Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ARTI, ASAL USUL DAN MANFAAT TASAWUF

Disusun oleh:
AFRIO IFALDO PELAWI
Malika Syahrani
Septiramayani
Siel Viyani

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ISLAM IBNUSINA BATAM

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Tugas
Makalah “ ARTI, ASAL USUL DAN MANFAAT TASAWUF”.

Penulisan Makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan
tugas mata kuliah Sejarah pendidikan Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yayasan
Ibnu Sina Batam.

Dalam penulisan Makalah ini, saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas Makalah ini sehingga selesai tepat
waktu. Dan tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada bapak. Bayu Mujrimin, M.Pd.I
selaku dosen pembimbing yang telah membimbing saya.

Penulis berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun
kepada pembaca umumnya.

Penulis,

Batam, 6 Maret 2022


DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 1
1.3 Maksud dan Tujuan Masalah............................................................................ 1
..........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1............................................................................. PENGERTIAN TASAWUF
........................................................................................................................2
2.2................................................................................ ASAL USUL TASAWUF
........................................................................................................................2
2.3.................................................................................. MANFAAT TASAWUF
........................................................................................................................4
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN............................................................................................. 8
3.2 SARAN......................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Akhlak tasawuf merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari dalam Pendidikan
Agama Islam. Dengan adanya pembelajaran akhlak tasawuf, mahasiswa diharapkan mampu
mengimplementasikan ilmu serta nilai akhlak yang baik dalam kehidupannya sehari-hari.
Apabila mahasiswa paham akan arti, hakikat, tujuan, serta pengimplementasian akhlak
tasawuf, maka pembelajaran dikatakan berhasil. Namun, dari hasil observasi lapangan yang
dilakukan terhadap mahasiswa masih ditemui beberapa permasalahan, seperti tidak sanggup
melanjutkan kuliah karena tugas perkuliahan yang sangat banyak, merasa jauh dengan teman
karena keterbatasan komunikasi, faktor ekonomi, tidak mendapatkan perhatian orang tua,
minder, atau bahkan yang marak dikalangan mahasiswa adalah rasa malas untuk
melanjutkan perkuliahan karena bermasalah dalam nilai, kehadiran, kurangnya keaktifan
serta kurangnya hubungan baik dengan dosen. Sehingga berakibat prustasi dan putus asa
yang pada akhirnya mahasiswa banyak yang putus kuliah, harapan hidup yang sebenarnya
Allah telah menyiapkan jalan keluar asalkan manusia itu mau berusaha dan berhusnudhon
kepada Allah. Mengapa permasalahan yang di atas ini menjadi hiasan kehidupan? karena
tidak adanya sikap tawakal dalam diri manusia itu sendiri. Dengan tawakal, keputusan-
keputusan yang tidak pantas tentunya tidak akan pernah terjadi, ketika manusia didera
kesulitan yang dahsyat, karena manusia percaya akan esensi Allah disisinya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Arti Tasawuf
2. Asal usul Tasawuf
3. Manfaat Tasawuf

1.3. Tujuan Masalah


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini tidak
lain ialah :
1. Untuk mengetahui Arti Tasawuf
2. Untuk mengetahui Asal usul Tasawu
3. Untuk mengetahui manfaat nfaat Tasawuf

