Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Al-Quranul karim adalah kitab Allah yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang


berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisahkisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah
laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk
individu

ataupun

sebagai

makhluk

sosial,

sehingga

berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.


Al-Quranul karim dalam menerangkan hal-hal tersebut
di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang
berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan
sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum
dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan
garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan
hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, dan ada yang diserahkan
pada kaum muslim sendiri yang disebut Ijtihad.
Jika pada masa Rasul saw., para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada Rasul saw., maka
setelah wafatnya mereka harus melakukan ijtihad, khususnya
mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi
Thalib dan yang lainnya. Pada konteks seperti inilah, tafsir
atas ayat-ayat Al-Quran diperlukan.
Dalam perspektif 'ulum Al-Quran, setidaknya ditemukan
beberapaterminology penafsiran yang sering digunakan yaitu
tafsir Bi al-Ma'tsur, tafsir Bial-Ra'yi dan

tafsir

Bil

Iqtirani.

Tafsir Bi al-Ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan


dengan jalan riwayat, yakni Penafsiran bersumberkan Al-

Quran,

Hadits,

Riwayat

Shahabat

Ra.

dan

Tabiin

Ra. Tafsir Bi al-Ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap


isi kandungan Al-Quran dengan ijtihad yang dilakukan dengan
mengapresiasi eksistensi akal. Dan tafsir Bil Iqtirani (perpadun
antara Bi al-Matsur dan Bi al-Rayi)

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi

rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:


1.

Apa pengertian Tafsir Iqtirani

2.

Bagaimana Contoh aplikasi Tafsir Iqtirani

BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Tafsir Iqtirani
Pengertian tafsir menurut istilah ada berbagai pendapat
para

ulama,

namun

pada

prinsipnya

sama

yakni

saling

melengkapi, sehingga dapat di simpulkan menjadi dua:


1.

Tafsir dalam arti sempit adalah menerangkan lafadz-lafadz


ayat dan Irabnya serta serta menerangkan segi-segi sastra
susunan al-Quran dan isyarat-isyarat ilmiahnya.

2.

Tafsir dalam arti luas ialah menjelaskan petunjuk-petunjuk alQuran dan ajaran-ajaran hukum-hukum dan hikmah Allah
didalam mensyariatkan hukum-hukum kepada umat manusia
dengan cara yang menarik hati,membuka jiwa, dan mendorong
orang untuk mengikuti petunjuk-Nya.
Tafsir bil iqtirani disebut juga dengan metode campuran
antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bi al-rayi yaitu menafsirkan AlQuran yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir
riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan
pikiran yang sehat. Sedangkan metode tafsir muqarin sendiri
adalah suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir
dengan cara membandingkan ayat Al-Quran yang satu dengan
yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi
dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang
memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah yang sama dan
atau membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis
Nabi

yang

tampak

bertentangan

serta

membandingkan

pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran AlQuran kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir
terhadap ayat-ayat itu dan mengungkapkan pendapat mereka
serta

membandingkan

segi-segi

dan

kecendrungan-

kecendrungan masing-masing. Kemudian menjelaskan siapa


diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan
madzhab,

dan siapa

diantara

mereka

yang

penafsirannya

ditujukan untuk mendukung aliran tertentu dalam Islam di mana


metode Muqarin ini menurut Ridlwan Nasir ditinjau dari segi cara
penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat Al-Quran.

Sedangkan menurut Al Farmawi, adalah membandingkan


ayat dengan ayat yang berbicara masalah sama, ayat dengan
hadits

dengan

menonjolkan

segi-segi

perbedaannya

atau

menafsirkan Al-Quran dengan cara membandingkan pendapat


dari kalangan ahli tafsir mengenai sejumlah ayat Al-Quran,
kemudian mengkaji penafsiran sejumlah penafsir melalui kitabkitab tafsir mereka.
Menurut pendapat Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA Tafsir
muqarin dapat juga dengan membandingkan satu kitab tafsir
dengan kitab tafsir lainnya yakni mengkaji biografi mufassir yang
diperbandingkan

dan

sistematika

serta

metode

yang

ditempuhnya berikut kecendrungan mereka dalam menafsirkan


Al-Quran.
Dengan

demikian

dapat

disimpulkan

bahwa

tafsir

muqarin, dapat ditempuh dengan tiga alternatif, yaitu:


1.

Membandingkan antara sebagian ayat-ayat Al-Quran dengan


sebagian lainnya,dan langkah-langkahnya sebagai berikut:

a.

