Anda di halaman 1dari 34

MATA KULIAH DOSEN

TASAWUF Dr. H.A. Fauzan Saleh, M.Ag

MAHABBAH, AL HULUL, WIHDATUL WUJUD, KHAUF DAN ROZA


OLEH: KELOMPOK 3

NAMA NPM
MUHAMMAD SAILANI 19.12.4842
MUTIA ANANDA RIZKIANA 19.12.4852
NURSYIFA 19.12.5004
NURLIANA 19.12.4882
NURUL HIDAYAH 19.12.4886
PINA PANDUWINATA 19.12.4891
RARA AMIATY 19.12.4896
ROSYIDAH 19.12.4903
SAID MUHAMMAD IRFAN 19.12.4907
SARIFAH SEHAT 19.12.4910
SINTA WULAN SARI 19.12.4913
SITI RAHMAH 19.12.4921
SUMAH 19.12.4925
USWATUN HASANAH 19.12.4928
YULI YANTI 19.12.4932

FAKULTAS TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
MARTAPURA KALIMANTAN SELATAN
2019
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


‫الحمد هلل رب العالمين والصالة والسالم على اشرف األنبياء والمرسلين سيدنا وموالنا محمد وعلى اله‬
:‫ اما بعد‬. ‫وصحبه اجمعين‬
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penyusun makalah sehingga berhasil menyelesaikan makalah
ILMU TASAWUF yang berjudul Mahabbah, Al-Hulul, Wihdatul Wujud,
Khauf Dan Roza
shalawat dan salam tak lupa kami panjatkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan para pengikut beliau dari
dulu dan sekarang hingga akhir zaman.
Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terimakasih
kepada dosen pembimbing kami Bapak Dr. H.A. Fauzan Saleh, M.Ag yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, serta
semua yang telibat dalam penyelesaian tugas makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dalam belajar dan hasilnya dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Martapura, 22 November 2019

Penyusun Makalah,

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latarbelakang ..................................................................................... 1
B. Rumusanmasalah ................................................................................ 2
C. Tujuan ................................................................................................. 2

BAB II : PEMABAHASAN

A. Mahabbah ........................................................................................... 3
B. Al-Hulul .............................................................................................. 8
C. WihdatulWujud ................................................................................ 12
D. Khaufwa Raja’ .................................................................................. 16

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................................
B. Saran .....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh Nabi dan Rasul mulai dari
Nabi Adam hingga Nabi SAW. Islam pula adalah satu-satunya agama yang
diridhoi oleh Allah SWT. oleh karena islam adalah agama yang diridhoi
oleh Allah sudah tentu islam adalah agama yang mencakup segala aspek
kehidupan ini.
Sebagaimana Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki akhlak ummat
maka iskam mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan akhlak manusia.
Salah satu yang termasuk adalah akhlak tasawuf.
Dalam akhlak tasawuf dibahas beberapa maqamat dan ahwal untuk
mencapai ma’rifat diantaranya adalah mahabbah, hulul, wahdatul wujud,
khauf dan raja’
Maka, dalam makalah ini penulis membahas mahabbah, hulul, wahdatul
wujud, khauf dan raja’ agar pembaca mengetahui konsep dari beberapa
konsep akhlak tasawuf. Lebih luasnya lagi, penulis berharap amal dan
perbuatan yang kita kerjakan sesuai dengan ajaran Rasul.
Mudah-mudahan dengan pembahasan sekilas ini dapat menambah
wawasan penulis khususnya dan pembaca umum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Mahabbah
2. Apa Dasar Hukum Mahabbah
3. Siapa Tokoh yang Mengembangkan Paham Mahabbah
4. Apa Pengertian Hulul
5. Siapa Tokoh yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
6. Apa Dasar Hukum Hulul
7. Apa Pengertian Wahdatul Wujud
8. Siapa Tokoh yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud

1
9. Bagaimana Konsep Manusia yang Sehat dan Sakit Menurut Paham
Wahdatul Wujud
10. Apa Pengertian Khauf dan Raja’
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui Pengertian Mahabbah
2. Mengetahui Dasar Hukum Mahabbah
3. Mengetahui Tokoh yang Mengembangkan Paham Mahabbah
4. Mengetahui Pengertian Al-Hulul
5. Mengetahui Tokoh yang Mengembangkan Paham Al-Hulul
6. Mengetahui Dasar Hukum Al-Hulul
7. Mengetahui Pengertian Wahdatul Wujud
8. Mengetahui Tokoh yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud
9. Mengetahui Konsep Manusia yang Sehat dan Sakit Menurut Paham
Wahdatul Wujud
10. Mengetahui Pengertian Khauf dan Raja’

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mahabbah
1. Pengertian Mahabbah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan,


yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan
yang mendalam. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan
untuk memperoleh kebutuhsn yang bersifat material maupun apiritual,
seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya,
orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa
terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya.
Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati
sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang
mencintai.Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapaitingkat rohaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.

Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk


menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf.Dari sekian
banyak arti mahabbah yang dikemukakan diatas tampaknya ada juga
yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki oleh tasawuf, yaitu
mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada
Tuhan.Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT.oleh hamba
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatrakan cinta kepada yang
dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.

