Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah
puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap
jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan
metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang
bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur
dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin
menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan
teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau
menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan
yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti
pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam
memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunia.
Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra Yunani kuno hingga
sekarang ini. telah banyak aliran filsafat bermunculan. Setiap aliran filsafat memiliki
kekhasan masing-masing sesuai dengan metode yang dijalankan dalam rangka
memperoleh kebenaran.
Pada zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci
atau ajaran agama. Tidak juga dari para penguasa. tetapi dari diri manusia sendiri. Namun
tentang aspek mana yang berperan pada perbedaan pendapat aliran rasionalisme
beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio. kebenaran pasti berasal dari rasio
atau akal. Aliran empirisme sebaliknya meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu
baik yang buatan maupun yang lalu muncullah aliran-aliran yang mencoba untuk
memadukan keduanya pendapat berbeda itu seperti aliran kritisisme.

1
Pengetahuan dalam filsafat dibahas dalam epistemologi. Dari epistemologi,
lahirlah beberapa aliran aliran filsafat ilmu sebagai sumber pengetahuan yang sangat
terkenal.
Dalam konteks ini, epistemologi memegang peranan penting yang tidak pernah
bisa diabaikan sebab ia merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan hakikat
pengetahuan. Bermula dari aktivitas manusia dalam berfilsafat, dunia menjadi sesuatu
yang dapat dinalar dan dipahami secara akal budi. Dengan filsafat pula manusia manusia
mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua itu terjadi dalam proses
yang cukup panjang serta melintasi berbagai generasi. Sayangnya terdapat satu masalah
yang mewarnai ilmu pengetahuan produk dari epistemologi keilmuan Barat, yaitu antara
filsafat, sains, dan agama seolah tidak terdapat titik temu diantara ketiganya. Filsafat,
sains dan agama sama-sama merasa memiliki paradigma yang paling benar dalam
mengetahuai hakikat dunia. Ketiganya juga saling meniadakan kebenaran diluar
paradigmanya masing-masing.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka kami mengangkat permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana Peranan Akal sebagai sumber Ilmu Pengetahuan ?
2. Bagaimana Peranan Pengalaman sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan ?
3. Bagaimana Intuisi dan Wahyu sebagain Sumber Pengetahuan ?
4. Bagaimana Kriteria Kebenaran Epistimologi ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Peranan Akal sebagai sumber Ilmu Pengetahuan ?
2. Untuk mengetahui Peranan Pengalaman sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan ?
3. Untuk mengetahui Intuisi dan Wahyu sebagain Sumber Pengetahuan ?
4. Untuk mengetahui Kriteria Kebenaran Epistimologi ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akal Sebagai Sumber ilmu pengetahuan


Persoalan yang muncul tentang bagaimana proses terbentuknya pengetahuan yang
dimiliki manusia dapat diperoleh melalui cara pendekatan a priori maupun aposteoriori.
Penegetahuan yang diperoleh melalui pendekatan apriori adalah pengetahuan yang
diperoleh tanpa melalui proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber pada
pancaindera maupun pengalaman batin atau jiwa. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh
melalui pendekatan aposteoriori adalah pengetahuan yang diperoleh melalui informasi
dari orang lain atau pengalaman yang telah ada sebelumnya. Permasalahan yang muncul
adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar?. Menurut mundiri (2001)
pengetahuan adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yaitu tersingkapnya suatu kenyataan
dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya. Dan kata “benar menurut Jujun
S.Sumantri (1998) dapat didefinisikan sebagai pernyataan tanpa adanya keraguan.
Dengan demikian ketidakraguan adalah syarat mutlak bagi sesorang untuk dapat
dikatakan mengetahui

Islam memberikan apresiasi yang amat tinggi terhadap akal. Akal menempati
posisi yang urgen dan vital dalam pergumulan wacana keislaman. Oleh karena itu akal
seringkali disandingkan dengan Wahyu dalam banyak kesempatan dan pembahasan.
Maka wajarlah jika dikatakan bahwa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Tentu
saja produk dari pendayagunaan akal adalah ilmu pengetahuan. Dan ini dalam sejarah
dunia islam dibuktikan dengan maraknya perkembangan ilmu dari berbagai bidang dan
munculnya ratusan bahkan ribuan sarjana-sarjana muslim. Penghargaan Islam terhadap
akal dan dengan itu ilmu pengetahuan bukan hanya basa basi, karena hal itu dilaksanakan
dan dipraktikkan oleh para ulama’ atau kaum terpelajar Islam, yang luar biasa jumlahnya.
Keadaan yang kondusif seperti itu telah berhasil menampilkan beberapa filsuf muslim

