Anda di halaman 1dari 12

CARA MEMPEROLEH HUKUM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam

Disusun Oleh:
Happy Naryana 101200175
Kamilatus Zughro 101200183
Kirana Alun Pamungkas 101200186

Kelas:
HKI E

Dosen Pengampu:
Ali Yasmanto, M.H.I.

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PONOROGO

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat allah

SWT. Atas segala rahmat, taufiq hidayah serta inayah-nya. Shalawat serta salam

semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan

umatnya diakhir zaman. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “Cara Memperoleh Hukum Islam”. Makalah ini penulis buat untuk

memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam, yang telah penulis susun

dengan maksimal dan dapat bantuan dari dosen pengampu untuk memperlancar

pembuatan makalah ini.

Maka penulis mengucapkan terimakasih banyak. Sehingga penulis

menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dalam sususnan kalimat

maupun tata bahasa. Oleh kerena itu dengan ketidak sempurnaan makalah ini

dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran maupun kritik dari pembaca

agar kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menabah isi makalah

menjadi lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat

bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca pada

umumnya.

Ponorogo, September 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Islam


B. Sistem Pengetahuan dalam Islam
Sistem dalam Islam harus dikaji dengan perspektif sistem
pengetahuan secara keseluruhan. Dalam perkembangan kebudayaan Islam
misalnya muncul sistem-sistem yang berbeda-beda. Adalah para sufi yang
mula-mula giat berupaya untuk menunjukkan perbedaan sistem tersebut
dalam upaya mereka memperlihatkan kekhasan sistem pengetahuan sufi
yang diklaim sebagai jenis pengetahuan yang paling tinggi, sebagaimana
hal ini diilhami dengan pernyataan yang ada dalam Al-Qur’an seperti ilmu
yaqin, ayn al-yaqin dan haqq al-yaqin.1
Bertitik tolak dari pernyataan tersebut pemikir muslim kontemporer
menemukam minimal tiga model sistem pengetahuan Islam, yaitu apa
yang ia namakan: sistem pengetahuan burhani, sistem pengetahuan
gnostik (irfani) dan sistem pengetahuan linguistik (bayani).
Akan tetapi perlu diperhatikan, banwa pembedaan ketiga kelompok
diatas tidaklah bersifat hirarkis dan degradatif yang saling menegasikan
eksistensi yan dimiliki oleh masing-masing tipologi.
1. Sistem pengetahuan Burhani
Sistem pengetahuan ini dimaksudkan suatu sistem
pengetahuan dalam Islam yang mengembangkan metode dan
pandangan dunia berdasarkan semata kemampuan akal manusia
tanpa bersandar kepada teks suci. Para pendukung aliran ini adalah
kaum Paripatetik Muslim yang mengembangkan suatu istem
filsafat yang berakhir pada tradisi Aristotalian. Kaum illuminasi