3
Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan
mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan
kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT
serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya. Mahabbah pada tingkat
selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya
gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan[1]

Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah


cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun
Nasution mengatakan, pengertian mahabbah antara lain yang berikut:

a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan


kepada-Nya
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,
yaitu Tuhan.

Dilihat dari segi tingkatannya mahabbah sebagai dikemukakan al


saraj sebagai dikutib Harun Nasution ada tiga macam, yaitu mahabbah
orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif.
Mahabbah oarng biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan
dzikir suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan
dalam berdialog dengan Tuhan.senantiasa memuji Tuhan.Selanjutnya
mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada
kebesaran-Nya, pada kekuasan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-
lain.Sedangkan cinta orang yang arif, adalah cinta orang yang tahu betul
pada Tuhan.Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai.

Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman


bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan

1 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.247

4
sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam
diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan
batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat
dirasakan oleh jiwa.

Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan


dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan diatas.Apa yang
disebut sebagai ma’rifah oleh al Ghozali itu pada hakikatnya sama
dengan mahabbah yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga.
Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi daripada ma’rifah.

Mahabbah artinya cinta.Hal ini mengandung maksud cinta kepada


Tuhan. Lebih luas lagi, bahwa mahabbah memuat pengertian yaitu:
a. Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sikap yang
melawan pada Tuhan.
b. Berserah diri kepada Tuhan.
c. Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari Zat
Yang dikasihi.
Di dalamnya hati adalah kuatnya rasa cinta terhadap harta dunia.
Sebagian darinya adalah cinta terhadap istri, anak, harta, kerabat, kebun
binatang, sawah, bahkan rasa gembira dengan mendengarkan kicauan
burung yang merdu dan amannya hembusan angin sepoi di waktu fajar,
semua itu akan mengacu kepada berbagai kenikmatan duniawi dan secara
parallel mengurangi rasa cinta kepada Allah SWT. Sepadan dengan rasa
tentram seseorang manusia dengan harta duniawi, berkuranglah rasa
tentramnya terhadap Allah SWT.Tidaklah seseorang datang dengan harta
duniawi, kecuali sesuai dengan itusegtera pasti berkuranglah kehidupan
akheratnya. Sebagaimana seorang manusia tidak akan dekat dengan arah
timur, kecuali secara pasti dia akan mejauhi arah barat, sepadan dengan
jarak yang ada.Sebab kedua bagi kuatnya rada cinta adalah kuatnya
pengenalan Allah SWT. keluasannya dan dominasinya terhadap hati. hal
itu dapa tmenjadi setelah mensucikan hati dari segala kesibukan duniawi

5
dan berbagai interaksinya, berjalan sebagai peristiwa peletakan sebuah
benih di bumi setelah membersihkannya dari rerumputan, di mana dia
merupakan bagian ke dua. Kemudian dari benih itu tumbuhlah sebuah
pohon cinta dan ma’rifat, yaitu kalimah yang baik yang dicontohkan oleh
Allah SWT. dalam sebuah firmannya surat Ibrahim : 24 :

Artinya :

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat


perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit.

2. Dasar Hukum Mahabbah

Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-


quran maupun Sunah Nabi SAW.

a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

َ َ‫ّللاِ َوا َّلذِينَ آ َمنُواْ أ‬


‫شدُّ ُحبها ً ِه هّلِ َولَ ْو َي َرى‬ ‫ّللاِ أَندَادا ً ي ُِحبُّونَ ُه ْم َكحُبه ِ ه‬ ‫ُون ه‬ ِ ‫اس َمن َيت َّ ِخذ ُ ِمن د‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
١٦٥- ‫ب‬ ِ ‫شدِيدُ ْال َعذَا‬ ‫اب أ َ َّن ْالقُ َّوة َ ِ هّلِ َج ِميعا ً َوأ َ َّن ه‬
َ َ‫ّللا‬ َ َ‫ظلَ ُمواْ ِإذْ َي َر ْونَ ْال َعذ‬
َ َ‫الَّذِين‬

Artinya : ”Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Tuhan


selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai
Allah. Adapun orang -orang yang beriman sangat besar cintanya
kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat,
ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu
semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya
(niscaya mereka menyesal)”. (QS. Al Baqarah/2: 165)

‫ّللاُ َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم َو ه‬


ٌ ُ‫ّللاُ َغف‬
٣١- ‫ور َّر ِحي ٌم‬ ‫قُ ْل ِإن ُكنت ُ ْم ت ُ ِحبُّونَ ه‬-
‫ّللاَ فَات َّ ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم ه‬

6
Artinya : “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah Mencintaimu dan Mengampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Ali
Imron/3: 31).

b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai


berikut:

َ ُ‫… َو َما يَزَ ا ُل َع ْبدِي يَتَقَ َّربُ إِلَيَّبِالنَّ َوافِ ِل َحتَّى أ ُ ِحبَّهُ فَإِذَا أَحْ بَ ْبت ُ ُه ُك ْنت‬..
‫س ْمعَهُ الَّذِي يَ ْس‬
…‫ش ِب َه َاو ِرجْ لَهُ الَّتِي يَ ْم ِشي بِ َها‬ ُ ‫ْص ُر بِ ِه َويَدَهُ الَّتِي يَب ِْط‬ ِ ‫ص َرهُالَّذِي يُب‬ َ َ‫َم ُع بِ ِه َوب‬

….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku


dengan ibadah-ibadah sunah kecuali Aku akan
mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk
memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan.…[2])

3. Tokoh Yang Mengembangkan Paham Mahabbah

Aliran mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi


wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah adalah
seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, Irak. Ia lahir di
Basrah pada tahun 714 M.

Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih kecil. Ketiga


orang kakaknya perempuan juga meninggal ketika wabah kelaparan
melanda basra. Ia sendiri jatuh ke tangan orang yang kejam, dan orang
ini menjualnya sebagai budak belia dengan harga yang tidak seberapa..

2 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 275

7
Si kecil Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan
segala perintah majikannya. Malam hari di laluinya dengan berdoa. Pada
suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika
Rabiah berdoa kepada Allah “Ya Rabbi, Engkau telah membuatku
menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi
kepadanya. Seandainya aku bebas, pasti aku persembahkan seluruh
waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepadaMu” Tiba-tiba tampak
cahaya di dekat kepalanya, dan melihat itu majikannya menjadi sangat
ketakutan. keesokan harinya Rabiah dibebaskan oleh majikannya
tersebut.

Setelah bebas, Rabiah menghabiskan waktunya hanya untuk


beribadah kepada Alloh SWT.Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa
mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat dari ungkapan do’a-do’a
yang disampikannya. Misalnya salah satu do’anya “Ya Tuhanku, bila aku
menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku
dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan
surga, maka jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu
hanya demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan abadi-
Mu”[3])

B. Hulul
1. Pengertian Hulul

Kata Al-Hulul, berdasarkan pengertian bahasa berasal dari


katahalla-yahlu-hululan yang berarti menempati. Al-Hulul dapat berarti
menempati suatu tempat.Jadi hulul secara bahasa berarti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang
telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, Al-Hulul menurut keterangan Abu
Nasr al-Tusi dalamal-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah
paham yang mengatakan bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh

3 Ibid, hlm. 276.

8
manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat
kemanusian yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.Abu Nasr Al-Tusi
didalam bukunya ”Al Luma” mengatakan bahwa Hulul adalah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat didalamnya, setelah sifst-sifst kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Sedangkan menurut Al Hallaj
Allah memiliki dua sifat dasar ketuhanan yaitu LAHUT dan kemanusiaan
NASUT.Hal ini dapatdilihat dalam karya beliau yang menjelaskan
tentang teori terjadinya makhluk.

Secara harfiah Hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh


manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiannya melalui fana.Menurut keterangan Abuy Nasr al Tusi
dalam al Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution adalh paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuih manusia tertentu untuk
mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan. Didalam teks pernyataan tersebut berbunyi
“Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya
dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan”

Al-Hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :

a. Al-Hulul Al-Jawari yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat
pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam
bejana.
b. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir
didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat
air yang mengalir didalam bunga.
Al-hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan
Tuhan bersatu secara rohaniah. Paham bahwa Allah dapat mengambil

9
tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasaar pemikiran al Halajj
yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu
lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya
mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al thawasin. Tujuan
dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka
mengatakan bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam
diri insan (nasut0, dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan
telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[4])
Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara batin.Untuk
itu Hamka mengatakan bahwa al Hulul adalah ketuhanan amenjelma
kedalam diri insane telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup
kebatinan.

2. Tokoh Yang Mengembangkan Paham Al-Hulul

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang


mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya
adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858 M.) di
negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal
sampai dewasa di Wasith dekat dengan Baghdad, dan dalam usia 16
tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal,
bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad
dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah
juga menunaikan ibadah haji di Makkah selama tiga kali. Dengan riwayat
hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahua tentang
tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.

Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf filosofis


menyatakan bahwa hulûl adalah pengalaman spiritual seorang sufi
sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati
dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas landasan teori

4 Ibid, hlm. 278.

10
lâhût dan nâsût.Lâhût berasal dari perkataan ilâh yang berarti tuhan,
sedangkan lâhût berarti sifat ketuhanan.Nâsût berasal dari perkatan nâs
yang berarti manusia; sedangkan nâsût berarti sifat kemanusiaan.Al-
Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa
Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa
putra Maryam.Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya
telah hilang.Hulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan
permanen.Sedangkan hulûl Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara;
melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen.Al-
Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan
yang tidak disadarinya (syathahât).Al-Hallaj tidak kehilangan nilai
kemanusiannya.Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahât. Adapun
tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui
tahapan maqâmât hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan
mengalami al-fanâ’ 'an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lâhût
manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulûl dari nâsût Allah.
Pada tahun 301 H/913 M al-Hallaj masuk penjara Baghdad selama 8
tahun karena dituduh terlibat makar dan nodai kesucian
agama.Setidaknya ada empat tindakan subversif yang dituduhkan
kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum
Qarâmithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan
pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku
dirinya Tuhan, ketika mengalami syathahât.Ketiga, keyakinan al-Hallaj
bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting.Dan
keempat, keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-adyân (kesatuan
agama).Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana
Menteri yang menghalanginya.Kasus al-Hallaj diputuskan di Mahkamah
Syari’ah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada
tiang gantungan tahun 309 H/922 M. Saya memandang hukum mati yang
diberlakukan kepada al-Hallaj lebih karena faktor politik karena sejarah
peradaban Islam sangat didominasi oleh politik.

