Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KLASIFIKASI EPISTEMOLOGI ILMU-ILMU KEISLAMAN


(BAYANI,IRFANI, DAN BURHANI)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen pengampu: Dr. H.M Hadi Masruri, Lc, M.A

Disusun oleh:
Savira Arivia Ahmada (230106110005)
Nabila Nur Annisa (230106110032)
Arida Ulul Azmi (230106110036)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala
rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada hamba-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Shalawat serta salam tetap dan selalu kami hadiahkan kepada sang
Revolusioner dunia sekaligus sebagai Khotamul Ambiya’ yang telah membawa nilai-nilai
Keindahan (Estetika) yang di utus Allah SWT ke dunia tidak lain untuk menyempurnakan
Akhlak, sehingga menjadikan agama Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin (Rahmat
bagi semua alam). Tidak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini dengan memberikan sumbangan pikiran dan
materi.

Makalah ini disusun memenuhi nilai kompetensi mata kuliah Sejarah Peradaban Islam
dan untuk menambah wawasan tentang Klasifikasi Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman
(Bayani,Irfani, Dan Burhani). Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini. Akhir kata, semoga karya makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Amin ya Robbal Alamin.

Malang, 26 November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5

1.3 Tujuan ............................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 6

2.1 Pengertian Epistemologi dalam Perspektif Islam .......................................... 6

2.2 Pengertian Epitemologi Bayani ..................................................................... 8

2.3 Pengertian Epitemologi Irfani ........................................................................ 9

2.4 Pengertian Epitemologi Burhani .................................................................... 12

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 15

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epistemologi terambil dari bahasa Yunani kuno, episteme yang berarti pengetahuan dan
logos yang berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata tersebut diartikan
sebagai satu bagian dari bahasan filsafat yang membahas dasar-dasar dan batas-batas
pengetahuan. Dalam bahasa Inggris, ia diterjemahkan dengan theory of knowledge. Pakar-
pakar agama Islam berbahasa Arab menerjemahkan dengan nazhariyah al-ma’rifah mereka
tidak menamainya nazhariyah al-‘ilm karena al-ilm (ilmu) berbeda dengan ma’rifah. Ilmu
dalam penggunaan bahasa itu adalah sesuatu yang jelas, tidak mengalami kekaburan,
sedangkan kata ma’rifah boleh jadi disertai kekaburan. Pendapat lain merupakan bentukan dari
dua kata dalam bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang juga berarti
pengetahuan atau informasi.1

Epistemologi adalah cabang dari disiplin ilmu filsafat mengenai pengetahuan yang
membahas hakikat, ruang lingkup dan batasan-batasannya. Studi yang membahas tentang
sarana memecahkan suatu masalah atau pertanyaan pertanyaan mendasar sperti bagaimanakah
sifat pengetahua? Atau apakah yang menhadi pembatasan-pembatasan ilmu pengetahuan? Dan
sebagainya. Senada dengan pandangan Harun Nasution, menurutnya epistemology adalah ilmu
pengetahuan yang membahas apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan itu.2

Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal
dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fiqh dan ushul fiqh, kalam dan balaghah). Dan pendekatan yang
digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Kata bayani berasal dari kata al-bayani yang
dimaknai sebagai hal yang terbuka.

Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ‫ف‬-‫ر‬-‫ ع‬memiliki dua makna asli,
yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.

1
Mochamad Hasyim, “EPISTEMOLOGI ISLAM (BAYANI, BURHANI, IRFANI),” Jurnal Al-Murabbi 3, no.
2 (5 Juni 2018): 217–28, https://doi.org/10.35891/amb.v3i2.1094.
2
Ummi Kulsum, “epistemology Islam dalam Tinjauan Filosofis,” Jurnal studi Kependidikan dan Keislaman 9,
no.2 (September 2020)

4
Namaun secara harfiyah berasal dari kata al-‘irfan yang bermakna mengetahui sesuatu dengan
berfikir dan mengkaji secara dalam

Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Perbandingan ketiga epistemology in adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat
analogi furu‟ kepada yang asal, Irfani menghasilkan pengetahaun lewat proses penyatuan
ruhani pada Tuhan, Burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas
pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut:

