Anda di halaman 1dari 15

13

BAB 3
SISTEMATIKA FILSAFAT

A. Pengertian Sistematika Filsafat


Sistematika filsafat terdiri dari dua kata, yaitu sistematika dan filsafat.
Sistematika atau struktur, dalam kamus bahasa indonesia adalah susunan,
aturan, pengetahuan mengenai suatu sistem. Sedangkan filsafat adalah
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal dan hukumnya.
Pemahanman tentang filsafat bisa dilihat dari segi etimologi dan
terminologi. Secara etimologi, filsafat berasal dari Yunani, yaitu philosophia
atau philosophos. Kata ini terdiri atas dua suku kata, philo yang berarti cinta
dan shopia bermakna kebijaksanaan atau kearifan. Jadi kata filsafat bermakna
cinta kepada kebijaksanaan.1
Secara terminologi, para ahli telah memberikan beraneka definisi filsafat.
Definisi tertua tampaknya bisa dilihat dari Plato dan Aristoteles. Plato
mengatakan bahwa fisafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu. Filsafat
dipahami sebagai pencarian realitas dan kebenaran. Aristoteles mengatakan
bahwa filsafat adalah suatu disiplin yang memfokuskan kepada pencarian
sebab-sebab dan prinsip-prinsik segala sesuatu.2
Dalam kamus besar bahasa indonesia, defeinisi filsafat adalah sebagai
berikut. (1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-
sebab, asas-asas, dan hukum segala yang ada di alam semesta atau pun
mengenai kebenaran dan arti “adanya sesuatu”.3 (2) pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala sesuatu yang ada,
sebab, asal-usul, dan hukumnya.4
Dalam tradisi islam, kata filsafat tidak dijumpai dalam islam, baik al-
Qur’an maupun hadist. Dikarenakan memang kata filsafat bukan berasal dari

1
Ja’far, Gerbang Gerbang Hikmah, Pengantar Filsafat Islam, (Aceh: PeNa, 2011), 13
2
Ibid, 14
3
W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 280.
4
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 2001), 317.
14

bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an dan hadist. Tetapi berasal dari bahasa
Yunani. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah agama islam
memperkenankan pemeluknya mempelajari filsafat?.
Kendati kata filsafat tidak dijumpai dalam al-Qur’an maupun hadist,
namun sinonim dari kata ini bisa ditemukan yaitu hikmah. Al-Qur’an
menyebut kata hikmah sebanyak 20 kali. Allah SWT. Berfirman:
“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikama...”.5
“sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu
bersyukurlah kepada Allah. Barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji”.6

Kata ini bisa pula ditemukan di dalam beberapa hadist Nabi Muhammad
SAW. Kata hikmah disinyalir sebagai sinonim dari kata shopiakedua kata ini
sama-sama memiliki makna kebijaksanaan atai ke’arifan. Dengan demikian,
substansi filsafat dapat ditemukan dalam literatur islam. Karenanya, islam
memperkenankan para pemeluknya belajar filsafat, walaupun tidaklah wajib.
Jadi sistematika filsafat adalah susunan hasil berfikir tentang segala
sesuatu yang ada dan mungkin ada yang telah tersusun secara sistematis.
Sistematika filsafat bisa disebut juga dengan struktur filsafat.
B. Sistematika Filsafat
Secara garis besar sistematika filsafat terdiri dari tiga cabang yaitu :
1. Ontologi
Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: Ontos :
ada, dan Logos : ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak.7

5
Q.S. al-Nahl/16: 125.
6
Q.S. al-Luqman/31: 12.
7
Aprilia, Pengertian Ontologi dalam http://aprilia734.wordpress.com/2016/02/18/pengertian-
ontologi-epistemologi-dan-aksiologi-2/amp/. Diakses pada 20 september 2019.
15