Page | 1
BAB II
PEMBAHASAN

I. PENGERTIAN TASAWUF
Dalam mempelajari ilmu tasawuf kita menemukan banyak teori yang
berkaitan dengan asal usul ajaran tasawuf. Di antara teori yang satu dengan teori yang
lain telah menimbulkan pro dan kontra, sehingga menimbulkan adanya keraguan dan
kecaman terutama bagi kalangan yang anti terhadap praktek ajaran tasawuf. Para tokoh
muslim (yang simpati dan menekuni ajaran tasawuf) mengatakan, bahwa asal usul
tasawuf berasal murni dari ajaran Islam, sementara tokoh-tokoh di luar Islam
berpendapat bahwa ajaran tasawuf bukan murni dari ajaran Islam melainkan pengaruh
dari ajaran dan pemikiran di luar Islam.
Terlepas dari berbagai macam teori yang ada, tulisan ini mencoba merangkum
berbagai pendapat yang ditulis oleh pengkaji tasawuf dan selanjutnya mencoba
memberikan suatu kesimpulan, apakah asal usul tasawuf murni bersumber dari ajaran
Islam atau bukan dari ajaran Islam? Tulisan berikut ini terlebih dahulu menge- mukakan
asal kata dari “tasawuf” berikut pengertiannya, kemudian memaparkan teori-teori asal
usul tasawuf yang berasal dari unsur Islam dan unsur di luar Islam, dan selanjutnya
sanggahan terhadap teori oreintalis tentang asal usul tasawuf.

II. ASAL USUL TASAWUF


Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tasawuf.
Dari berbagai sumber rujukan buku-buku tasawuf, paling tidak ada lima pendapat
tentang asal kata dari tasawuf. Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada perkataan ahl-
shuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin di kalangan orang
Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya
rumah, maka menempati gubuk yang telah dibangun Rasulullah di luar masjid di
Madinah.1

Ahl al-Shuffah adalah sebuah komunitas yang memiliki ciri yang menyibukkan diri
dengan kegiatan ibadah. Mereka meninggal- kan kehidupan dunia dan memilih pola hidup
zuhud. Mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana
(sofa), mereka miskin tetapi berhati mulia. Para sahabat nabi hasil produk shuffah ini antara
lain Abu Darda’, Abu Dzar al Ghifari dan Abu Hurairah.2

Kedua, ada pendapat yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu
domba. Berasal dari kata shuf karena orang-orang ahli ibadah dan zahid pada masa dahulu
menggunakan pakaian sederhana terbuat dari bulu domba. Dalam sejarah tasawuf banyak kita
dapati cerita bahwa ketika seseorang ingin memasuki jalan kedekatan pada Allah mereka

1
Abul “Alaa “Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, (Iskandariyah: Lajnah al Ta’lif wa al-
Tarjamah wa al Nasyr), tt., hlm. 66)
2
Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi, (Cakrawala: Yogyakarta), 2009, hlm. 19

Page | 2
meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
ditenun sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan compang camping ini dengan tujuan agar
para ahli ibadah tidak timbul rasa riya’, ujub atau sombong.3

Ketiga, tasawuf berasal dari kata shofi, yang berari orang suci atau orang-orang yang
mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniaan.4

Mereka memiliki ciri-ciri khusus dalam aktifitas dan ibadah mereka atas dasar
kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Mereka adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.

Pendapat yang keempat mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shaf, yaitu
menggambarkan orang-orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada
Allah dan dalam melaksanakan kebajikan.5 Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa
tasawuf bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Yunani, yaitu sophia, yang artinya
hikmah atau filsafat.6
Menisbahkan dengan kata sophia karena jalan yang ditempuh oleh para ahli
ibadah memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-
sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan jiwa. Contoh
ini pernah dialami oleh Iman al Ghazali dalam mengarungi dunia tasawuf.
Masih banyak pendapat lain yang menghubungkan kata tasawuf dengan
perkataan-perkataan lain yang dapat dirujuk dalam buku-buku tasawuf. Yang jelas dari
segi bahasa terlepas dari berbagai pendapat yang ada, dapat dipahami bahwa tasawuf
adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana,
rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bijaksana serta mengutamakan kebajikan.

