Anda di halaman 1dari 29

Aplikasi Wahdatul Wujud dan PAI

Tugas Mata Kuliah


PAI, Psikologi, dan Tasawuf

Dosen Pengampu
Dr. H. Muchlis Usman, M.A.

Oleh
Adi Sudrajat
NIM 15790022

PROGRAM DOKTOR
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2015

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya persembahkan kehadirat Allah swt. Berkat
petunjuk dan pertolongan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Selawat dan salam saya hadiahkan kepada Nabi Muhammad saw., pemimpin
dan teladan umat manusia di seluruh penjuru dunia, serta kepada keluarga,
sahabat, dan para pengikut beliau yang setia.
Makalah dengan judul Aplikasi Wahdatul wujud dan PAI ini disusun untuk
memenuhi tugas dan sekaligus sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses
pembelajaran Mata Kuliah PAI, Psikologi, dan Tasawuf yang dibimbing oleh
Bapak Prof. Dr. H. Mulyadi, M.Pd.I. dan Dr. H. Muchlis Usman, M.A.
Sehubungan dengan itu, saya sangat bermohon kepada beliau untuk memberikan
arahan, bimbingan, dan petunjuk kepada saya untuk perbaikan dan pengembangan
makalah ini sehingga dapat memenuhi standar mutu yang tinggi sebagai sebuah
karya ilmiah.
Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Doktor Pendidikan Agama Islam
Berbasis Studi Interdisipliner Semester I Tahun Akademik 2015/2016, saya
mengharapkan kritik konstruktif dan saran alternatif bagi perbaikan dan
pengembangan makalah ini.
Pada kesempatan ini, saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan
penghargaan yang tinggi kepada dosen pengampu dan rekan-rekan mahasiswa
yang telah berkontribusi dalam pendalaman dan pengembangan makalah ini.
Semoga Allah swt. memberikan balasan kebaikan yang berlipat baik di dunia
maupun di akhirat. mn!

Malang, Desember 2015


Penulis,

Adi Sudrajat
i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
A. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
3. Tujuan Pembahasan ..................................................................................... 2
B. PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
1. Pengetian Wahdatul Wujud.......................................................................... 3
2. Tokoh-tokoh Wahdatul Wujud dan pemikiranya ......................................... 5
a) al-Hallaj .................................................................................................. 5
b) Ibn Arabi ................................................................................................ 7
c) Syeh Siti Jenar ...................................................................................... 10
3. Pendidikan Agama Islam ........................................................................... 16
C. PENUTUP ...................................................................................................... 23
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................... 24

ii

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu ilmu yang dapat membantu
terwujudnya manusia yang berkualitas. Ilmu tasawuf tersebut satu mata
rantai dengan ilmu-ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang
tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut
dinamakan juga ilmu batin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam
menjelaskan hadis Nabi: Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu,
itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah
ilmu hujjah/hukum, atau ilmu bahin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir
itu keluar dari lidah.1
Secara historis, tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini
dipelajari sebagai ilmu, sebelumnya dipelajari sebagai jalan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah suci,
maka kegiatan yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan
diri merupakan naluri manusia. Usaha yang mengarah kepada pensucian
jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf. Tasawuf merupakan suatu
ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan
kalau bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara.
Bertolak dari hal di atas, dalam aplikasinya, tasawuf memiliki
beragam corak konsep dan pemahaman, salah satunya adalah wahdatul
wujud. Wahdatul wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu
wahdah dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan
sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdahtul wujud
berarti kesatuan wujud. Dalam bahasa inggris unity of existence. Akibat
dari keragaman itu, wahdatul wujud menjadi istilah kontroversial diantara
kaum muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud, khususnya, dan
tasawuf pada umumnya, adalah sebentuk penyimpangan dari ajaran Islam
yang murni. Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya
1

Mustafa Muhammad al-Allmah al-Manawi, Faedul Qadr, Jilid IV (Mesir: Sanabun


Maktabah, 1357 H), h. 390.

sebagian sesuatu yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya mereka yang
awam, seraya menerima tasawuf sebagian bagian integral dari Islam. Tapi
bagi yang lain wahdatul wujud adalah kulminasi dari pengalaman mistik
dalam Islam yang dalam beberapa hadis Nabi Saw disebut sebagai ihsan.2
Dari sedikit pemaparan diatas penulis berusaha menguraikan dan
menjelsakan apa yang dimaksud dengan wahdatu wujud, tokoh-tkoh dari
wahdatul wujud, dengan berbagai keterbatasan, diharapkan makalah ini
dapat menjawab, atau sekurang-kurang memberikan kontribusi pencerahan
terhadap tema wahdatul wujud dengan pendidikan agama Islam yang
masih menjadi persoalan di tengah masyarakat Islam.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
a) Pengertian Wahdatul Wujud?
b) Tokoh-tokoh Wahdatul Wujud dan pemikirannya?
c) Pendidikan Agama Islam?
3. Tujuan Pembahasan
Berdsarkan rumusan masalah diatas maka penulis membuat
tujuan pemabahasan sebagai berikut:
a) Menjelaskan Pengertian Wahdatul Wujud
b) Menjelaskan Tokoh-tokoh Wahdatul Wujud dan pemikirannya
c) Menjelaskan Pendidikan Agama Islam

Harun Nasution, Falsafah dan Misistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010),

h.92

B. PEMBAHASAN
1. Pengetian Wahdatul Wujud
Secara bahasa wahdatul wujud terambil dari bahasa Arab yang
terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada.3 Wahdat al-wujud
( (berarti kesatuan Wujud. Paham ini adalah lanjutan dari faham
hulul.4 Paham wahdatul wujud merubah sifat nasuf yang ada dalam Hulul
menjadi Khalaq ( : makhluk) dan sifat Lahut menjadi Haq ( :
Tuhan). Keduanya (Khalaq dan Haq) menjadi suatu aspek, dimana
Khalaq sebagai aspek disebelah luar, dan Haq sebagia aspek sebelum
dalam. Kata Khalaq dan Haq merupakan sinonim dari Al-ard dan AlJauhar dan juga dari Al-Zahir(lahir, dalam) dan Al-Batin (batin,
dalam). Aspek Ard dan khalaq mempunyai sifat kemakhlukan, dan AlJauhar dan haq mempunyai arti keTuhanan. Sehingga setiap yang
berwujud pasti memunyai sifat kemakhlukan dan sifat keTuhanan.5
Dalam Hamka wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya
mahluk adalah ain wujudnya kholik. Pada hakikatnya tidaklah ada faraq
(perbedaan) diantara kedunya. Kalau dikatakan berlainandan berbedaujud
mahluk dengan wujud khalik, itu hanya lantaran pendeknya faham dan
singkatnya akal dalam mencapai mengetahi hakekat.6
Sementara kalangan ulama klasik mengartikan wahdat sebagai
sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil.
Selain itu kata wahdat digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik
sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan
forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
3

Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, ( Jogjakarta :


Multi karya grafika, Krapyak, 1998)
4
Harun Nasution, Falsafah dan Misistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010),
h. 75
5
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), h. 275.
6
Hamka, tasawuf, perkembangan dan pemurniannya, (jakarta : PT Pustaka, 1983) , h. 154

Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang digunakan para Sufi,
yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu
kesatuan wujud.7
Selain itu, wahdatul wujud dalam mistisme Islam atau tasawuf
falsafi juga kerap di sebut atau disamakan dengan Panteisme. Panteisme
adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan dan makhluk itu satu. Salah
satu konsep keTuhanan yang dulu dianut oleh banyak orang pandangan
bahwa Allah adalah segalanya dan semua orang, dan segala sesuatu adalah
Allah.8 Disamping Tuhan itu transenden secara mutlak dalam kaitannya
dengan semesta, semesta tidak terpisah dariNya.9
Disebut wujud itu karena hanyalah satu, walaupun kelihatannya
banyak. Wujud yang satu itu berkulit dan berisi, atau ada yang mazhar
(kenyataan lahir) dan ada yang batin. Ataupun semua benda-benda yang
ada ini, sebenarnya adalah merupakan pernyataan saja daripada wujud
yang hakiki, dan wujud yang hakiki itulah yang disebut Allah. Wujud itu
mempunyai tujuh martabat, namun hakikatnya satu. Martabat tujuh itu : (a)
Ahadiyah (hakikat sejati dari Allah), (b) Wahdah (hakikat dari
Muhammad). (c) Wahidiyah (hakikat dari Adam), (d) Alam arwah
(hakikat dari nyawa). (e) Alam mitsal (hakikat dari segala bentuk), (f)
Alam ajsam (hakikat tubuh), (g) Alam insan (hakikat manusia). Semuanya
berkumpul pada Ahadiyah (itulah Allah dan itulah Aku).10
Teori wahdatul wujud ini menggambarkan penciptaan alam
semesta

sebagai hasil penciptaan

alam semesta sebagai hasil dari

kecintaan Tuhan untuk berkarya. Melalui karyanya Tuhan akan


mengetahui penampakannya dalam wujud yang mampu yang mampu
menyandang semua sifatNya. Wujud tersebut bukanlah wujud baru dalam
7

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 247.
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, & Kebatinan, (Jakarta: Lentera Basritama,
2004), hl. 87
9
Seyyed Hossein Nasr, Tiga mahdab utama filsafat Islam, trjmhn maimun syamsuddin, (
Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), h.194
10
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
(Surabaya: Al Ikhlas, 1980), h. 76.
8

pengetahuan ilmu Tuhan, melainkan telah bersatu denganNya semenjak


zaman ajali dalam nafasNya. Penciptaan bukanlah mengadakan sesuatu
yang sebelumnya tidak pernah ada. Ia hanya sekedar penampakan apa
yang telah ada dalam diri Tuhan.11 Dan inti ajaran wahdatul wujud
menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat. Maksudnya seluruh
yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya
bergantung pada Tuhan sang pencipta. Yang tampak hanya bayang-bayang
dari sang Tuhan.
2. Tokoh-tokoh Wahdatul Wujud dan pemikiranya
a) al-Hallaj
al-Hallaj memiliki nama lengkap Abu al-Mughis al-Husain
ibn Mansur ibn Muhammad al Baidawi. Cucu dari Muhammad yang
mana sebelum kakeknya ini masuk Islam, kakeknya adalah pemeluk
agama Majusi penyembah api. Namun juga ada yang mengatakan
bahwa al-Hallaj ini keturunan dari Abu Ayyub, salah satu sahabat Nabi
Muhammad saw.12 Dari literature lain al-Hallaj ini memiliki nama
lengkap Husein bin Mansur al-Hallaj. Lahir pada tahun 244 H atau 858
M di salah satu kota kecil Persia, yakni kota Baidha.13
Masa kecilnya ia habiskan di kota Wasith dekat dengan
Bagdad sampai usia 16 tahun. Diusia 16 ini ia mulai meninggalkan
kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada seorang Sufi besar dan
terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustur di negri Ahwaz. Kemudian
setelah belajar di negri Ahwaz ia pergi ke Bashrah dan belajar kepada
Amr al-Makki. Yang selanjutnya pada tahun 264 H. ia melanjutkan
belajarnya kepada al-Junaid di kota Baghdad yang merupakan seorang
sufi besar pula. Selain besar keinginannya mempelajari ilmu kepada
tokoh-tokoh Sufi besar dan terkenal, ia juga telah menunaikan ibadah
Haji sebanyak tiga kali. Dari sini jelas tidak diragukan bahwa
11

Abu ala, afifi dalam M.Subkhan Ansori, filsafat ilmu antara ilmu dan kepentingan,
(kediri: pustaka azhar, 2011), h. 253
12
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008),166.
13
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf,(Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2011), Cet X, h. 242.