3
terkemuka seperti al-Kindi, al-Farabi, ar Razi dan Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah, dan
sejumlah pakar pada bidangnya masing-masing.1
Oleh sebab itu munculah suatu aliran Rasionalisme. Pengertian aliran
Rasionalisme adalah aliran filsafat ilmu yang berpandangan bahwa otoritas rasio atau
akal adalah sumber dari segala pengetahuan. jadi strategi pengembangan ilmu menurut
paham rasionalisme adalah mengeksplorasi gagasan-gagasan dengan menggunakan
kemampuan intelektual manusia. Dengan demikian rasionalisme adalah paham filsafat
yang mengatakan bahwa akal adalah alat yang terpenting dalam memperoleh
pengetahuan dan pengetahuan.
Aliran ini menekankan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui dengan pasti tentang berbagai perkara sejak lahir atau Fitrah. ide kebenaran
sudah ada dalam diri setiap orang tanpa perlu mencarinya melalui pengalaman dan
pengamatan, terlebih dahulu aliran rasionalisme juga meyakini bahwa akal sumber
kebenaran satu-satunya. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak dalam identitas dan bukan di dalam sesuatu di luar ide kenyataan. jika
kebenaran mengandung makna adanya kesesuaian antara ide dan kenyataan maka
kebenaran baru dikatakan benar jika ada dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
melalui akal. Aliran rasionalisme itu juga dapat mendorong manusia menggunakan akal
pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.2
Seiring dengan perkembangan zaman, manusia mulai menaruh kepercayaan yang
besar terhadap kemampuan akal bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal sebuah
persoalan dapat dijelaskan dengan semua permasalahan, dapat dipahami dan dipecahkan.
Termasuk seluruh permasalahan tentang kemanusiaan. Di samping itu keyakinan yang
berlebihan terhadap kemampuan akal dapat membawa kita ke dalam perang dengan
mereka yang malas menggunakan akal atau logika.
Dengan kekuasaan atau kemampuan akal tersebut manusia menginginkan suatu
kehidupan dunia baru yang dikendalikan oleh akal sehat manusia kepercayaan akan akal
sehat sangat jelas dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk
menyusun secara apriori suatu sistem keputusan akal pada tingkat yang tinggi dan luas.

1
Ali Ahmad bin Muhammad Miskawaih, Falsafat al-Akhlaq al-Islam (Kairo: Mu’assasah al-Khariji al-
Arabiyyah,1963)h, 73.
2
H.Anis Bachtiar, M,Fil , Pengantar Filsafat (Surabaya : UINSA Press, 2018)h,109.

4
Dalam hal ini bisa dipahami bahwa dalam filsafat aliran yang mengedepankan akal
adalah aliran rasionalisme.3
Aliran Filsafat Rasionalisme dengan tokohnya Aristoteles, Plato, Rene Descartes,
Spinoza, Wolff, dan Leibzniz.

B. Pengalaman Sebagai Sumber Pengetahuan

Epistemology, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap


proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Metode inilah yang membedakan ilmu ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau
dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan
metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni
pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat disebut pengetahuan
keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian
‘’ilmu’’(science) dan ‘’pengetahuan’’ (knowledge), maka kita mempergunakan istilah
‘’ilmu’’ untuk ‘’ilmu pengetahuan’’

Ditinjau dari pengetahuan ini, ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan


daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan. Kata sifat’’keilmuan’’ lebih
mencerminkan hakekat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Kegiatan ilmu juga
dinamis dan tidak statis. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama
hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
mempergunakan metode keilmuan, adalah sah jika disebut keilmuan . orang dapat
menyebut suatu kejadian sehari-hari, secara keilmuan. Asalkan dalam proses pengkajian
masalah tersebut, dia memenuhi persyaratan yang telah digariskan. Sebaliknya tidak
semua yang diasosiasikan dengan eksistensi ilmu adalah keilmuan. Seorang sarjana yang
mempunyai profesi bidang ilmu belum tentu mendekati masalah ilmunya selama
keilmuan. Hakikat ilmu tidak berhubungan dengan titel, profesi, kedudukan; hakikat
keilmuan ditentukan olrh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.
Semoga hal ini bisa mengunggah kesadaran kita untuk tidak menempatkan ilmu pada

