Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH MA’RIFAT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Tasawuf”
Dosen Pengampu : Dra. Robingatun M. Pd

Disusun Oleh :
M. Firman Maulana Chabib (933502619)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
TAHUN PELAJARAN 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
tentang ma’rifat.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah kami ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah tentang ma’rifat ini dapat memberikan
manfaat maupun menambah wawasan pengetahuan terhadap pembaca.

Kediri, 20 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 1
BAB II: PEMBAHASAN .............................................................................. 2
A. Pengertian Ma’rifat............................................................................... 2
B. Hakikat Ma’rifat.................................................................................. 2
C. Ciri –ciri orang ma’rifat........................................................................ 3
D. Alat Ma’rifat……………..……………………………… .................. 4
E. Macam-macam Ma’rifat....................................................................... 4
F. Tokoh Ma’rifat...................................................................................... 5
BAB III : PENUTUP ………………………………………………………. 8
Kesimpulan .......................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 9

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam wacana tasawwuf, ma’rifat dianggap sebagai tingkatan tertinggi dalam
perjalanan tasawwuf. Biasanya ma’rifat dipandang sebagai perolehan kemuliaan para
sufi dan merupakan tema sentral dalam tasawwuf yang sangat menarik perhatian
kaum sufi. Perolehan ma’rifat merupakan kebanggaan tertinggi yang banyak
didambakan para sufi. Upaya pengkhayatan ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah)
merupakan tujuan utama dan sekaligus sebagai inti ajaran tasawwuf. Oleh karena itu,
ma’rifatullah tidak dapat dicapai tanpa melalui suatu proses atau upaya tertentu.
Ma’rifat adalah kehidupan hati melalui Allah, dan pengabaikan batin manusia
dari semua yang bukan Allah. Nilai seorang manusia terletak pada ma’rifatnya, dan
orang yang tidak memiliki ma’rifat tidak memiliki apa-apa. Mutakallimun, fuqoha,
dan kelompok ahli lainnya menamakan ma’rifat untuk pengetahuan yang benar,
karena adanya rasa yang benar kepada Allah, tetapi syekh sufi menyebut perasaan
yang benar dengan nama Ma’rifat. Dengan demikian, menarik sekali materi ma’rifat
ini kita pelajari guna kehidupan rohani kita. Untuk itu kami sebagai penyusun
makalah akan membahas ma’rifat ini secara mendalam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ma’rifat?
2. Apa hakikat dari Ma’rifat?
3. Apa ciri-ciri dari orang Ma’rifat?
4. Apa saja alat-alat dalam Ma’rifat ?
5. Apa macam-macam dari Ma’rifat?
6. Siapa tokoh dalam Ma’rifat?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari Ma’rifat
2. Mengetahui hakikat dari Ma’rifat
3. Mengetahui ciri-ciri dari orang Ma’rifat
4. Mengetahui alat-alat dalam Ma’rifat
5. Mengetahui macam-macam dari Ma’rifat
6. Mengetahui Siapa tokoh dalam Ma’rifat

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ma’rifat
Secara bahasa ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti:
mengetahui, mengenal, atau pengetahuan Ilahi. Orang yang mempunyai ma’rifat
disebut a’rif.1 Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui
berbagai ilmu secara rinci atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau
pengalaman secara langsung atas Realitas Mutlak Tuhan.2 Oleh karena itu, dalam
tasawuf, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati
sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah SWT
(ma’rifatullah) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.
Menurut Abudin Nata dalam bukunya Akhlak Tasawuf, mengartikan Ma’rifat
sebagai pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat eksoteris zahiri,
tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris bathiniyyah dengan
memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau
pengalaman kejiwaan.3 Sedangkan ma’rifat bagi orang awam yakni dengan
memandang dan bertafakkur melalui penzahiran manifestasi sifat keindahan dan
kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui segala yang diciptakan
Allah SWT di alam raya ini.4
Dengan demikian bisa diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-
rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari, sehingga akan memberikan
pengetahuan yang menimbulkan keyakinan yang seyakin-yakinnya dari keyakinan
tersebut akan muncul ketenangan dan bertambahnya ketaqwaan kepada Allah
SWT.
2. Hakikat Ma’rifat
Menurut Dzu An-Nun Al Mishri sebagai bapak ma’rifat menjelaskan kepada
kita bahwa hakikat ma’rifat adalah :

1
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panji
Mas, 1993) Hal: 103.
2
Syihabuddin Umar ibn Muhammad Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif, Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf, Terj.
Ilma Nugrahani Ismail, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) Hal: 105.
3
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,1996) Hal : 219.
4
`Abdul Qa’dir al-Jila’ni, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi, (Yogyakarta: Citra
Risalah, 2009) Hal: 113.

