Disusun oleh :
Suheri
Iden Hasan Basri
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang
paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang
begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk
mendapatkan
ilmu
pengetahuan
itulah
lazim
dikenal
dengan
istilah
epistemologis.
Lebih
lanjut
Ahmad
Tafsir
mengungkapkan
bahwa
Epistemologi
karena
ia
membicarakan
tentang
cara
untuk
mendapatkan
pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu
pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu
pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis,
akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang
dihasilkan.
Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu
pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15.Setelah itu, masa
keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu
terjadi, karena Islam dalam
beberapa
aliran
besar
dalam
kaitannya
dengan
teori
pengetahuan
(epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir dalam Islam, yakni
bayani, irfani dan burhani yang masing-masing mempunyai pandangan yang
berbeda tentang pengetahuan.
Selain sebagai instrumen untuk mencari kebenaran, ketiga epistemologi
tersebut juga bisa digunakan sebagai sarana identifikasi cara berfikir seseorang.
Seorang filosof dengan corak berfikir burhani akan menjawab bahwa sumber
kebenaran itu dari akal atau panca indera. Dengan kedua sarana ini manusia
memunculkan dua dikotomi antara apa yang disebut rasional dan irrasional.
Rasional
adalah
sebuah
kebenaran,
sebaliknya
irrasional
adalah
sebuah
kesalahan. Selanjutnya orang yang memiliki corak berfikir bayani akan menjawab
bahwa sumber kebenaran itu dari teks. Rasio tidak memiliki tempat dalam
pembacaan mereka terhadap kebenaran.Ketercukupan golongan ini terhadap
teks memasukkan mereka pada golongan fundamental literalis. Sedangkan orang
yang memiliki corak berfikir irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu
2
dari wahyu, ilham, wangsit dan sejenisnya. Pola berfikir demikian akan
membangun sebuah struktur masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah.
B. Rumusan Masalah:
1. Apa definisi epistemologi, epistemologi bayani, burhani dan irfani?
2. Bagaimana metode berfikir bayani, burhani dan irfani?
3. Apakah hubungan dan perbedaan metodologi burhani, irfani, dan bayani?
C. 1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi epistemologi, epistemologi bayani, burhani dan irfani.
2. Mengetahui metode berfikir bayani, burhani dan irfani
3. Mengetahui hubungan dan perbedaan metodologi burhani, irfani, dan
bayani
BAB II
PEMBAHASAN
A. Epistemologi Bayani, Burhani Dan Irfani.
1. Definisi Epistemologi Bayani.
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu al bayani yang secara harfiah
bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Adapun secara
terminologi al bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu
yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.
Dalam kajian Islam epistemologi bayani adalah
menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks
dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni
dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama.
Fungsi akal dalam hal ini hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di
dalamnya yang digali lewat inferensi (istidlal).
Oleh karena itu, secara langsung bayani tersebut terpusat pada satu ciri
bersam , yaitu menjadikan teks sebagai rujukan epistemology bersama dan
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa
perlu pemikiran Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian hal ini tidak berarti akal
maksudnya. Tetapi tetap harus bersandar pada teks.Sehingga dalam bayani, akal
tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam
perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik
(syariat).
2. Definisi Epistemologi Burhani.
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (albayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah
demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti
member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif logika (almantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu
premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis
tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti
kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah
aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles
ini,
digunakan
oleh
al-Jabiri
sebagai
5
sebutan
terhadap
sebuah
system
kreatif
harmonis
dengan
pengetahuan
intuitif
(al-hikmah
al-
bersifat
subyektif,
namun
semua
orang
dapat
merasakan
memahami
mengaplikasikan
tanpa
teks
sebagai
pengetahuan
perlu
pemikiran;
secara
jadi
tidak
dan
langsung
langsung
berarti
b.
makhluk-Nya.
Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh
c.
penjelasan sunnah.
Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan
d.
sunnah.
Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
e.
al-Quran.
Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atau sesuatu yang tidak
terdapat dalam al-Quran maupun sunnah.