3
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/rasionalisme-dan-empirisme-ilmiah.html

5
suatu struktur feodalisme yang terselubung. Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan
menjunjung kebenaran di atas segala-galanya

Ditinjau dari segi perkembangannya, seperti juga semua unsure


kebudayaan manusia, ilmu merupakan gabungan dari cara-cara manusia sebelumnya
dalam mencari pengetahuan. Pada dasarnya, ditinjau dari sejarah cara berpikir manusia,
terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan. Yang pertama adalah berfikir secara
rasional, dimana berdasarkan faham rasionalisme ini, idea tentang kebenaran sebenarnya
sudah ada. Pikiran manusia dapat mengetahui idea tersebut, namun tidak
menciptakannya, dan tidak pula mempelajarinnya lewat pengalaman. Dengan perkataan
lain, idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar bagi pengetahuannya, diperoleh lewat
berfikir secara rasional, terlepas dri pengalaman manusia. System pengetahuan dibangun
secara koheren diatas landasan-landasan yang sudah pasti. Namun dari manakah kita
mendapatkan pengetahuan yang sudah pasti bila kebenaran itu dari pengalaman manusia
yang sudah nyata? Disinilah kaum rasionalis mulai mendapatkan kesulitan untuk
mencapai consensus yang dapat dijadikan landasan bagi kegiatan berfikir bersama. Tiap
orang cenderung untuk percaya kepada kebenaran yang pasti menurut mereka sendiri.
Lalu bagaimana kita bisa sampai kepada suatu consensus bula hanya berdasarkan apa
yang dianggap benar oleh masing-masing? Saya kira pengalaman kita sehari-hari
menunjukkan dengan jelas betapa sukarnya kita sampai kepada suatu kesimpulan yang
disetujui bersama bila hanya berdasarkan cara tersebut. Yang benar bagi si A belum tentu
baik bagi si B, malah mungkin sebaliknya. Seperti bunyi pepatah: kepala sama berbulu
pendapat berlain-lain. Cara berfikir seperti ini menyebabkan kita terjatuh ke dalam
solipsism yakni pengetahuan yang benar menurut anggapan kita masing-masing.

Oleh sebab itu maka muncullah kemudian suatu pola berfikir lain, yang
merupakan cara yang sama sekali berlawanan dengan rasionalisme, yang dikenal dengan
nama empirisme. Bosan denngan debat yang tak berkesudahan, maka kaum empiris
menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan pengetahuan. Menurut
mereka pengetahuan ini tidak ada secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh
dari pengalaman. Lalu berkembanglah apa yang dinamakan pola berfikir empiris, yang
semula berasal dari sarjana-sarjana islam dan kemudian terkenal di dunia barat. Lewat

6
tulisan francos bacon(1561-1626) dalam bukunya norum organum yang terbit pada tahun
1620. Pola berfikir rasional pun sebenarnya dikenal oleh ahli-ahli fikir barat lewat
pembahasan ahli-ahli falsafah islam terhadap falsafah yunani yang dilakukan antara lain
oleh al-kindi, al farabi, ibn sina dan ibn rusyd. Di samping ahli falsafah mereka ini juga
ahli dalam bidang keilmuan, dan falsafah ibnu rusyd mempunyai pengaruh besar dalam
dunia pemikiran di barat, yang terkenal dengan sebutan averroisme.

Apakah pendekatan empiris ini membawa kita lebih dekat kepada


kebenaran? Ternyata juga tidak, sebab gejala yang terdapat dalam pengalaman kita baru
mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka. Fakta, yang ada sebagai
dirinya sendiri, tidaklah mampu berkata apa-apa. Kitalah yang memberi mereka sebuah
arti: sebuah nama, sebuah tempat, atau apa saja. Bintang-bintang di langit hanyalah
tebaran kilau-kilau yang bisu sampai kita memberikan tafsiran terhadap ujud mereka. Di
samping itu, bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang
kita temui dalam pengalaman kita lalu apakah gunanya semua kumpulan itu bagi kita?
Pengetahuan yang diperoleh dengan cara ini hanyalah merupakan kumpulan pengetahuan
serbaneka yang tak berarti. Lebih jauh lagi, bagaimanakah cara kita mendapatkan
pengetahuan yang utuh: apakah kita memungut sana memungut sini seperti kita
mengumpulkan kerang-kerang di pantai? Disamping itu siapakah yang dapat menjamin
bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu benar, seperti apa yang dikatakan Charles
Darwin, bahwa tanpa penafsiran yang sungguh-sungguh maka ‘’alam akan mendustai
kita bila dia mampu, ternyata bahwa pendekatan empiris ini pun gagal untuk
memecahkan masalah pokok dalam menemukan pengetahuan yang benar.

