Anda di halaman 1dari 21

Jum’at, 29 Oktober 2021

EPISTEMOLOGI
BURHANI
Dipresentasikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi
Islam

Dosen Mata Kuliah: Jazilus Sakhok, M.A.

Oleh:

Asyifa Fauziyah (21106040044)

Firyal Afifah Fauziyyah (21106040047)

Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Program Studi Biologi


Pokok Bahasan
Pendahualuan : Latar Belakang
Pembahasan:
Epistemologi Islam
Munculnya Epistemologi Burhani
Epistemologi Burhani
Akal dalam Epistemologi Burhani &
Metodologinya
Contoh , Syarat Premis, dan Syarat Silogisme
Tokoh Islam Metodologi Burhani
Penutup : Kesimpulan
Pendahuluan: Latar Belakang
Kerangka dasar wawasan pengetahuan dalam pendidikan Islam telah digariskan oleh Allah
swt. dalam QS. al-’Alaq (96) : 1-5. Menurut Al-Kailani, kelemahan wawasan epistemologi Barat
terletak pada penyangkalan wahyu sebagai instrumen epistemologis. Sedangkan kelemahan
utama dunia Islam terletak pada “glorifikasi” wahyu hingga mengabaikan peran akal dan
indera.

Proses untuk mendapatkan ilmu pengtahuan dikenal dengan istilah epistemologi. Paling tidak
ada 3 model sistem berpikir dalam Islam, yakni bayani, irfani, dan burhani yang masing-masing
punya perbedaan pandangan tentatang pengetahuan. Epistemologi menempati posisi penting,
sebab menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.

Dalam perkembangan ilmu dunia Islam, itu disemangati oleh nilai-nilai agama dan nilai-nilai
epistemologi keilmuan dan filsafat dalam bingkai yang luar biasa karena komunitas
masyarakat mampu memadukan antara kepentingan empiris rasional dengan intuisi atau
wahyu. Oleh itu kami ingin memaparkan epistemologi Islam dari struktur burhani secara
singkat.
Epistemologi Islam
Epistemologi merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan. Istilah epistemologis berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua
kata yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, dan ilmu).
Islam dalam memperoleh ilmu pengetahuan tidak hanya berkubang pada rasionalisme
dan empirisme, tapi juga mengakui wahyu dan intuisi. Epistemologi Islam mengambil
titik tolak Islam sebagai subjek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka di
satu pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber
pengetahuan dan kebenaran. Di lain pihak, filsafat pengetahuan berpusat pula pada
manusia, dalam arti manusia sebagai subjek yang mencari kebenaran.
Pada dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran muslim setidaknya ada 3 aliran
penting yang mendasari pengetahuannya. Yaitu pengetahuan rasional, inderawi, dan
kasfy. Penggunaan akal merpakan cara yang diterima dalam epistemologi Islam
sebagai alat memperoleh pengetahuan. Epistemologi burhani adalah epistemologi
demonstratif yang mengedepankan akal untuk memeperoleh pengetahaun.
Munculnya Epistemologi
Burhani
Secara historis, epistemologi burhani identik dengan filsafat yang masuk dalam
dunia pemikiran Islam. Dalam konteks keilmuan Islam klasik, penyebutan
burhani hanya ditujukan untuk pemikiran filsafat Aristoteles. Masuknya filasafat
Aristoteles ke dalam dunia pemikiran Islam diawali dengan penerjemahan buku-
buku Aristoteles pada masa pemerintahan Al-Makmun yang menjadi tonggak
sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran Islam.

Dalam hal ini Al-Makmun mulai menanamkan akal dalam kebudayaan Arab
Islam dan mengkaitkannya dengan “rasinalitas keagamaan” untuk menghadapi
serangan Gnotisme. Dalam hal ini Islam dibantu oleh filsafat Yunani dan
bermaksud membentuk dunia ilmu-ilmu keagamaan rasional, (Al Jabiri, 2003:
328)
Filosof muslim yang memperkenalkan burhani dalam dunia Islam
pertama kali adalah al-Kindi. Al-Kindi sangat ingin memperkenalkan
filsafat dan sains Yunani kepada “sesama pemakai bahasa Arab” dan
menentang kaum teologi ortodok yang menolak pengetahuan asing.
Namun kaum muslimin ortodok resah denngan pandangan meninggikan
akal dan banyak argument al-Kindi yang tidak ditopang oleh bukti-bukti
kitab suci, (Seyyed Hosein Nasr dan Oliver Leaman, (edt), 2003: 2010).