2
a. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu
burhan dan nazar milik para hakim, mutakalimin dan ahli balaghah, tetapi
ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para Waliyullah. Hal
ini karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah SWT dengan
hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-
hamba-Nya yang lain.
b. Ma’rifat yang sebenarnya adalah ketika Allah SWT meyinari hatimu dengan
cahaya ma’rifat yang murni seperti halnya matahari tidak dapat dilihat kecuali
dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah SWT
sehingga ia merasa dirinya hilang, lebur dalam kekuasaan- Nya, mereka
merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakan Allah SWT
pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah SWT, den
berbuat dengan perbuatan Allah SWT.

Pandangan Dzu An-Nun Al Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada


Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian
-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Allah SWT menyinari hati
manusia dan menjaganya dari kecemasan. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat
rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang
sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Allah SWT, sampai akhirnya ia sepenuhnya
hidup didalam-Nya dan lewat diri-Nya.5

3. Ciri – ciri orang Ma’rifat


Dari pemahaman ma’rifat Dzu An-Nun Al Mishri, terdapat ciri-ciri orang
yang arif, yaitu :
a. Cahaya ma’rifat yang berupa ketaqwaan tersebut justru tidak memudarkan
cahaya kewara’annya.
b. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang bertentangan dengan
hukum dzahirnya.
c. Banyaknya karunia yang dianugerahkan oleh Allah SWT tidak justru
menyebabkan ia lupa diri dan melanggar aturan Allah SWT.6
5
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiannya, Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Tasawuf, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2013), Hal:
238-239.
6
Hamka, Tasauf Hal: 93.

3
4. Alat-alat Ma’rifat
Menurut al Qusyairi yang dikutip dari buku Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-
Ghazali karya M. Abdul Mujieb menjelaskan bahwa terdapat 3 alat untuk
berhubungan langsung dengan Allah SWT yaitu:7
a. Qalb merupakan radar dalam hati atau mata batin yang berfungsi sebagai alat
untuk berpikir, tapi berbeda dengan aql karena ia dapat memperoleh
makrifatullah sedangkan aql tidak. Qalb dapat memperoleh makrifatullah
dengan cara melakukan latihan spiritual (riyāḍah) seperti bertaubat, berdzikir
dan bertafakkur. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela dan
diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Sehingga qalb menjadi bersih dari
segala dosa dan maksiat. Sehingga ia dapat mengetahui sifat-sifat Allah SWT
dengan jelas melalui qalbnya.
b. Alat yang kedua yaitu ruh; bertempat di qalb sehingga ia lebih halus daripada
qalb. Setelah qalb dapat mengetahui sifat-sifatNya, maka Allah membisikkan
wahyu kepada hamba-Nya berupa petunjuk kebenaran melalui ruh sehingga ia
dapat merasakan cinta kepada Allah SWT (mahabbah).
c. Setelah qalb dan ruh kemudian alat ketiga yaitu sīrr; ia lebih halus daripada
ruh karena ia bertempat di dalam ruh. Ketika ruh mendapat bisikkan petunjuk
dari Allah maka terbukalah dinding hijab dari rahasia-rahasia Allah dan saat
itu juga ia dapat menerima cahaya dari Allah SWT. Keadaan ini disebut
dengan kasyf atau iluminasi artinya keadaan dimana tersingkapnya hijab yang
menuju kepada Allah SWT. Dengan demikian, seorang hamba bisa melihat-
Nya melalui sīrr.

5. Macam-macam Ma’rifat
Dzu An-Nun Al Mishri membagi pengetahuan tentang Allah SWT menjadi
tiga macam, yaitu : Ma’rifat al-Tauhid (awam), Ma’rifat al- Burhan wa alIstidlal
(khas), Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas). Berikut merupakan penjabarannya :8
a. Ma’rifat al-Tauhid (awam) sebagai ma’rifatnya orang awam, yaitu ma’rifat
yang diperoleh kaum awam dalam mengenal Allah SWT. Melalui perantara
7
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat; Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Hal:
175-176.
8
Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufii Dari Zaman ke Zaman,Terj. Ahmad Rofi’ Ustmani, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1997), Hal: 173.