Menginventarisir ayat-ayat yang mempunyai kesamaan atau


kemiripan redaksi.

b.

Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut.

c.

Mengadakan penafsiran

2.

Membandingkan penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan


kepada yang ditulis para mufassir dengan langkah-langkahnya
sebagai berikut:

a.

Memilih sejumlah ayat-ayat Al-Quran

b.

Menentukan sejumlah mufassir yang akan di komparasikan


pendapat-pendapat mereka tentang ayat-ayat tersebut

c.

Meneliti pendapat para mufassir tersebut dari kitab-kitab


mereka

d.

Membandingkan

kecenderungan-kecenderungan

setiap

mufassir dalam menerapkan metode penafsirannya.


3.

Membandingkan antara satu kitab tafsir dengan kitab tafsir


lainnya dari berbagai segi yang meliputi:

a.

Penyajian fakta yang terdiri dari biografi, latar belakang


penyusunan

dan

karya-karyanya,

kecenderungan

dan

dan

alirannya, metode dan sistematika serta sumber tafsirnya


b.

Evaluasi segi-segi kesamaan dan perbedaannya.

B. Contoh aplikasi Tafsir Iqtirani


Perbandingan ayat-ayat Al-Quran yang mirip secara
redaksional:















10:(


)














(126 : )

Dua ayat tersebut redaksinya kelihatan mirip, bahkan samasama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum muslimin
ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal
berikut. Surat al-Anfal (1) mendahulukan kata dari pada 2)
( memakai kata (3) berbicara mengenai perang badar. Surat Ali
Imran: (1) memakai kata (2) berbicara tentang perang uhud.
Keterdahuluan kata dan penambahan kata dalam
ayat pertama diduga keras sebagai tauhid terhadap kandungan
utama ayat, yakni bantuan dari Allah pada perang badar,
mengingat perang itu yang pertama dan jumlah kaum muslimin
sedikit,

sedangkan

dalam

perang

uhud

tauhid

itu

tidak

diperlukan, sebab pengalaman perang itu sudah ada dan umat


islam sudah banyak dan pemakaian kata disini menandakan
kegembiraan itu hanya bagi sahabat buka kegembiraan abadi
seperti kasus ayat petama.
Bila ditinjau dari sisi kemiripan redaksionalnya antara
ayat-ayat Al-Quran, maka terdapat 8 (delapan) kasus :
a.

Struktur kalimat yang berlawanan


Dalam surat al-Baqarah ayat 58:








Dan dalam surat Al Araf ayat 161:

b.

Penambahan dan pengurangan


Dalam surat Al-Baqarah ayat 57:







Dan dalam surat Ali Imran ayat 117:








Mendahulukan dan mengakhirkan

c.

Dalam surat Al Baqarah ayat 129:











dan dala surat Al Jumah ayat 2:









Tarif dan tankir

d.

Dalam surat Al Baqarah ayat 126:







dan dalam surat Ibrahim ayat 35:




Jama dan tunggal

e.

Dalam surat Al Baqarah ayat 80:









Dan dalam surat Ali Imron ayat 24:









Penggantian huruf dengan huruf lain

f.

Dalam surat Al Baqarah ayat 35:










Dan dalam surat Al Araf ayat 19:








Penggantian kata dengan kata lain
Dalam surat Ali Imran ayat 47:





Dan dalam surat Maryam ayat 20:

g.




h.

Idgham dan tanpa idgham


Dalam surat Al Nisa ayat 115:





Dan dalam surat Al Hasyr ayat 4:




Untuk contoh alternatif yang ketiga adalah perbandingan
antara kitab Tafsir Fi Dhilalil Quran karya Sayyid Quthb dengan
Tafsir Al Kasysyaf karya Az Zamakhsyari sebagaiman yang
pernah dilakukan oleh Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir dimana beliau
berkesimpulan sebagai berikut:

a.

Bila ditinjau dari segi sumber penafsirannya, maka Tafsir Fi


Dhilalil Quran termasuk Tafsir Bi al-Iqtirani, sedangkan Tafsir Al
Kasysyaf termasuk Tafsir Bil Rayi

b.

Bila ditinjau dari segi cara penjelasannya, maka kedua tafsir


tersebut termasuk Tafsir muqarin

c.

Bila ditinjau dari segi keluasan tafsirnya, maka kedua tafsir


tersebut termasuk tafsir bil Ithnabi

d.