11
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara
akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang
ganjil sebagaimana telah dikemukakan menyebabkan seorang ulama fikih
bernama ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan
memberantas paham tasawuf al-Hallaj.

Menurut al Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat


agar bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah
menjelma sebagaimana agama Nasrani.Ia menjelma dalam diri Isa as.
Berdasarkan uraian diatas maka al hulul dapat dikatakan sebagai
suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam
hal ini Hulul pada hakikatnya istilah lain dari al ittihad sebagaimana telah
disebutkan diatas.

3. Dasar hukum hulul

Ajaran hulul memiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil dalam al-


Qur’an, misalnya sebagai berikut:

َ‫ىوا ْستَ ْك َب َر َوكَان َِمن َْال َكافِ ِرين‬


َ ‫سأ َ َب‬ ِ ‫َو ِإذْقُ ْلنَا ِل ْل َم َالئِ َك ِةا ْس ُجد‬
َ َ‫ُواِلَدَ َمف‬
َ ‫س َجدُوا ِإ َّال ِإ ْب ِلي‬

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat:


Sujudlahkalian kepada Adam, maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan yang kafir.” (Q.S
Al-Baqarah: 34)

C. Wahdatul Wujud
1. Pengertian Wahdatul Wujud
Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata,
yaitu Wahdat artinya sendiri, tunggal, atau kesatuan, sedangkanal-
wujud artinya ada. Dengan demikian, Wahdatul wujud memiliki arti
kesatuan wujud. Kata wahdahselanjutnya digunakan untuk arti yang
bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang

12
mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi
pada bagian yang lebih kecil. Selain itu, al-wahdahdigunakan pula oleh
para ahli filsafat dan sulfistik sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan
roh, lahir dan batin, antara alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam
adalah Qadim dan berasal dari Allah.Wujûd atau wahdat al-wujûd (dalam
terjemahan bebas berarti kesatuan wujud) menurut mutakallim (teolog)
adalah sifat wajib bagi Tuhan. Maka Ia memiliki wujud, alam memiliki
wujud. Jadi, ada dua wujud, wujud Tuhan dan wujud alam.Wujud Tuhan
mutlak dan absolut, wujud alam relatif dan nisbi.

Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya


digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada
hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut
menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat
al-wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq(makhluk)
dan lahut menjadi haqq(Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek
bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang
sebelah dalam disebut haqq.[5])

Secara lebih jelas pendukung Wihdat al wujud menyebut segala


macam benda dan makhluk yang terdapart di alam semesta sebagai
manifestasi Tuhan.Tuhan disini bukan dalam arti esensi (Dzat)-Nya yang
transenden, tetapi alam arti nama-nama atau sifat-sifatNya yang
indah.Hubungan antera nama-nama (sifat-sifat) Tuhan tersebut dengan
makhluk yang ada di jagad raya adalah seperti hubungan antara prototype
dengan penjelmaannya, atau ide dengan realisasinya dalam bentuk-
bentuk nyata.Nama-nama ituy disebut “entitas-entitas yang mapan” yang
menemukan aktualisasinya dalam bentuk-bentuk yang beraneka dari
makhluk-makhluk dari ciptaanNya, baik yang bersifat jasmani maupun
rohani. Jadi, apapun yang kita temukan di alam semesta ini tak lain

5 Abuddin Nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 253-
254.

13
daripada manifestasi sifat-sifat atau butir-butir ide dalam pengetahuan
Tuhan. Semacam ekspresi lahiriah sifat-sifat Tuhan sehingga alam bias
disebut sebaghai aspek lahiriah Tuhan, sedangkan sifat-sifat Tuhan
sendiri merupakan aspek tersembunyi atau batuniah dari realitas yang
sama. Inilah sebabnya Al Qur’an menyebut Tuhan sebagai yang lahir dan
yang batin. Jadi yang lahir dan yang batin adalah Tukan yang sama, yang
satu.

2. Tokoh Yang Mengembangkan Paham Wahdatul Wujud


a. Muhy Al-Din Ibnu Arabi

Ibnu Arabi lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165. Ibnu
Arabi belajar di Seville, kemudian setelah selesai pindah ke Ruris.
Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran sufi. Negeri negeri
yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan
akhirnya ia menetap di Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada
tahun 1240 M. Diantara karya beliau yang terkenal adalah buku dlam
bidang tasawuf yang berjudul “Futuhat Al-Makkah” (pengetahuan-
pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak
12 jilid. Buku terkenal lainnya berjudul “Futuh Al-
Hikmah” (Permata-permata hikmat).

