Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENGERTIAN,TUJUAN DAN KEDUDUKAN MA’RIFAH

Dosen Pengampu :Fahrur Rozi

Makalah Ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Islam Dunia
PENYUSUN :
 ANGGRAINI (201211006)
 M.ULIM NUHA (201211025)
 NURUL ARIFIN (201211037)
 M.RIFKI MAULANA (201211032)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS KEAGAMAAN ISLAM (FKI)
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA IMAM GHAZALI (UNUGHA)
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat , nikmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
keadaan sehat dan tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
zaman yang gelap gulita kepada zaman yang dipenuhi dengan cahaya yang terang
benderang. ”
Makalah ini bertema PENGERTIAN,TUJUAN DAN KEDUDUKAN
MA’RIFAH dan Pembuatan makalah ini ditujukan guna memenuhi tugas dari
mata kuliah Etika Al-Ghazali kami sekelompok sangat mengucapkan terima
kasih kepada bapak Fahrur Rozi selaku dosen mata kuliah ini yang telah
membimbing dan mengarahkan kami sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini.
Dan kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman dan para pembaca
atas dukungan dan support nya sehingga kami selaku penulis makalah ini dapat
menyelesaikan nya dengan baik.

Kamis,22 September 2021

PENULIS

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................5
C. Tujuan Masalah...................................................................................................5
BAB II......................................................................................................................6
PEMBAHASAN......................................................................................................6
1. PENGERTIAN MA’RIFAH................................................................................6
2. TUJUAN MA’RIFAH.........................................................................................7
3. KEDUDUKAN MA’RIFAT................................................................................8
4. CARA MENCAPAI MA’RIFAH........................................................................9
BAB III..................................................................................................................12
PENUTUP..............................................................................................................12
KESIMPULAN......................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, yang
artinya pengetahuan atau pengalaman pengetahuan tentang rahasia hakikat
agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang bisa di dapati oleh
orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya
bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap
batinnya dengan mengetahui rahasianya.karena didasarkan pada pandangan
bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan segala yang
maujud berasal dari yang satu.
Dalam ajaran tasawuf terdapat sebuah ajaran yang di sebut ma’rifah,
ajaran ini berusaha mengajarkan manusia agar mengenal dirinya secara lebih
mendalam sehingga dia akan mengenal Allah atau penciptanya yang Maha
Agung. Sebaliknya jika seseorang tidak mengenal siapa dirinya, maka sudah
tentu dia tidak akan pernah mengenal siapa tuhannya

Para sufi ketika berbicara tentang ma’rifat, maka masing-masing dari


mereka mengemukakan pengalamannya sendiri dan menunjukkan apa yang
datang kepadanya saat tertentu. Dan salah satu tanda ma’rifat adalah
tercapainya rasa ketentraman dalam hati, semakin orang bertambah ma’rifat
maka semakin bertambah ketentramannya. Sehingga apa yang diketahui dari
pengalaman itu, membuahkan manfaat berupa ketenangan batin.

firman Allah SWT dalam Al Qur-an:


Artinya: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. ( QS. Yunus: 62)

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian,tujuan dan kedudukan dari Ma’rifah?


2. Apa saja alat dan teknik untuk mencapai Ma’rifah?
       3. Siapa tokoh yang mengembangkan Ma’rifah ?
     4.. Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis mengenai Ma’rifah?

C. TUJUAN MASALAH

1..  Untuk mengetahui definisi,tujuan dan kedudukan dari Ma’rifah.


      2. Untuk mengetahui apa saja alat dan teknik untuk mencapai Ma’rifah.
        3. Untuk mengetahui tokoh yang mengembangkan Ma’rifah.
4. Untuk mengetahui pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadis mengenai Ma’rifah.

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN MA’RIFAH
Ma’rifah berasal dari kata `arafa yu’rifu Irfan artinya mengetahui,
mengenal, atau pengetahuan Ilahi.Orang yang mempunyai ma’rifat disebut
arif.Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengetahui berbagai ilmu pengetahuan
mengenai realita mutlak tuhan. Ma’rifah ini digunakan untuk menunjukkan salah
satu maqam (tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena
itu, dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada
Allah SWT menjadi tujuan utama ajaran tasawuf.

Objek yang digunakan Ma’rifat bukan yang bersifat eksoteris (zahiriyah),


tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris (bat}iniyyah) dengan
memahami rahasia-rahasia nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau
pengalaman kejiwaan Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya
karena pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati
orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.
Ma’rifat bagi orang awam yakni dengan memandang dan bertafakkur melalui
penzahiran (manifestasi) sifat keindahan dan kesempurnaan Allah SWT secara
langsung, yaitu melalui segala yang diciptakan Allah SWT di alam raya ini
Jelasnya, Allah SWT dapat dikenali di alam nyata ini, melalui sifat-sifat-Nya yang
tampak oleh pandangan makhluk makhluk nya.
Dalam pandangan Harun Nasution ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari
dekat, sehingga hati sanubari dapat memandang Tuhan, hal itu memiliki ciri
sebagai berikut :

1) Orang Arif adalah bangga dalam kepapaannya, apabila disebut nama Allah
SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa miskin.
2) Jika mata yang terdapat dalam hati terbuka maka mata kepalanya akan tertutup
dan saat itu yang dillihatnya hanya Allah SWT.
3) Ma’rifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka yang
dilihat hanyalah Allah SWT.