4
syahadat, tanpa disertai dengan argumentasi. Ma’rifat jenis inilah yang pada
umumya dimiliki oleh orang muslim. Orang awam mempunyai sifat lekas
percaya dan menurut, mudah mempercayai kabar berita yang dibawa oleh
orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan secara mendalam.
b. Ma’rifat al- Burhan wa al-Istidlal (khas) yang merupakan ma’rifatnya
mutakalimin dan filsuf (metode akal budi), yaitu ma’rifat tentang Allah SWT
melalui pemikiran dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat rasional
melalui berpikir spekulatif. Ma’rifat jenis kedua ini banyak dimiliki oleh kaum
ilmuan, filsuf, sastrawan, dan termasuk dalam golongan orang-orang khas.
Golongan ini memiliki ketajaman intelektual, sehingga akan meneliti,
memerikasa membandingkan dengan segenap kekuatan akalnya.
c. Ma’rifat hakiki (khawas al-khawas) merupakan ma’rifat Waliyullah, yaitu
ma’rifat tentang Allah SWT melalui sifat dan ke-Esa-an-Nya, diperoleh
melalui hati nuraninya. Ma’rifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena
ma’rifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian.
Melainkan anugerah dari Allah SWT kepada orang-orang sufi atau auliya’
yang ikhlas dalam beribadah dan mencintai Allah SWT.

6. Tokoh - tokoh Ma’rifat


a. Dzu An-Nun Al Mishri
Dalam tasawuf Dzu An-Nun Al Mishri dipandang sebagai bapak
paham ma’rifat, karena ia adalah pelopor paham ma’rifat dan orang yang
pertama kali menganalisis ma’rifat secara konseptual. Dzu An-Nun Al Mishri
berhasil memperkenalkan corak baru tentang ma’rifat dalam bidang sufisme
Islam. Ia membedakan antara ma’rifat sufiyah dengan ma’rifat aqliyah.
Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasanya
digunakan para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan
akal yang biasa digunakan para teolog. Pandangan-pandangan Dzu An-Nun Al
Mishri tentang ma’rifat pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog
sehingga ia dianggap sebagai seorang zindiq dan kemudian ditangkap oleh
khalifah, tetapi akhirnya dibebaskan.
Pandangan Dzu An-Nun Al Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifat
kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
pembuktianpembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Allah SWT

5
menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan. Melalui pendekatan
ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya
menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Allah SWT, sampai
akhirnya ia sepenuhnya hidup didalam-Nya dan lewat diri-Nya. Menurut
pengalamannya, sebelum sampai pada maqam ma’rifat, Dzu An-Nun Al
Mishri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di
alam semesta.9
b. Jalal al-Din ar-Rumi
Nama asli Rumi adalah Jalaluddin Muhammad ibn Muhammad ibn
Husain Bahauddin ibnu Ahmad al-khatibi, namun terkenal dengan Jalaluddin
ar-Rumi. Nama julukan Rumi ini dikenakan kepadanya karena sang sufi
menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya, Turki, yang dahulunya
merupakan bagian dari wilayah kekaisaran Rumawi Timur (Bangsa Arab
menyebutnya ar-Rum). Rumi lahir pada 6 Rabi’ul Awal 604 H. (30 September
1207 M.) di Balk, sebuah daerah di Afganistan sekarang.10
Konsepsi Rumi tentang pengetahuan sejati (ma’rifat) dimulai dari fakta
bahwa Tuhan mengajarkan Adam semua nama. Nama-nama ini merupakan
prototipe semua pengetahuan sejati dan langsung berasal dari Tuhan. Menurut
Rumi kebijaksanaan Tuhan menciptakan dunia agar segala hal yang ada dalam
pengetahuan-Nya terungkap. Ada dua hal yang penting untuk dicatat dari
ma’rifat Jalal al-Din ar-Rumi, pertama, ma’rifat sepenuhnya bergantung pada
kehendak dan kemurahan Tuhan, dan kedua, ia bukanlah hasil dari proses
intelektual dan olah mental. Persepsi indra dan akal memang penting sebagai
sarana untuk membimbing sehingga sampai kepada gerbang pengetahuan
sejati, namun sekali lagi sisanya bergantung pada rahmat Allah SWT. Atas
dasar inilah orang-orang yang hanya mengandalkan persepsi indra atau
pealaran diskursif akan terhenti dan menemui jalan buntu.11
c. Imam al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali. Dia di lahirkan di desa Ghuzala daerah Tus, salah satu kota di

9
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan, Hal: 238-239.
10
Mahbub Djamaluddin, Jalaludin Rumi: Sang Mestro Cinta Ilahi, (Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam
Terbitan (KTD), 2015), Hal: 20.
11
Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al-Din Rumi Guru Sufi dan Penyair Agung, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004), Hal:
70.