1
Al-Qur’an, 105: 5 dan 7, serta 56:95.
Islam menyebut sistem ini sebagai al-hikmah al-bahtsiyah (filsafat
diskursif) sebagai dilawankan dengan sistem filsafat, mereka
sendiri yaitu hikmah dzawaqiyah (filsafat intuitif).
Dalam lingkungan dimana kaum Pripatetik (al-Masya’iyah)
mengembangkan filsafat telah terdapat suatu sistem pengetahuan
yang berbeda, al-Farabi harus membangun hubungan filsafat
dengan sistem pengetahuan tersebut. Sistem pengetahuan dimaksud
adalah sistem pengetahuan tekstual dengan dua unsur pokok yaitu
agama dan bahasa. Dalam sistem pengetahuan ini kedudukan teks
agama menjadi sangat penting yang menempatkan teks tersebut
menjadi sumber pengetahuan yang pokok dalam pengetahuan
agama ini.2
Dalam sistem burhani ini kebenaran adalah satu dan
karenanya apabila terjadi pertentangan antara akal (filsafat) dengan
agama, maka yang terakhir ini harus ditakwilkan hingga sejalan
dengan yang pertama. Pertentangan itu sebenarnya hanya pada
lahirnya, sedangkan intinya tidaklah ada pertentangan. Ibn Rusyd
menyatakan bila ada pertentangan, maka yang bisa dijelaskan
adalah makna lahiriyah itu boleh ditakwil dengan mengikuti
ketentuan takwil dalam bahasa Arab.3
2. Sistem pengetahuan Irfani
Sistem ini merujuk kepada suatu sistem pengetahuan yang
dikembangkan oleh beberapa tradisi yang berbeda dalam Islam
tetapi secara keseluruhan pada intinya mengklaim adanay suatu
jenis pengetahuan yang lebih tinggi yang diperoleh melalui metode
intuitif (kasyf). Termasuk kedalam sistem pengetahuan ini adalah
ajaran yang dikembangkan oleh para sufi, teori Syi’ah Imamiyah
dan Isma’iliyah dan pandangan para filosof illuminasi.4

2
Abu Zaid, Mafhum al Nashs, Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (ttp: al Hai’ah al Misriyyah al Ammah li al
Kitab, 1993), 11.
3
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam, 144.
4
Abid al Jabiri, Buniyah al Aqal al Arabi, 255.
Sistem gnostik merupakan metode atau teori dan sekaligus
merupakan sikap atau pandangan dunia. Siatem ini menyatakan
bahwa pengetahuan yang sejati hanya dapat diperoleh melalui
metode intuitif. Sedangkan metode ini dimaksudkan bahwa
pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung tanpa perantara
dan tanpa proses pembuktian diskrusif. Pengetahuan tersebut
tercipta dalam kalbu sedemikian rupa melalui mujahadah dan
latihan spiritual, sehingga tirai yang menutup kalbu menjadi
terbuka. Sehingga sikap atau pandangan dunia sistem gnostik
melihat pasangan lahir-batin sebagai karasteristik yang menandai
alam, tingkah laku agama dan segala sesuatu yang ada. Batin
mewakili kebenaran universal menjadi tujuan gnostisisme sebagai
sistem. Dari sini muncul sikap terhadap segala yang lahir dunia
dengan segala isinya. Sikap ini termanifestasikan dalam pelarian
dari dan penolakan terhadap dunia dan posisi manusia didalamnya.5
3. Sistem pengetahuan Bayani
Sistem ini merujuk pada suatu pengetahuan dalam Islam yang
dikristalkan oleh ilmu diskursuf keislaman murni yang meliputi
gramatika dan sastra Arab (Nahwu dan Balaghah) hukum dan
teorinya (fikih dan ushul fikih), teologi (kalam) dan ilmu-ilmu Al-
Qur’an dan hadits.6 Meskipun ilmu ini berbeda satu sama lain dan
didalamnya terdapat pertentangan aliran dan madzhab, namun
secara keseluruhan ilmu tersebut terpusat pada satu ciri bersama,
yaitu menjadikan teks sebagai rujukan epistemologi bersama.
Sisten ini berdasarkan kepada pandangan dunia yang
mengandung dua prinsip pokok yaitu prinsip diskontunitasndan
prinsip kontigensi atau serba mungkin. Atomisme menyatakan
bahwa alam ini terbentuk dari atom-atom, dan atom adalah partikel
terkecil yang tidak dapat dibagu menjadi lebih kecil lagi. Sebagai
5
Haorani, al Bunyah al Zihniyyah al Hadariyyah fi al Masriq al Mutawassi’ al Asiawi al Qodi,
(Beirut, Dar al Nahr,1978), 26.
6
Abid al Jabiri, Buniyah al Aqal Arabi, 255.
konsekuensi logisnya pandangan ini berujung pada pandangan
yang tidak mengakui adanya hubungan yang bersifat niscaya
karena segala sesuatu bersifat serba mungkin.7
C. Cara Memperoleh Hukum Islam
Para ahli ushul fikih mendefinisikan hukum sebagai titah Illahi
(khitab Allah) yang berhubungan dengan mukallaf baik berupa tuntutan,
opsi maupun penetapan.8 Dalam hal ini mereka memasukkan pengertian
hukum ke dalam kategori aksi yaitu aksi Tuhan kepada manusia yang
melarang, mewajibkan, menganjurkan dan sebagainya. Di sini bisa
dipahami bahwa hukum itu sudah ada sebelum manusia dan masyarakat
ada. Hukum juga sebagainsuatu objek yang terlepas dari manusia yang
mempersepsikannya. Maka yang ada adalah manusia menemukan hukum
(man discovered law), bukan menciptakan hukum (man made law).
Berangkat dari statement di atas, sekali lagi timbul suatu pernyataan,
bagaimana manusia bisa mengetahui secara sah bentuk-bentuk hukum
yang datang dari Tuhan secara kongkrit? Kalangan ushuliyyin menyatakan
bahwa hukum itu mengikuti nilai baik dan buruk. Artinya hukum itu
menghendaki sesuatu yang baik serta tidak menginginkan sesuatu yang
buruk. Karena itu dalam mengkaji bagaimana cara memperoleh
pengetahuan tentang hukum, pada dasarnya adalah melalui penyelidikan
bagaimana cara mengetahui yang baik dan buruk. Pengembangan konsep
ini, oleh para ushuliyyin dipertegas lagi dalam kajian teori pengetahuan
etika dalam Islam.
Teori etika pada dasarnya bersifat fitri. Teori tersebut menyatakan
bahwa pengetahuan tentang baik dan buruk atau dorongan untuk berbuat
baik dan buruk sesungguhnya telah ada pada sifat asli pembawaan
manusia.9 Karena itu, teori etika memandang “tindakan moral” sebagai
sesuatu yang signifikan untuk didiskusikan.