Namun demikian al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam


pemikiran; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan
mewariskan persoalan filsafat sampai sekarang, yaitu: (1) penciptaan
alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan
bagaimana buktinya, (3) pengetahuan bagaimana terjadi, (Shaleh, 2004:
221)
Jasa al-Kindi lah yang membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat
diakses dan telah membangun pondasi filsafat dalam Islam, yang
kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh Al-Farabi. Salah satu
pokok perhatian dalam karya-karya logika Al-Farabi adalah
menguraikan sejelas-jelasnya hubungan antara logika filsafat dan
tata bahasa umum.

Realitas historis masuknya filsafat dan munculnya keulitan akibat


kebutuhan untuk menciptakan kosakata filsafat dalam bahasa
Arab. Selain itu, fokus kebahasaan dari sebagian besar logika
Aristotelian menciptakan konflik teritorial dengan para praktisi ilmu
tata bahasa Arab asli setempat yang berupaya mengkompromikan
bahasa Yunani dengan bahasa Arab, (Seyyed Hosein Nasr dan Oliver
Leaman, 2003: 210).
Epistemologi Burhani

Burhani berasal dari kata al-Burhan dalam bahasa arab yang


berarti argumentasi yang kuat dan jelas (al-hujjat al-fashilat al-
bayyinat), dalam bahasa inggris disebut demonstration, berasal
dari bahasa latin demonstration yang berarti isyarat, sifat,
keterangan, dan penampakan.

Dalam bahasa Prancis, dibedakan antara demontrer yang berarti


memaparkan sesuatu secara jelas, logis, terstruktur, dan monter
(konkrit). Al-burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang
jelas (diciseve proof) dan keterangan yang jelas,
Dalam istilah logika, burhani, berarti aktivitas dalam rangka
menentapkan proposisi ( ‫ ) قـضیة‬melalui metode penyimpulan
( ‫ ) إـستنتاج‬dengan mengaitkan satu proposisi dengan proposisi lain
yang diperoleh tanpa berfikr panjang yang kebenarannya terbukti
secara aksiomatik.

Jadi intinya, burhani merupakan aktivitas berpikir untuk


menetapkan kebenaran dari premis-premis melalui metode
pengambilan kesimpulan (konklusi). Metode burhani dapat
disepadankan dengan silogisme dalam ilmu logika atau ilmu
mantiq. Dengan menghubungkan antara premis-premis yang tidak
diragukan kebenarannya, kesimpulan atas sesuatu dapat
diperoleh. Metode burhani disebut juga sebagai metode aqli atau
rasional.
Akal dalam Epistemologi
Burhani
Penggunaan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan bukanlah suatu hal
yang baru dalam dunia Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah swt. Menganjurkan
penggunaan akal agar manusia dapat berpikir dan merenungkan kekuasaan
Allah.

Hal yang menjadi permasalahan dan perdebatan atas penggunaan akal dalam
upaya memperoleh pengetahuan adalah berkaitan dengan bagaimana cara
kerja akal, bagaimana cara menggunakan akal, dan bagaimana agar akal
dapat menacapai kebenaran.

Hal inilah yang kemudian atutan-aturan dan batasan-batasannya dipelajari


dalam ilmu logika/ilmu mantiq. Sehingga dalam penerapan epistemologi
burhani sangat berkaitan dengan penguasaan akan ilmu logika/ilmu mantiq.
Metode Epistemologi Burhani
Abid Al-Jabiri lebih menggunakan akal sebagai predikat
untuk menyebut terhadap sistem pengetahuan dengan
metode yang khas dan menentukan adanya pandangan
dunia tersendiri. Jadi, sistem pengetahuan burhani
adalah mempostulasikan metodologi dan rasionalisasi
dengan menjungung tinggi kekuatan natural manusia
yang berupa indera, pengalaman dan akal dalam upaya
mencapi pengetahuan dan kebenaran tersebut.