C. Intuisi dan Wahyu Sebagai Sumber Pengetahuan

Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar pada dasarnya ada dua sumber yang
perlu diketahui manusia, yaitu berdasarkan rasio dan pengalaman manusia. Pengetahuan
yang diperoleh dari sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akan
pikiran semata. Pendapat ini dikemukakan oleh kaum rasionalis yang disebut dengan
istilah kaum rasionalisme. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa sumber
pengatahuan yang diperoleh melalui pengalaman, maka kebenaran pengetahuan hanya

7
didasarkan pada fakta lapangan. Orang yang menganut paham ini disebut dengan kaum
empirisme.4

Selain itu, sumber ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui rasionalisme dan
empirisme. Dan cara lain yang perlu kita ketahui adalah dengan intuisi dan wahyu. Intuisi
adalah kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses penalaran
tertentu, misalnya seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu permasalahan
tertentu kemudian tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Intuisi
ini juga bisa dikatakan bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya
jawaban atas suatu permasalahan tersebut ditemukan tidak pada saat orang tersebut secara
sadar memikirkan solusinya. Kita memang merasa yakin bahwa itulah jawabannya,
namun kita tidak dapat menjelaskan bagaimana caranya sampai kesana.5

Intuisi merupakan kegiatan berpikir bersifat personal dan tidak dapat diramalkan
yang bersifat personal dan tidak dapat diramalkan sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur, maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuitif
dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menemukan benar
atau tidaknya penyataan yang dikemukakan. Dengan demikian, kegiatan intuitif dan
analitik dapat bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Maslow,
intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience), sedangkan bagi Nietschze
intuisi merupakan intelegensi paling tinggi. Jadi, Intuisi merupakan pengalaman puncak
bagi manusia dan intelegensi paling tinggi bagi diri manusia dalam mencari kebenaran.6
Secara epistimologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang memperoleh melalui
pengamatan langsung, tidak mengenai keberadaan lahiriah suatu objek melainkan hakekat
keberadaan dari suatu objek tersebut. Bagi Bergson, ada dua cara dalam pencapaian
pengatahuan, yaitu analisi dan intuisi

Analisis adalah aktivitas intelektual dalam mengenali objek dengan observasi


bergerak mengairi objek atau dengan melakukan pemisahan terhadap bagian-bagian
konsistuen objek. Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat barat kemudian dilengkapi

4
M. Djunaidi Ghony dan Fauzan Almashur, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian (Malang: UIN MALIKI PRESS,
2012)h, 82.
5
Ibid,h 86.
6
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (1987)h, 30.

8
dengan munculnya aliran intuisionalisme yang dipelopori oleh Henry Bergson. Bagi
Bergson, indera dan akal manusia terbatas dalam memahami realitas secara keseluruhan.
Karena hal tersebut, kemudian Henry Bergson mengembangkan kemampuan tingkat
tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. 7 Sedangkan intuisi menurut Bergson adalah
rasio yang mana peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menetukan apa ang
unik dalam objek tersebut. Berpikir secara intuitif berarti berpikir dalam durasi (dipahami
sebagai waktu dalam gerak yang berkelanjutan). Bagi Bergson hanya intuisilah yang
mampu menangkap fenomena dalam durasi dan realitas sesunggunhya adalah durasi,
yaitu realitas yang tidak statis melainkan senantiasa dalam proses evolusi kemenjadian.
Henry Bergson membagi pengetahuan menjadi dua, yaitu “pengetahuan mengenai” dan
“pengetahuan tentang”. Pengetahuan yang pertama disebut pengetahuan diskursif atau
pengetahuan simbolis yang didapat dari metode analisis dan pengetahuan, yang kedua
disebut dengan pengetahuan intuitif karena diperoleh langasug melalui intuisi. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran baik secara
rasional maupun empiris. Secara epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi
yang memperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai keberadaan lahiriah
suatu objek melainkan hakekat keberadaan dari suatu objek tersebut.8

