
Pemikiran-Pemikiran Harun Nasution
1.Akal
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (‫)العقل‬,
yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (‫)الوحى‬, tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqluh (‫ )عقلوه‬dalam
1 ayat, Ta’qilun (‫ )تعقلون‬24 ayat, Na’qil (‫ )نعقل‬1 ayat, ya’qiluha (‫ )يعقلها‬1 ayat dan ya’qilun
(‫ )يعقلون‬22 ayat. Kata-kata itu dating dalam arti faham dan mengerti. Sebagai contoh dapat
disebut ayat-ayat berikut:
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal
segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah
mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada.” (Q. S. Al-Hajj; 46)
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut

3
Abdul Halim. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praktis Harun Nasution. (Ciputat.
Jakarta. 2001). Hlm. 3
4
Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). Hlm. 19
5
Abdul Halim. Op Cit, hlm. 4
kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah,
setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari
bahaya yang ia hadapi6.
Bagaimanapun ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dalam Al-
Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas oleh ayat 46 dari surah Al-Hajj, pengertian,
pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat
berikut juga menjelaskan demikian:
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-
ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q. S.
Al-A’raaf; 179)
Tidak mengherankan kalau pengertian yang jelas tentang akal terdapat dalam
pembahasan filosof-filosof Islam. Atas pengaruh falsafat Yunani, akal dalam pendapat
mereka merupakan salah satu daya dari jiwa (al-nafs ‫ النفس‬atau al-ruh ‫ )الروح‬yang terdapat
dalam diri manusia. Kata-kata al-nafs dan al-ruh berasal dari Al-Qur’an, dan juga telah
masuk ke dalam bahasa kita dalam bentuk nafsu, nafas dan roh. 7.
2.Wahyu
Wahyu bersal dari kata al-wahy (‫)الوحى‬, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan
kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Al-wahy
selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat. Tetapi
kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-Nabi”.
Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan
oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surah Al-Syura menjelaskan:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura
51) 8
Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang
tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu
cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan
dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu

6
Prof. Dr. Harun Nasution. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia). Jakarta.1986) hlm. 5
7
Ibid. hlm. 8
8
Ibid. hlm. 15-16
dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa
ini disampaikan dalam bentuk kata-kata9.
Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk
ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, –
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan
bahasa Arab yang jelas.” (Q. S. Asy-syuara; 192-195)
Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal
material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang
pilihan Tuhan. Selanjutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan
kepada Nabi-nabi. 10
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa
manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya
pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni
abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun menjauhi hidup kematerian
dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa 11.
AI-Farabi, filsuf Islam yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, juga
membawa konsep yang berubah menjadi materi ini dalam filsafat penciptaan alam
semesta yang dikenaI dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan
sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti
dilihat di atas adalah daya pikir.
Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang
bagaimana wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan 12.
Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor
Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima
melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan
(visual).
Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat uraian di atas.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-
cepat (menguasai)nya – Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. – Apabila Kami telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q. S. Al-Qiyaamah; 16-19)

9
Syaiful Muzani. Op Cit. hlm 17
10
Prof. Dr. Harun Nasution. Op Cit. hlm. 15-16b
11
Ibid. hlm . 18
12
Ibid. hlm . 20
Pentingnya Akal
Akal, menurut Muhammad Abduh, adalah suatu .daya yang hanya dimiliki
manusia, dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain.
Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan
daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar
dan surnber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Umat manusia diketika Islam datang, demikian Muhammad Abduh, telah mencapai usia
dewasa dan menghendaki agama yang rasional. Apa yang mereka cari itu, mereka jumpai
dalam Islam. Tidak mengherankan kalau ia selalu menegaskan bahwa Al-Qur’an
berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Aka1, demikian ia
menegaskan, dimuliakan Allah dengan menujukan perintah dan larangan-Nya kepadanya.
Oleh karena itu, dalarn Islamlah “agama dan akal buat pertama kalinya menjalin
hubungan persaudaraan.” Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung
agama yang terkuat dan wahyu sendinya yang terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa
ada pertentangan.
Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang
terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata
Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta
melarang kita memakai sikap taklid 13.
Asal-Usul Tasawuf
Misitisisme dalam Islam diberi nama tasawwuf dan oleh kaum Orientalis Barat
disebut sufisme. Kata sufisme dalam ilstilah Orientalis Barat khusus dipakai untuk
mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-
agama lain.
Tasawuf atau Sufisme sebagaimana halnya Jengan mistisisme di luar agama Islam,
mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme,
termasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara
roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkotemplasi. Kesadaran
berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (‫)االتحاد‬, bersatu dengan
Tuhan.
Tasawwuf. merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawwuf
atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat
mungkin dengan Allah SWT14.