Dalam ushul al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan
bayani adalah al-Quran dan hadits. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani
yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu epistimologi
bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari
generasi ke generasi.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistimologi bayani menempuh dua
jalan.Pertama, berperan pada redaksi (lafadz) teks dengan menggunakan kaidah
bahasa Arab, seperti nahw dan sharaf sebagai alat analisa.Kedua, menggunakan
metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistimologi bayani. Untuk
mendapatkan pengetahuan,. Dalam kaidah ushul fiqh, qiyas diartikan sebagai
memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang
telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu:
a.
Adanya al ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai
b.
c.
d.
sebagai ukuran.
Al-Far yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
Hukum al-ashl yaitu ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
Illah yaitu keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan
hukum ashl.
Dalam aplikasinya,pendekatan bayani akan memperkaya ilmu fiqih dan
ushul fiqih, lebih lebih qawaidul lughahnya. Namun hal itu bearti bukan tanpa
kelemahan.Kelemahan
mencolok
pada
nalar
bayani
adalah
ketika
harus
berhadapan dengan teks teks yang berbeda.Karena otoritas ada pada teks dan
rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum
tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, nalar bayani
menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik dengan
semboyan kurang lebih right or wrong is my country.
2. Metode berfikir burhani.
Al-Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir
untuk menetapkan kebenaran proposisi melalui pendekatan deduktif dengan
mengaitkan proposisi satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti
kebenarannya secara aksiomatik. Menurut Al-Jabiri, prinsip-prinsip burhani
pertama kali dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) yang dikenal dengan istilah
metode analitik (tahlili); suatu cara berpikir yang didasarkan pada proposisi
tertentu dengan mengambil 10 kategori, sebagai objek kajiannya.Sarjana
pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al-Kindi
(806-875 M). Kemudian, metode rasional atau burhani ini semakin masuk sebagai
salah satu sistem pemikiran Islam Arab setelah masa al-Razi (865-925 M).Ia lebih
ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya
mempercayai akal. Dan akhirnya, metode burhani benar-benar mendapat tempat
dalam sistem pemikiran Islam setelah masa al-Farabi (870-950 M).
Ciri utama dari burhani adalah silogisme, tetapi silogisme tidak mesti
menunjukkan burhani.Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan
qiyas.Sedangkan secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana
dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa,
sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai. Untuk mendapatkan
sebuah pengetahuan burhani menggunakan silogisme. Mengikuti Aristoteles,
Aristoteles menjelaskan silogisme dengan cara yang berbeda dengan metode
silogisme yang telah disebutkan sebelumnya. Model silogisme Aristoteles sering
disebut silogisme katagorik karena semua proposisinya katagorik. Silogisme
8
terdiri dari beberapa komponen yaitu premis mayor, premis minor dan
kesimpulan.Penarikan
kesimpulan
dengan
silogisme
ini
harus
memenuhi
silogisme:
a.
Term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan
menjadi predikat pada premis minor. Contoh: 1). Semua manusia fana
(premis mayor). Sokrates adalah seorang manusia (premis minor).
Sokrates
fana
(kesimpulan).
Model
ini
disebut
Barbara
2). Tak akan ada ikan yang rasional. Semua hiu adalah ikan. Tak ada
hiu yang rasional. Model ini disebut calerent.Tak ada orang yunani
berkulit hitam.Sebagian manusia adalah orang yunani. Sebagian
manusia tak berkulit hitam. Model ini disebut ferio.
Term tengah (middle term) menjadi predikat pada premis mayor dan
b.
c.
dan burhani adalah inferensi pada bayani didasarkan atas lapal, sedangkan pada
epistemologi burhani didasarkan pada makna.Epistemologi burhani digunakan
untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan
komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa
dasar teks wahyu suci yang memunculkan peripatik.Maka sumber pengetahuan
dengan
nalar
burhani
adalah
realitas
dan
empiris;
alam,
sosial,
dan
maupun alam.Dalam menelaah epistemologi burhani tidak akan terlepas dari dua
metodologi sebelumnya, Yaitu epistemologi bayani dan irfani. Dari perpaduan ini
muncul nalar aduktif yakni mencoba memadukan model berfikir deduktif dan
induktif antara hasil bacaan yang bersifat kontekstual terhadap nash dan hasil
hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap
(komprehensif), luar biasa dan kelak dapat sebenarnya kedua epistemelogi ini
tidaklah jauh berbeda dengan epistemologi burhani. Perbedaan ini hanya faktor
perbedaan episteme, yang mana episteme tersebut masih dibangun di atas nilai
al- Quran dan al-hadits.