Selanjutnya tasawuf dari aspek terminologis (istilah) juga didefinisikan secara


beragam, dan dari berbagai sudut pandang. Hal ini dikarenakan bebeda cara memandang
aktifitas para kaum sufi. Ma’ruf al Karkhi mendefinisikan tasawuf adalah “mengambil
hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan mahkluk”.7 Abu Bakar Al Kattani mengatakan
tasawuf adalah” budi pekerti. Barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu,
berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf”.8 Selanjutnya Muhammad
Amin Kurdi mendefinisikan tasawuf adalah “suatu yang dengannya diketahui hal ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersih- kannya dari yang tercela dan mengisinya

3
Ibid., hlm. 21
4
Alwan Khoiri,et al, Akhlak/Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga), 2005, hlm. 29
5
Yasir Nasution, Cakrawala Tasawuf (Jakarta: Putra Grafika, 2007, hlm. 3
6
Alwan Khoiri, op. cit., hlm. 30
7
AS-Suhrawardi, Awarif al_Ma,rif (Kamisy Ihya’ ‘Ulum al-Din, Singapura: Mar’i), tt, hlm. 313
8
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga), tt., hlm. 376

Page | 3
dengan sifat-sifat terpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah
dan meninggalkan larangannya”.9
Dari kajian sudut bahasa maupun istilah sebagaimana dijelaskan di atas, menurut
Nicholson, bahwa masalah yang berkaitan dengan sufisme adalah sesuatu yang tidak dapat
didefinisikan secara jelas dan terang, bahkan semakin banyak didefinisikan maka semakin
jauh dari makna dan tujuan.10 Hal ini biasa terjadi karena hasil pengalaman sufistik
tergantung pada pengamalan masing-masing tokoh sufi. Namun, menurut Abuddin Nata,
bahwa walaupun setaip para tokoh sufi berbeda dalam merumuskan arti tasawuf tapi pada
intinya adalah sama, bahwa tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan
yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak
yang mulia dan dekat dengan Allah. Atau dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan
yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dan bersama Allah.11
. Dari kesimpulan ini maka kemudian melahirkan beberapa teori tentang asal usul ajaran
tasawuf, apakah ajaran-ajaran tentang pembersihan jiwa itu murni dari Islam atau justru
pengaruh unsur lain di luar Islam. Maka untuk memaknai tujuan dan hakekat tasawuf dalam
Islam, kita harus mengkaji pendapat-pendapat lain tentang teori asal usul ajaran tasawuf,
sebab dari kalangan orientalis Barat masih membuat kesimpulan bahwa ajaran-ajaran
tasawuf dalam Islam, bukan hasil ajaran murni dari ajaran Islam, melainkan pengaruh dari
ajaran luar Islam.

III. MANFAAT TASAWUF

1. Tasawuf Membebaskan Manusia Modern dari Alienasi dan Anomali Tahapan


perkembangan batin manusa yang berkembang di luar pengalaman manusia akan dirinya
dan dunianya, berawal dari kondisi tertentu dan unik. Hal ini menyebabkan terjadinya
perbedaan perspektif. Tanpa perlu berdebat, kita bisa saja mengatakan bahwa sudut
pandang dari atas yang diwakili manusia kontemporer dan manusia primordial, sangat
jauh berbeda dari sudut pandang dari bawah yang tercermin dalam mentalitas manusia
tradisional yang terjatuh. Manusia seperti itu adalah manusia yang berada dalam esensi
yang sesungguhnya. Manusia-jiwa atau manusia “dalam”. Manusia primordial
mengamati dan mengalami dunia ini juga dari dalam, dari perspektif langsung dan
persepsi yang segera muncul. Sementara manusia yang terjatuh mengamati dan
mengalami dunia dari sisi sebaliknya. Karena ia terbuang dari surga maka batinnya
terhijab dari pengalaman langsung dan dari realitas objektif tentang Allah. Dan tiba-tiba
ia mendapati dirinya berada di luar wilayah kenikmatan pengalaman batin. Tema
pengasingan muncul dari kedalaman jiwa manusia modern untuk mengingatkan akan
9
Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub, (Surabaya: Bungkul Indah), tt., hlm.
406
10
Reynold Nicholson, Jalaluddin Rumi, Ajaran dan Pengalaman Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1993,
hlm. 23
11
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 181