13
Prof. Dr. Harun Nasution. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah . (Universitas Indonesia).
Jakarta.1986) hlm 44-46
14
Prof. Dr. Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. ( PT. Bulan Bintang. Jakarta. 1973) hlm
. 56
Karya-Karya Harun Nasution
Dalam rangka mengembangkan pemikirannya, Harun Nasution telah menulis sejumlah
buku, antara lain sebagai berikut:
1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1974). Buku ini terdiri dari dua jilid,
diterbitkan pertama kali oleh UI-Press, yang intinya adalah memperkenalkan
Islam dari berbagai aspeknya. Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu
hanya berkisar pada ibadat, fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan akhlak saja. Islam
menurut buku Harun ini lebih luas dari itu, termasuk di dalamnya sejarah,
peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga-lembaga, dan politik.
2. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan (1977). Buku
ini terdiri dari dua bahagian. Bahagian pertama, mengandung uraian tentang aliran
dan golongan-golongan teologi, bukan hanya yang masih ada tetapi juga yang
pernah terdapat dalam Islam seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah dan Jabariah,
Mu’tazilah, dan Ahli sunnah wal jama’ah. Uraian diberikan sedemikian rupa,
sehingga di dalamnya tercakup sejarah perkembangan dan ajaran-ajaran
terpenting dari masing-masing aliran atau golongan itu, dan mengandung analisa
dan perbandingan dari aliran-aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui aliran
mana yang bersifat liberal, mana yang bersifat tradisional. Buku ini dicetak
pertama kali tahun 1972 oleh UI-Press.
3. Filsafat Agama (1978). Buku ini menjelaskan tentang epistemologi dan wahyu,
ketuhanan, argumen-argumen adanya Tuhan, roh, serta kejahatan dan kemutlakan
Tuhan. Buku ini semula diterbitkan Bulan Bintang.
4. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (1978). Buku ini juga merupakan kumpulan
ceramah Harun di IKIP Jakarta. Buku ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian
falsafat Islam dan bagian mistisisme Islam (tasawuf). Bagian falsafat Islam
menguraikan bagaimana kontak pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta
falsafat Yunani yang kemudian melahirkan filosuf muslim seperti al-Kindi, al-
Razi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan ibn Rusyd. Sedangkan, bagian
mistisisme Islam menguraikan bagaimana kedudukan tasawuf dalam Islam
sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan. Buku ini terbit perdana tahun 1973
oleh Bulan Bintang, Jakarta.
5. Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1978). Buku ini
merupakan kumpulan ceramah dan kuliah Harun Nasution di berbagai tempat di
Jakarta tentang Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Membahas tentang pemikiran
dan gerakan pembaruan dalam Islam, yang timbul di zaman yang lazim disebut
periode modern dalam sejarah Islam. Pembahasannya mencakup atas pembaruan
yang terjadi di tiga negara Islam, yaitu Mesir (topik intinya; pendudukan
Napoleon dan pembaharuan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, al-Tahtawi,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, murid dan pengikut
Muhammad Abduh), Turki, (topik intinya; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani
Muda, Turki Muda, tiga aliran pembaharun, Islam dan Nasionalis, dan Mustafa
Kemal), dan India-Pakistan (topik intinya ; Gerakan Mujahidin, Sayyid Ahmad
Khan, Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali, Iqbal, Jinnah dan Pakistan, Abul Kalam
Azad dan Nasionalisme India.
6. Akal dan Wahyu dalam Islam (1980). Buku ini menjelaskan pengertian akal dan
wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam Al-Quran dan Hadits, perkembangan
ilmu pengetahuan dalam Islam, dan peranan akal dalam pemikiran keagamaan
Islam. Uraian tegas buku ini menyimpulkan bahwa dalam ajaran Islam, akal
mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran
keagamaan sendiri. Akal tidak pernah membatalkan wahyu, akal tetap tunduk
kepada teks wahyu.
7. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987). Buku ini merupakan
terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tesis Ph.D. Harun Nasution yang berjudul
“The Place of Reason in Abduh’s Theology, Its Impact on his Theological System
and Views”, diselesaikan bulan Maret 1968 di McGill, Montreal, Kanada. Buku
ini berisi tentang riwayat hidup Muhammad Abduh, filsafat wujud, kekuatan akal,
fungsi wahyu, paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan,
perbuatan Tuhan, dan konsep Iman. Inti buku ini menjelaskan bahwa pemikiran
teologi Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan teologi kaum
Mu’tazilah, bahkan dalam penggunaan kekuatan akal, Muhammad Abduh jauh
melebihi pemikiran Mu’tazilah.
8. Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman
Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani),
terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun,
harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan
oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi
Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam
secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap
berpijak pada tradisi sendiri15.

