Anda di halaman 1dari 16

Epistemologi Islam

Makalah

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat ilmu

Dosen Pengampu

( Yunidar Cut M.Y )

Disusun oleh:

Kelompok 8
1. Andrean Al farizi (2041010399)

2. Masayu Siti Azlia Andien (2041010380)

3. Muhammad Zufri Al Arief (2041010392)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah tentang
"Epistemologi Islam". Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna
untuk menambah wawasan serta pengetahuan.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat


kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen yang telah
memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk membuat tugas
makalah ini.

Bandar Lampung, 8 Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................ iii

BAB I............................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................1

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan & Manfaat Pembelajaran ................................................... 2

BAB II .......................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ............................................................................................... 3

2.1 Pengertian Epistemologi Islam ........................................................... 3

2.2 Metode Epistemologi Islam ............................................................... 4

2.3 Pengertian Epistemologi Islam Bayani, Uswani & Irfani .................... 5

BAB III ............................................................................................................ 7

PENUTUP................................................................................................... 7

3.1 Kesimpulan & Saran ...................................................................... 7

Daftar Pustaka ........................................................................................... 7

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji karena disinilah
dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia
menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat
dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak
akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.Dari epistemologi, juga
filsafat dalam hal ini filsafat modern – terpecah berbagai aliran yang cukup
banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme
dan lain-lain.Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang
diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos.“Episteme”
artinya pengetahuan, sedangkan “logos” lazim dipakai untuk menunjukkan adanya
pengetahuan sistematik. Senada dengan pendapat di atas Simon Blackburn dalam
Kamu filsafat menjelaskan bahwa Epistemologi, (dari bahasa Yunaniepisteme
(pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang
berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk
salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat,
misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya,
serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas penulis akan memb ahas rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran Fawatih as-Suwar(Huruf al-Muqatha’ah)dalam Tafsir al-
Jailani ?

2. Bagaimana metode dan corak yang digunakan Syekh Abd ul Qadir al-Jailani
dalam menafsirkan Huruf al-Muqatha’ah dalam Tafsir alJailani?

1.3 Tujuan dan Manfaat Pembelajaran:


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka

TUJUAN :
1. Mengetahui pengertian Epistemologi dari berbagai Sumber

2. Memahami metode dan pengertian epistemologi Bayani, Uswani & Irfani.


MANFAAT :
1. Menambah wawasan bagi penulis khususnya dan pembaca.

2. Menambah kajian terhadap wacana keilmuan Filsafat Ilmu Islam di lingkungan


UIN RADEN INTAN LAMPUNG

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN EPISTEMOLOGI ISLAM


Epistemologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang secara khusus membahas teori
ilmu pengetahuan, yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu episteme, yang
berarti pengetahuan dan logos (kata/pembicaraaan atau ilmu). Adapun pengertian
Islam itu sendiri secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Arab, dari kata
salima yang berarti selamat sentosa, Secara istilah (terminologi), Islam berarti
ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul atau
lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. jadi epistemologi islam adalah
pengetahuan islam berdasarkan pemikiran, akal manusia.

Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas


jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Epistemologi itu
disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) , di mana dalam bahasa Arab
disebut Nazhriyah al-Ma’rifah. Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of
Philosophy menyatakan epistemologi sebagai studi tentang pengetahuan dan
kebenaran , paling tidak secara khusus mempelajari tentang tiga bagian penting:

1. penegasan ciri-ciri pengetahuan

2. kondisi sumber-sumber pengetahuan yang sesungguhnya.

3. batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.

Apa yang dapat kita ketahui ?dan bagaimana kita dapat mengetahui itu ? adalah
pertanyaan-pertanyaan filosofis dan bentuk-bentuk pengetahuan menjadi topik
utama epistemologi, secara bersamaan dihubungkan kepada gagasan kesadaran
lain seperti kepercayaan (belief), pemahaman (understanding), akal Budi (reason),
keputusan (judgement), perasaan (sensation), penglihatan atau tanggapan daya
memahami/menanggapi sesuatu (perception), intuisi/gerak hati (intuition), dugaan
(guessing) dan pengetahuan/pelajaran (learning).
Epistemologi membahas tentang hakikat pengetahuan dan dalam hal ini terbagi
kepada dua aliran yakni, realisme dan idealisme. Namun ada beberapa penjelasan
tentang hakikat pengetahuan ini sendiri Realisme menyatakan hakikat
pengetahuan adalah apa yang ada dalam gambar. Pengetahuan menurut teori ini
sesuai dengan kenyataan. Sedangkan idealisme menganggap pengetahuan itu
adalah gambar menurut pendapat atau penglihatan.

Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia

2.2 METODE EPISTEMOLOGI

Metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis


dan metode dialektis.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan:

a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman.

b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan
karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.

c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri
merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.

d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung
dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan,
tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara
langsung dari pengetahuan intuitif

e. Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta
analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk
melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran
yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam
percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.

2.3 PENGERTIAN EPISTEMOLOGI BAYUNI, USWANI & IRFANI

A. EPISTEMOLOGI BAYANI

1. Pengertian bayani,

Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri


berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan
sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan
metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi
dari metode bayani.[[3]]
Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan
penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda
dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna
etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani
adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahiami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara
tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga
perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio
bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada
teks.
1. Sumber Pengetahuan Bayani
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi,
epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang
dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-
Qur`an dan As-Sunnah.

2. Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Bayani


#. Metode Qiyas, Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani
menempuh dua jalan, diantaranya adalah
1). Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa
Arab:
2). Menggunakanmetode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani.
3). Pendukung dan Validitas Keilmuan Bayani
a. Pendukung Keilmuan Bayani
Corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir kaum teolog/ahli kalam,
ahli fiqih dan ahli bahasa.Pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis
dan membentuk corak pemikiran keislaman yang hegemonik.
b. Validitas Keilmuan Bayani
Validitas keilmuan bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks
atau nash dan realitas. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam
kaidah-kaidah metodologi ushul fiqih klasik lebih diunggulkan daripada sumber
otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyah), akal (aqliyah),
dan intuisi (wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah menjadikan
sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhada isu-isu
keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah.Pola pikir bayani lebih
mendahulukanqiyas (qiyas al-illah untuk fiqih, dan qiyas dalalah untuk kalam. Di
samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena
dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual.

B. EPISTEMOLOGI BURHANI

1). Pengertian,

Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-
bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah
demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti
member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan)
Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir
untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-
istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang
oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang
dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan
kebenaran suatu premis.
Jika dibandingkan dengan kedua epistemology yang lain; bayani dan irfani,
dimana bayani menjadikan teks (nash), ijma’, dan ijtihad sebagai otoritas dasar
dan bertujuan untuk membangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah
agama, yang dalam hal ini Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf sebagai satu-
satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan dan sekaligus bertujuan
mencapai maqam bersatu dengan Tuhan. Maka burhani lebih bersandar pada
kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman, dan akal di dalam mencapai
pengetahuan.

1). Karakteristik Epistemologi Burhani


Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara filsafat
di mana hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna”
dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular
hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal ini nampak sejalan dengan
penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’ datang lebih dahulu dari pada “kata”, sebab
makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam tataran
pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi
memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya
dalam kata-kata itu sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna
dan pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari
proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna,
sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-
kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai sibol
pernyataan makna.
Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang
burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani.
Silogisme yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani)
selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu
seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis).Silogisme (al-qiyas) dapat
disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui sebab
yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama
proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi,
yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi
yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.

2). Logika Dalam Epistemologi Burhani


Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang paling
berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya
muncul belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles.
Aristoteles sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode
berpikir analitik. Logika Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis,
logika formal, atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting dalam logika
Aristoteles adalah silogisme.

Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam


epistemologi burhani adalah metode deduksi (istintaj, qiyasjami), induksi
(istiqrd), konsep universalisme (al-kulli). universalitas-universalitas induktif,
prinsip kausalitas dan historitas. serta tujuan syariah (al-maqashid).
Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayani dan burhani
adalah inferensi pada bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi
burhani didasarkan pada makna.
Dalam perkembangan selanjutnya, metode burhani yang dianggap lebih unggul
dibanding dua epistemologi yang lain ternyata mengandung kekurangan, bahwa ia
tidak bisa sampai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh
penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip
segala sesuatu,bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa
mejelaskan atau
mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.