Wujud menurut Ibn ‘Arabî adalah pandangan bahwa satu-satunya


yang ada di alam ini hanya Allah. Dilihat dari satu sisi yang lain-
manusia, dunia, dan seluruh keberadaan fenomenal lainnya-tidak
benar-benar ada.Artinya, semua itu dan berada secara terpisah dari-
dan, sebaliknya, sepenuhnya tergantung kepada Allah.Selain itu
juga, wahdat al-wujûd dipahami dengan dua pemahaman.Pertama,
wujud alam adalah wujud Allah, wujud makhlûq adalah wujud
khâliq.Segala yang ada adalah pengejawantah-Nya. Wahdat al-
wujûd dipandang sama dengan panteisme, paham serba Tuhan.
Namun, paham ini mendapat banyak kritikan dari sebagian besar

14
para ulama yang salah satunya adalah Ibn Taymiyyah.Kedua, wahdat
al-wujûd dipahami bahwa Tuhan tercermin pada alam dan alam
cermin Tuhan.Al-Haqq, Tuhan Yang Maha Benar, ber-tajallî.Alam
ciptaan Allah adalah tempat tajallî Tuhan (‫)مظهرإلهي‬. Al-Khalq tidak
memiliki wujud hakikat (yang sebenarnya), ia tergantung kepada al-
Haqq, wujud yang mutlak atau wujud yang absolut. Adapun korelasi
antara ittihâd, hulûl, dan wahdat al-wujûd adalah persamaan pada
tataran esensi yang manifestasinya berbeda dalam bentuk bahasa.

Menurut Hamka, Ibnu Arabi dapat disebut sebagai orang yang


telah sampai pada puncakwahdatul wujud. Dia telah menegakkan
pahamnya dengan berdasarkan renung pikir dan filsafat dan zauq
tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bacaan yang agak
berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan
ancaman kaum awam sebagai mana dialami Al-Hallaj. Baginya,
wujud itu hanya satu. Dalam Futuhat Al-Makkah, Ibnu Arabi
berkata, ”Wahai yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya
Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang
Engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau
Maka engkaulah yang sempit dan lapang.”

b. Syekh Siti Jenar

Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit,


Lemahbang, dan Lemah Abang. Adalah seorang tokoh yang
dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar agama islam
dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya.
Di masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal usul
Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena
ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan
tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri.
Ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang di buatnya

15
meskipun demikian, ajaran yang mulia dari Syekh Siti Jenar adalah
budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi yang
dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi
beliau dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal
ketentuan syariah yang ditentukan oleh Walisongo.[6])

3. Dasar hukum Wahdatul wujud

Ajaran wahdatul wujudmemiliki dasar dan landasan, Dalil-dalil


dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

‫اطنَةً َو ِمنَالنَّا ِس َم ْنيُ َجا ِدلُ ِفياللَّ ِه ِب َغ‬ َ ‫ض َوأ َ ْسبَ َغعَلَ ْي ُك ْم ِنعَ َم ُه‬
ِ َ‫ظاه َِرة ً َوب‬ ِ ‫ياألر‬ َ ‫أَلَ ْمت ََر ْواأَنَّاللَّ َه‬
َّ ‫س َّخ َرلَ ُك ْم َمافِيال‬
ْ ِ‫س َم َاوا ِت َو َماف‬
ٍ ‫ي ِْر ِع ْلمٍ َوال ُهد ًَىوال ِكت َابٍ ُم ِن‬
‫ير‬

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa


yang ada di langit dan apa yang di bumi untuk (kepentingan)mu dan
menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan” (Q.S Luqman: 20)

ُ ‫ي ْال َح ِميد‬
ُّ ِ‫سأ َ ْنتُ ُم ْالفُقَ َرا ُء ِإلَىاللَّ ِه َواللَّ ُه ُه َو ْالغَن‬
ُ ‫يَاأَيُّ َهاالنَّا‬

“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah


Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (Q.S
Surat Fathir :15)[7])

D. Khauf dan Raja’ Menurut Para Ulama


Makna khouf dan roja’secara bahasa
Menurut para sufi, Khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada
allah karena kurang sempurna pengabdiannya[3]. Takut dan khawatir kalau-
kalau allah tidak senang padanya. Dengan adanya perasaan seperti itu, maka
ia selalu berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang

6 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 279.


7 http://rusdimoh0.wordpress.com/2013/03/28/wahdatul-wujud/ diakses pada tanggal 10
Desember 2014 pukul 19.39 WIB

16
dikehendaki allah, dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat.
Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada allah sudah
mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya dan takut
dengan siksa allah.
Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya
ammalahu : dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333)
Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk
mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang
diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat
Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan
berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu
yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan
takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau
mengganggu (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56)
Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai
macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada
penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan
khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada
khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah
hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu
khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah…
sesungguhnya aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara
kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108)
Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Ar
Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan
pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan
terhadap sesuatu yang ditakuti… (Al Mufradaat hal 149, dinukil dari
Hushuulul Ma’muul, hal. 89) Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti

17
dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah
khouf yang diiringi amalan… (Hushuulul Ma’muul, hal. 87).

Menurut kalangan kaum sufijuga raja’ dan khauf berjalan seimbang dan
saling mempengaruhi.Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme yaitu
perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:

‫ان الذهين امنوا والذهين ها جرواوجهدوا فى سبيل هللا أولىًك يرجون رحمت هللا وهلل غفوررحيم‬
‫ه‬

)218 : ‫( البقرة‬

Artinya:

“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad


di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat Allah. Dan
Allah maha pengampun lagi maha penyayang “.( Q.S. al-Baqarah {2}: 218
).[4]

Orang yang berharap dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat


ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar.
Sebaliknya jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri
tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.