7
Ibid., 239.
8
Abd Wahhab Khallaf, Ilm Ushul ala Fiqh, (Kairo: Dar al Kalam, 1997), 100.
9
M Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah (Bandung:
Mizan, 2002), 16
Dalam kaitannya dengan hukum syar’i, untuk memperoleh
pengetahuan yang sah mengenai baik dan buruk ini dibagi dalam dua
materi, yaitu teori tradisionalis dan teori rasionalis:10
1. Teori Rasionalis
Menurut teori ini baik dan buruk itu merupakan suatu
objektif, dalam pengertian bahwa terdapat kausalitas suatu tindakan
yang membuat tindakan tersebut baik dan buruk secara intrinsik.
Artinya bahwa pernyataan mengenai perbuatan baik buruk adalah
benar apabila kausalitas atau relasi bersangkutan ada dan
sebaliknya pernyataan itu salah apabila kausalitas atau relasi
dimaksud tidak ada, terlepas dari kehendak subjek yang memiliki
otoritas untuk menetapkannya sebagai baik dan buruk. Pandangan
ini dianut oleh para filosof Muslim dan Mu’tazilah. Konsekuensi
pandangan ini adalah baik dan buruk itu dapat ditemukan dan
diketahui melalui penalaran manusia sehingga dari segi ini aliran
tersebut dinamakan rasionalisme. Posisi aliran ini adalah bahwa
nalar manusia dapat menentukan benar atau salahnya penilaian etis
mengenai baik dan buruk melalui operasi langsung data
pengalaman secara tanpa tergantung kepada ketetapan wahyu
Illahi.11
Teori rasionalis ini lebih lanjut memandang baik dan buruk
sebagai suatu makna objektif dan terletak pada substansi tindakan
itu sendiri. Dalam artian bahwa suatu tindakan tersebut baik bukan
karena kita senang melakukannya atau sejalan dengan kehendak
subjek (Tuhan atau masyarakar), melainkan semata karena
rasionalisme universal yang mendesakita harus berbuat demikian. 12
Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa baik dan buruk itu
dapat ditemukan dan diketahui melalui penalaran akal manusia. Di