Ontologi yaitu teori atau studi tentang being atau wujud seperti
karakteristik dasar baru seluruh realitas. Ontologi, sinonim dengan
metafisika yaitu, study filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real
nature) dari suatu benda untuk menentukan arti, struktur, dan prinsip benda
tersebut (filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM). 8
Pengertian paling umum pada ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan tentang yang ada. Disebut juga teori hakikat yaitu
membicarakan pengetahuan itu sendiri. Hakikat ialah realitas atau kenyataan
yang sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara, menipu atau yang
berubah-ubah. Dalam kaitannya dengan ilmu, landasan ontologi
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud
hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia
yang berupa berfikir, merasa, dan mengindra yang mana itu membuahkan
pengetahuan.
Dari pembahasannya, memunculkan beberapa pandangan yang
dikelompokkan dalam beberapa aliran berfikir, yaitu :
a. Materialisme
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang
ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin
lahir dari yang ada. Tokoh dari aliran ini adalah Aristoteles (384-322), ,
Thomas Hobbes (1588-1679), Spencer (1820-1903), Karl Mark (1818-
1883), dan lain sebagainya.
b. Idealisme (spiritualisme)
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang
mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani
adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi. Tokoh dari aliran
ini adalah Plato, Barkeley (1685-1753), Immanuel Kant (1724-1881),
G.Hegel (1770-1831), dan lain sebagainya.
c. Dualisme

8
Abraham, Ontologi dalam http://abraham4544.wordpress.com/umum/ontologi/. Diakses pada 20
september 2019.
16

Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang


berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini
terdiri dari dua sumber yaitu materi dan rohani. Tokoh aliran ini adalah
Plato (427-347), Descartes (1596-1650), dan lain sebagainya.
2. Epistemologi
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme yang berarti
pengetahuan atau kebenaran dan logos yang berarti pikiran, perkataan atau
ilmu. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan atau
mempersoalkan tentang suatu pengetahuan dan kebenaran suatu
pengetahuan tersebut. Epistemologi disebut juga dengan teori pengetahuan
(theory of knowledge) dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
mempelajari asal mula sumber, struktur dan sumber pengetahuan. Istilah
epistemologi pertama kali diperkenalkan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854.9
Dari pembahasan epistemologi, memunculkan beberapa aliran berfikir,
yaitu :
a. Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu empeiria artinya
pengalaman. Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman
sebagai sumber pengetahuan. Aliran ini beranggapan bahwa pengetahuan
diperoleh dari suatu pengalaman dalam observasi atau pengindraan.
Bapak aliran ini adalaah John Locke (1632-1704), yang mana pada
zaman modern mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa
berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang
kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Jadi, pengalaman indra itulah
sumber pengetahuan. Dengan kata lain, empirisme juga merupakan aliran
yang mengedepankan kemampuan indera atau data empirik, sebagaimana
yang diutarakan oleh Fransis Bacon (pengetahuan adalah kekuasaan).

9
Aprilia, Pengertian Epistemologi dalam http://aprilia734.wordpress.com/2016/02/18/pengertian-
ontologi-epistemologi-dan-aksiologi-2/amp/. Diakses pada 20 september 2019
17

Namun aliran ini memiliki banyak kelemahan yang disebabkan oleh


keterbatasan indera manusia, sehingga muncullah aliran rasionalisme.
b. Rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran yang berdasarkan rasio atau akal, yang
mana aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur melalui akal.
Mereka menggunakan daya akal budi untuk menemukan kebenaran.
Bapak aliran ini ialah Rene Dercates (1596-1650) yang mengatakan
bahwa saya berfikir, maka saya ada “Logito Ergo Sam”. Aliran ini
mengoreksi kelemahan aliran empirisme, seandainya akal digunakan
maka kelemahan itu tidak akan terjadi.
c. Kritisisme dan Positivisme
Kritisisme atau disebut juga kantiarisme merupakan aliran yang
dipelopori oleh Immanuel Kant dari Jerman, dimana Immanuel Kant
mengkritik dan beranggapan bahwa aliran-aliran sebelumnya itu belum
utuh atau belum valid. Seperti, pada aliran empirisme, maka bila hanya
mengandalkan data empirik saja tanpa menggunakan akal untuk
membuktikan kebenaran suatu hal maka seumpama orang yang bisu.
Begitu juga dengan aliran rasionalisme, maka bila hanya mengandalkan
akal saja tanpa data empirik maka seumpama orang yang buta.
Positivisme adalah suatu aliran yang berpendapat bahwa indera itu amat
penting untuk memperoeh pengetahuan, akan tetapi harus dipertajam
dengan akal dan alat bantu serta dikuatkan oleh eksperimen. Kekeliruan
indera dapat dikoreksi melalui eksperimen dan ukuran eksperimen harus
jelas, seperti panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan
meteran dan lain sebagainya. Tokoh dalam aliran ini adalah Auguste
Comte (1798-1857). Pada dasarnya aliran ini tidak berdiri sendiri, namun
hanya menyempurnakan gabungan dari empirisme dan rasionalisme yang
saling berkaitan.
d. Intuisionisme
18