Raja’ juga menuntut tiga perkara yaitu.

a. Cinta kepada apa yang diharapkan.


b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.

Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau
hayalan.Setiap orang yang berharap ialah orang yang takut (khauf). Orang
yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut
terlambat. Dan karena takut terlambak, ia mempercepat jalannya. Begitu pula
orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa
takut akan siksaan Tuhan.

18
Ahmad faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang
digunakan Allah untuk menggiring hambanya menuju ilmu dan amal supaya
dengan keduanya itu mereka dapat dekat kepada Allah. Khauf ialah kesakitan
hati karena membayangkan sesuatu yang diakui, yang akan menimpah diri
dimasa yang akan datang, khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan
mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.

Khauf dan raja’ saling berhubungan, kekurangan khauf menyebabkan


seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan
akan menjadikan putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, apabila sikap
raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseorang menjadi sombong dan
meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang berlebihan.

Al Muhasibi memberikan perhatian khusus pada kekhawatiran dan


harapan karena keduanya terkait erat dengan perilaku rohani manusia dan
kemauannya untuk menghitung amalannya diri sendiri. Selain itu ia juga
mengaitkan kedua hal ini dengan etika-etika keislaman lainnya. Sebab, jika
seorang manusia memiliki kedua sifat tersebut maka ia akan menjadi orang
yang etis. Ketaatan itu menurut al Muhisibi berasal dari sikap menjauhkan
diri dari kemaksiatan.Wana’ berasal dari kata takwa, takwa berasal dari
kemauan untuk menghitung amalan diri sendiri.Muhasabah berasal dari
kekhawatiran (khouf) dan harapan (roja’), kekhawatiran dan harapan berasal
dari pengetahuan tentang adanya janji dan ancaman, sedangkan janji dan
ancaman bearasal dari pikiran dan pelajaran.

Al Muhasibi memandang bahwa khouf dan roja’ harus terkait erat dengan
prinsip berpegang teguh kepada tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah
saw. Hal ini merupakan salah satu pertanda yang sangat jelas dalam tasaawuf
dan pandangan- pandangannya. Oleh karena itu tidak mengherankan bila kita
melihatnya mengaitkan antara ibadah dengan khouf dan roja’, antara khouf
dan roja’ dengan janji dan ancaman.dengan demikian dimana sesungguhnya
letak ucapan Ibn Sina : Zuhud bagi seorang yang bukan arif adalah
melakukan suatu transaksi, seakan-akan ia melakukan suatu amalan di dunia

19
ini agar dapat memperoleh upah yang dapat dia ambil di akherat kelak berupa
pahala dan ganjaran. Konsep ibadah dan cinta yang mashur di kalangan sufi
tidak ada ketyerkaitannya sama sekali dengan rasa takut, harapan atau yang
disebut dengan istilah lainnya rasa takut dan keinginan, sebagai suatu
pengabdian kepada Allah secara ulus. Dengan mengesampingkan pikiran
takut pada neraka dan keinginan untuk meraih surga, konsep cinta dan ibadah
mereka merupakan suatu yang tidak benar menurut al muhasibi.Sebab sikap
itu bertentanga dengan keterangan Al Qur’an dan Hadits yang menganjurkan
kepada kita agar dalam laksanakan kewajiban mengajak orang Utuk beriman,
dan melakukan amal sholih harus selalu didasarkan atas rasa takut dan
harapan itu. Dalam hadits Qudsi disebutkan bahwa dihari kiamat Allah
Berfirman : “Demi keagungan dan kemuliaan-Ku, pada hari ini aku tidak
akan menyatukan dua rasa takut dan dua rasa aman dalam diri seorang
hamba. Jika ia merasa aman dari-Ku didunia maka akan Aku beri rasa takut
di hari Kiamat. Jika merasa Takut kapada-Ku di dunia, maka Aku beri rasa
aman di hari kiamat.

Adapun yang berkaitan dengan roja’ Allah mengkaitkannya dengan


keimanan pada hari akhir dan amal untuk menghadapinya.Dia melarang kita
untuk berputus asa dari mengharap rahmat-Nya : “Hai manusia, kamulah
yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” Karena adanya khouf dan roja’
dalam diri seseorang saja dianggap belum cukup. Yang lebih penting lagi
adalah bahwa ia tidak keliru dalam menempatkan keduanya, sebab bila keliru
menempatkannya kduanya, ia akan menyimpang dari jalan keimanan kepada
Allah : “Janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan
jangan pula penipu memperdayakan kamu dalam mentaati Allah. (QS. 31:33).

Pendek kata dengan khauf (takut) dan raja` (pengharapan) seorang


mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang
Penciptanya (karena adanya rasa takut), disamping ia akan bersemangat
memperbanyak amalan-amalan (karena adanya pengharapan).

20
Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan


(azab) tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat tuhan
mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan tuhan mereka (dengan
sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya
mereka akan kembali kepada tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk
mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera
memperolehnya.” [QS. Al-Mukminun: 57-61].

‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- pernah bertanya kepada Rosulullah -


shallallahu ‘alaihi wa sallam- apakah mereka itu (yang dimaksud dalam ayat
diatas) adalah orang-orang yang meminum khamr, berzina, dan
mencuri? Rosulullah menjawab, “Bukan!Wahai putri Ash-Shiddiq. Justru
mereka adalah orang-orang yang melakukan shoum, sholat, dan bershodaqah,
dan mereka khawatir tidak akan diterima amalannya. Mereka itulah orang-
orang yang bergegas dalam kebaikan.”[HR. At-Tirmidzi dari 'Aisyah].

Kehawatiran inilah yang dinamakan khauf.Dalam hadis ini


bahwasanya pada zaman nabi ada orang-orang yang melakukan konsep
khauf, dan kemudian nabi menjelaskan mengeni hal tersebut.

Allah juga berfirman, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang


yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” [QS. Al-Anbiya':
90].

Dalam hadits Nabi SAW bersabdah yaitu,

َّ َ‫ َولَ ْو يَ ْعلَ ُم ْالكَافِ ُر َما ِع ْندَ هللاِ ِمن‬، ٌ ‫ط ِم َع بِ َجنَّتِ ِه أ َ َحد‬


، ‫الرحْ َم ِة‬ َ ‫ َما‬، ‫لَ ْو يَ ْعلَ ُم اْل ُمؤْ ِمنُ َما ِع ْندَ هللاِ ِمنَ ْالعُقُ ْوبَ ِة‬
ٌ ‫ط ِم ْن َج َّنتِ ِه أَ َحد‬
َ َ‫َما قَن‬

“Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi


Allah, maka dia tidak akan berharap sedikitpun untuk masuk syurga. Dan

21
seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka dia
tidak akan berputus asa sedikitpun untuk memasuki Syurga-Nya.” (HR.
Muslim)

Ketika seseorang berada dalam kondisi khauf, maka yang selalu


terbayang baginya adalah siksa dan azab Allah yang sangat pedih. Bagaimana
tidak? Bukankah hidup ini penuh dengan godaan dosa. Di setiap langkah,
laku, dan ucap, selalu saja ada salah dan khilaf. Nikmat Allah berupa mata
untuk melihat hanya pantas memandang hal-hal baik. Manakala mata tersebut
digunakan memandang hal yang haram maka yang paling pantas untuknya
adalah mengembalikan mata itu kepada Allah. Telinga, tangan, kaki, dan
segala organ tubuh yang Allah karuniakan kepada manusia hanya
diperuntukkan untuk melaksanakan ketaatan. Manakala digunakan untuk
maksiyat, maka seseorang tidak berhak lagi atas segala karunia itu. Dan Allah
‘sangat’ berhak untuk menyiksa siapapun yang menyalahgunakan nikmat dan
karunia-Nya. Dalam kondisi ini, tidak seorang pun yang boleh merasa aman
dari siksa tersebut. Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf: 99:

َّ ‫فَال َيأ ْ َمنُ َم ْك َر‬


َ‫ّللاِ ِإ َّال ْالقَ ْو ُم ْالخَا ِس ُرون‬

Artinya: “Tiada seorang pun yang merasa aman dari siksa Allah kecuali dia
termasuk golongan yang merugi”.

Sebaliknya, dalam kondisi rajaa’, seseorang dapat memastikan bahwa


dia pasti mendapat rahmat, kasih sayang, dan ampunan Allah. Bagaimana
tidak? Padahal orang kafir pun, sebagaimana hadis di atas, berhak untuk
berharap masuk syurga. Bahkan Allah melarang siapapun untuk berputus asa
dari rahmat-Nya. Allah berfirman dalam QS. Yusuf: 87:

َ‫ّللاِ إِ َّال ْالقَ ْو ُم ْالكَافِ ُرون‬ ُ ‫إِنَّهُ ال يَاي‬


َّ ِ‫ْئس ِم ْن َر ْوح‬

Artinya: “Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah
kecuali golongan orang-orang kafir”.[6]

Apabila rasa takut hilang

22
Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa takut
kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi
apabila dia sedang menginginkan sesuatu yang gagal diraihnya.Karena
nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu yang bisa menyenangkan diri
serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa
nafsunya tidak bisa merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan
beribadah kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan
hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan berkata
dusta…” (Majmu’ Fatawa, 1/54,55) dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal.77).
Peranan roja’ dan khouf
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah
sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-
Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di
antara ketiganya adalah mahabbah.Sebab rasa cinta itulah yang menjadi
tujuan sebenarnya.Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang
diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat.Berbeda dengan takut.
Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga,
pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para
wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.”
(QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa
menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan
kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri
seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai- Nya.
Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya
rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan
menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu
perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba
wajib memperahtikan hal itu…”(Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari
Hushulul Ma’muul, hal. 82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan
roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga
seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan

23
khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…”
(Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60).

Roja’ dan khouf yang terpuji

Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya


ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya
atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun
roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan
tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf
yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang
diharamkan Allah. “Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang
terhitung dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya
tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Al Mufradaat fii
Ghariibul Qur’an hal. 162 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79).

Roja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahandiri


Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai
dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada
Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah
adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan biasa jadi syirik akbar
tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul,
hal. 58).

