Anda di halaman 1dari 10

EPISTEMOLOGI TASAWUF DAN FILSAFAT

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf


Dosen Pengampu: Agung Mulyadin, M.Ag

Disusun Oleh:

Ayi Qodar 18.03.2073


Fathurrahman 20.03.2741
Marwan Malik Ibrahim 18.03.2046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG

1442 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang
berjudul “Epistemologi Tasawuf dan Filsafat” ini dapat diselesaikan tepat
waktu.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Rasul-Nya yaitu
Nabi Muhammad Saw yang telah memberikan suri tauladan yang sangat terpuji
sehingga pantas menjadi panutan ummatnya.
Penulis berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para
pembaca khususnya penulis. Namun terlepas dari itu, penulis menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan
adanya saran, kritik, dan usulan yang bersifat membangun untuk memperbaiki
makalah selanjutnya yang lebih baik.

Bandung, 23 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................................1


B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2

A. Epistemologi Tasawuf dan Filsafat..................................................................2


B. Hubungan Tasawuf dengan Filsafat.................................................................4

BAB III PENUTUPAN.........................................................................................6

A. Kesimpulan.......................................................................................................6
B. Saran.................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................7

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu memerlukan pemikiran mendalam dan komprehensif untuk meneliti dan
menggali kembali teori-teori keilmuan yang dianggap telah baku untuk
mengetahui kelayakannya dipertahankan atau ditentang dengan argumentasi yang
lebih logis dan telah diterima akal sehat. Pada ranah filsafat, pembahasan tentang
hal ini merupakan bagian dari epistemologi.
Pembahasan mengenai epistemologi dalam sepanjang sejarah pemikiran
Islam tentu tidak bisa terlepas dari figur sang Hujjatul Islam, yaitu Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali. Begitu besar pengaruh al-Ghazali dalam sejarah
pemikiran Islam sehingga menurut Nurkholish Majid beliau adalah orang yang
terpenting dalam sejarah Islam setelah Nabi Muhammad SAW. dari segi pengaruh
dan perannya menata dan mengukuhkan ajaran keagamaan.1 Hal ini bisa dilihat
terutama pada jasa al-Ghazali dalam rangka mempertahankan ortodoksi sunni dan
jasa al-Ghazali dalam menyelamatkan metafisika tasawuf.
Maka berdasarkan penjelasan tersebut, penulis tertarik menyusun makalah
dengan judul, “Epistemologi Tasawuf dan Filsafat”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan epistemologi tasawuf dan filsafat?
2. Bagaimana hubungan tasawuf dengan filsafat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang maksud dengan epistemologi tasawuf dan filsafat.
2. Mengetahui hubungan tasawuf dan filsafat.

1
Nurkholish Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 33.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistemologi Tasawuf dan Filsafat


Tasawuf merupakan bentuk pengalaman spiritualitas seseorang yang lebih
menekankan pada rasa daripada rasio, bahkan lebih dominan disebut ilmu rasa
(dzauq).2 Faktor rasa lebih dominan dari pada rasio. Ketidakberpihakan tasawuf
pada rasio berbeda dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Sehingga tasawuf tidak
mudah dikaji hanya dengan menggunakan upaya nalar dan intelektual.

Dalam Kamus Istilah Filsafat, epistemologi berasal dari dua kata, yaitu
episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu).3 Istilah
epistemologi pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Feriere pada tahun 1854 dalam
karyanya berjudul Institute of Metaphysics. Dalam buku ini, ia membagi kajian
filsafat menjadi dua bagian: metafisika dan epistemologi. 4 Epistemologi
merupakan kajian keilmuwan yang berkenaan dengan sifat pengetahuan,
membahas tentang reabilitas (keandalan) pengetahuan, serta konsep yang
menginvestigasi tentang sumber, struktur, metode,dan validitas pengetahuan yang
dalam hal ini dimaksudkan adalah segala yang berkaitan dengan ilmu tasawuf.5

Hakikat dalam epistemologi tasawuf adalah tetap menggunakan akal sebagai


dasar keilmuannya meskipun utamanya mereka sering menggunakan intuisi
(dhauq). Akal digunakan untuk mengamati gejala yang ditimbulkan, terutama
yang berkaitan dengan cara kerja panca indra sehingga betapa pun hasilnya,
proses rasionalisasi tetap mengacu kepada duniaempiris dan berwawasan
materialistik. Oleh sebab itu wahyu dirasa sebagai satu-satunya jalan yang dapat
menjamin validitas dan obyektivitas keilmuan tasawuf.6

2
Ibrahim Basyumi, Nasya’at al-Tashawuf al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1969), h. 16.
3
Arif Surahman, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Matahari, 2012), h. 94.
4
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010), Cet. Ke-5, h. 24.
5
Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), h. 97.
6
Sudirman Tebba, Tasawuf Positif, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 73.