Page | 4
kebutuhankebutuhan spiritual yang paling dalam. Kebutuhan tersebut akan terus
menerus mengekspresikan dirinya sebagai frustasi yang tak terpuaskan, seandainya hal
itu tidak juga diindahkan. Dari sudut pandang spiritual, akal telah direduksi oleh satu
piranti mirip komputer yang menyimpan fakta-fakta dan gambar. Intelek diukur dari
banyaknya data dan informasi dan logika serta akal manusia sangat mendominasi intelek
manusia.

2. Tasawuf Menjawab KebutuhanManusia Modern


Dalam upaya memenuhi beberapa kebutuhan manusia modern mengingat begitu
pentingnya tasawuf, maka tasawuf/sufisme tersebut harus dapat mempertahankan
integritas dan kemurnian nya sendiri. Sufisme tersebut harus dapat melawan
kekuatankekuatan yang menyimpang, merubah dan melarutkannya, yaitu kekuatan-
kekuatan dahsyat yang pada saat ini terlihat dimana-mana. Sufisme harus mengabdi dunia
di sekelilingnya sebagai sebuah kristal yang menangkap cahaya dan memantulkannya
kembali ke sekelilingnya. Pada waktu yang bersamaan sufisme harus dapat menyeru
dunia di sekelilingnya dengan bahasa yang dipahami dunia tersebut. Sufisme tidak boleh
membiarkan harapanharapan orang kepadanya tanpa terjawab. Dan ia pun tidak boleh
mengompromikan prinsip-prinsipnya agar lebih populer atau lebih banyak yang
mendengarkannya, karena dengan demikian ia akan hilang dari panggung sejarah dengan
kecepatan yang sama seperti kecepatannya mencapai popularitas tersebut. Untuk
menyajikan sufisme secara serius, melebihi dan melampaui mode dan popularitas yang
bersifat sementara, maka ia harus tetap bersifat tradisonal dan ortodoks menurut
pandangan tradisi sufi. Dan dalam waktu yang bersamaan ia harus dapat dipahami oleh
manusia-manusia Barat dengan kebiasaan-kebiasaan mental yang telah mereka miliki dan
reaksi-reaksi mereka terhadap segala sesuatu yang telah mereka perkembangkan di dalam
diri mereka sendiri. Agar ajaran-ajaran sufisme tersebut dapat benar-benar di terima dan
di praktekkan, maka manusia-manusia modern yang ingin mempelajarinya perlu
menyadari bahwa sesungguhnya mereka dalam keadaan hanyut dan bahwa tradisi suci
adalah tali yang dilemparkan kepada mereka oleh karena kemurahan Allah dan bahwa
dengan tradisi suci itu sajalah mereka dapat menyelamatkan diri mereka. Nasr mengkritik
orang-orang yang mengabaikan peranan positif sufisme dalam bidang-bidang seperti
pemerintahan sampai kepada seni sepanjang perjalanan sejarah Islam. Ia menyesalkan
studi-studi Barat tentang periode modern dalam sejarah Islam yang tetap membisu
mengenai kenyataan tentang terjadinya pembaharaun-pembaharuan penting di dalam
batang tubuh sufisme itu sendiri, khususnya abad 19. Padahal dampak yang di munculkan
gerakan pembaharuan sufisme ini tidak kurang besaenya dari dampak yang diakibatkan
gerakan-gerakan modernis yang western oriented.