10
Syamsul Anwar, Epitemologi Hukum Islam, 166
11
Hauroni, Islamic Rationalism: The Ethics of ‘Abd al Jabbar, (Oxford: Clarendan Press, 1971), 23-
24.
12
George F Hourani, Reason and Tradision Islamic Ethics, (Cambridge: University Press, 1985), 25.
sini nalar manusia dapat menentukan benar dan salahnya penilaian
etik mengenai baik dan buruk secara objektif tanpa tergantung
kepada kehendak Tuhan atau ketetapan wahyu Illahi.13
Salah satu penulis aliran ini adalah Qadhi ‘Abd Jabbar,
dalam bukunya al-Mughni Abwab wa al ‘Ali, menyebutkan bahwa
perbuatan yang diperintah atau dilarang akan menjadi baik atau
buruk tanpa harus memandang status pembuat larangan/perintah
tersebut. Hanya dengan kebenaran intrinsik kebaikan atau
kebutrukan suatu perbuatan menjadi sesuai dengan objek perintah
atau larangan Tuhan.14 Menurutnya, harus diakui tentang adanya
perbedaaan subtansi antara baik dan buruk, yang menyatakan
bahwa perbuatan baik merupakan kewajiban atau pujian dan
sebaliknya perbuatan buruk merupakan tercela atau terlarang.
Karakteristik yang terpenting dari pengetahuan etika intuitif ini
adalah adanya sifat yang otonom dan membenarkan diri (self
validating). Ia tidak membuktikan bukti-bukti lain termasuk wahyu
Tuhan. Kebenaran al-Jabbar diidentikkan dengan al-Qur’an dan
Hadits yang selamanya tetap dipertanyakan.15
Aliran ini masih bisa dibedakan menjadi dua sub aliran yaitu
aliran yang berpandangan bahwa yang baik dan buruk dapat
diketahui melalui nalar manusia secara indepemdent. Menurut
Hourani para filosof Muslim diasumsikan menganut paham ini.
Yang kedua berpendapat pada dasarnya memang dapat diketahui
melalui penalaran manusia, namun dalam beberapa kasus akal
tidak dapat mengetahui dan karena itu pengetahuan mengenainya
didasarkan pada informasi wahyu. Pandangan ini merupakan posisi
Mu’tazilah.16
2. Teori Tradisionalis
13
Ibid., 24
14
Madjid Fahry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan
Pusat Studi Islam UMS, 1996), 48.
15
Ibid., 30.
16
Ibid., 24-25.
Teori ini menyatakan bahwa baik dan buruk itu tidak
memiliki kualitas objektif. Ia adalah apa yang diperintahkan atau
dilarang oleh seseorang yang memiliki otoritas untuk memerintah
atau melarang. Siapakah yang memerintah atau melarang itu,
Snouck Hurgronye yang memerintah adalah masyarakat muslim
sendiri. Hal ini didasarkan pada konsep ijma’ (konsensus) menurut
hukum Islam. Namun pendapat itu diragukan karena para
ushuliyyin sepakat bahwa hukum merupakan titah Ilahi dan karena
itu sumber hukum sebenarnya hanyalah Allah, sedangkan Nabi
hanya sebagai penyampai belaka. Memang terdapat asar dari Ibnu
Mas’ud bahwa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin dalah
baik di sisi Allah namun dalam teori ushul fikih yang
dikembangkan dalam teori tradisional ini adat masyarakat muslim
dan kesepakatannya diterima dalam hal tidak ada teks yang
tegasdan tidak boleh bertentangan dengan nash yanf ada, yang
umumnya dianut oleh teori tradisionalis adalah bahwa subjek yang
berwenang menetapkan baik dan buruk adalah Tuhan, baik adalah
yang dinyatakan baik dan diperintahkan oleh Tuhan dan sebaliknya