pengetahuan tentang ajaran-ajaran tasawuf tidak diragukan. Ketika tiba


di mekah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri
untuk bersatu dengan Tuhan, pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj
tealah memulai pemikiran-pemikirannya tentang bagaiman menyatu
dengan Tuhan. Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan
Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada orang lain, ia justru
dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam oleh pengusa Mekah
untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut membawanya untuk
kembali ke Baghdad.14
Al-Hallaj tercatat pernah diusir lebih dari lima puluh kota
karena Paham hulul yang dibawanya. Ia juga harus bolak- balik
merasakan gelapnya kehidupan dibalik jeruji besi Penjara. Sehingga
pada ahirnya al-Hallaj harus rela disalib dan dieksekusi mati secara
brutal oleh pemerintah dinasty abbasiyah, yang saat itu tampuk
kekuasaanya dipegang oleh kholifah al-Muqtadir. Ia dieksekusi secara
sadis karena mempertahankan pendirian tasawufnya.15
Ia merupakan seorang sufi yang memperkenalkan teori alHulul dalam ajaran tasawufnya. Hulul sebagaimana yang dijelaskan
oleh Abu Nasral-Thusi dalam al-Luma ialah faham yang menyatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.16 Teori ini merupakan pemicu terbentuknya
teori panteisme Ibn Arabi, yang keduanya memepunyai kesamaan
ideologi. Keduanya merupakan respon terhadap raibnya kesetraan
antara. Interaksi al-Hallaj merupakan bentuk perjuangan rtnis untuk
mendapatkan kesamaan hak. Jika antara Tuhan dan manusia saja
terdapat sisi kesamaan, maka bagaimana mungkin memebeda-bedakan
14

M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Miftahus Sufi, h. 167


Muhammad Zaairul Haq, al-Hallaj : Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan
(Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2010), h. 28.
16
Abu Nasr Sarraj al-Thusi, al-Luma Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, terj .Wasmukan
dan Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), h. 871.
15

golongan? Setiap manusia dari golongan manapun pasti mempunyai


keserasian dengan Tuhan.17
b) Ibn Arabi
Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad
Ibnu Arabi al Thai al Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu Arabi
dalam Fihrist (katalog karya-karyanya). Orang-orang sezamannya,
khususnya Sadruddin al Qunawi memanggilnya AbuAbdullah.
Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai Ibnu Arabi.
Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat, sebagian
mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini
juga berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh
Andalusia lainnya yang terkenal, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn
Arabi (1076-1148), kepala hakim (Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu Arabi
belajar pada sepupu dari tokoh ini.18
Dari nama lengkap tersebut kemudian oleh orang-orang
setelahnya terutama yang mengaguminya Ia diberi gelar, antara lain :
Muhyi-Din (Penghidup Agama) dan Syaikh al Akbar (Doktor
Maximus). Lalu banyak penulis yang menggabungkan dua gelar itu
menjadi : Syaikh al Akbar Muhyidin Ibnu alArabi. Dalam banyak
penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn alArabi
(dengan Al), IbnuArabi (tanpa al) ataupun IbnArabi saja. Ibnu Arabi
dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 m,
di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia
diperintah oleh Muhammad Ibnu Said Ibnu Mardanisy.19
Dalam bidang tasawuf Ibn Arabi pernah belajar kepada
beberapa tokoh pada masanya, di antaranya: Musa bin Umran alMiratliy, Ibn Abbas al-Uryaniy, Abu Abdullah Mujahid, Abu Abdullah
17

M.Subkhan Ansori, filsafat ilmu antara ilmu dan kepentingan, (kediri: pustaka azhar,
2011), h. 219
18
Stephen Hirtenstein, Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual
Syaikh al Akbar Ibnu Arabi, terj. Tri Wibowo (Jakarta : Murai Kencana, 2001) h. 43.
19
Kautsar Azhari Noer, Ibn AlArabi, Wadatul wujd dalam Perdebatan (Jakarta
:Paramadina, 1995 ) h. 17

Qasum, Abul Hajjaj al-Syibrabalsiy. Di antara guru-guru spiritual Ibn


al-Arabi terdapat dua wanita lanjut usia : Yasamin (sering pula disebut
dengan Syams) dari Marchena dan Fatimah dari Cordova. Ia sangat
mengagumi kedua wanita itu dan mengakui jasa mereka dalam
memperkaya kehidupan spiritualnya. Pada perjalanannya tahun
590/1193 dia mengadakan perjalanan itu pertama kali Ibn al-Arabi ke
semenanjung Iberia. Di sana dia belajar Khal al-Na Laya oleh Ibn
Qasi, pemimpin sufi yang melakukan pemberontakan terhadap dinasti
al-Munabbitin di Algerve. Ia kemudian menulis karya dengan berbagai
komentar. Dan yang sama ia juga mengunjungi Abd al-Aziz alMahdawi, dengan dikirimnya ruh al-Quds, al-Kinani, guru alMahdawi, dengan ajaran al-Kumi dan al-Mawruri.20
Ajaran sentral ibn arabi adalah tentang wahdatul Al-wujud
yang istilahnya bukan berasal dari ibn arabi sendiri melainkan berasal
daai ibnu taimiyah tokoh yang paling keras dalam mengecam dan
mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu taimiyah telah berjasa
dalam mempopulerkan wahdatul al-wujud ke dalam masyarakat islam
meskipun tujuannya negatif.21
Tentang kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud) yaitu faham
bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan
wujud .Menurut faham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua
aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam .Aspek luar disebut
makhluk(al- Khalq) aspek dalam disebut Tuhan (al haqq). Menurut
faham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam
(Tuhan)sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam
tersebut.22
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit
ditangkap. Ibnu Arabi memberikan ilistrasi tentang bagaimana
20
21

Ibnu Arabi, Relung Cahaya, ( Jakarta; Pustaka Firdaus, 1988), h. 5


Rosihan Anwar. Ilmu tasawuf , (Bandung, Pustaka Setia. 2000) h.145

22

Jamil,M.Cakrawala tasawuf:sejarah ,pemikiran dan kontekstualitas(Jakarta:GP


Press,2007)h.109

hubungan antara tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya.


wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia
akan menjadi banyak. Segala macam benda dan mahluk yang terdapat
di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat) tuhan.23 Faham wahdat
al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq makhluk dan lahut menjadi
haq Tuhan. Khalq dan haq.24 adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek
yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut
haq.25
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn Arabi adalah
pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang
mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat
disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak
dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and
existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan
bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu : Bahwa semua yang
ada adalah zat tunggal, Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam
bagiannya.26
Sebagaimana doktrin doktrin beliau dalam kitab Futuhad AlMakkiyah dan Fushush Al-Hikam esensi KeTuhanan bagi ibnu Arabi
adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1)
sebagai esensi murni,tunggal dan tanpa atribut( sifat); dan (2) sebagai
esensi

yang

dikaruniai

atribut.Tuhan,karena

dipandang

tidak

beratribut,berada di luar relasi dan karenanya juga di luar pengetahuan.