1. Apa itu Epistemologi dalam perspektif islam?


2. Apa yang dimaksud Epistemologi Bayani?
3. Apa yang dimaksud Epistemologi Irfani?
4. Apa yang dimaksud Epistemologi Burhani?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui apa yang dimaksud Epistemologi dalam perspektif islam


5. Mengetahui Apa yang dimaksud Epistemologi Bayani?
6. Mengetahui Apa yang dimaksud Epistemologi Irfani?
7. Mengetahui Apa yang dimaksud Epistemologi Burhani

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Epistemologi Dalam Perspektif Islam

Epistemologi terambil dari bahasa Yunani kuno, episteme yang berarti pengetahuan dan
logos yang berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata tersebut diartikan
sebagai satu bagian dari bahasan filsafat yang membahas dasar-dasar dan batasbatas
pengetahuan. Dalam bahasa Inggris, ia diterjemahkan dengan theory of knowledge.

Pakar-pakar agama Islam berbahasa Arab menerjemahkan dengan nazhariyah al-ma’rifah


mereka tidak menamainya nazhariyah al-‘ilm karena al-ilm (ilmu) berbeda dengan ma’rifah.
Ilmu dalam penggunaan bahasa itu adalah sesuatu yang jelas, tidak mengalami kekaburan,
sedangkan kata ma’rifah boleh jadi disertai kekaburan. Pendapat lain merupakan bentukan dari
dua kata dalam bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang juga berarti
pengetahuan atau informasi.3

Kronologi Bayani telah dimulai dari masa Rasulullah saw, dimana beliau menjelaskan ayat-
ayat yang sulit dipahami oleh sahabat. Kemudian para sahabat menafsirkan Al-Qur‟an dari
ketetapan yang telah diberikan Rasulullah saw melalui teks. Selanjutnya tabi‟in
mengumpulkan teks-teks dari Rasulullah dan sahabat, kemudian mereka menambahkan
penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya dengan teks sebagai pedoman utama.
Akhirnya datang kemudian generasi setelah tabi‟in yang melakukan penafsiran sebagaimana
pendahulunya sampai berkelanjutan kepada generasi yang lain.

Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa memilah-milah masing-masing


pendekatan epistemologik: bayani dan irfani karena masing-masing memiliki tipikal satu sama
lain, dan epistemologi burhani bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua
epistemologi di atas.4

3
Mutakallim Mutakallim, “MENELUSURI BANGUNAN EPISTEMOLOGI KEISLAMAN KLASIK
(Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani),” Jurnal Pendidikan Kreatif 1, no. 1 (28 Juni 2020),
https://doi.org/10.24252/jpk.v1i1.14414.
4
Mochamad Hasyim, “EPISTEMOLOGI ISLAM (BAYANI, BURHANI, IRFANI),” Jurnal Al-Murabbi 3, no.
2 (5 Juni 2018): 217–28, https://doi.org/10.35891/amb.v3i2.1094.

6
Irfani tidak berasal dari luar Islam sebab kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat dan
tabiin menunjukkan bahwa mereka dalam suatu waktu akan menggunakan irfani bahkan
mempraktikkan irfani, meskipun penamaannya belum ada.

Salah satu bukti bahwa Rasulullah saw. membenarkan bahkan mengakui akan
keberadaan makna irfani adalah hadisnya yang artinya:

“Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa yang menyakiti seorang wali maka aku
mengumandangkan perang dengannya, hambaku tidaklah mendekatkan diri kepadaku dengan
sesuatu yang paling aku cintai melainkan apa yang aku wajibkan padanya dan hambaku
senantiasa mendekatkan diri kepadaku dengan hal-hal yang sunnah hingga aku mencintainya.
Jika aku sudah mencintainya maka akulah pendengaran yang digunakan mendengar,
penglihatan yang digunakan melihat, tangan yang digunakan memukul dan kaki yang
digunakan berjalan, Jika dia meminta padaku aku akan memberikannya dan jika dia berlindung
kepadaku maka aku akan melindunginya”.