Dalam fisafat Islam, isme yang hampir mirip dengan intuisionisme adalah
iluminasionisme (al-masyaiyyah). Aliran ini berkembang dikalangan tokoh agama, yang
didalam agama Islam disebut dengan istilah ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari
Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.9

Sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada


manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi yang utus-Nya sepanjang zaman. Agama
mengandung pengatahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup maslah-masalah yang bersifat transedental, seperti
latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhir nanti. Pengetahuan ini
didasarkan pada kepercayaan akan hal-hal ghoib (supernatural). Kepercayaan kepada
Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan nabi sebagai perantara dan
7
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2013)h, 27.
8
Ibid,h 57.
9
Ahmad Atabik, “Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu”, Jurnal Fikrah, Vol.2, No.1 (Juni 2014),h 269.

9
wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini.
suatu pernyataan harus dipercaya dahulu atau dapat diterima. Pernyataan ini bisa dikaji
dengan metode lain.10 secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-
pernyataan yang terkandung didalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain,
secara empiris, bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau
tidak. Jadi, agama dimulai dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian tersebut
kepercayaan bisa meningkat atau menurun.

Sebaliknya, ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya dan melalui proses
pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan bahwa ketidakpercayaan itu tadi ditopang
kenyataan, atau bisa pula kita tetap pada kepercayaan semula.11 Kegiatan berpikir juga
ada yang tidak berdasarkan penalaran, yaitu intuisi, yang merupakan kegiatan berpikir
non-analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Ditinjau
dari hakekatnya, dalam rangka menemukan kebenaran dapat kita bedakan menjadi dua
jenis pengetahuan, yaitu pertama, pengetahuan yang didapatkan sebagai hasil usaha aktif
dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik melalui penalaran maupun kegiatan lain,
seperti perasaan dan intuisi. Kedua, kebenaran yang bukan didapat sebagai hasil usaha
aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berupa pengetahuan yang
ditawarkan atau diberikan, umpamanya wahyu yang diberikan Tuhan kepada nabi-
nabinya melalui perantara malaikatnya. Manusia bersifat pasif dalam menemukan
kebenaran sebagai penerimaan berita tersebut, yang kemudian dipercaya ataupun tidak
tergantung dengan keyakinannya.

Dalam hal wahyu dan intuisi, maka secara eksplisit kita mengetahui bahwa wahyu
(atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber
pengetahuan lewat kepercayaan bahwa yang diwahyukan itu adalah sumber pengetahuan
yang benar, meskipun kegiatan berpikir intuisi tidak mempuyai logika. Dalam beberapa
hal, bangunan epistimologi Barat (sekuler) berbeda dengan bangunan epistimologi Islam.
epistimologi pengetahuan modern yang berkembang di Barat hanya mengakui indera
(melalui observasi) sebagai satu-satunya sumber ilmu yang sah dan dapat dipercaya.
Pandangan tersebut akan memunculkan faham-faham kapitalis-materialis, dan bahkan
10
Imam Amrusi Jailani, FILSAFAT ILMU (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014)h, 69.
11
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (1987)h, 31.

10
sekuler yang amat berbahaya bagi sistem kepercayaan atau akidah Islam beragama dan
beriman, khususnya kaum muslimin.

Tantangan filosofis yang paling berbahaya terhadap kemurnian akidah Islam


adalah munculnya paham “positivisme”, yang berpandangan bahwa satu-saunya yang
real adalah yang positif, yakni yang bisa diobservasi melalui indera saja. Konsep-konsep
agama melalui Tuhan, hari akhir, malaikat dan wujud-wujud ghaib lainnya tak lain
daripada kreasi manusia ketika mereka berada pada tahap awal perkembangannya. Jadi,
yang mereka hasilkan bukanlah sistem kepercayaan yang religius, atau sistem filosofis,
rasional, melainkan ilmu pengetahuan (sains) yang didasarkan pada observasi inderawi.12