Hasil Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah agar dapat mengetahui pemikiran Harun Nasution
tentang akal dan wahyu. Kegunaan penelitian ini adalah secara Akademis yaitu: dapat
dijadikan sebagai informasi yang penting bagi penelitian-penelitian berikutnya, secara
Teoritis yaitu: dapat menjadi sumbangsih sederhana bagi pengembangan studi Islam
secara umum mengenai akal dan wahyu, dan secara Praktis yaitu: dapat menjadi bahan
referensi berikutnya serta dapat menambah literatur khususnya mengenai pemikiran
Harun Nasution tentang akal dan wahyu. Jenis penelitan ini adalah kajian pustaka(library
research). Metode dalam penelitian ini adalah Deskriptif. Hasil penelitian ini ditemukan
bahwa menurut Pandangan Hasun Nasution akal adalah lambang kekuatan manusia,

15
Abdul Halim. Op Cit. hlm. 18-22
dengan akalnya manusia mampu menghadapi setiap kejadian yang ada didepannya dan
akal pula yang membedakan manusia dengan yang lain. Sebenarnya akal dan wahyu tidak
bertentangan, yang menjadi pertentangan sebenarnya adalah hasil penafsiran teks wahyu
yang dilakukan oleh salah satu ulama dengan penafsiran teks wahyu dari ulama yang lain.
Maka dari itu akal adalah bagiandari wahyu, karena keduanya adalah sayap agama.

Penutup

Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Putra dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang pedagang asal Mandailing dan qadhi (penghulu)
pada masa pemerintahan Belanda di Kabupaten Simalungun, Pematang Siantar.

Harun memulai pendidikannya di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandche School (HIS)


pada waktu berumur 7 tahun. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu
pengetahuan umum di HIS itu. Dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di
lingkungan keluarga, Harun memulai pendidikan agama dari lingkungan keluarganya
dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.

Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang
tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu
cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan
dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu
dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa
ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.

Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang


terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran AI-Qur’an. Kitab suci ini, kata
Muhammad Abduh, memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta
melarang kita memakai sikap taklid.

Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa
manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya
pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni
abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun menjauhi hidup kematerian
dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

 Ensiklopedi Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003).


 Halim, Abdul. Teologi Islam Rasional, Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis
Harun Nasution. (Ciputat. Jakarta. 2001).
 Muzani, Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution. (Mizan. Bandung. 1995).
 Nasution, Harun. Akal dan Wahyu. (Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta.
1986).
 Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. (PT. Bulan Bintang.
Jakarta. 1973).
 Nasution, Harun. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. (Universitas
Indonesia (UI Prees). Jakarta. 1987).

Anda mungkin juga menyukai