Sedangkan riyadah dalam irfani sering kali dilakukan oleh Rasulullah saw. dan sahabat-
sahabatnya seperti khulwah (penyepian), tinggal di mesjid Nabawi dan prilaku individu
sahabat.5

Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Perbandingan ketiga epistemology in adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat
analogi furu‟ kepada yang asal, Irfani menghasilkan pengetahaun lewat proses penyatuan
ruhani pada Tuhan, Burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas
pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian sumber
pengetahuan Burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan
penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.6

5
Mochamad Hasyim, “EPISTEMOLOGI ISLAM (BAYANI, BURHANI, IRFANI),” Jurnal Al-Murabbi 3, no.
2 (5 Juni 2018): 217–28, https://doi.org/10.35891/amb.v3i2.1094.
6
Lihat Ibnu Rusyd, fashl al-Maqal Fima Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, edit. M.Imarah,
(Mesir Dar al-Ma’arif, tt), 56.

7
2.2 Epistemologi Bayani

Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal
dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fiqh dan ushul fiqh, kalam dan balaghah). Dan pendekatan yang
digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Kata bayani berasal dari kata al-bayani yang
dimaknai sebagai hal yang terbuka. Akan tetapi ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
bayani. Ahli balaghah menerangkan bahwa bayani adalah cara untuk mengetahui suatu makna
dengan melakukan beberapa pendekatan atau metode berupa tasybih (menyerupai) kinayah dan
majaz. Sedangkan pengertian lain didefinisikan oleh ulama dari kalangan teolog. Mereka
berpendapat bahwa bayani adalah petunjuk untuk menerangkan suatu hukum. Sebagian lagi
berpendapat bahwa bayani adalah cabang ilmu yang dapat menjelaskan sesuatu yang aslinya
syubhat (samar) menjadi mahkum (jelas hukumnya)7

Menurut al-Jabiri, corak epistimologi bayani secara historis adalah sistem epistimologi
paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Secara leksikal-etimologis, term bayani atau bayan
mengandung beragam arti, yaitu, kesinambungan (al-washl), keterpilahan (al-fashl), jelas dan
terang (al-zhuhur wa alwudhuh) dan kemampuan membuat terang dan jelas.8

Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai
model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memiliki
otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang
terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan antara makna
dan lafaz. Dan dikatakan pula bahwa peran akal dalam epistemologi bayani adalah sebagai
pengekang/pengatur hawa nafsu, justifikatif dan pengukuh kebenaran (otoritas teks).

Epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha' (pakar fiqih),
mutakallimun (theolog) dan usulliyun (pakar usul al-fiqhi). Di mana mereka menggunakan
bayani untuk: 1. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna
yang dikandung atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan
untuk mengeluarkan makna zahir dari lafaz yang zahir pula. 2. Istinbat (pengkajian) hukum-
hukum dari al-nushush al-diniyah (al-Qur'an dan Hadis). Karena bayani berkaitan dengan teks,
maka persoalan pokoknya adalah sekitar lafadz-makna dan ushul-furu‟. Misalnya, apakah

7
Fithroini D, “EPISTEMOLOGI BAYANI DALAM KAJIAN USHUL FIQH”, Opinia de Journal 2, no. 2 (Desember
2022)
8
Wira Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama
Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding,” Jurnal Ilmiah Syi’ar 18, no. 1 (2 Januari 2018),
https://doi.org/10.29300/syr.v18i1.1510.

8
suatu teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya (tauqif), bagaimana
menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung dalam teks suci, bagaimana
memakai istilah-istilah khusus dalam asma’ al-syar’iyyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat.

Karakter aktifitas nalar yang mendasari proses produksi pengetahuan dalam epistemologi
bayani paling tidak – didasarkan pada satu nalar (mekanisme kognitif) yang pilar-pilarnya
adalah menghubungkan furu‟ dengan ushul karena adanya persesuaian antara keduanya: yang
dalam istilah nuhat dan fuqaha’ disebut qiyas, atau dalam istilah teolog istidlal bi al-syahid ala
al-ghaib (penalaran analogis antara dunia inderawi dengan dunia transenden), dan tasybih
dalam istilah para ahli balaghah.9

Konsep dasar sistem bayani ini adalah menggabungkan metode fiqih yang dikembangkan
oleh Syafi`i, dengan metode retorika al-Jahiz. Epistimologi bayani ini didukung oleh pola pikir
fiqh dan kalam.10

Menurut Imam as-Syafi‟i, tiga asas epistemologi bayani adalah alQur‟an, as-Sunnah dan
al-Qiyas. Kemudian, beliau juga menyandarkan pada satu asas lagi, yaitu al-Ijma‟.
Berdasarkan suatu penelitian, ulama telah menetapkan bahwa dalildalil sebagai dasar acuan
hukum syari‟ah tentang perbuatan manusia dikembalikan kepada empat sumber, yaitu al-
Qur‟an, as-Sunnah, al-Ijma‟ dan al-Qiyas. Kemudian, yang dijadikan dalil pokok dan sumber
dari hukum syari‟ah adalah al-Qur‟an dan as-Sunnah, dimana as-Sunnah berfungsi sebagai
interpretasi bagi keglobalan al-Qur‟an, dan sebagai penjelas serta pelengkap al-Qur‟an.