3. Metode berfikir` irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab arafa semakna dengan makrifat, berarti
pengetahuan. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh
secara langsung lewat pengalaman. Karena itu, secara epistimologis, irfan dapat
diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya serta adanya oleh ruhani
yang dilakukan atas dasar cinta. Irfan adalah wujud mutlak, yaitu Allah swt. 1
Para
ahli
berbeda
pendapat
tentang
asal
sumber
irfan.
Pertama,
menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi.
Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran Utara tetap memeluk
agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari
daerah Khurasan.Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen. Alasannya, (1)
adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah
maupun zaman Islam, (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para
sufis, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa, dengan kehidupan Yesus dan
ajarannya.Ketiga, irfan ditimba dari India. Alasannya, (1) kemunculan dan
penyebaran irfan pertama kali adalah di Khurasan, (2) kebanyakan dari para sufi
angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, (3) pada masa sebelum Islam,
Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat, (4) konsep dan
metode tasawuf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktekpraktek dari India.Keempat, irfan berasal dari sumber-sumber Yunani. 2
Perkembangan irfan, secara umum bisa dibagi dalam lima fase, yaitu:
1. Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shandra,
(Bandung: Mizan, 2002), hlm. 114.
2. A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 194-195.
10
a.
Fase pembibitan (abad pertama hijriah). Karakter periode ini adalah (1)
berdasarkan ajaran al-Quran dan sunnah, menjauhi hal-hal duniawi
demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka. (2) bersifat praktis,
tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek yang
b.
c.
d.
e.
rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu pengetahuan irfani tidak diperoleh
berdasarkan analisa teks dan logika tetapi dengan olah rohani, dimana dengan
kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang
lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh
melalui 3 tahap yaitu: Persiapan, Penerimaan dan Pengungkapan dengan lisan
atau tulisan.
Tahap pertama persiapan.Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan,
seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada
tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak, dengan
melalui taubat, Wara,Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakkal, Ridha. Tahap kedua
penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan
mendapat limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada
tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak. Sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri
3. A. Khudori Soleh, M.Ag., Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 199-121.
11
pemikiran, yakni burhani, irfani, dan bayani. Ketiga model epistemologi ini, dalam
sejarahnya telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Masing-masing
model
epistimologi
ini
tidak
dapat
digunakan
secara
mandiri
untuk
Tuhan
dengan
pernyataan
universal;
dan
burhani
menghasilkan
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas penyusun dapat memberikan kesimpulan,
diantaranya sebagai berikut:
Epistemologi
secara
etimologi
adalah
teori
tentang
pengetahuan
mendapatkan
sebuah
pengetahuan
metode
berfikir
bayani
menempuh dua cara yaitu pertama berpegang pada redaksi (lapazh) teks
dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, Menggunakan metode qiyas
(analogi). Metode berfikir burhani menggunakan silogisme dan metode irfani
pengetahuan diperoleh dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati
diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.
Metode berfikir bayani, burhani dan irfani masing-masing memiliki
keunggulan dan kelemahan. Metode bayani keunggulannya terletak pada
kebenaran teks (al-Quran dan al-Hadis) sebagai sumber utama hukum Islam
yang bersifat universal sehingga menjadi pedoman dan patokan. Kelemahannya
adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda milik komunitas,
bangsa, atau masyarakat lainnya. Sementara sebuah teks belum tentu diterima
oleh golongan lain. Adapun keunggulan dari burhani yaitu sistem berpikir yang
konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan
beberapa premis.Namun kelemahannya adalah sering tidak sinkronnya teks dan
realitas.Adapun keunggulan irfani adalah bahwa segala pengetahuan yang
bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan
kebenaran dari pada ilmu-ilmu yang digali dari argumentasi-argumentasi rasional
dan akal. Namun kelemahannya adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh
13
segelintir manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di
samping itu, irfani sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada
pengalaman individu manusia.
14
DAFTAR PUSTAKA
15