6
Khurasan Persia pada tahun 450 H/1085M. Menurut al-Ghazali ma’rifat
bukanlah didapatkan semata-mata dengan menggunakan akal. Ma’rifat yang
sebenarnya adalah mengenal Allah SWT, mengenal wujud Tuhan yang
meliputi segala wujud, tidak ada wujud selain Allah SWT.
Al-Ghazali memandang ma’rifat sebagai tujuan yang harus dicapai
manusia, dan sekaligus merupakan kesempurnaan yang di dalamnya
terkandung kebahagiaan yang hakiki. Sebab dengan ma’rifat manusia akan
benar-benar mengenal Tuhannya, setelah mengenal maka akan mencintai dan
kemudian mengabdikan dirinya secara total. Al-Ghazali menjelaskan bahwa
setiap orang yang tidak mengenal atau tidak memperoleh kelezatan
ma’rifatullah di dunia, maka tidak akan memperoleh kelezatan memandang di
akhirat. Karena tidak akan berulang kembali bagi seorang di akhirat, apa yang
tidak menyertainya di dunia. Padahal sempurnanya kenikmatan adalah ketika
berma’rifat dengan-Nya. Maka menikmati surga tanpa menyaksikan
Penciptanya, akan menimbulkan rasa penasaran yang luar biasa, dengan
demikian seringkali malah akan merasakan sakit.12

BAB III
PENUTUP

Dari segi bahasa, ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan, dan ma’rifah
yang artinya adalah pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifah juga pengetahuan
tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari ilmu yang biasa yang
12
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin jilid VII, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta: C.V. FAIZAN, 1985), Hal: 459.

7
didadapi oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang
obyeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap
bathinnya dengan mengetahui rahasianya. Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang
tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini yaitu Ma’ruf al-Karkhi dan Zun al-Nun
al-Misri. Ma’ruf al-Karkhi mendifinisikan tasawuf dengan perkataannya: “tasawwuf
adalah mengambil hakikat, dan tak mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.”
Arti dari perkataan tersebut adalah bahwa tasawwuf merupakan ilmu tentang hakikat-
hakikat intuitif yang tersingkap bagi seorang sufi sebagai bandingan dari ilmu tentang
tata caradalam syariat. Di samping itu, tasawwuf juga berzuhud (menjauhkan diri)
dari apa yang dimiliki oleh manusia. Dari sini, maka tasawwuf menurutnya adalah
zuhud dan ma’rifat. Adapun ma’rifah yang dimajukan oleh Zun al-Nun al-Misri
adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada
kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka.

REFERENSI

Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah). Tasauf Perkembangan dan


Pemurniannya. (Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1993).

8
Syihabuddin Umar ibn Muhammad Suhrawardi. Awarif al-Ma’arif. Sebuah
Buku Daras Klasik Tasawuf. Terj. Ilma Nugrahani Ismail. (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998).
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: Rajawali Pers.1996).
Abdul Qa’dir al-Jila’ni. Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilah.
Terj. Imron Rosidi. (Yogyakarta: Citra Risalah. 2009).
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanun Siregar. Akhlak Tasawuf,
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Disertai Biografi dan Tokoh-
tokoh Tasawuf. (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2013).
Ris’an Rusli. Tasawuf dan Tarekat; Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi.
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Abu al Wafa al-Ghanimi al-Taftazani. Sufii Dari Zaman ke Zaman.Terj.
Ahmad Rofi’ Ustmani. (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997).
Mahbub Djamaluddin. Jalaludin Rumi: Sang Mestro Cinta Ilahi.
(Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD). 2015).
Mulyadhi Kartanegara. Jalal Al-Din Rumi Guru Sufi dan Penyair Agung.
(Jakarta: Penerbit Teraju. 2004).
Imam al-Ghazali. Ihya’ Ulumiddin jilid VII. Terj. Ismail Yakub. (Jakarta: Cv
Faizan. 1985).

Anda mungkin juga menyukai