2.3 Epistemologi Irfani

Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ‫ف‬-‫ر‬-‫ ع‬memiliki dua makna
asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan
tenang. Namaun secara harfiyah berasal dari kata al-‘irfan yang bermakna mengetahui sesuatu
dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Secara terminologi irfani adalah pengungkapan
atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya

9
Hasyim, “EPISTEMOLOGI ISLAM (BAYANI, BURHANI, IRFANI).”
10
Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk
Resolusi Konflik dan Peacebuilding.”

9
(al-kasyf) setelah melalui riyadah. Contoh konkrit dari irfani ialah pengalaman batin
Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an.11

Pengetahuan irfani tersebut dapat dikatakan subyektif namun semua orang dapat
merasakan kebenarannya. Artinya, semua orang dapat melakukan tingkatan dengan kadarnya
masing-masing. Keterlibatan pengetahuan irfani dalam konteks pemikiran keislaman adalah
menegmbangkan dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain
yang berbeda namun memiliki esensi yang hampir sama. Dalam filsafat irfani lebih dikenal
dengan istilah intuisi. Pengetahuan intuisi ini merupakan pengalaman yang berdasarkan
indrawi seperti penemuan hukum newton dalam peristiwa gaya gravitasi setelah melihat sebuah
apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk.

Ciri khas intuisi adalah zauqi (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu huduri
yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategori akan
tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari
evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal. Dalam surah pertama yang
diturunkan kepada Rasulullah. SAW dijelaskan bahwa ada dua macam cara mendapatkan
pengetahuan, yang pertama yaitu melalui “pena” (tulisan) dengan maksud tulisan yang harus
dibaca oleh manusia. Cara yang kedua yaitu melalui pengajaran secara langsung tanpa alat,
cara yang kedua ini biasa disebut dengan ‘ilm ladunny seperti ilmu yang diperoleh dari nabi
haidir.12

Mengenai taksonomi epistemologi pengetahuan irfani adalah dari segi sumber


pengetahuan, ia bersumber dari kedalaman wujud sang ‘arif itu sendiri, dari segi media alat
pengetahuan ia bersumber dari kedalaman atau kesejatiaan dari sang wujud ‘arif , dari segi
objek pengetahuan ia menjadikan wujud sebagai objek kajiannya, dari segi cara memperoleh
pengetahuan ia diperoleh dengan cara riyadah. Riyadah sendiri diartikan sebagai sebuah
amalan atau praktik sptiritual yang dilakukan oleh individu dalam agama islam dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah. SWT untuk memporoleh kebaikan dan keberkahan.

Asal usul dari irfani berasal dari beberapa pakar yang berbeda-beda, pendapat tersebut
dapat diklasifikasi sebagai berikut:

11
Kusuma Hadi Wira, Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani Al Jabiri Dan Relavansinyal Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding, Jurnal Ilmiah Syiar, 2018
12
Idrus Ahmad, Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani, UIN Banten, 2019