buruk adalah apa yang dinyatakan buruk dan dilarang oleh Tuhan.
Menurut Hauroni dalam teori etika yang berpandangan seperti itu
disebut voluntarisme etik, karenanya posisinya menyatakan bahwa
konsep nilai etik mengenai baik dan buruk dan semacam itu harus
dipahami dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan.
Aliran tradisionalisme lebih lanjut mengatakan bahwa baik
dan buruk tidak memiliki kualitas objektif. Dalam arti, baik dan
burik adalah apa yang diperintahkan atau dilarang oleh subjek yang
yang memiliki otoritas untuk itu. Subjek disini bisa berupa subjek
kolektif yaitu masyarakat atau subjel Tuhan. Namun yang sering
ditekankan dalam teori ini subjek berwenang menetapkan baik dan
buruk adalah Tuhan. Baik adalah apa yang dinyatakan baik dan
buruk tidak dan diperintahkan oleh Tuhan. Buruk adalah apa yang
dinyatakan buruk dan dilarang oleh Tuhan. Konsekuensinya adalah
apa yang baik dan buruk tidak dapat diketahui melalui penalaran
akal, nilainya hanya dapat diketahui melaui wahyu. Penganut
paham ini adalah golongan Asy’aryyah dan sebagian besar ahli
hukum Islam.
Salah seorang pengikut Asy’aryyah yaitu Husayn
Muhammad al-Najjar menemukakan bahwa baik dan buruk itu
semua kehendak Tuhan. Perbuatan manusia tidak mempunyai arti
apapun, termasuk didalamnya keadilan, adalah objek kehendak.17
Sebenarnya masih ada satu lagi aliran yang mencoba mencari
suatu posisi tengah, meskipun analisis akhir menunjukkan posisi
ini jatuh kepada aliran tradisionalis. Aliran ini dipegangi oleh
teologi Maturidiyah, tetapi juga diikuti oleh ulama dari berbagai
madzhab (khususnya Hanafi), bahkan juga dikuatkan oleh penulis
madzhab ushul fikih kontemporer.18 Menurut paham ini, baik dan
buruk perbuatan dilakukan manusia, sesungguhnya dapat diketahui
melalui penalaran manusia terlepas dari wahyu. Namun
pengetahuan ini tidak sendirinya menjadi hukum, karena hukum
harus didasarkan kepada dekrit wahyu. Konsekuensi akhir
pandangan ini berkaitan dengan cara mengetahui hukum Ilahi,
meskipun akal dapat mengetahui baik dan buruk. Karenanya teori
ini juga jatuh kepada teori tradisionalis yang mendasarkan hanya
pada titah Ilahi. Pandangan ini banyak dianut oleh ahli hukum
Hanafi Kontemporer.19 Menurut paham ini, baik dan buruk
perbuatan yang dilakukan manusia dapat diketahui melalui akal
terlepas dari wahyu, namun pengetahuan tersebut tidak bisa dengan
sendirinya menjadi hukum, karena hukum harus didasarkan pada
wahyu. Konsekuensi dari pendapat ini dalam kaitannya untuk
mengetahui hukum adalah akal manusia tetap tidak dapat
17
Ibid., 48
18
al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm Ushul, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), 9.
19
Zaydan, al-Wajiz fi al-Ushul Fikih, (Baghdad: Matba’ah al Aini, tt),55
mengetahui hukum Illahi, meskipun akal dapat mengetahui yang
baik dan buruk. Pandangan ini pada akhirnya juga tetap tidak bisa
terlepas dari wahyu sebagai sumber pengetahuan hukum,
sebagaimana pendapat kaum tradisionalis. Para ahli ushul fikih
kontemporer termasuk juga sebagai penganut aliran ini.20

20
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam, 169-170.

Anda mungkin juga menyukai