PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episeme yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti perkataan, pikiran dan ilmu. Secara harfiah, epistemology berarti “studi atau
teori tentang ilmu pengetahuan (the study of theory or of knowledge). Namun dalam
diskursus filsafat, epistemology merupakan cabang dari filsafat yang membahas tentang asal
usul, struktur, metode, dan kebenaran pengetahuan. Dengan demikian, epistemology pada
dasarnya merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif
pengalaman manusia dalam interaksinya diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka,
epistemology adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluative, normative, dan kritis.
Atas dasar itulah, dapat dikatakan bahwa pengertian epistemology (theory of knowledge)
lebih luas daripada filsafat ilmu (philosophy of science atau scientific philosophy) sebab
pengetahuan itu ada yang ilmiah (scientific) dan ada yang biasa (ordinary), dan ada pula
yang semi ilmiah (pseudoscientific). Pengetahuan yang ilimiah itulah yang sering
diidentifikasi sebagai ilmu.1
1
Edi Susanto, Dimensi Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 108
2
Samsul Bahri, Bayani, Burhani dan Irfani Trilogi Epistemologi Kegelisahan Seorang Muhammad Abid Al
Jabiri, Vol. XI No. 1 2015, Hlm. 4
keislaman terbagi menjadi tiga yaitu paradigma atau epistemologi bayani, epistemologi
irfani, dan epsitemologi burhani.
1. Epistemologi Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali
inferensi.4 Secara langsung artinya adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran. Sedangkan, secara tidak langsung
artinya memahami teks secara mentah tanpa memerlukan tafsir dan penalaran. Walaupun
demikian, hal ini bukan berarti bahwa akal atau rasio bebas untuk menentukan makna
atau maksudnya, tetapi harus tetap bersandar pada teks. Tugas akal bagi epistemologi
bayani tidak lebih dari sekedar alat untuk pengatur dan pengekang hawa nafsu bukan
untuk mencara sebab-akibat lewat analisis keilmuan yang akurat
Dalam bayani, rasio atau akal tidak memiliki kemampuan untuk memberikan
pengetahuan tanpa disandarkan pada teks. Dengan demikian, sumber pengetahuan dari
epistemology bayani adalah teks atau nash (Al-Qur’an dan Hadits). Karena dasar itulah
3
Wira Hadi Kusuma, Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama
Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding, Syi’ar Vol. 18 No. 1 2018, Hlm. 3
4
Ibid, Hlm. 4
Al-Jabiri berpendapat bahwa epistemology bayani menaruh perhatian besar terhadap
transmisi teks dari generasi ke generasi.
2. Epistemologi Irfani
Secara etimologi Irfani dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa yang semakna dengan kata
makrifat yang berarti pengetahuan. Tetapi, ia berbeda dengan ilmu (‘ilm). Irfani atau
makrifat berkaitan dengan pengetahuann yang diperoleh secara langsung lewat
pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Sedangkan, menurut terminologis, irfani bisa
diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah ruhani (riyadlah) yang
dilakukan atas dasar cina (love). Berbanding terbalik dengan epistemology bayani,
Sasaran bidik epistemology irfani adalah aspek esoterik, apa yang ada di balik teks.
Menurut Amin Abdullah, bahwa pada tradisi irfani kata “’arif” lebih diutamakan dari
pada “’alim’. Karena “’alim’ lebih merujuk pada nalar bayani.5
Dalam Khasanah kosa kata Arab, menurut Ibn Mansyur akta al-Buhran secara
epistimologis berarti argument yang jeas dan tegas. Kata ini kemudian disadur dalam
terminology ilmu mantiq untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan
benar tidaknya antarproposisi melalu cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan
antarprosisi yang kebenarannya bersifat postulatif (kesimpulan yang pasti). Menurut Al
Jabiri metode burhani bertumpuh sepenuhnya atau berfokus pada seperangkat kemampuan
intelektual manusia, baik melalui panca indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam
upaya memperoleh pengetahuan tentang semesta, bahkan juga sampai menghasilkan
kebenaran yang bersifat postulatif.8
Epistemologi burhani berbeda dengan epistemology bayani dan irfani, yang masih
berkaitan dengan teks suci. Burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga
tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang
dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang
ia sesuai dengan logika rasional.
Jika sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah sekedar teks, dan menurut
epistemology irfani merupakan hasil pengalaman langsung, maka epsitemologi burhani
adalah ilmu pengetahuan bersumber pada realitas, baik realitas alam, maupun realitas
sosial, dan kemanusiaan (humanities). Sehingga, burhani lebih menekankan pada
penggunaan nalar atau rasio secara sempurna dalam memahami teks yang berisi konteks
realitas.
8
Kusuma, Op. Cit, Hlm. 11