Bila ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan,
maka kedua tafsir tersebut termasuk kedalam tafsir Tahlily

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Metode

tafsir

Al-Quran

Tafsir

Bil

Iqtirani

sumber

penafsirannya dengan memadukan antara sumber riwayah yang


kuat dan shahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.
B.

Saran
Dalam memahami al-quran dibutuhkan ilmu yang dikenal

dengan istilah tafsir. Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan


al-Qur'an bukanlah pekerjaan gampang, mengingat kompleksitas
persoalan

yang

dikandungnya

serta

kerumitan

yang

digunakannya. Di dalam makalah ini, telah penulis bahas sedikit

mengenai tafsir Iqtirani, akan tetapi makalah ini masih jauh dari
materi yang sempurna, oleh karena itu penulis memberikan
saran agar pembaca dapat mencari sendiri informasi lebih
lengkap mengenai tafsir.

DAFTAR PUSTAKA
Abdu al-Hay al-Farmawi, Al Bidayah fi al-Tafsir al MaudluI, Mesir:
t.p, 1977.

Az Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulumil Quran, Mesir: Isa al Halabi wa


Syurakauhu.
NATA, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada 2003.
Ridlwan Nasir, Memahami Al-Quran perspektif Baru Metodogi
Tafsir Muqarin, Surabaya: Indra Media, 2003.
Al-Quran merupakan kitab Allah yang terakhir diturunkan ke bumi.
Sebagai kitab penutup, Al-Quran melengkapi dan menyempurnakan kitab-kitab
sebelumnya. Al-Quran terdiri dari ribuan ayat. Akan tetapi, isinya mencangkup
semua aspek-aspek kehidupan di dunia dan akhirat. Dari satu ayat dapat ditarik
beberapa hukum bahkan antara seseorang dengan orang yang lain berbeda
pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan maksud yang terkandung dalam
ayat tesebut.
Perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menyimpulkan ayat sudah
menjadi tradisi dan merupakan rahmat bagi umat manusia. Terjadinya perbedaan
di antara para ulama ahli tafsir dalam menafsirkan Al-Quran di antaranya karena
berbedanya pengetahuan dan kepandaian yang diperoleh ulama ahli tafsir tersebut.
Para ulama ahli tafsir mempunyai berbagai cara, teknik dan metode dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Diantaranya adalah muqqarrin yaitu metode
perbandingan (komparatif).
Selanjutnya, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan metode muqarin dalam penelitian tafsir.
PEMBAHASAN
A. Definisi Metode Muqarin
Tafsir al-Muqarin adalah penafsiran sekolompok ayat al-Quran yang
berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan
ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode
komporatif ialah: (a) membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Quran yang
memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau
memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, (b) membandingkan

ayat al-Quran dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan (c)
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Quran.[1]
Tafsir al-Quran dengan
menggunakan
metode ini
mempunyai
cakupan yang teramat luas. Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu
berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya
dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya.
B. Ciri-ciri Metode Muqarin
Perbandingan adalah ciri utama bagi metode komparatif[2], inilah yang
membedakan antara metode ini dengan metode-metode lainnya. Jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tak dapat disebut
metode komparatif. mufasir dengan metode komparatif dituntut mampu
menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang ia kemukakan untuk
kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak
penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada
pembaca alasan dari sikap yang diambilnya.[3]
C. Ruang Lingkup Metode Muqarin[4]
1. Membandingkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran.
Mufasir membandingkan ayat Al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat
yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
berbeda atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus
yang (diduga) sama.
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :

Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk


(QS : al-Baqarah : 120)

Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah


(QS : al-Anam : 71)
(b) Perbedaan dan penambahan huruf seperti :

Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan
beriman (QS : al-Baqarah : 6)


Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman
(QS : Yasin: 10)
(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :

...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada


mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka (QS. AlBaqarah :129)

...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan


mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (QS. AlJumuah : 2)
(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan marifah (definte noun), seperti :


...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat : 36)

...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha


Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Araf : 200)
(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :

...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari saja. (QS. Al-Baqarah : 80)


...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama
beberapa hari yang dapat dihitung. (QS. Ali-Imran : 24).[5]
(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan
makanlah ... (QS. Al-Baqarah : 58)

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan
makanlah ... (QS. Al-Araf : 161)
(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :

Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami. (QS. Al-Baqarah : 170)


Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami. (QS. Luqman : 21)
(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti

Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan
Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah
sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr : 4)

Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan
Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi
tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventarisasi ayat-ayat alQuran yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang
sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan
persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut
dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan,
dan (4) Melakukan perbandingan.[6]
2. Membandingkan ayat dengan hadis


23-22 .