2
Dalam kancah pemikiran Islam (Arab), menurut Abid al-Jabiri setidaknya ada
tiga jenis epistemologi yang digunakan sebagai sumber kebenaran yaitu
epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi ‘irfani. Bayani
adalah metode pemikiran Arab yang menekankan pada otoritas teks (sulthat al-
nash), baik secara langsung maupun tidak langsung dan dijustifikasi oleh logika
kebahasaan yang dihasil-kan lewat istidlal (inferensi). Secara langsung artinya
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa
perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meskipun ini tidak
berarti bahwa akal bisa bebas menentukan makna dan maksudnya tetapi tetap arus
bersandar pada teks. Dalam tradisi bayani, rasio dianggap tidak mampu
memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.7

Epistemologi burhani (demonstratif) adalah epistem yang mendasarkan


kebenarannya pada kekuatan akal atau rasio yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika. Prinsip-prinsip logis inilah yang menjadi acuan sehingga dalil-dalil agama
sekalipun akan dapat diterima sepanjang sesuai dengan prinsip-prinsip ini.8

Berikutnya adalah epistemologi irfani, yaitu epistemologi yang mendasarkan


pengetahuannya kepada intuisi, kasyf atau penyingkapan rahasia-rahasia realitas
oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis
teks atau keruntutan logika, tetapi berdasarkan atas terlimpahnya pengetahuan
secara langsung dari Tuhan, ketika hati sebagai sarana pencapaian pengetahuan
irfani siap untuk menerimanya. Untuk itu diperlukan persiapan-persiapan tertentu
sebelum seorang mampu menerima limpahan pengetahuan secara langsung
tersebut. Persiapan yang dimaksud adalah bahwa seseorang harus menempuh
perjalanan spiritual lewat tahapan-tahapan tertentu (maqam) dan mengalami
kondisi-kondisi batin terentu (haal).9

7
Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Araby, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), h. 38.
8
Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Araby, h. 59.
9
Khudlori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013), h. 261.

3
Jika kita lihat ciri-ciri tasawuf yang dikemukakan oleh Taftazani di atas, yaitu
adanya pemenuhan fana dalam realitas mutlak dan adanya pegetahuan intuitif,
maka sudah bisa kita simpulkan bahwa epistemologi yang digunakan dalam ilmu
tasawuf adalah intuisionisme atau Irfani. Namun demikian, tidak semua tasawuf
hanya menggunakan intuisionisme atau irfani saja. Dalam aliran tasawuf falsafi,
abstraksi filosofis juga banyak digunakan untuk menjelaskan beberapa aspek
ajarannya. Dengan demikian, epistemologi rasionalisme juga digunakan dalam
ilmu tasawuf, terutama aliran tasawuf falsafi.

B. Hubungan Tasawuf dengan Filsafat


Banyak pendapat bahwa tasawuf dan filsafat tidak bisa dipertemukan. Ada
juga anggapan bahwa pencarian jalan tasawuf mengharuskan menjauhi filsafat,
tidak hanya berupa timbal balik dan saling memengaruhi, bahkan asimilasi
(perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan
permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan
kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan Sunnah. Sementara
filsafat tidak dimaksudkan hanya filsafat Peripatetik yang rasionalistik, tetapi
seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai
pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari
filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzauq).
Oleh karena itu, tasawuf dan filsafat sebenarnya dapat dipertemukan, saling
mengisi dan memengaruhi. Bentuk-bentuk hubungan tersebut misalnya dapat
dilihat sebagai berikut.
1. Bentuk hubungan yang paling luas antara tasawuf dan filsafat tentu saja
adalah pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya
al-Ghazali bersaudara, Abu Hamid, dan Ahmad. Juga penyair sufi besar
seperti Sana’i, Fariduddin Athar, dan Jalaluddin Rumi. Baik kelompok al-
Ghazali (Abu Hamid-Ahmad) dan Sana’i, Athar, dan Rumi sama-sama
dikenal tokoh sufi par-excellent pada masanya, bahkan dikenang hingga kini.
Walaupun jalan yang ditempuhnya berbeda, puncak pencarian Tuhan,