10
1. Sebagian golongan menganggap bahwa irfani berasal dari Persia dan Majusi seperti yang
disampaikan oleh Dozy dan Thoulk. Alasannya bahwa sejumlah orang-orang besar sufi
berasal dari Khurasan dan kelompok Majusi
2. Sebagian yang lain mengatakan bahwa irfani bersumber dari Kristen sebagaimana yang
diungkapkan oleh Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson dan yang lain. Alasan mereka
paling tidak dapat dikelompokkan dalam dua poin, yaitu:
a. Interaksi yang terjadi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah dan
Islam
b. Kesamaan kehidupan antara sufi dan Yesus dan Rahib dalam masalah ajaran, tata cara
riyadah, ibadah dan tata cara berpakaian
3. Irfani bersumber dari India seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasan yang diajukan
adalah:
a. Kemunculan dan penyebaran irfani pertama dari Khurasan
b. Kebanyakan para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab
c. Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan timur dan barat sebelum Islam yang
sedikit banyak memberi pengaruh mistisisme
d. Konsep dan metode irfani seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih merupakan
praktik-praktik dari India
4. Irfan berasal dari Yunani, khususnya neo-platonisme dan Hermes. Alasannya sederhana
bahwa theologi Aristoteles 40 merupakan paduan antara sistem porphiry dan proclus yang
sudah dikenal dalam Islam.13
Epistemologi irfani memiliki keunggulan bahwa segala pengetahuan yang bersumber
dari intuisi, musyahadah, dan mukasyafah lebih dekat dengan kebenaran dari pada ilmu-ilmu
yang digali dati beberaoa argumentasi rasional dan akal. Bahkan kalangan sufi menyatakan
bahwa indra-indra manusia hanya menyentuh wilayah lahiriah alam, namun manusia langsung
dapat berhubungan secara langsung yang bersifat intuitif dengan hakikat tunggal alam melalui
batiniyah sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh ketika manusia telah suci, lepas, dan jauh
dari segala bentuk ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah. Adapun kendala
dari epistemologi irfani ini antara lain adalah bahwa ia hanya dapat dinikmati oleh sebagian

13
Idrus Ahmad, Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani, UIN Banten, 2019

11
manusia yang mampu sampai pada taraf pensucian diri yang tinggi. Di samping itu, irfani
sangat subjektif menilai sesuatu karena ia berdasar pada pengalaman individu manusia.14

2.4 Epistemologi Burhani

Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,
burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika. Perbandingan ketiga epistemology in adalah bahwa bayani menghasilkan
pengetahuan lewat analogi furu‟ kepada yang asal, Irfani menghasilkan pengetahaun
lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, Burhani menghasilkan pengetahuan
melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
kebenarannya. Dengan demikian sumber pengetahuan Burhani adalah rasio, bukan teks
atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi
yang masuk lewat indera.15

Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara


naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi (alhiss, al tajribah wa
muhakamah 'aqliyah). Fungsi dan peran akal dalam epistemologi berhani adalah
sebagai alat analitik – kritis. Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang
berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut
epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan,
bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti
masalah baik dan buruk (tansin dan tawbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang
keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu‟tazilah dan
ulama-ulama moderat.16

Epistemologi burhani disebut juga dengan pendekatan ilmiah dalam memahami


agama atau fenomena keagamaan. Epistemologi burhani dapat menggunakan
pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat dan bahasa
(hermeneutika). Dalam filsafat, baik filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang
seringkali digunakan adalah rasionalisme yaitu aliran ini menyatakan bahwa akal
(reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum

14
Kusuma Hadi Wira, Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani Al Jabiri Dan Relavansinyal Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding, Jurnal Ilmiah Syiar, 2018
15
Lihat Ibnu Rusyd, fashl al-Maqal Fima Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, edit. M.Imarah,
(Mesir Dar al-Ma’arif, tt), 56.
16
Hujair AH Sanaky, op.cit.

12
didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650, Baruch
Spinoza (1632 –1677) dan Gottried Leibniz (1646 –1716).17 21 Sementara dalam ilmu
tafsir istilah yang sering digunakan pada makna burhani adalah tafsir bi al-ra’yi.

Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan dijumpai sekian banyak ayat yang
memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang
masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai
redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun, tadabbarun dan lain-lain. lni membuktikan bahwa
akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam
wilayah kerjanya. Oleh karena itu, dalam epistemologi Islam, dikenal realitas fisik dan
non-fisik, baik berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika.18

Oleh karena itu, dalam epistemologi Islam, dikenal realitas fisik dan non-fisik, baik
berupa realitas imajinal (mental) maupun realitas metafisika.19 Hal tersebut ditegaskan dalam
al-Qur’an QS. Al-Sajadah: 7-9:

‫ ثم سواه ونفخ فيه من روحه‬.‫ ثم جعل نسله من ساللة من ماء مهين‬.‫الذي أحسن كل شيء خلقه وبدأ خلق اإلنسان من طين‬
‫وجعل لكم السمع واألبصار واألفئدة قليال ما تشكرون‬. Artinya: “Dia memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia) dan
Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali
bersyukur”.20

Menurut al-Jabiri, epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab


yang bertumpu pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empirik dan penilaian akal,
dalam mendapatkan pengetahuan tentang segala sesuatu. Sebuah pengetahuan bertumpu pada
hubungan sebab akibat. Cara berpikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ‘gaya’
logika Aristoteles.