Intuisionisme adalah suatu aliran yang menganggap naluri atau


perasaan adalah suatu sumber dari pengetahuan dan kebenaran. Aliran ini
berpendapat bahwa tidak hanya akal yang terbatas, indera juga terbatas,
objek-objek yang kita tangkap adalah objek yang berubah-ubah Tokoh
dalam aliran ini adalah Henri Bergson (1859-1941), yang
mengembangkan suatu kemampuan intuisi. Kemampuan ini mirip
dengan insting, tapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasanya.
Kemampuan ini adalah evolusi dari pemahaman yang tertinggi dari
kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia. Kemampuan inilah
yang dapat memahami kebenaran dengan utuh.
3. Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno,
yaitu“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi,
aksiologi, merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai. Dengan kata
lain, aksiologi adalah teori nilai. Suriasumantri (1990) mendefinisikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang di peroleh. 10 Aksiologi dalam Kamus Bahasa Indonesia
(1995) adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika.11 Menurut Wibisono seperti yang dikutip
Surajiyo, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan
ilmu. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi
disamakan dengan value and valuation.12
a. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal
dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos
atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat, dan

10
Suriasumantri, J. S., Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990), 78
11
Depdiknas, Kamus besar Bahasa Indonesia.(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 310
12
Surajiyo, Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 67
19

cara hidup.13 Dalam Bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan
kesusilaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan etika dalam tiga
arti. Pertama, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kedua, etika
adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga,
etika ialah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.14
Moral dalam KBBI didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai akhlak; akhlak dan budi pekerti; kondisi
mental yang mempengaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat,
berani, disiplin, dan sebagainya.15
Definisikan etika dan moral sebagai teori mengenai tingkah laku
manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal.
Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia (baik dan buruk)
menurut situasi yang tertentu. Fungsi etika itu ialah mencari ukuran
tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk) akan
tetapi dalam praktiknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-
kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku
manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidal terlepas dari alam masing
masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk
menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat
diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia
itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak
semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.16
Tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika itu haruslah
mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu:
1) Perbuatan manusia itu dikerjakan dengan penuh pengertian. Oleh
karena itu orang-orang yang mengerjakan sesuatu perbuatan jahat

13
Hamersma, Pintu masuk ke dunia filsafat. (Yogjakarta: Kanisius Hatta, 1985), 134
14
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 2001), 320
15
Ibid, 325
16
Bertens, Etika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 154
20

tetapi ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu jahat,


maka perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam
etika.
2) Perbuatan yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja.
Perbuatan manusia (kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak
sengaja maka perbuatan manusia semacam itu tidak akan dinilai atau
dikenakan sanksi oleh etika.
3) Perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan
kehendak sendiri.
4) Perbuatan manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan
terpaksa) maka perbuatan itu tidak akan dikenakan sanksi etika.
Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia,
sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau
tidak bermoral. Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah
berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan
perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Bahasan
etika, dalam sejarah filsafat barat, telah ada sejak zaman Sokrates (399-
470 s.m.). Dalam pembahasannya, etika tidak mempersoalkan apa atau
siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat atau
bertindak.17
Studi tentang etika, para ahli membedakannya ke dalam tiga bidang
kajian, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika.18
1) Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan
pengalaman moral (suara batin) dari norma-norma dan konsep-
konsep etis secara deskriptif. Pengalaman moral di sini memiliki arti
luas, misalnya adat istiadat, anggapan tentang baik dan buruk,
tindakan yang diperbolehkan ataupun tidak. Semuanya
dideskripsikan secara ilmiah dan ia tidak memberikan penilaian.