:




Artinya:
Al-Quran : Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata:
Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan ku bawa
kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku
menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (Qs. an-Naml: 22-23)

Al-Hadis: Tak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua
urusan mereka kepada wanita (Hr. Bukhri).
Sepintas, kedua teks itu tampak kontradiktif, karena al-Quran
menginformasikan tentang seorang wanita yang berhasil yakni Ratu Bilqis dalam
memimpin negerinya, sehingga menjadi aman dan makmur serta seluruh rakyat
tunduk dan patuh di bawah pemerintahannya. Sebaliknya, di dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari itu dinyatakan, bahwa tidak kan sukses suatu bangsa
jika yang memimpin mereka seorang wanita.[7]
Jelas sekali, pemahaman serupa itu merupakan suatu konotasi yang
kontradiktif yang menjurus kepada pendiskreditan kaum wanita yang tak punya
hak sama sekali untuk mengatur Negara. Kecuali Ratu Bilqis yang diinformasikan
oleh al-Quran, sejarah dunia dan juga sejarah peradaban Islam mencatat tokohtokoh wanita yang sukses memimpin Negara. Syajarat al-Durr, misalnya, tercatat
sebagai pendiri kerajaan Mamlk yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai
Asia Barat (1250-1257 M). Demikian pula Ratu Elizabeth II dari Inggris, telah
lebih dari empat dasawarsa memerintah negeri ini.[8]
3. Membandingkan pendapat para mufasir
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun
ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, baik yang
bersifat manqul (al-tafsir al-matsur)maupun yang bersifat rayu (al-tafsir bi alrayi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan
ketelitian al-Quran 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Quran yang
kontradiktif 3) memperjelas makna ayat dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits
yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang
yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik
temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu
pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah
satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal
ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat
dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan
bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan
tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir,
maka pola semacam itu tidak dapat disebut metode muqarrin.[9]

D. Kelebihan dan Kelemahan Metode Muqarin


Kelebihan:
1. Memberikan
wawasan
penafsiran yang relatif lebih luas kepada pada pembaca bila dibandingkan de
ngan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat al-Quran dapat ditinjau dari
berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya.
2. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang
kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang
kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab
atau aliran tertentu.
3. Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui
berbagai pendapat tentang suatu ayat.
4. Dengan menggunakan metode ini, mufassir didorong untuk mengkaji berbagai
ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.
Kelemahan:
1. Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula yang
baru mempelajari tafsir, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya
terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim.
2. Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial
yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini lebih mengutamakan
perbandingan dari pada pemecahan masalah.
3. Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah
dilakukan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru
yang lebih kreatif dan orisinal. Jadi ini hanya kumpulan kitab tafsir dari berbagai
sumber terus disusun menjadi satu kitab.[10]
E. Urgensi Metode Muqarin
Tafsir dengan metode komparatif sangatlah penting terutama bagi mereka
yang ingin melakukan studi lanjut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
luas dengan penafsiran suatu ayat. Dalam era sekarang metode ini sangat
dibutuhkan masyarakat, dikarenakan timbulnya berbagai aliran aliran yang
kadang jauh keluar dari pemahaman Islam. Dengan demikan metode ini amat
penting posisinya, terutama untuk mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional
dan objektif sehinga mengetahui lahirnya suatu penafsiran dan dapat dijadikan
perbandingan dan pelajaran untuk pengembangan tafsir periode selanjutnya.
Seperti penafsiran