Berdasarkan uraian diatas (tentang epistimologi) dapat diketahui bahwa manusia


memperoleh pengetahuan dengan tiga cara, yaitu cara sains, cara filsafat (logika,akal) dan
dengan cara latihan rasa (intuisi, kasyf). Namun secara umum, pengetahuan itu
sebenarnya diperoleh dengan cara berpikir benar, seperti sains dan filsafat serta mistik
yang sekurang-kurangnya berawal dari berpikir benar.13

D. Kriteria Kebenaran Epistimologi

Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat mempelajari batas-batas pengetahuan


dan usal-usul pengetahuan serta di kriteria kebenaran. Kata ‘epistemologi’berasal dari
bahasaYunani, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran, percakapan). Jadi
epistemologi berarti ilmu percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Pokok
persoalan dari kajian epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan;
bidang, batas jangkauan pengetahuan. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori tentang
pengetahuan. Pada awalnya, pembahasan epistemologi lebih terfokus pada sumber
pengetahuan dan teori tentag kebenaran pengetahuan. Pembahasan yang pertama
berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengethuan itu berasal pada akal pikiran
semata, pengalaman indera, kritik atau intuisi.14

12
Imam Amrusi Jailani, FILSAFAT ILMU,h 71.
13
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2013)h, 28.
14
Ahmad Atabik, “Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu”, Jurnal Fikrah, Vol.2, No.1 (Juni 2014)h, 225.

11
Sementara itu, pembahasan kedua terfokus kepada petanyaan apakah kebenaran
pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau praktis-
pragmatis. Selanjutnya, dalam epistemologi mengalami perkembangan, yakni
pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk
memperoleh pengetahuan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-
tingkat kebenaran pengetahuan. Purwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 15
menerangkan bahwa kebenaran itu adalah (1) keadaan yang benar, (2) sesuatu yang
benar, (3) kejujuran, kelurusan hati. Sedangkan menurut Abbas Hamami, kata
“kebenaran” bisa digunakan sebagai suatu kata benda konkrit maupun abstrak. Jika
subjek hendak menuturkan kebenaran artinya sebuah proposisi (makna yang dikandung
dalam suatu pernyataan) yang benar. Berikut adalah teori-teori kebenaran.

1. Teori Korespondensi
Teori ini adalah teori kebenaran yang didasarkan pada fakta obyektif sebagai
dasar kebenarannya. Teori ini menyatakan bahwa sebuah pernyataan dianggap
benar hanya jika pernyataan tersebut berhubungan dengan fakta obyektif yang
ada.16 Hal itu dapat dipahami bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika ada
faktanya, jika tidak maka bukan kebenaran. Oleh karena sifatnya yang
mengandalkan pengalaman inderawi dalam menangkap fakta, maka teori ini
digunakan oleh para empirisis. Menurut prinsip verifikasi, semakin banyak pihak
yang mengiyakan dan menyaksikan bukti faktual yang berhubungan dengan
sebuah pernyataan, maka kadar kebenaran tersebut akan semakin tinggi.17
2. Teori Koherensi
Pembuktian secara berulang-ulang pada teori korespodensi pada akhirnya
akan melahirkan sebuah aksioma atau postulat yang pada umumnya berwujud
sebagai kebenaran umum (general truth). Menurut tori koherensi, sebuah
pernyataan bisa dianggap benar hanya jika pernyataan itu koheren atau tidak
bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah terbukti benar. Teori
15
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Referensi, 2012)h, 96.
16
Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)h, 172-173.
17
Abdul Aziz Faradi, “Teori-Teori Kebenaran dalam Filsafat”, Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol.07, No.01 (Juli
2019)h, 106.

12
koherensi ini juga disebut dengan teori konsistensi. Sebagai contoh, didalam
disiplin ilmu matematika terdapat postulat bahwa jumlah sudut semua jenis
bangun segitiga berjumlah 180º. Jika ada satu pernyataan bahwa terdapat satu
bentuk segitiga yang jumlah sudutnya 210º, maka tanpa harus menyaksikan bukti
faktual segitiga tersebut kita bisa menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak
benar karena bertentangan dengan postulat.
Perbedaan teori ini dengan teori korespondensi terletak pada dasar
pembuktian kebenaran.pada teori korespondensi dasar kebenarannya pada ada
tidaknya hubungan ada tidaknya pernyataan dengan fakta yang ada, sedangkan
pada teori koherensi pembuktiannya terletak pada ada tidaknya konsistensi anatra
penyataan denga postulat.18