17
Rapar, Pengantar filsafat. (Yogjakarta: Penerbit Kanisius, 1996), 76
18
Ibid, 77
21

Karenanya, etika deskriptif ini tergolong dalam bidang ilmu


pengetahuan empiris serta terlepas dari filsafat. Sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan, etika deskripsi berupaya untuk menemukan dan
menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam
suatu kultur maupun subkultur. Dalam hal ini etika deskriptif
berhubungan erat dengan sosiologi, antropologi, psikologi, maupun
sejarah.
Tokoh-tokoh yang membidani etika deskriptif ini dapat ditemui
seperti Jean Piaget (1896 dan 1980) dari Swiss dan Lawrence
Kohlberg (1927- 1988) dari Amerika (Bertens, 2007). Dalam
perkembangan selanjutnya etika deskriptif digolongkan menjadi dua
bagian, yakni sejarah moral dan fenomenologi moral. Sejarah moral
mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan cita-cita, aturan-aturan, dan
norma-norma moral yang pernah berlaku dalam sejarah kehidupan
umat manusia dari waktu ke waktu pada suatu tempat atau
lingkungan tertentu dari suatu bangsa.19
2) Etika normatif
Etika normatif sering disebut filsafat moral (moral philosophy)
atau etika filsafati (philosophical ethics). Etika normatif dibagi ke
dalam dua teori, yaitu teori-teori nilai (theories of value) dan teori-
teori keharusan (theories of obligtion). Teori-teori nilai
mempersoalkan sifat kebaikan. Sifat teori ini ada dua, yakni monistis
dan pluralistis. Yang termasuk dalam kategori monistis adalah
hedonisme spiritualistis maupun hedonistis materialistis sensualistis.
Sedangkan teori teori keharusan membahas tingkah laku. Teori-teori
yang tergolong dalam theories of obligation adalah aliran egoisme
dan formalisme. Ada lima teori yang membahas nilai-nilai dalam
etika. Kelima teori tersebut adalah Idealisme Etis, Deontologisme
Etis, Etika Teleologis, Hedonisme, dan Utilitarisme.

19
Totok Wahyu Abadi, “Aksiologi” Antara Etika Moral Dan Estetika, Vol: 4. No: 2 (Maret, 2016),
187
22

3) Metaetika
Metaetika merupakan kajian analitis terhadap etika. Metaetika
baru muncul pada abad ke-20, yang secara khusus menyelidiki dan
menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang
diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan
atau menyalahkan suatu tindakan (Rapar, 1995). Istilah-istilah
normatif yang mendapatkan perhatian khusus adalah baik dan buruk,
benar dan salah, yang terpuji dan tidak terpuji, yang adil dan tidak
adil, dan lain-lain.
Sebagai bidang kajian analitis terhadap etika, metaetika ini
menawarkan beberapa teori yang cukup terkenal. Beberapa teori itu
adalah teori naturalistis, teori intuitif, teori sujektif, teori emotif, teori
imperatif.20
a) Teori naturalistis menyatakan bahwa istilah-istilah moral
sesungguhnya menamai hal-hal atau fakta-fakta yang pelik dan
rumit. Istilah-istilah normatif etis, seperti baik dan benar, dapat
disamakan dengan istilah ñ istilah deskriptif: yang dikehendaki
Tuhan, yang diidamkan, atau yang biasa. Teori naturalistis juga
berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan moral dapat
dilakukan lewat penyelidikan dan penelitian ilmiah. Teori
kognitivis mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan moral
tidaklah selalu benar dan sewaktu-waktu bisa keliru. Ini berarti
keputusan moral bisa benar dan salah. Selain itu, pada prinsipnya
pertimbangan-pertimbangan moral dapat menjadi subjek
pengetahuan atau kognisi. Teori kognitivis dapat bersifat
naturalistis dan dapat juga bersifat non-naturalistis. Bagaimana
sekarang dengan fatwa “moral” MUI yang menyatakan bahwa
rokok adalah haram?
b) Teori intuitif berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang
yang baik dan yang salah diperoleh secara intuitif. Teori ini