23

Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006),

h. 36.
24

Kesatuan antara haq dan al-khalq disini bukan kesatuan dalam wahdah madiyah
(kesatuan materi), bukan bersatunya mahluk dengan tuhan, hingga mengorbankan adanya dzat
tuhan. Bahwa dzat yang sesungguhnya wujud yang hakiki hanyalah wujud allah semata.
Sedangkan wujud selain Allah atau wujud mahluk hanyalah wujud relative yang sepenuhnya
bergantung kepada wujud yang hakiki.sebagaimana dalam al-quran; wahai umat manusia,
kalian adalah fuqara terhadap allah, dan allah-lah yang maha kaya lagi maha terpuji.(Q.S. AlFathir: 15)
25
Harun Nasution, Falsafah dan Misistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010),
h. 92
26
Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut tradisi Syariah Sufisme, cet.1,(Jakarta;
Grafindo Persada, 1997), h.168.

Dalam esensi-Nya Tuhan terbebas dari penciptaan,tetapi dalam


keTuhanan-Nya,Tuhan membutuhkannya. Eksistensi Tuhan adalah
absolut, ciptaannya ada secara relatif,dan yang muncul sebagai relasi
realitas adalah wujud nyata yang terbatasi dan terindividualisasi.
Karenanya segala sesuatu adalah atribut Tuhan dan dengan demikian
semua pada akhirnya identik dengan Tuhan,tanpa memandang bahwa
semua itu sebenarnya bukan apa apa.27
Ibn Arabi memandang manusia dan alam sebagai cermin
yang memperlihatkan Tuhan dan berkata bahwa sang penerima berasal
dari nol sebab ia berasal dari emanasi-Nya yang paling suci karena
seluruh kejadian (eksistensi) berawal dan berakhir bersama-Nya:
kepada-Nya ia akan kembali dan dari-Nya ia berawal.28 Dengan kata
lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud
Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai
wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan.
c) Syeh Siti Jenar
Sebagaimana kisah hidupnya yang diliputi kisah-kisah
kontroversial, asal usul tokoh yang bernama asli Syaikh Datuk Abdul
Jalil yang masyhur dikenal dengan nama Syaikh Lemah Abang, Syaikh
Jabarantas, Syaikh Sitibrit, Pangeran Kajenar, atau yang termasyhur
sebagai Syaikh Siti Jenar ini memang tergolong kontroversial dan
aneh. Menurut Babad Demak dan Babad Tanah Jawi, bahwa asal-usul
Syaikh Lemah Abang adalah seekor cacing yang berubah menjadi
manusia setelah mendengar wejangan rahasia Sunan Bonang kepada
Sunan Kalijaga diatas perahu ditengah laut.29 Sedangkan menurut D.A
Rinkes

dalam

naskah

tulisan

tangan

milik

Raden

Ngabehi

27

Ali Mahdi Khan, Dasar dasar Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang pemikiran,
(Bandung :Nuansa,2004). h,147
28
Ali Mahdi Khan, Dasar dasar Filsafat Islam, h. 148
29
Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan, (Tangerang:
Transpustaka, 2011), h. 172

10

Soeradipoera, mengatakan bahwa Syaikh Lemah Abang sejatinya


adalah Abdul Jalil putera dari Sunan Gunung Jati.30
Kemudian, menurut Serat Walisana, Syaikh Lemah Abang
sejatinya adalah seorang tukang sihir bernama San Ali Anshar, yang
tidak diterima berguru kepada Sunan Giri, namun tetap berusaha
memperoleh ilmu rahasia dari Sunan Giri. Semnetara itu, menurut
cerita lisan yang kebenarannya diyakini oleh para penganut tarekat
Akmaliyah, tokoh Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar adalah
putera Ratu Cirebon yang ditugasi menyiarkan agama Islam di seluruh
tanah Jawa dengan membuka pedukuhan-pedukuhan yang dinamai
Lemah Abang, yang tersebar dari wilayah Banten di barat sampai
Banyuwangi di timur.31
Sewaktu memasuki usia dewasa, ia pergi menuntut ilmu di
Persia dan tinggal di Baghdad selama kurang lebih 17 tahun. Ia
berguru kepada seorang Mullah Syiah Munthadar (Syiah Imamiyah)
dan menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan agama.32 Menurut
cerita tutur dikalangan penganut tareka Akmaliyah, orang Syiah
Munthadar tersebut bernama Abdul Malik Al Baghdadi dan kelak
menjadi mertua Syaikh Lemah Abang. Rupanya selama menuntut ilmu
di Baghdad, Syaikh Abdul Jalil lebih berminat mendalami ilmu
tasawuf sehingga ia sangat mendalam penguasannya dalam ilmu
tersebut. Bahkan karena ketertarikannya terhadap ilmu tersebut, ia
berguru kepada Syaikh Ahmad yang menganut aliran tarekat
Akmaliyah yang jalur silsilahnya sampai kepada Abu Bakar AsShiddiq ra.33

30

D.A Rinkes, Nine Saint of Java, (Kuala Lumpur : Malaysian Sociological Research
Institute,1996), h. 27
31
Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan ,h. 172
32
Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan ,h. 172 dan
Kandito Argawi, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar ,(Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2012),
h. 45-46
33
Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan ,h. 173