Roja’ dan khouf adalah ibadah

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh


mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di
antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka
mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’:
57) Allah menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa
sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum musyrikin yaitu para
malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri

24
kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan
perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan
mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa
azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan
takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan
takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam
ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh
merasa takut kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada
manusia sebagaimana Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada
manusia dan takutlah kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada
Allah diperintahkan sedangkan takut kepada wali syaithan adalah sesuatu
yang terlarang (Majmu’ Fatawa, 1/57 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal.
78).

C. Macam-macam Khauf Menurut Para Ulama

Menurut Imam ghozali khauf terbagi atas dua macam:

1) Khauf karena khawatir kehilangan nikmat yang membuat orang untuk


memelihara dan memanfaatkan nikmat kepada tempatnya.

2) Khauf kepada siksaan karena kemaksiatan yang dilakukan.Rasulullah


bersabda : aku adalah orang yang paling kenal kepada allah dari pada
kamu dan yang paling takut kepadanya[7].

Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan, Takut itu ada tiga macam:

1.Khouf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut
tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela….
akan tetapi apabila rasa takut ini …. menjadi sebab dia meninggalkan
kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.

2. Khouf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga


membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh

25
ada kecuali ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada
selain Allah adalah syirik akbar.

3.Khouf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang
berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan
tetapi dia merasa takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai
bagian dari syirik. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 57)

Menurut Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :

1) raja’ bersama Allah (fi Allah)

2) raja’ di dalam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)

3) raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).[8]

Para ulama juga membagi khauf menjadi lima macam yaitu:

1. Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa
yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah
kemanfaatan dan kemudharatan.Inilah yang diistilahkan oleh sebagian
ulama dengan khaufus-sirr.

2. Khauf syirik, yaitu memalingkan ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah,
seperti kepada para wali, jin, patung-patung, dan sebagainya.

3. Khauf maksiat, seperti meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang


diharamkan karena takut dari manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa.
Allah berfirman, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain syaitan-syaitan yang
menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik
Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah
kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [QS. Ali Imran:
175].

26
4. Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari ular, takut singa, takut
tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya. Allah berfirman tentang
Musa, “Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu
dengan khawatir (akibat perbuatannya).” [QS. Al-Qashash: 18].

5. Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak ada penyebabnya, atau ada
penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini amat tercela bahkan akan
memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.

Mengendalikan khouf dan roja’

Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus


Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab:
“Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’
ataukah khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah
berpendapat: “Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia
mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau
rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih
mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan
dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah.
Dan apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap
putus asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya
harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan
takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat
taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka
baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar
amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka
hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam
perbuatan maksiat. Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang
sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit
memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila
memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan
orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan

27
berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya. Adapun
pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda
tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih
condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka
hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya
dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada
harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia
memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa
takutnya.Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri
apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan
tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri
maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan
sembuh.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59).

Dasar utama khouf adalah kelembutan hati dan bergetarlah anggota


badan ketika berdzikir kepada Allah : Allah telah menurunkan Perkataan
yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak
ada baginya seorang pemimpinpun (QS. 39:23) .

28
DAFTAR PUSTAKA

As, Asmaran, PengantarStudiTasawuf, cet. II. (Jakarta: RajawaliPers, 2002)

Asmal May, coraktasawufsyekhjalaluddin, cet. I, (PekanBaru: Sqsqa Press, 2001)

Asmal May, PengembanganPemikiranPendidikanAkhlakTasawuf, (PekanBaru:


Susqa Press, 2008)

Mahyuddin,KuliahakhlakTasawuf, (Jakarta: KalamMulia, 1999) Cet. III.

Nata, Abiddin, AkhlakTasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1996)

Siregar, A. Rivay, TasawufdariSufismeKlasikKe Neo-Sufisme,Cet. II, (Jakarta:


Rajawali Press, 2002)

http://farchanbinadnan.blogspot.com/2009/12/akhlak-tasawwuf-khouf-dan-
raja.html?m=1

29
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Mahabbah berarti mencintai Allah. Aliran mahabbah
dikembangkan oleh seorang sufi wanita bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah.
Fana adalah adalah lenyapnya sifat-sifat basyarlah, akhlak yang
tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan
baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu
pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Abu Yazid al-
Bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan
paham Fana dan Baqa.
Hulu secara bahasa berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui Fana. Tokoh yang mengembangkan paham al-
Hulul adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 224 H. (858 M)
Wahdatuh Wujud digunakan oleh para ahli filsafat dan sulfistik
sebagai suatu kesatuan antara makhluk dan roh, lahir dan batin antara
alam dan Allah, karena pada hakikatnya alam adalah Qadim dan berasal
dari Allah. Tokoh yang mengembangkan paham ini diantaranya adalah
Muhy Al-Din Ibnu Arabi dan Syekh Siti Jenar.
Ittihad memiliki arti “Bergabung menjadi satu.”, sehingga paham
ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebuh dahulu
melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam
kedaaan baqa, bersatu dengan Allah. Tokoh yang mengembangkan paham
Ittihad adalah Abu Yazid Thafur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Busthami.

B. Saran
Sudah seharusnya seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah.
Namun, yang tidak kalah penting dari itu hendaknya amala-amalan

30
yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta
haruslah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadist. Karena kunci
dalam beribadah hanyalah ikhlas dan ittiba’ Rasul.

31

Anda mungkin juga menyukai