20
Rapar, Pengantar filsafat, 81
23

menolak kemungkinan untuk memberi batasan-batasan non-


normatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi teori intuitif,
pengetahuan manusia tentang yang baik dan yang salah itu jelas
dengan sendirinya karena manusia dapat merasa dan mengetahui
secara langsung apakah nilai hakiki suatu hal itu baik atau buruk,
atau benar tidaknya suatu tindakan.
c) Teori subjektif menekankan bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral sesungguhnya hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta
subjektif tentang sikap dan tingkah laku manusia. Pertimbangan-
pertimbangan moral itu tidak mungkin dapat mengungkapkan
fakta-fakta objektif. Karena itu, apabila seseorang mengatakan
bahwa ia menyetujui sesuatu itu benar, sesungguhnya ia
mengatakan bahwa ia menyetujui sesuatu itu benar adanya.
Sebaliknya, apabila ia mengatakan sesuatu itu salah, sebenarnya
ia hanya mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang
dikatakan salah itu.
d) Teori emotif menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral tidak mengungkapkan sesuatu apapun yang dapat disebut
salah atau benar kendati hanya secara subjektif. Pertimbangan ñ
pertimbangan moral tidak lebih dari suatu ungkapan emosi
semata-mata. Menurut teori emotif, istilah-istilah etis tidak
memiliki makna apapun kecuali hanya sebagai tanda dari luapan
perasaan, seperti rintihan, seruan, umpatan, dan lain-lain.
e) Teori imperatif berpendapat bahwa pertimbangan-pertimbangan
moral sesungguhnya bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat
dinilai salah atau benar. Dengan demikian, tak satu pun istilah
moral yang dapat memuat sesuatu yang boleh disebut salah atau
benar. Teori imperatif mengatakan bahwa istilah-istilah moral itu
sesungguhnya hanya merupakan istilah-istilah samaran dan
keharusan- keharusan ataupun perintah-perintah. Jadi apabila
dikatakan “kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah
24

“jangan berbohong”. Jika dikatakan “kebaikan adalah terpuji dan


benar” yang dimaksudkan adalah “lakukanlah yang baik”.
b Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of
beauty), yang berasal dari kata Yunani yaitu aisthetika atau aisthesis.
Kata tersebut berarti hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau
cerapan indera. Estetika sebagai bagian dari aksiologi selalu
membicarakan permasalahan, pertanyaan, dan isu-isu tentang keindahan,
ruang lingkupnya, nilai, pengalaman, perilaku pemikiran seniman, seni,
serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.21
Polemik estetika sampai sekarang masih ramai diperbincangkan
banyak orang. Khususnya jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai
kesusilaan, kepatutan, dan hukum. Apa sebenarnya ukuran keindahan itu
dan perannya dalam kehidupan manusia? Serta bagaimana hubungan
antara keindahan dengan kebenaran?
Pembahasan hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-
nilai atas sesuatu yang disebut indah atau tidak indah, beberapa tokoh
seperti Marcia Eaton, Edmund Burke dan David, serta Imanuel Kant
memiliki pandangan yang berbeda-beda. Tentang estetika, Marcia Eaton
menyatakan bahwa konsep tersebut berkaitan dengan deskripsi dan
evaluasi objek serta kejadian artistik dan estetika (Wiramihardja, 2006).
Edmund Burke dan David seperti yang dilansir Wiramihardja (2006),
memandang estetika sebagai suatu konsep yang berkaitan dengan
empirik atau sesuatu yang bersifat objektif. Pandangan kedua tokoh
tersebut didasarkan pada cara pengamatan respons psikologis dan fisik
yang dapat membedakan individu satu dengan lainnya untuk objek dan
kejadian yang berbeda. Sedangkan Imanuel Kant memiliki sudut pandang
yang berbeda. Bahwa estetika merupakan konsep yang bersifat subjektif
meski manusia, pada taraf yang paling mendasar dan secara universal,