3. Teori Pragmatisme
Jika pada korespondensi dasar kebenarannya adalah fakta obyektif dan
pada teori koherensi adalah konsistensi logis, maka teori pragmatis meletakkan
dasar kebenarannya pada manfaat praktis dalam memecahkan persoalan
kehidupan. Teori ini muncul sebagai kritik terhadap kaum positivis yang
menganggap pernyataan metafisik sebagai pernyataan yang tidak bermakna
karena ia tidak memiliki dasar faktual di dunia empiris. Menurut kaum pragmatis,
pernyataan metafisik bisa menjadi benar selama ia memiliki manfaat dalam
kehidupan. Terkait dengan teori kebenaran, Charles Pierce, salah satu tokoh
pragmatisme menjelaskan bahwa kriteria berlaku dan memusatkan sebagai dasar
kebenaran dalam pragmatisme digambarkan secara beragam dalam berbagai
sudut pandang.19
4. Teori Performatif
Teori kebenaran performatif muncul dari konsepsi J.L. Austin yang
membedakan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif. Menurut tokoh
filsafat analitika bahasa dari Inggris ini, pengujian kebenaran secara faktual
seperti yang diterapkan dalam teori korespondensi hanya bisa diterapkan pada

18
Ibid,h107-108.
19
William James, “Pragmatism’s Conception of Truth”, dalam Abdul Aziz Faradi, “Teori-Teori Kebenaran dalam
Filsafat”, Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol.07, No.01 (Juli 2019), 109.

13
ujaran konstatif. Sementara itu, terdapat beberapa hal yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya karena keterbatasan masyarakat untuk mengakses fakta yang
terjadi. Selain keterbatasan akses kepada fakta, ketidakbisaan sebuah ujaran
untuk dibuktikan juga bisa disebabkan karena sebuah ujaran berkaitan dengan
kondisi atau aktivitas mental seseorang.
5. Teori Konsensus
Teori kebenaran konsensus pada awalnya digagas oleh Thomas Kuhn,
seorang ahli sejarah ilmu pengetahuan, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
berkembang melalui beberapa tahapan. Pertama, ilmu pengetahuan berada pada
posisi sebagai normal science ketika ia diterima oleh masyarakat berdasarkan
konsepsi kebenaran ilmiah. Pada perkembangannya, akan muncul beberapa
anomali yang membuat konsepsi kebenaran tersebut dipertanyakan
keabsahannya. Sealanjutnya akan terjadi revolusi ilmu pengetahuan yang juga
menyebabkan pergeseran paradigma dalam masyarakat ilmiah. Singkat kata,
perkembangan ilmu pengetahuan ditandai dengan adanya pergeseran paradigma
lama yang digantikan oleh paradigma baru. Pergeseran tersebut ditentukan oleh
penerimaan masyarakat terhadap sebuah paradigma dan konsepsi kebenaran
ilmiah.20
6. Agama sebagai Teori kebenaran
Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini sebagai makhluk yang suka mencari
kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah agama.
Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia,
maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut agama adalah
wahyu yang bersumber dari Tuhan.21
Berbagai teori kebenaran yang telah dijelaskan diatas, menunjukkan pluralitas
kebenaran dalam filsafat. Adanya berbagai standar kebenaran selayaknya
membuat masyarakat tidak lagi memandang validitas kebenaran dalam sebuah
pernyataan dalam oposisi biner, hitam-putih, benar-salah.

20
Thomas Kuhn, The Structure of Scientifc Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1962)h, 58-61.
21
Ahmad Atabik, “Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu”, Jurnal Fikrah, Vol.2, No.1 (Juni 2014)h, 265.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pengertian aliran Rasionalisme adalah aliran filsafat ilmu yang berpandangan
bahwa otoritas rasio atau akal adalah sumber dari segala pengetahuan. jadi strategi
pengembangan ilmu menurut paham rasionalisme adalah mengeksplorasi gagasan-
gagasan dengan menggunakan kemampuan intelektual manusia. Dengan demikian
rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah alat yang
terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan.
Aliran ini menekankan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui dengan pasti tentang berbagai perkara sejak lahir atau Fitrah. ide kebenaran
sudah ada dalam diri setiap orang tanpa perlu mencarinya melalui pengalaman dan
pengamatan, terlebih dahulu aliran rasionalisme juga meyakini bahwa akal sumber
kebenaran satu-satunya. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak dalam identitas dan bukan di dalam sesuatu di luar ide kenyataan. jika

15
kebenaran mengandung makna adanya kesesuaian antara ide dan kenyataan maka
kebenaran baru dikatakan benar jika ada dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
melalui akal. Aliran rasionalisme itu juga dapat mendorong manusia menggunakan akal
pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan manusia.