3. Tasawuf Memberikan Paradigma Spiritual dan Mistikal


Bagi Nasr, sufisme ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Sufisme telah meniupkan
semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial dan

Page | 5
intelektual Menurut Nasr, pencarian spiritual dan mistikal yang bersifat perenial. Dan ini
merupakan kewajaran dan kebutuhan yang natural dalam kehidupan manusia secara
kolektif. Ketika masyarakat atau suatu kolektivitas manusia berhenti mengakui kebutuhan
yang nyata ini, dan ketika semakin sedikit manusia yang menyusuri jalan mistikal, pada
saat itu pula masyarakat tersebut ambruk ditimpa beban berat strukturnya. Atau
masyarakat itu mencair akibat ketidakmampuan menyembuhkan penyakit-penyakit
rohani, karena masyarakat itu menolak memberikan kepada anggotanya makanan yang
dapat mengenyangkan rohani yang lapar. Karena sisi spiritual yang dimiliki manusia
merupakan fitrah yang ada disetiap jiwa nya oleh karenanya jika bagian tersebut tidak
terpenuhi dengan baik maka akan terjadi ketimpangan didalamnya, dan dalam suatu
masyarakat dibutuhkan juga kesadaran spiritual di sekelilingnya, jika tidak maka dapat
dipastikan akhlak dan system strukturalisasi dimasyarakat tersebut tidak berjalan dengan
baik.

4. Tasawuf Sebagai Terapi Spiritual dalam Menghadapi Krisis Manusia Modern


Tasawuf yang berisi ilmu pengetahuan dan seni pengoabatan penyakit jiwa, sering
berbicara tentang nafsu yang mengajak ke arah keburukan ini. Sebenarnya kata nafs,
yang berarti jiwa atau rohani sering digunakan dalam teks-teks sufi untuk menandakan
unsur suatu jiwa yang lebih rendah ini dan bukan unsur yang lebih tinggi, yang
berpartisipasi dalam perkawinan antara jiwa dan ruh. Bahkan teks-teks sufi yang paling
dihormati tentang cinta dan pengetahuan mengingatkan kita tentang perlunya takut pada
Allah sebelum mampu mencinta dan mengenal Dia. Mereka menekankan bahwa amal
perbuatan tidak dapat dilaksanakan dengan kebenaran cinta, kecuali jika didasarkan pada
rasa takut penuh hormat pada yang Esa yang berbeda dengan makhluk-Nya yang menarik
kita ke arah diri-Nya sendiri bahkan melalui ketakutan pada-Nya. Hal tersebut
memberikan pemahaman bahwa tasawuf memang sebegitu pentingnya, hingga bagian
terdalam dari dalam diri manusia berikut dengan nafs dan keburukannya bisa diatasi jika
ada tasawuf di dalam diri manusia, oleh karena nya menumbuhkan jiwa sufisme di dalam
diri itu sangat dianjurkan. Mengikuti tasawuf berarti mematikan nafsu kedirian secara
berangsur-angsur dan menjadi diri yang sebenarnya, supaya memperoleh kelahiran baru
dan selalu menyadari
bagaimana keadaan seseorang yang berasal dari keabadian (azal) namun tak
pernah melaksanakan hal itu sebelum terjadi perubahan pada dirinya. Itu berarti
seseorang harus membuang jauhjauh tabiat jeleknya sebagaimana ular melepaskan
kulitnya.

5. Tasawuf Sebagai Media untuk Mengisi Kehampaan Spiritual


Manusia Modern Pandangan Nasr tentang sufisme berkaitan dengan teorinya
terdahulu tentang rim dan axis. Ia kemudian menerapkan konsep ini kedalam sufisme