Nalar burhani masuk pertama kali kedalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi
melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang
‘disadur’dari filsafatnya Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepadakhalifah
alMakmun (218 H – 227 H). Di dalam al-falsafah al-Ula, al-Kindi menegaskan bahwa filsafat
merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung,

17
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), hal. 136.
18
Abd Wahab Khalaf. 1996. Ilm Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi. Gema Risalah Pres: Bandung.
19
Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Cet: I; Bandung: Mizan, 2002) h. 58.
20
. Al-Qur’an dan Terjemah

13
karena dengannya hakekat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi
menepis keraguan orang-orang yang selama ini menepis dan menolak keberadaan filsafat:
filsafat adalah jalan untuk mengetahui kebenaran.

Meskipun al-Kindi telah berjasa dalam memperkenalkan nalar burhani ke tengah


peradaban Arab-Islam, namun menurut Abid Al-jabiri usaha al-Kindi hanya bersifat parsial.
Usaha al-Kindi dengan menulis al-Falsafah al-Ula tidak berada dalam konteks
memperkenalkan “nalar rasional” seperti yang dicirikan dalam filsafat Aristoteles.
Kepentingan al-Kindi menurut Abid Al-jabiri tidak lain adalah menyerang kalangan fuqaha
yang ketika itu menolak mati-matian filsafat. Usaha yang dilakukan oleh al-Kindi merupakan
sekedar usaha yang pragmatis.21

21
Ibid., hlm. 418

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Epistemologi adalah cabang dari disiplin ilmu filsafat mengenai pengetahuan yang
membahas hakikat, ruang lingkup dan batasan-batasannya. Studi yang membahas tentang
sarana memecahkan suatu masalah atau pertanyaan pertanyaan mendasar sperti bagaimanakah
sifat pengetahua? Atau apakah yang menhadi pembatasan-pembatasan ilmu pengetahuan? Dan
sebagainya. Senada dengan pandangan Harun Nasution, menurutnya epistemology adalah ilmu
pengetahuan yang membahas apa itu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan itu

Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang


berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fiqh dan ushul fiqh, kalam dan balaghah). Dan
pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Irfani adalah
pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada
hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadah. Contoh konkrit dari irfani ialah pengalaman
batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an. Burhani menghasilkan pengetahuan
melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
Dengan demikian sumber pengetahuan Burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio
inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera

15
DAFTAR PUSTAKA

Mochamad Hasyim, “EPISTEMOLOGI ISLAM (BAYANI, BURHANI, IRFANI),” Jurnal


Al-Murabbi 3, no. 2 (5 Juni 2018): 217–28, https://doi.org/10.35891/amb.v3i2.1094.
Ummi Kulsum, “epistemology Islam dalam Tinjauan Filosofis,” Jurnal studi Kependidikan dan
Keislaman 9, no.2 (September 2020)

Mutakallim Mutakallim, “MENELUSURI BANGUNAN EPISTEMOLOGI KEISLAMAN


KLASIK (Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani),” Jurnal Pendidikan Kreatif 1, no. 1 (28
Juni 2020), https://doi.org/10.24252/jpk.v1i1.14414.

Lihat Ibnu Rusyd, fashl al-Maqal Fima Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, edit.
M.Imarah, (Mesir Dar al-Ma’arif, tt), 56.

Fithroini D, “EPISTEMOLOGI BAYANI DALAM KAJIAN USHUL FIQH”, Opinia de


Journal 2, no. 2 (Desember 2022)

Wira Hadikusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi
Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding,” Jurnal Ilmiah Syi’ar 18, no. 1 (2
Januari 2018), https://doi.org/10.29300/syr.v18i1.1510.

Idrus Ahmad, Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani, UIN Banten, 2019

Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1989), hal. 136.

Abd Wahab Khalaf. 1996. Ilm Ushul Fiqh, terj. Madar Helmi. Gema Risalah Pres: Bandung.

Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam (Cet: I; Bandung: Mizan, 2002) h. 58.

Al-Qur’an dan Terjemah

16

Anda mungkin juga menyukai