Epistemology, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap


proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Metode inilah yang membedakan ilmu ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau
dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan
metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni
pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat disebut pengetahuan
keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian
‘’ilmu’’(science) dan ‘’pengetahuan’’ (knowledge), maka kita mempergunakan istilah
‘’ilmu’’ untuk ‘’ilmu pengetahuan’’

Ditinjau dari pengetahuan ini, ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan


daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan. Kata sifat’’keilmuan’’ lebih
mencerminkan hakekat ilmu daripada istilah ilmu sebagai kata benda. Kegiatan ilmu juga
dinamis dan tidak statis. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama
hal itu terbatas pada obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan
mempergunakan metode keilmuan, adalah sah jika disebut keilmuan . orang dapat
menyebut suatu kejadian sehari-hari, secara keilmuan. Asalkan dalam proses pengkajian
masalah tersebut, dia memenuhi persyaratan yang telah digariskan. Sebaliknya tidak
semua yang diasosiasikan dengan eksistensi ilmu adalah keilmuan. Seorang sarjana yang
mempunyai profesi bidang ilmu belum tentu mendekati masalah ilmunya selama
keilmuan. Hakikat ilmu tidak berhubungan dengan titel, profesi, kedudukan; hakikat
keilmuan ditentukan olrh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.
Semoga hal ini bisa mengunggah kesadaran kita untuk tidak menempatkan ilmu pada
suatu struktur feodalisme yang terselubung. Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan
menjunjung kebenaran di atas segala-galanya

16
Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar pada dasarnya ada dua sumber yang
perlu diketahui manusia, yaitu berdasarkan rasio dan pengalaman manusia. Pengetahuan
yang diperoleh dari sumber rasio, kebenarannya hanya didasarkan pada kebenaran akan
pikiran semata. Pendapat ini dikemukakan oleh kaum rasionalis yang disebut dengan
istilah kaum rasionalisme. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa sumber
pengatahuan yang diperoleh melalui pengalaman, maka kebenaran pengetahuan hanya
didasarkan pada fakta lapangan. Orang yang menganut paham ini disebut dengan kaum
empirisme.

Selain itu, sumber ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui rasionalisme


dan empirisme. Dan cara lain yang perlu kita ketahui adalah dengan intuisi dan wahyu.
Intuisi adalah kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tanpa melalui proses
penalaran tertentu, misalnya seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu
permasalahan tertentu kemudian tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut. Intuisi ini juga bisa dikatakan bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya
sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan tersebut ditemukan tidak pada saat orang
tersebut secara sadar memikirkan solusinya. Kita memang merasa yakin bahwa itulah
jawabannya, namun kita tidak dapat menjelaskan bagaimana caranya sampai kesana.

17
Daftar Pustaka

Bachtiar, Anis. Pengantar Filsafat. Surabaya : UINSA Press, 2018.


Faradi, Abdul Aziz. “Teori-Teori Kebenaran dalam Filsafat”, Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin,
Vol.07, No.01. Juli 2019.
Atabik, Ahmad. “Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu”, Jurnal Fikrah, Vol.2, No.1.Juni
2014.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2013.

http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/rasionalisme-dan-empirisme-ilmiah.html

Fautanu, Idzam. Filsafat Ilmu: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Referensi, 2012.

Jailani, Imam Amrusi. FILSAFAT ILMU. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. 1987.
Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

18
Kuhn, Thomas.The Structure of Scientifc Revolution. Chicago: University of Chicago Press,
1962.
Miskawaih, Ali Ahmad bin Muhammad. Falsafat al-Akhlaq al-Islam. Kairo: Mu’assasah al-
Khariji al-Arabiyyah,1963.
Ghony, M. Djunaidi dan Almashur, Fauzan. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian. Malang: UIN
MALIKI PRESS, 2012.

James, William. “Pragmatism’s Conception of Truth”, dalam Abdul Aziz Faradi, “Teori-Teori
Kebenaran dalam Filsafat”, Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol.07, No.01. Juli 2019.

19

Anda mungkin juga menyukai