Penjelasan tentang pendekatan metodologi burhani


dalam konteks kata, makna, dan silogisme demostratif
adalah sebagai berikut.
Makna dan Kata
Bagi burhaniyun yang menggunkan filsafat sebagai kerangka berfikir,
melihat bahwa pada hakikatnya yang universal akan menempatkan
makna pada posisi otoritas, sedangkan bahasa yang bersifat
partikular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya.

Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh al- Farabi bahwa makna
datang lebih dahulu dari pada kata, sebab makna datang dari sebuah
pengkonsepsian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran
atau rasio yang kemudian diaktualisasikan dalam kata-kata.

Al-Farabi memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi


intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri, maka yang lahir
selanjutnya bukanlah makna- makna dan pemikiran baru, tetapi kata-
kata yang baru.
Hasan Hanafi juga sepakat dengan tesis ini. Ia mengatakan
bahwa bahasa menjelaskan pikiran, selanjutnya pikiran
memberikan makna. Dan dari sinilah baru terbangun suatu
proposisi. Secara stuktural, proses tersebut adalah sebuah
proses eksperimentasi, yakni: (1) pengamatan terhadap
realitas, baik realitas alam maupun sosial. (2) Terjadi proses
abstraksi atau terjadinya gambaran atas realitas tersebut
dalam pikiran. (3) Terwujudnya ekspresi, yaitu pengungkapan
realitas yang dimaksud dalam kata-kata.
Qiyas Burhani
atau silogisme demonstratif
Silogisme demonstratif atau qiyas burhani, adalah silogisme yang premis-premisnya
terbentuk dari konsep-konsep yang benar, meyakinkan, sesuai dengan realitas empiris yang
bukan nass atau teks dan diterima oleh akal

Tahap pertama, Tahap kedua, Pernyataan Tahap ketiga, Penalaran.


Pengertian (ma’qulat), (‘ibarah) adalah upaya Pada tahap ini dilakukan
merupakan proses awal mengekspresikan dengan merangkai
yang letaknya berada pengertian tersebut silogisme. Sebuah
dalam pikiran, di sinilah dalam kalimat, yang silogisme harus terdiri dri
sebenarnya terjadi disebut denga proposisi dua proposisi yang
pengabtraksian, yakni (qadiyyah). kemudian disebut premis
merupakan aktivitas mayor untuk premis yang
berpikir atas realitas yang pertama dan premis
berasal dari pengalaman, untuk premis yang kedua,
pengindraan dan yang keduanya saling
penalaran untuk berhubungan dan darinya
mendapatkan suatu ditarik kesimpulan logis
gambaran
Syarat Premis
Agar terhindar dari kesalahan atau sesat pikir dalam mengambil kesimpulan, perlu dipastikan bahwa
premis-premis yang digunakan dalam penalaran tersebut adalah premis yang benar dan valid. Sebagai
contoh pernyataan bahwa semua makanan yang memabukkan adalah haram, diakui kebenaran
pernyataannya berdasarkan hadits. Kemudian premis bahwa jamur psilocybe cubensis adalah
memabukkan, kebenarannya bedasarkan temuan ilmiah para ahli. Jadi kedua pernyataan yang dijadikan
premis-premis harus dipastikan terlebih dahulu kebenarannya. Barulah kemudian dirtarik sebuah
kesimpulan. Dalam menarik kesimpulan tentu saja menggunakan syarat-syarat yang telah diuraikan dalam
ilmu logika khususnya bab silogisme.

1. Dalam konteks burhani, salah satu premis harus


bersandar/mengacu pada nash.

2. Kemudian premis kedua diperoleh melalui metode


induktif (istiqra’) dari realitas empiris yang ada (baik
realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan)
melalui proses abstraksi.

3. Realitas empiris bisa diperoleh melalui indera,


pengalaman, dan penelitian. Sementara proses
abstraksi merupakan hasil dari penalaran akal.
Syarat Silogisme Demonstratif
(Qiyas Burhani)

1. Mengetahui sebab yang menjadi alasan dari


premis.