C. EPISTEMOLOGI IRFANI

A. Pengertian Epistemologi Irfani


Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar
(infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kata
Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).[[4]]
Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan.
Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience),
sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi
(naql) atau rasionalitas (aql).Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan
atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada
hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan
dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa
yang ada dibalik teks. Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan
pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian
diung-kapkan secara logis

B. Sumber Asal Irfani


Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan.
a). Kelompok yang menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan
Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar
orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah
penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di
samping itu, sebagian pendiri aliran-aliran sufi berasal dari keturunan orang
Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami.

b). Kelompok yang beranggapan bahwa irfan berasal dari sumber-sumber Kristen,
seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan
O'lery. Alasannya, (1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum
Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam; (2) adanya segi-segi kesamaan
antara kehidupan para Sufi, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah)
dan mengasingkan diri (khalwât), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga
dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.

c). Kelompok yang beranggapan bahwa irfan ditimba dari India, seperti pendapat
Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf)
pertama kali adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama
bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham , Syaqiq al-Balkh dan
Yahya ibn Muadz. Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan
kebudayaan Timur serta Barat.Mereka memberi warna mistisisme lama ketika
memeluk Islam.Konsep dan metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian
tasbih adalah praktek-praktek dari India.

d). Kelompok yang menganggap irfan berasal dari sumber-sumber Yunani,


khususnya Neo-Platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan
Nicholson.Alasannya, ‘Theologi Aristoteles' yang merupakan paduan antara
sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam.Kenyataannya,
Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof
dan pengikut sains Hellenistik.Jabiri agaknya termasuk kelompok ini.
Menurutnya, irfan diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks
al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqâmat
yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS.Al-Fusilat 164),
identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia
setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata
maqâmat dalam al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang
pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan
dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri.

C. Konsep Epistemologi Irfani


Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak
juga didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. pengetahuan irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan.

a. Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus
menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan
yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara`
(menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat),Zuhud (tidak tamak dan tidak
mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak
menghendaki apapun kecuali Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya
rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka
cita).

b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan
mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif
(pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat
realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Pengetahuan
semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, disebut ilham.

c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang
lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk
tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa
dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat Islam yang
kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari
kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep
tasawuf: ma'rifat. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan
analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga
tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan
yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan
dan di luar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman
intuitif yang sangat mendalam yang disebut gnosis, sehingga sering tidak sesuai
dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu
cenderung pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang. Pendekatan irfani
secara epistemologis, menjadikan pengalaman ruhani bisa dijelaskan secara
rasional dan masuk akal.
5

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tiga epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang


berbeda.Pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang
burhani pada rasio.Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan

Pembahasan diatas dapat disimpulkan epistemologi ilmu pengetahuan tidak


lepas dari tiga hal yaitu mendasarkan pada akal (rasionalis), data kongkrit
(empiris), dan mengkompromikan akal dan pengalaman (modernis), bahwa
pengetahuan merupakan produk bahkan konstruk akal pikiran manusia dan bukan
hanya hasil dari penampakan (disclosure) dari wujud yang telah ada sebelumnya,
karena ilmu pengetahuan terkait dengan fenomena yang harus ditangkap melalui
pengalaman dan kecerdesan akal.

Bayani adalah sebuah metode berfikir yang berdasarakan pada teks kitab suci
(Al-quran). pendekatan bayani melahirkan sejumlah produk hukum islam (fiqih
islam) dan bagaimana cara menghasilkan hukum dimaksud (ushul fiqih) dengan
berbagai variasinya.selain itu juga melahirkan sejumlah karya tafsir Al-quran.
Irfani adalah model penalaran yang berdasarakan atas pendekatan dan pengalaman
spiritual langsung atas realitas yang tampak. bidik irfani adalah esoterir atau
bagian batin, oleh karena itu, rasio yang dugunakan hanya untuk menjelaskan
pengalaman spritual. metodologi dan pendekatan irfani mampu menyusun dan
mengembangkan ilmu kesufian. Burhani adalah kerangka berfikir yang tidak
didasarakan atas teks suci maupun pengalaman spritual melainkan berdasarkan
keruntutan logika. kebenaran dalam spekulatif metodologi ini persis seperti yang
diperagakan oleh metode keilmuan yunani yang landasanya murni pada cara kerja
empirik. kebenaran harus dibuktikan secara empirik dan diakui menurut penalaran
logis.

3.2 Daftar Pustaka

M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2002), 243[1]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 4-6.
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta:
LKiS, 2000),
hlm. 60
Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha
Nasional, Surabaya : 1984), hal 34
7

Anda mungkin juga menyukai