di dalam ayat pertama dari surah al-

Lahab ditafsirkan dengan Ab Bakar dan 'Umar dan penafsiran al-Baqarah dengan

Aisyah di dalam ayat 67 dari surah al-Baqarah.[11]Dengan metode ini dapat dikaji
kecendrungan-kecendrungan para mufasir dan latar belakang yang mempengaruhi
mereka.
Dengan menggunakan metode ini dapat diketahui bahwa penyimpangan
penafsiran pada ayat pertama al-Lahab dan 67 al-Baqarah itu berasal dari kaum
Rafidhah yakni salah satu kelompok Syiah yang ekstrim. Mereka disebut
Rafidhah karena menolak dan tidak menggakui kekhalifahan Ab Bakar dan
'Umar seperti telah dinukilkan.
Setelah mengetahui latar belakang penafsiran tersebut, maka kita tidak kaget
bila mereka menafsirkan itu dengan Ab Bakar dan 'Umar, sebab
dari semula mereka sudah apriori menolak kepemimpinan kedua tokoh sahabat
itu, karena keduanya dianggap merampas hak 'Ali untuk menjadi khalifah.
Demikian pula mereka menganggap 'isyah sebagai sapi betina yang
diperintahkan Allah untuk menyembelihnya di dalam ayat 7 surah al-Baqarah itu
karena 'isyah mengangkat senjata dan memimpin perang terhadap 'Ali, khalifah
yang sah dalam pristiwa perang Jamal.[12]
F. Kitab-kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Muqarin
Diantara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah: Durrah atTanzl wa Ghurrah at-Tanwl, karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan
antara ayat dengan ayat, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, karya al-Qurthubiy yang
membandingkan penafsiran para mufassir. Rawi al-Bayn f Tafsr yt alAhkm, karya Ali ash-Shabuniy, Quran and its Interpreters adalah satu karya
tafsir yang lahir di zaman modern ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyoub.[13]
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa metode komparatif
(muqarin) amat penting posisinya terutama dalam rangka mengembangkan
pemikiran tafsir yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran
yang lebih komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu
penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam
mengembangkan penafsiran al-Qur'an pada periode-periode selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Aridh, 'Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : Rajawali Press, 1994.

al-Farmw, Abd al-Hayy, al-Bidyah fi Tafsr al-Maudh'i, Ttp : al-Hadarat


al-'Arabiyyah, 1997.
al-Munawar, Sad Agil Husin, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta
: Ciputat Press, 2002.
Anwar, Rosihan, Pengantar Ulumul Qur'an, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
as-Shib'i, Musthafa, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, terj
Chadijah Nasution, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1998.
Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudh'i, Jakarta : Kalam Mulia, 1990.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushl al-Tafsr, Kuwait : Dar al-Qur'an al-Karm, 1971.
Kholis, Nur, Pengantar Studi al-Qur'an dan al-Hadits, Yogyakarta : Teras, 2008.
Muhlisin, Metode Tafsir al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudhu'i, Surabaya :
IAIN Sunan Ampel, 2010.
Nasir, M.Ridwan, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin : Dalam Perepektif
Pemahaman Al Quran, Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2004.
Salim, Abd Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, 2010.
Sanaky, Hujair A.H, Metode Tafsir : Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna
atau Corak Mufassirin, al-Mawrid Edisi 18, 2008.

[1] Abd al-Hayy al-Farmw, al-Bidayah fi Tafsr al-Maudh'i, (Ttp : al-Hadarat

al-'Arabiyyah, 1997), cet ke-2, hlm 45. Lihat juga Abdul Djalal, Urgensi Tafsir
Maudh'i, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm 69.
[2] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1998), cet ke-1, hlm 67.
[3] 'Ali Hasan al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali
Press, 1994), hlm 76.
[4] Rosihan Anwar, Pengantar Ulmul Qur'an, (Bandung : Pustaka Setia,
2009), cet ke-1, hlm 156. Lihat juga Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur'an dan alHadits, (Yogyakarta : Teras, 2008), cet ke-1, hlm 156. Lihat pula Sad Agil Husin alMunawar, al-Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta : Ciputat Press,
2002), hlm 72-73.
[5] Muhlisin, Metode Tafsir al-Qur'an
: Tahlili, Ijmali, Muqarin,
Maudh'i, (Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2010), hlm 15-16.
[6] Muhlisin, Metode Tafsr al-Qur'an : Tahlili, Ijmali, Muqarin, Maudh'i, hlm
16.
[7] Musthafa as-Shib'i, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundangundangan, terj Chadijah Nasution, (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), cet ke-1, hlm 61.
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 96.

[9] M.Ridwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin : Dalam

Perepektif Pemahaman al Quran, (Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2004), hlm 19.
[10] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 142-144. Lihat
juga Hujair A.H Sanaky, Metode Tafsr : Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin, (al-Mawarid Edisi 18, 2008), hlm 18-19.
[11] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushl al-Tafsr, (Kuwait : Dar al-Qur'an alKarm, 1971), cet ke-1, hlm 87-88.
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, hlm 145.
[13] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsr, (Yogyakarta : Teras, 2010), cet
ke-3, hlm 46.

Anda mungkin juga menyukai