4
akhirnya juga berada pada titik dan tujuan yang sama, yaitu betemunya
dengan Tuhan Yang Maha Mutlak, Allah Swt.
2. As-Suhrawardi telah memadukan dua aliran pemikiran untuk
mempertemukan antara tasawuf dan filsafat, yaitu dengan konsepsi
Isyraqiyah-nya. Isyraqiyah memberi kesempatan pada akal untuk menyelami
kebenaran, juga menawarkan agama, filsafat, dan tasawuf sebagai sarana
untuk memperoleh kebenaran spiritual.
3. Hubungan tasawuf dengan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus
yang terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak
menerima filsafat peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti
itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam
bentuknya yang paling luas.
4. Hubungan tasawuf dengan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi
yang sekaligus juga filsuf, yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan
filsafat.10

Dengan demikian, hubungan tasawuf dengan filsafat sebenarnya tidak dapat


dipertentangkan. Jika dikemudian ditemukan pertentangan atau tampak ada
konflik, hal itu dianggap hal biasa. Hal itu terjadi tidak lebih dari cara pandang
dan pendekatan dalam pencarian kebenaran dari kedua pendekatan tersebut adalah
sama, yaitu Yang Maha Mutlak, Allah Swt.

10
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014), Cet. Ke-1, h. 92-95.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Prinsip-prinsip epistimologi tasawuf adalah studi kursustentang keterkaitan
antara syariah dan hakikah, pengalaman spiritual dengan wahyu. Sumber
pengetahuan dan kemampuan potensi-potensi intelektual yang mempersepsikan
obyek penge-tahuan. Epistemologi tasawuf mengakomodasikan pandangan
empirisme terhadap realitas eksternal, mengingat status eksistensialnya sebagai
data indrawi. Dalam hal ini adalah mengakui wahyu sebagai lingkup pengetahuan
yang mencakup keduanya. Epistemologi yang digunakan dalam ilmu tasawuf
adalah intuisionisme atau Irfani. Namun demikian, tidak semua tasawuf hanya
menggunakan intuisionisme atau irfani saja. Dalam aliran tasawuf falsafi,
abstraksi filosofis juga banyak digunakan untuk menjelaskan beberapa aspek
ajarannya. Dengan demikian, epistemologi rasionalisme juga digunakan dalam
ilmu tasawuf, terutama aliran tasawuf falsafi.

Adapun hubungan tasawuf dengan filsafat sebenarnya tidak dapat


dipertentangkan. Jika dikemudian ditemukan pertentangan atau tampak ada
konflik, hal itu dianggap hal biasa. Hal itu terjadi tidak lebih dari cara pandang
dan pendekatan dalam pencarian kebenaran dari kedua pendekatan tersebut adalah
sama, yaitu Yang Maha Mutlak, Allah Swt.

B. Saran
1. Para pembaca pada umunya dan penulis khususnya, sebaiknya memahami
dan mencari pengatahuan secara seksama lagi mengenai materi dalam
makalah ini.
2. Para pembaca sebaiknya lebih aktif untuk mencari lebih dalam lagi
mengenai materi yang terdapat pada makalah ini untuk menambah
wawasan dan pemahaman yang lebih baik.

6
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri. (1991). Bunyah al-Aql al-Araby. Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.

Basyumi, Ibrahim. (1969). Nasya’at al-Tashawuf al-Islami. Mesir: Dar al-


Ma’arif.

In’am Esha, Muhammad. (2010). Menuju Pemikiran Filsafat. Malang: UIN


Maliki Press.

Majid, Nurkholish. (1994). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Ni’am, Syamsun. (2014). Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Soleh, Khudlori. (2013). Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Surahman, Arif. (2012). Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Matahari.

Surajiyo. (2010). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu


Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

Tebba, Sudirman. (2003). Tasawuf Positif. Jakarta: Prenada Media.

Anda mungkin juga menyukai