11

melalui pergumulannya di Baghdad tersebutlah dalam


berbagai disiplin ilmu, menjadikan segala sesuatu yang dikeluarkannya
(paham yang dimilikinya), cenderung berbeda dari segala bentuk
ajaran agama Islam yang lazim pada zaman tersebut. Sebab, menurut
penulis, ajaran Islam yang ada di Nusantara kala itu, utamanya yang
dianut oleh kalangan istana, lebih cenderung ke arah Islam syariat
belaka. sehingga ajaran dari Syaikh Siti Jenar ini dari luarnya sedikit
berbeda dengan apa yang diajarkan oleh para wali, sebab Syekh Siti
Jenar mencoba memformulasikan ajaran tasawuf dengan filsafat hidup
yang menjadikan ajarannya agak berbeda dengan kelaziman yang ada
pada waktu itu. Bahkan sangat dimungkinkan pemikiran yang ada
tersebut sudah ada pada dirinya ketika dia belajar di Baghdad yang
diketahui pada masa itu (abad ke-16) merupakan pusat peradaban ilmu
pengetahuan.34
Tuhan dalam pemahaman Syeikh Siti Jenar tidak akan bisa
didefenisikan dengan sempurna, karena pemahaman manusia maupun
bahasa yang digunakan oleh manusia tidak akan mampu mengungkap
esensi tuhan. Namun secara garis besar, dalam pandangan Syekh Siti
Jenar, bahwa Tuhan adalah Dzat yang melingkupi alam materi dan
alam jiwa sekaligus. Sehingga wujud Tuhan tidak mampu diindera
oleh manusia dan makhluk lain yang diciptakan olehNya. Indera
manusia hanya bisa digunakan untuk mengindera hal-hal yang
berwujud materi saja, yang sangat terbatas jumlahnya. Dzat Tuhan
yang juga melingkupi alam jiwa dan alam esensi tak akan mampu
diserap oleh indera. Maka dengan demikian, pemaknaan tentang Tuhan
tidak akan mampu menunjukkan kesejatian Tuhan. Oleh karena itu,
sangat wajar bila orang-orang yang gemar melakukan perjalanan
spritual untuk mencari esensi Tuhan, kemudian enggan untuk
memaknai Tuhan itu sendiri. Sang Buddha Sidharta Gautama
34

Kandito Argawi, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar ,(Yogyakarta: Pustaka


Pesantren. 2012)

12

misalnya, adalah salah seorang yang melakukan praktek suluk


(perjalanan spritual, orang yang mempraktekkannya disebut sebagai
salik) yang enggan memaknai wujud Tuhan itu sendiri. Bahkan, para
nabi, para wali dan para salik lainnya pun juga enggan untuk
memaknai Tuhan. Kebanyakan dari mereka hanya menunjukkan
indikasi adanya Tuhan berdasarkan sifat-sifat dan Kedudukan tuhan di
atas makhluk-makhlukNya. Sehingga memang Tuhan itu sendiri tak
dapat didefenisikan secara mendasar, sebab pemahaman maupun
bahasa yang dugunakan oleh manusia tidak akan pernah mampu untuk
mengungkapkan esensi dan kesejatian dari Tuhan itu sendiri.35
Kemudian mengenai hubungan Tuhan dengan makhluk
ciptaan-Nya, bahwa manusia dan makhluk lainnya dalam kacamata
Syekh Siti Jenar adalah bagian dari Tuhan. Sepertinya, yang dimaksud
sebagai bagian dari Tuhan ini adalah bahwa materi maupun jiwa yang
dimiliki oleh manusia adalah sebagian kecil dari materi dan esensi
Tuhan. Sebab dalam kitab ajaran agama Islam (Alquran) dikatakan
bahwa Tuhan meniupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia pertama
(Adam), sehingga dapat dikatakan manusia adalah bagian dari Tuhan
itu sendiri. Sehingga tidak salah jika materi dan jiwa pada alam ini
disebut sebagai makhluk, sebab mereka adalah makhluk baru yang
timbul dari keqadiman Tuhan.36
Pandangan diatas, jika dilihat lebih lanjut lagi, bahwa
pandangan-pandangan yang dilontarkan oleh Syaikh Siti Jenar ini
memang sangat berbeda dengan kelaziman karena disebabkan oleh
pergumulan pencarian ilmu pengetahuannya yang dilakukan di
Baghdad yang pada saat itu merupakan sentral dari peradaban Islam,
dimana ilmu tasawuf sangat dominan dalam setiap kajian pengetahuan.
Ditambah lagi dengan adanya pengaruh ilmu filsafat ke dalam ajaran
tasawuf tersebut. sehingga faham ketuhanan yang dipegangi oleh
35
36

Kandito Argawi, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar , h. 69-70


Kandito Argawi, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar , h. 70

13

Syekh Siti Jenar tersebut, yang sebelumnya diformulasikan antara


ajaran tasawuf yang dipadukan dengan ilmu filsafat dan logika,
menimbulkan ketidaklaziman dalam masyarakat umum atau awam.
Karena ajaran yang semula rahasia tersebut yang didasarkan pada
pengetahuan intuitif menjadi kian terbuka dengan pembahasan yang
filosofis. Sebab baginya, pengetahuan makrifat (gnostik) yang bersifat
supra-rasional tidak harus dijabarkan dengan sistem isyarat (kode)
yang bersifat mistis dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akal
sehat. Sebaliknya pengetahuan tersebut seharusnya dijelaskan secara
rasional dan bisa diterima oleh akal.37
Selain itu, pandangan-pandangan dari Syaikh Siti Jenar ini
juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Ibnu Arabi dan Al-Hallaj.
Bahwa segala sesuatu yang diungkapkan oleh Syekh Siti Jenar kala itu
jelas sangat dipengaruhi oleh kedua tokoh tersebut. Dimana keduanya
juga terkenal dengan ajaran tasawuf yang menggunakan pendekatan
ilmu filsafat dan logika. Sehingga ketika hal tersebut dibawa ke
kalangan masyarakat umum atau awam, maka akan dengan serta merta
menimbulkan sebuah kesalahpahaman yang kemudian menjadi titik
balik dari ajarannya.38
Bahkan Sunyoto lebih memperincinya lagi dalam tulisannya
tersebut bahwa Syaikh Siti Jenar adalah seorang penganut tarekat
Akmaliyah dan tarekat Syathariyyah. Dari tarekat Akmaliyah itulah
Syaikh Siti Jenar mengungkapkan ajarannya mengenai pandangannya
tentang Tuhan. Sebab pada masa silam, tarekat Akmaliyah ini jiga
dianut dan diamalkan oleh kedua tokoh sufi yang disebutkan
sebelumnya, yakni Al-Hallaj dan Ibnu Arabi.39 Sedangkan dalam
tarekat Syathariyaah sendiri, dalam ajarannya tentang ketuhanan,
hampir sama dengan paham wahdatul wujud. Dimana Tuhan dan alam
37

Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan. h. 174-175


P. J Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam
Sastra Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, (Gramedia, Jakarta. 1991)
39
Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan. h. 175
38

14

adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, namun
lebih menekankan pada transendennya Tuhan dengan alam.40
Sebagaimana ajaran Al-Hallaj tentang hulul, sepertinya
Syaikh Siti Jenar juga mengajarkan bahwa penciptaan alam semesta ini
tidak lain dikarenakan Allah ingin menyaksikan diri-Nya di luar diriNya sebagaimana bunyi dari hadits qudsi berikut, yang artinya: Aku
adalah perbendaharaan harta yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal
maka Aku menciptakan makhluk. 41
Bahwa karena semua yang ada adalah Dzat Allah semata
dalam pandangan Syekh Siti Jenar, maka saat Allah menciptakan alam
semesta, tidaklah dengan Dzat lain melainkan dengan Dzat-Nya sendiri
(atau dengan kata lain terjadi proses emanasi di dalamnya, sebgaimana
teori Al Farabi dan juga Ibnu Arabi tentnag emanasi ini). Dimana lewat
ciptaan-Nya ini, Allah kemudian menyaksikan diri-Nya sendiri.
Dengan pandnagan yang demikian, sebagaimana juga Ibnu Araby,
Syaikh Siti Jenar sepertinya meyakini bahwa di dalam semua ciptaan
Tuhan (khalq), tersembunyi anasir sang pencipta (Haq). Dimana dalam
hal ini khalq disebut sebagai yang dzahir dan Haq disebut yang bathin.
Sehingga, khalq adalah wujud yang tergantung pada wujud Tuhan
yang mutlak. Tanpa wujud yang mutlak dari Tuhan, tidak akan ada
khalq yang maujud. Artinya bahwa yang memiliki wujud yang hakiki
dalam pandangan Syaikh Siti Jenar ini adalah Tuhan, sedanagkan
khalq (ciptaan) hanyalah merupakan bayangan maya dari tuhan itu
sendiri.42
Ajaran Syaikh Siti Jenar ini, yang di pulau Jawa dikenal
dengan

sebutan

manunggaling

kawula

lan

gusti,

sejatinya

menanamkan suatu pemahaman ketuhanan yang dapat dikatakan


sebagai ajaran yang menyatakan bahwa semua makhluk di dunia ini
40

Aziz Masyhuri, Ensiklopedia 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf, (Surabaya: Imtiyaz,


2011),h. 291
41
Mustofa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1979), h. 223
42
Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan. h. 175

15

pada hakikatnya sama di hadapan Tuhan, baik dia seorang raja, wali,
atau fakir miskin. Karena mereka semua adalah hijab dari Tuhan.
Itulah sebabnya, meskipun manusia berkedudukan sebgaai raja atau
pejabat lainnya, jika tidak mengetahui hakikat sejati dari kehidupan,
maka mereka akan jatuh ke dalam kekosongan ukhrawiah. Sebaliknya,
meski orang tersebut di hadapan manusia yang lain adalah hina papa,
semisal pemulung atau para pengemis, jika mereka telah waskita dan
memiliki pemahaman yang utuh tentang hakikat kehidupan yang sejati,
dimana telah memahami betul makna ketunggalan dari khalq (ciptaan)
dan Haq (pencipta) tadi, maka mereka akan memperoleh kehidupan
yang abadi.43
Manusia yang hidup di dunia ini bersifat mayit atau mati,
sehingga kehidupan yang ada sekarang ini bukanlah kehidupan sejati
karena masih dihinggapi oleh kematian. Hidup sejati adalah tak
tersentuh oleh kematian dalam pandangan Syaikh Siti Jenar.44
Sebagaimana apa yang dimaksudkan oleh Syaikh Siti Jenar tentang
ajarannya tentang Tuhan, Tuhan tidak butuh tempat tinggal, tamanNya merupakan tempat kembali hamba-hamba-Nya. Namun Dia tidak
ada di dalam ataupun di luar taman-Nya. Sebab hamba menyatu
dengan Tuhan, hidup seorang hamba tidak pernah terpisah dari Tuhan.
Sehingga diri pribadi yang sejatinya ada adalah jika hamba tersebut
betul-betul hidup.45
3. Pendidikan Agama Islam
Dalam bahasa Arab pengertian pendidikan, sering digunakan
beberapa istilah antara lain, al-talim, al-tarbiyah, dan al-tadib, al-talim
berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengetahuan
dan ketrampilan. Al-tarbiyah berarti mengasuh mendidik dan al-tadib

43

P. J Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam


Sastra Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, (Gramedia, Jakarta. 1991)
44
Ahmad Chojim, Syekh Siti Jenar: Makna Kematian, (Jakarta : Serambi, 2004), h.22-23
45
Ahmad Chojim, Syekh Siti Jenar: Makna Kematian, h. 33

16

lebih condong pada proses mendidik yang bermuara pada penyempurnaan


akhlak/moral peserta.46
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi berpendapat bahwa istilah
tarbiyah yang paling tepat untuk menggambarkan pengertian pendidikan.
Istilah tarbiyah bisa dilacak dari tiga asal-usul kata : pertama berasal dari
kata raba-yarbu yang artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, berasal dari
kata rabiyayarba dengan wazn khafiya- yakhfa artinya menjadi besar.
Ketiga, berasal dari kata rabba-yarubbu dengan wazn madda-yamuddu
artinya memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan
memelihara.47
Abdurrahman al-Bani juga memperkuat pendapat al-Nahlawi.
Dengan berlandaskan pada pendapat al-Nahlawi, ia mengatakan bahwa
pendidikan terdiri atas empat unsur. Pertama, menjaga dan memelihara
fitrah anak menjelang baligh. Kedua, mengembangkan seluruh potensi
dan kesiapan yang beragam. Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan
potensi menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya.
Keempat, proses ini dilaksanakan secara bertahap.48
Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 ternyata
tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini
dikarenakan : a) banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai
kegiatan pendidikan, b) luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan.49
Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan
dengan ar-rab sebagai berikut:

46

Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

1999), h.1
47

Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam


Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, terj. Herry Noer Ali, (Bandung : Diponegoro, 1992), h.
30-32.
48
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam..
49
Ahmad D Marimba, PengantarFilsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Al-Maarif,
1989) h. 23

17

a) Pertama, Menurut al-Qurtubi, bahwa arti ar-rabb adalah pemilik,


tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah,
dan yang maha menunaikan.50
b) Kedua, Menurut Louis al-Maluf, ar-rabb berarti tuan, pemilik,
memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.51
c) Ketiga, Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar
dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang berarti
(pertumbuhan dan perkembangan).52
d) Keempat, al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata atTarbiyah dengan rabban dan rabba dengan

memberi

makan,

memelihara dan mengasuh.53


Konsep pendidikan dalam Al-Qur`an dari pandangan beberapa
pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas
antara lain: memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan,
menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik. Pendidikan
Islam diidentikkan dengan kata at-talim para ahli memberikan pengertian
sebagai berikut:
Menurut Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-talim sebagai
proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab,
dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia
dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi
yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa
yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. At-talim
menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik.
Term tentang konsep pendidikan dalam Al-Qur`an dari kata Attalim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak
50

al-Qurtubi, Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari, Tafsir al-Qurtubi.


(Cairo, Durusy, Tt) h. 15.
51
Louis Maluf, Al-Munjid fi Lughah.(Beirut, Dar al-Masyriq, 1960) h. 6
52
Fathur Razi, Tafsir FathurRazi. (Teheran, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. tt), h. 12
53
Zuhairini, Metodik pendidikan Islam. (Malang: IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press.
1950), h. 17.

18

dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia


dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih
dan

memahami

ilmu

pengetahuan

serta

memanfaatkanya

dalam

kehidupan.54
Munurut Rasyid Ridho, at-talim adalah proses transmisi berbagai
ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu. Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqarah : 31

Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (bendabenda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!.55
Rasyid Ridho memahami kata allama Allah kepada Nabi Adam

as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana


Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah
kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-talim
lebih luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang
khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-talim mencakup fase
bayi, dan anak-anak.56
Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-talim
berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa: at-talim
lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-talim hanya
merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek
tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakuip keseluruhan aspek-aspek
pendidikan.57

54

Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli alTarbawiyah fi al-Islam. (Mesir: Darul Kutub
Misriyah, 1977), h.32
55
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Mekar Surabaya, 2002)
56
Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1373 H), h. 42
57
M. Athiyah al-Abrasy, At-Tarbiyah al-Islamiyah, (terj: BustamiA.Goni dan Djohar
Bakry) (Jakarta: BulanBintang. 1968) h. 32

19

Menurut Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan attalim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara
mendasar, namun bila at-talim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-talim
mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.58
Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan
at-talim, yaitu ruang lingkup at-talim lebih umum daripada at-tarbiyah,
karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu
pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari
bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu
yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Sedangkan Pengunaan istilah at-tadib, menurut Naquib al-Attas
lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang
diajarkan oleh Rasul. At-tadib berarti pengenalan, pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang
tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan

sedimikian rupa,

sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan


keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya. Kata tadib
yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi Tuhanku telah
mendidikku dan dengan demikian

menjadikan

pendidikanku

yang

terbaik.59
Dari beberapa pendapat ahli pendidikan Islam tersebut di atas
setidaknya menunjukkan bahwa Al-Quran kaya akan nuanasa pendidikan.
Kemudian berkenaan dengan makna dari pendidikan agama Islam secara
khusus, para ahli pendidikan memberikan suatu pengertian sebagai
berikut:
a) Menurut Ahmad D. Marimba: Pendidikan agama Islam adalah
bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum- hukum agama Islam
menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran58

Muhammad an Naquid al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan.


1988), h.17
59
Muhammad an Naquid al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan.
1988), h.19

20

ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau


mengatakan kpribadian utama tersebut dengan istilah kepribadian
muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai- nilai agama Islam,
memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai- nilai Islam,
dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai- nilai Islam. Dari defenisi
ini, tampak adanya perhatian kepada pembentukan kepribadian anak
yang menjadikannya memikir, memutuskan, berbuat dan bertanggung
jawab sesuai dengan nilai- nilai Islam.60
b) Menurut Zakiah Darajat : Pendidikan Agama Islam adalah Pendidikan
mela lui ajaran-ajaran agama islam, yaitu berupa bimbingan dan
asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari
pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran-ajaran agama islam yang telah diyakininya secara menyeluruh,
serta menjadikan ajaran agama islam sebagai suatu pandangan
hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun
di akhirat kelak.61
c) Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan agama Islam adalah sebuah proses
yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya,
beriman dan bertaqwa kepada Allah serta mampu mewujudkan
eksistensinya sebagai khalifah di muka bumi, yang berdasarkan ajaran
Islam Al-Quran dan As-Sunnah serta terwujudnya insan-insan kamil
setelah proses pendidikan berakhir.62
d) Menurut Muhaimin pemahaman tentang pendidikan agama Islam dapat
dilihat dari dua sudut pandang, yaitu pendidikan agama Islam sebagai
aktivitas dan sebagai fenomena. Pendidikan agama Islam sebagai
aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu
seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan
60

Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik Upaya Konstruktif Membongkar


Dikotomi Sistem Pendidikan Islam,(Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), h. 53
61
Zakiyah Daradjad, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2006), h.86
62
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), hal. 1.

21

hidup, sikap hidup, keterampilan hidup, dan sikap sosial yang


bernafaskan ajaran atau nilai-nilai Islam. Sedangkan pendidikan agama
Islam sebagai fenomena merupakan peristiwa perjumpaan antara dua
orang atau lebih dan atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah
berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan ajaran atau
nilai-nilai Islam.63
Dari segi lainnya Pendidikan Agama Islam tidak hanya bersifat
teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Agama Islam tidak memisahkan
antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu Pendidikan Agama Islam
adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran
Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat.
Menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama.