21
Rapar, Pengantar filsafat, 85
25

memiliki perasaan yang sama terhadap apa yang membuat mereka


nyaman dan senang ataupun menyakitkan dan tidak nyaman.
Lingkup bahasan estetika memiliki beberapa bidang garapan.
Diantaranya adalah estetika filsafati dan estetika ilmiah. Estetika filsafati
acapkali disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty),
filsafat cita rasa (philosophy of taste), filsafat seni (philosophy of art),
dan filsafat kritik (philosophy of criticism). Estetika dalam hal ini banyak
membahas hakikat, akar dari ilmu seni, hasil perenungan bukan
eksperimen, dan pengalaman-pengalaman lahiriah. Sedangkan filsafat
ilmiah cenderung mengacu pada ilmu pengetahuan mengenai kesenian,
keindahan, ataupun estetika.22
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat keindahan yang saat ini lebih
banyak dianggap sebagai bagian dari aksiologi, lebih banyak dibicarakan
dalam metafisika karena sifatnya yang abstrak. Tokoh yang
membicarakan estetika di masa itu adalah Sokrates dan Plato. Plato
berpendapat bahwa seni (art) adalah keterampilan untuk memproduksi
sesuatu. Hasil seni adalah sebuah tiruan (imitasi). Lukisan merupakan
contoh dari hasil seni yang berupa tiruan tentang alam atau sesuatu yang
ideal. Karya seni merupakan tiruan yang ada dalam dunia ide dan tidak
memiliki sifat yang sempurna. Seni bagi Plato tidaklah penting karena
tidak memiliki pengaruh terhadap kehidupan manusia.
Seni sebagai sebuah imitasi, Aristoteles sependapat dengan Plato.
Namun berbeda sudut pandang tentang makna seni dalam kehidupan.
Bagi Artistoles, seni seperti yang dicontohkan dalam bentuk puisi
memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Bahkan menurutnya bahwa
puisi sebagai hasil karya sastra atau seni lebih memiliki nilai filsafat
ketimbang sejarah.
Estetika pada Abad Pertengahan tidak mendapatkan perhatian yang
sangat serius dari filsuf. Tiadanya perhatian filsuf terhadap seni karena
banyak mendapatkan perlawanan dari gereja Kristen. Kelompok gereja

22
Ibid, 87
26

menganggap bahwa seni itu adalah duniawi dan produk bangsa kafir
Yunani dan Romawi. Pada tahun 354-430 di masa pemerintahan
Agustinus, seni mendapatkan perhatian yang cukup serius. Agustinus
mengembangkan dan mengajarkan seni dalam konteks Platonisme
Kristen. Konteks Platonis Kristen terpaparkan dalam ajarannya bahwa
Tuhan itu menyukai keindahan. Karenanya, keindahan harus memiliki
benang merah dengan agama.
Di Abad XVIII berbagai sebutan tersebut tergantikan dengan istilah
estetika. Yang memperkenalkan istilah estetika adalah seorang filsuf
Jerman bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (17 Juli 1714 - 26 Mei
1762). Istilah itu diperkenalkan lewat karyanya yang monumental yang
diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Reflection On Poetry
(1954). Baumgarten mendefinisikan filsafat estetika sebagai ilmu
pengetahuan tentang keindahan.23
Keindahan dalam abad ini dipandang Baumgarten sebagai kenyataan
yang sebenarnya atau dapat dikatakan sebagai hakikat yang sebenarnya
bersifat tetap. Karenanya, kedua tokoh modern tersebut membedakan
pengetahuan menjadi dua yakni pengetahuan intelektual (intelectual
knowlodge) atau pengetahuan tegas dan pengetahuan indrawi (sensuous
knowledge) atau yang disebut pengetahuan kabur. Dalam buku
Baumgarten yang berjudul “Aesthetica” dijelaskan bahwa pengetahuan
sensuous merupakan estetika.

23
Ibid, 90
27

DAFTAR PUSTAKA

Basa’ad Tazkiyah, Studi Dasar Filsafat, Yogyakarta : Deepublish, 2018.

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka, 2001.

Depdiknas, Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Hamersma, H. Pintu masuk ke dunia filsafat. Yogjakarta: Kanisius Hatta, 1985.

Ja’far, Gerbang Gerbang Hikmah, Pengantar Filsafat Islam, Aceh: PeNa, 2011.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,


1982.

Rapar, J. H., Pengantar filsafat. Yogjakarta: Penerbit Kanisius, 1996.

Surajiyo, Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara,


2007.

Anda mungkin juga menyukai