2. Menunjukkan konsistensi logis antara alasan dan


kesimpulan. Kedua hal ini termasuk syarat
silogisme secara umum.

3. Kesimpulan yang diambil bersifat pasti dan benar


yang tidak mungkin menimbulkan kebenaran
atau kepastian yang lain. Dan syarat ketiga inilah
yang membedakan antara silogisme umum
dengan silogisme burhani.
Contoh
Silogisme Demonstratif
Premis mayor : semua makanan yang memabukkan adalah haram.
Premis minor : jamur psilocybe cubensis adalah makan yag memabukkan.
Kesimpulan/konklusi : jamur psilocybe cubensis adalah haram.

Contoh silogisme di atas menunjukkan bahwa posisi nash sangat penting


dalam upaya pengambilan kesimpulan atas hukum Islam, termasuk juga dalam
metode burhani. Al-Qur’an dan hadits merupakan referensi utama dalam
pembentukan salah satu premis.

Dalil tentang “semua makanan yang memabukkan adalah haram”


sebagaimana yang dijabarkan pada premis mayor berangkat dari penjelasan
hadist Nabi Muhammad. “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap
khamr dalah haram.” (HR. Muslim).
Tokoh Islam yang Menerapkan
Epistemologi Burhani
IBNU KHALDUN (Sejarah
IBNU RUSYD (Kalam dan
Ilmiah)
Filsafat)
Sejarah ilmiah disini
Beliau menolak pandangan
terdapat penelitian,
asy’ariyah tentang prinsip
penyelidikan, dan analisa
(keserbabolehan) karena
yang mendalam akan
dianggap mengingkari hokum
sebab atau latar belakang
kausalitas
terjadinya sesuatu.

AL- SYATIBI (Ushul Fiqh, Filsuf IBN HAZM (Ahli Fiqh,


Andalusia) Sejarawan)
Ushul fiqh didasarkan pada Beliau menyatakan bahwa
prinsip kuliyyah al- syariah dan cara untuk mengetahui
prinsip al- maqasid al- Syar’I, hukum hukum syari’ah yaitu
yang serupa dengan sebab kembali kepada nash, dan
akhir sebagai pembentuk nash dapat diketahui dan
penalaran burhani dipahami maknanya dengan
akal.
Kesimpulan

Epistemologi burhani adalah metodologi yang berpandangang bahwa sumber


ilmu pengetahuan adalah akal. Epistemologi burhai sebenarnya tidak
menggunakan rasio, melainkan rasionalitas atas akal. Rasionalitas yang
dibangun oleh epistemologi burhani adalah rasionalitas yang diditunjukkan oleh
indikator-indikator yang berasal dari nash.

Metode yang digunakan dalam studi keislaman bukanlah metode burhani an


sich dan bukan pula bayani an sich, melainkan perpaduan antara bayani dan
burhani.

Jadi dalam epistemologi Islam dengan contoh sebelumnya, premis pertama


adalah bayani, premis yang kedua adalah menggunakan akal, dan cara
pengambilan kesimpulan disebut sebagai epistemilogi burhani.
Daftar Pustaka

•Hasyim, Mochamad. “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani)”. Al- Murabbi:


Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.3 No. 2, Juni 2018, hal. 218.
•Idrus, Ahmad. Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani, hal. 43
•Muhammadun. “Kritik Nalar Al-Jabiri; Bayani, Irfani, dan Burhani dalam
Membangun Islamic Studies Integrasi Interkoneksi”, Eduprof : Islamic Education
Journal, Vol.1, No. 2, September 2019, hal. 160.
•Rizal, Syamsul, “Epistemologi Filsafat Islam dalam Kerangka Pemikiran Abid Al-
Jabiri”, Jurnal At-Tafkir, Vol. VII, No. 1, Juni 2014, hal. 111.
•Wibowo, Andrigo, “Epistemologi Hukum Islam: Bayani, Irfani, dan Burhani”, hal.
1-2.
 
 
Sekian

Anda mungkin juga menyukai