63

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam : dari Paradigma Pengembangan, Manajemen


Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2009), h.51.

22

C. PENUTUP
Teori wahdatul wujud ini menggambarkan penciptaan alam semesta
sebagai hasil penciptaan alam semesta sebagai hasil dari kecintaan Tuhan
untuk berkarya. Melalui karyanya Tuhan akan mengetahui penampakannya
dalam wujud yang mampu yang mampu menyandang semua sifatNya. Wujud
tersebut bukanlah wujud baru dalam pengetahuan ilmu Tuhan, melainkan
telah bersatu denganNya semenjak zaman ajali dalam nafasNya. Penciptaan
bukanlah mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada. Ia hanya
sekedar penampakan apa yang telah ada dalam diri Tuhan. Dan inti ajaran
wahdatul wujud menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat.
Maksudnya seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan
keberadaannya bergantung pada Tuhan sang pencipta. Yang tampak hanya
bayang-bayang dari sang Tuhan.
Wahdatul wujud menjadi istilah kontroversial diantara kaum
muslimin. Bagi sebagian mereka wahdatul wujud, khususnya, dan tasawuf
pada umumnya, adalah sebentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
Yang lain menolak wahdatul wujud dan menganggapnya sebagian sesuatu
yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya mereka yang awam, seraya
menerima tasawuf sebagian bagian integral dari Islam, apabila ini di
aplikasikan dalam pendidikan Islam, maka akan terbentuknya manusia yang
sempurna (insan kamil). Manusia yang dapat berhubungan dengan baik,
dengan Tuhan, Manusia dan, Alam, karena sejatinya semua itu adalah satu.

23

DAFTAR RUJUKAN
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997)
Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli alTarbawiyah fi al-Islam. (Mesir: Darul
Kutub Misriyah, 1977)
Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam
dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, terj. Herry Noer Ali, (Bandung :
Diponegoro, 1992)
Abu ala, afifi dalam M.Subkhan Ansori, filsafat ilmu antara ilmu dan
kepentingan, (kediri: pustaka azhar, 2011)
Abu Nasr Sarraj al-Thusi, al-Luma Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf, terj
.Wasmukan dan Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002)
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf,(Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2011)
Agus Sunyoto, Wali Songo:Rekonstruksi Sejarah Yang Disingkirkan,
(Tangerang: Transpustaka, 2011)
Ahmad Chojim, Syekh Siti Jenar: Makna Kematian, (Jakarta : Serambi,
2004)
Ahmad D Marimba, PengantarFilsafat Pendidikan Islam. (Bandung: AlMaarif, 1989)
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005)
Ali Mahdi Khan, Dasar dasar Filsafat Islam : Pengantar ke gerbang
pemikiran, (Bandung :Nuansa,2004)
al-Qurtubi, Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari, Tafsir alQurtubi. (Cairo, Durusy, Tt)
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
( Jogjakarta : Multi karya grafika, Krapyak, 1998)
Aziz Masyhuri, Ensiklopedia 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf,
(Surabaya: Imtiyaz, 2011
Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1999), h.1
D.A Rinkes, Nine Saint of Java, (Kuala Lumpur : Malaysian Sociological
Research Institute,1996)

24

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Mekar


Surabaya, 2002)
Fathur Razi, Tafsir FathurRazi. (Teheran, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Tt)
Hamka, tasawuf, perkembangan dan pemurniannya, (jakarta : PT
Pustaka, 1983)
Harun Nasution, Falsafah dan Misistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2010)
Harun Nasution, Falsafah dan Misistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2010)
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, (Surabaya: Al Ikhlas, 1980)
Ibnu Arabi, Relung Cahaya, ( Jakarta; Pustaka Firdaus, 1988)
Jamil, M .Cakrawala tasawuf : sejarah pemikiran dan kontekstualita s
(Jakarta : GP Press, 2007)
Kandito Argawi, Pengakuan-pengakuan Syaikh Siti Jenar ,(Yogyakarta:
Pustaka Pesantren. 2012)
Kautsar Azhari Noer, Ibn AlArabi, Wadatul wujd dalam Perdebatan
(Jakarta :Paramadina, 1995 )
Louis Maluf, Al-Munjid fi Lughah.(Beirut, Dar al-Masyriq, 1960)
M. Athiyah al-Abrasy, At-Tarbiyah al-Islamiyah, (terj: BustamiA.Goni
dan Djohar Bakry) (Jakarta: BulanBintang. 1968)
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008).
M.Subkhan Ansori, filsafat ilmu antara ilmu dan kepentingan, (kediri:
pustaka azhar, 2011)
Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik Upaya Konstruktif
Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam,(Yogyakarta: IRCiSoD, 2004)
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam :
Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum
Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009)

dari Paradigma
hingga Strategi

Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut tradisi Syariah Sufisme,


cet.1,(Jakarta; Grafindo Persada, 1997)

25

Muhammad an Naquid al-Atas, Konsep Pendidikan dalam Islam,


(Bandung: Mizan. 1988)
Muhammad Zaairul Haq, al-Hallaj : Kisah Perjuangan Total Menuju
Tuhan (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2010).
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, & Kebatinan, (Jakarta: Lentera
Basritama, 2004)
Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta; Penerbit
Erlangga. 2006)
Mustofa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina
Ilmu,1979)
P. J Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan
Monisme dalam Sastra Suluk Jawa; Suatu Studi Filsafat, (Gramedia, Jakarta.
1991)
Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1373 H)
Rosihan Anwar. Ilmu tasawuf , (Bandung, Pustaka Setia. 2000)
Seyyed Hossein Nasr, Tiga mahdab utama filsafat Islam, trjmhn maimun
syamsuddin, ( Jogjakarta: IRCiSoD, 2014)
Stephen Hirtenstein, Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan
Kehidupan Spiritual Syaikh al Akbar Ibnu Arabi, terj. Tri Wibowo (Jakarta :
Murai Kencana, 2001)
Zakiyah Daradjad, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara,
2006)
Zuhairini, Metodik pendidikan Islam. (Malang: IAIN Tarbiyah Sunan
Ampel Press. 1950)

26

Anda mungkin juga menyukai