Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episeme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti perkataan, pikiran dan ilmu. Secara harfiah, epistemology berarti “studi atau
teori tentang ilmu pengetahuan (the study of theory or of knowledge). Namun dalam
diskursus filsafat, epistemology merupakan cabang dari filsafat yang membahas tentang asal
usul, struktur, metode, dan kebenaran pengetahuan. Dengan demikian, epistemology pada
dasarnya merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif
pengalaman manusia dalam interaksinya diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka,
epistemology adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluative, normative, dan kritis.

Atas dasar itulah, dapat dikatakan bahwa pengertian epistemology (theory of knowledge)
lebih luas daripada filsafat ilmu (philosophy of science atau scientific philosophy) sebab
pengetahuan itu ada yang ilmiah (scientific) dan ada yang biasa (ordinary), dan ada pula
yang semi ilmiah (pseudoscientific). Pengetahuan yang ilimiah itulah yang sering
diidentifikasi sebagai ilmu.1

Al Jabiri mengemukakan pendapatnya dalam bukunya yang berjudul Takwin al Aql


Araby dan Bunyah al Aql Araby. Bahwasanya dalam kedua buku tersebut berisi tentang
mengulas struktur fundamental kefilsafatan dalam tataran humainities. Epistemologi
merupakan ilmu tentang pengetahuan, mencari asal pengetahuan sekaligus cara memperoleh
pengetahuan itu sendiri.2

Kerangka teori “trilogy paradigma ilmu-ilmu keislaman” dari Abid al-Jabiri,


menguraikan realitas epistemoloi ilmu-ilmu keislaman klasik seperti ilmu Kalam dan Ilmu
Fiqh yang menurutnya sangat didominasi oleh paradigma bayani. Paradigma bayani adalah
salah satu trilogy paradigma yang diuraikan oleh Abid al-Jabiri. Trilogy paradigma ilmu-ilmu

1
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 108
2
Samsul Bahri, Bayani, Burhani dan Irfani Trilogi Epistemologi Kegelisahan Seorang Muhammad Abid Al
Jabiri, Vol. XI No. 1 2015, Hlm. 4
keislaman terbagi menjadi tiga yaitu paradigma atau epistemologi bayani, epistemologi
irfani, dan epsitemologi burhani.

B. Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani

1. Epistemologi Bayani

Menurut Al Jabiri, corak epistemology bayani secara historis adalah system


epistemologi paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Secara leksikal-etimologis,
istilah bayani atau bayan mengandung berbagai macam arti, yaitu kesinambungan (al-
washl), keterpilahan (al-fashl), jelas dan terang (al-zhuhur wa al-wudhuh), dan
kemampuan membuat terang dan jelas.3 Epistemologi bayani muncul bukan sebagi
entitas budaya yang a histories, melainkan memiliki akar sejarah yang panjang dalam
pelataran tradisi pemikiran Arab. Sebagaimana diketahui bahwasanya bangsa Arab sangat
mengagungkan bahasanya, terlebih setelah diyakini sebgai identitas kultur dan bahasa
wahyu Tuhan. Sehingga wajar dan cukup beralasan jika Jabiri menyebutkan determinan
histories awal-mula peradaban Islam adalah sinergi bahasa dan agama, yang memproduk
intelektual ilmu kebahasaan dan ilmu agama.

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali
inferensi.4 Secara langsung artinya adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran. Sedangkan, secara tidak langsung
artinya memahami teks secara mentah tanpa memerlukan tafsir dan penalaran. Walaupun
demikian, hal ini bukan berarti bahwa akal atau rasio bebas untuk menentukan makna
atau maksudnya, tetapi harus tetap bersandar pada teks. Tugas akal bagi epistemologi
bayani tidak lebih dari sekedar alat untuk pengatur dan pengekang hawa nafsu bukan
untuk mencara sebab-akibat lewat analisis keilmuan yang akurat

Dalam bayani, rasio atau akal tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
pengetahuan tanpa disandarkan pada teks. Dengan demikian, sumber pengetahuan dari
epistemology bayani adalah teks atau nash (Al-Qur’an dan Hadits). Karena dasar itulah
3
Wira Hadi Kusuma, Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama
Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding, Syi’ar Vol. 18 No. 1 2018, Hlm. 3
4
Ibid, Hlm. 4
Al-Jabiri berpendapat bahwa epistemology bayani menaruh perhatian besar terhadap
transmisi teks dari generasi ke generasi.