Page | 6
dengan menyatakan bahwa hakikat dunia ini terdiri dari dua aspek: alzhahir(lahir,
outward) dan al-bathin (batin, inward). Menurut Nasr, sufisme memberikan sarana
lengkap bagi manusia untuk mencapai tujuan mulia tadi. Tuhan sendiri memungkinkan
terjadinya perjalanan dari “outward” ke “inward” dengan menurunkan wahyu; wahyu itu
sendiri mempunyai dimensi “lahir“ dan dimensi “batin”. Dalam Islam, dimensi batin atau
esoteris ini sebagian besarnya berkaitan dengan sufisme, meski dalam kontek
“ismeesoterisme Islam juga termanifestasi dalam bentuk-bentuk lain.22 Oleh karenanya
keberadaan tasawuf dengan esensi yang berada dalam tasawuf dan ajarannya sangat
dibutuhkan bagi kekosongan batin manusia modern saat ini, manusia yang berada pada
pinggiran eksitensi nya yang juga kehilangan pengetahuan spiritual akan dirinya dapat
menemukan dan tersadarkan kembali, bahwa dimensi rohani juga perlu terpenuhi
kebutuhan nya. Tasawuf yang mencakup pengamalan yang dapat menangkan dimensi
bathin di dalam diri manusia sangat cocok dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada
manusia modern seperti yang sudah dijelaskan di atas oleh penulis, tasawuf memberikan
penawaran yang luar biasa yang akan menjadikan manusia hidup pada garis yang sudah
ditentukan. Namun pada intinya, Nasr tidak menyarankan agar semua muslim
mempraktekkan sufisme. Bagi muslim umumnya, cukup memadai menempuh kehidupan
sesuai ajaran syariah untuk dapat masuk ke dalam surga kelak. Tetapi, mereka yang
memang ingin mencapai realisasi rohani yang lebih sempurna, maka Islam mempunyai
sarana yang diperlukan itu, yakni sufisme.

Page | 7
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesimpangsiuran teori asal mula
tasawuf sesungguhnya berawal dari keikutsertaan kaum orientalis dalam memahami
sumber ajaran Islam. Mereka terlalu cepat menyimpulkan tanpa mengkaji dahulu ajaran-
ajaran tasawuf dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Obyek kajian mereka tertuju pada ide dan
praktek kehidupan kaum sufi, bukan pada konsep ajaran yang dipegang oleh kaum sufi
yang telah mempunyai landasan normatif di dalam al-Qur’an.
Jika mereka mencoba memahami al- Qur’an dan sejarah asal mula praktek
tasawuf, maka teori mereka yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf dipengaruhi unsur
di luar Islam dengan sendirinya gugur dan tertolak secara akademis. Teori yang dapat
diterima adalah teori yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf murni dari ajaran Islam
bukan pengaruh dari luar Islam. Pemikiran dan praktek tasawuf yang dihasilkan dari
pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits berbeda dengan pemikiran bebas yang
tidak bersumber dari keduanya. Pemikiran yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-
Hadits bersifat liberal, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai rujukan untuk membuat
suatu sebuah grand teori yang terpercaya dalam mengkaji asal usul ajaran tasawuf dalam
Islam.

2. SARAN
Dengan adanya penulisan ini diharapkan kepada para pelajar khususnya mahasiswa dan
ilmuan lainya untuk menggali kajian tasawuf dengan sedalam-ya. Masih banyak asumsi-
asumsi yang diperdepatkan dalam materi Iman ini.

Page | 8
Page | 9
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 181
Abul “Alaa “Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, (Iskandariyah: Lajnah al
Ta’lif wa al-Tarjamah wa al Nasyr), tt., hlm. 66)
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga), tt., hlm. 376
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga), tt., hlm. 376
Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub, (Surabaya: Bungkul
Indah), tt., hlm. 406
Alwan Khoiri, op. cit., hlm. 30
AS-Suhrawardi, Awarif al_Ma,rif (Kamisy Ihya’ ‘Ulum al-Din, Singapura: Mar’i), tt,
hlm. 313
Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi, (Cakrawala: Yogyakarta), 2009, hlm. 19
Ibid., hlm. 21
Reynold Nicholson, Jalaluddin Rumi, Ajaran dan Pengalaman Sufi (Jakarta: Pustaka
Firdaus), 1993, hlm. 23
Yasir Nasution, Cakrawala Tasawuf (Jakarta: Putra Grafika, 2007, hlm. 3

Anda mungkin juga menyukai