2. Epistemologi Irfani

Secara etimologi Irfani dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa yang semakna dengan kata
makrifat yang berarti pengetahuan. Tetapi, ia berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfani atau
makrifat berkaitan dengan pengetahuann yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Sedangkan, menurut terminologis, irfani bisa
diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyadlah) yang
dilakukan atas dasar cina (love). Berbanding terbalik dengan epistemology bayani,
Sasaran bidik epistemology irfani adalah aspek esoterik, apa yang ada di balik teks.
Menurut Amin Abdullah, bahwa pada tradisi irfani kata “’arif” lebih diutamakan dari
pada “’alim’. Karena “’alim’ lebih merujuk pada nalar bayani.5

Apabila dalam epistemologi bayani mendasarkan pengetahuannnya pada (dhahir)


teks, maka epistemologi irfani mendasarkan pengetahuannya pada intuisi, kasyf, yaitu
upaya untuk menemukan rahasia-rahasia teks sebagaimana dimaksud oleh tuhan. Oleh
karena itu pengetahuan atas (rahasia) teks tidak diperoleh dari pemahaman dan analisis
atas teks tetapi melalui olah nurani yang suci sehingga tuhan sendiri yang menghadirkan
pengetahuan kepadanya.6

Dalam pandangan Abdullah, guna menjembatani epistemology bayani (teks) dan


epistemology burhani (akal), dapat digunakan epistemology irfani yang menjadikan
pengamatan langsung secara batin (directexperience) sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Episetemologi irfani dapat dijadikan sebagai alat pengontrol dan alat penyeimbang
pemikirian sekalipun epistemology ini dipertanyakan keabsahannya oleh karena dianggap
terlalu liberal sebab tidak mengikuti pedoman-pedoman yang diberikan oleh teks dan juga
dianggap tidak mengikuti aturan-aturan dan analisis logika.7
5
Ibid, Hlm. 6
6
Bahri, Op.Cit, Hlm. 6
7
Mulyadi Hermanto, Rekontstruksi Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer Telaah Pemikiran
Epistemologi Ilmuan Muslim Kontemporer: Perspektif Intelektual Muslim Indonesia, Hlm. 10
3. Epistemologi Burhani

Dalam Khasanah kosa kata Arab, menurut Ibn Mansyur akta al-Buhran secara
epistimologis berarti argument yang jeas dan tegas. Kata ini kemudian disadur dalam
terminology ilmu mantiq untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan
benar tidaknya antarproposisi melalu cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan
antarprosisi yang kebenarannya bersifat postulatif (kesimpulan yang pasti). Menurut Al
Jabiri metode burhani bertumpuh sepenuhnya atau berfokus pada seperangkat kemampuan
intelektual manusia, baik melalui panca indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam
upaya memperoleh pengetahuan tentang semesta, bahkan juga sampai menghasilkan
kebenaran yang bersifat postulatif.8

Epistemologi burhani berbeda dengan epistemology bayani dan irfani, yang masih
berkaitan dengan teks suci. Burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga
tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang
dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang
ia sesuai dengan logika rasional.

Jika sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah sekedar teks, dan menurut
epistemology irfani merupakan hasil pengalaman langsung, maka epsitemologi burhani
adalah ilmu pengetahuan bersumber pada realitas, baik realitas alam, maupun realitas
sosial, dan kemanusiaan (humanities). Sehingga, burhani lebih menekankan pada
penggunaan nalar atau rasio secara sempurna dalam memahami teks yang berisi konteks
realitas.

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan, epsitemologi burhani merupakan tahapan


lanjutan dari epistemologi irfani. Apabila dalam epistemologi bayani tergantung pada
kedekatan dan keserupaan teks dengan realitas, dan epsitemologi irfani lebih menekankan
kematangan spiritual dan skill, maka epistemologi burhani mengharuskan adanya
korespondensi untuk menyesuaikan teks dengan rumus-rumus yang yang diciptakan oleh
akal manusia dengan hukum alam (sejarah, sosisologi dan kebudayaan) melalui metode
deduksi, induksi dan abduksi

8
Kusuma, Op. Cit, Hlm. 11

Anda mungkin juga menyukai