6
4) Semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah
Allah SWT.
5) Seandainya ma’rifat berupa bentuk materi, semua orang yang melihat padanya
akan mati karena tak tahan melihat betapa luar biasa cantik serta indah karena
semua cahaya akan dikalahkan dengan cahaya keindahan yang dimiliki nya.

2. TUJUAN MA’RIFAH
Tujuan yang ingin dicapain dalam makrifat adalah mengetahui rahasia-
rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Dalam Kitab Risalah al Qusyairih
Imam Abi Qasim berkata “arti makrifat menurut pendapat Ulama ( bukan Ahli
Tasawwuf ) ialah pengetahuan. Maka tiap-tiap Ilmu itu adalah makrifat dan
tiap-tiap makrifat adalah Ilmu. Dan tiap-tiap orang Alim tentang Allah, adalah
orang arif dan tiap-tiap orang arif adalah Alim”.
Selanjutnya dalam Kitab tersebut, memberikan perincian tentang
pengertian makrifat yaitu “Barang siapa yang mengenal Allah dengan jalan
pertolongan Allah maka orang itu adalah "Arif" tentang Allah secara Hakekat
(Ahli Tasawwuf)”. Orang yang "Arif" tentang Allah dengan cara dalil saja
maka itu, adalah orang Mutakallimin (Ahli Usuluddin). Orang yang "arif"
tentang Allah dengan cara taklid (menuruti perkataan orang tanpa mencari
dalil) maka orang itu adalah orang awam/orang bodoh).
Dalam Tasawuf Zunnun al-Misriah (W. 860 M) yang di pandang sebagai
Bapak faham "makrifah" ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan.
1. Pengetahuan awam :Tuhan satu dengan perantaraan ucapan kalimah
Syahadat.
2. Pengetahuan Ulama :Tuhan satu menurut jalan akal pikiran.
3. Pengetahuan Sufi/Tasawwuf :Tuhan satu dengan penglihatan Hati sanubari.
Makrifah hanya terdapat pada kaum Sufi, yang sanggup melihat Tuhan
dengan hati sanubarinya karena Pengetahuan ini hanya diberikan Tuhan kepada
kaum Sufi yang sangat berhasrat untuk menemukan Tuhan karena sangat cinta
kepada-Nya. Makrifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati orang Sufi, sehingga
hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Zunnun ditanya bagaimana ia
memperoleh makrifah tentang Tuhan ia menjawab “Aku mengenal Tuhan

7
dengan pertolongan Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku aku tak
akan kenal Tuhan". Ini menggambarkan bahwa makrifah tidak diperoleh begitu
saja, tetapi pemberian dari Tuhan. Karena itu makrifah bukanlah hasil
pemikiran manusia, tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan,
dalam arti bahwa ma’rifah pemberian Tuhan kepada Kaum Sufi yang sanggup
menerimanya.
Alat untuk memperoleh makrifah oleh kaum Sufi disebut sir tubuh
manusia yang dipergunakan orang Sufi dalam hubungan mereka dengan
Tuhan.
1. Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2. Ruh untuk mencintai Tuhan.
3. Sir untuk melihat Tuhan.

3.  KEDUDUKAN MA’RIFAT
Mahabbah selalu berdampingan dengan ma’rifat, baik dalam kedudukan
maupun pengertiannya. Kalau Ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan
kepada Tuhan mata hati (Al-Qolb), maka Mahabbah adalah perasaan kedekatan
kepada tuhan melalui cinta (roh). Sementara Al Ghazali berpendapat dalam
kitabnya ihya Ulumiddin memandang bahwa makrifat datang sebelum
mahabbah. Selanjutnya ada yang mengatakan bahwa makrifat dan mahabbah
merupakan kembar dua yang selalu disebutkan berbarengan. Keduanya
menggambarkan kedekatan hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata
lain mahabbah dan makrifat menggambarkan dua aspek rapat yang ada seorang
sufi dengan Tuhan.

4. CARA MENCAPAI MA’RIFAH


Meneliti dan mengenal diri sendiri merupakan kunci rahasia agar
mengenal Allah swt namun,kita harus mengenal diri kita terlebih dahulu bahwa
kita dari lahir tersusun dari badan dan batin yang disebut Qalb.

8
Qalb atau hati merupakan instrumen penting “fisiologi mistik” untuk
mendapatkan ma’rifat, karena dengan hati manusia bisa mengetahui,
berhubungan, dan berdialog dengan hal-hal yang ghaib, khususnya mengetahui
dan berdialog dengan Allah SWT. Dalam mencapai hubungan dan kedekatan
dengan Allah SWT yakni dengan melepaskan dirinya dari hawa nafsu atau
keinginan-keinginan yang bersifat duniawi dan melakukan intensitas
`ubudiyyah yang semua itu ditunjukan kepada Allah SWT dengan penuh
perasaan rendah diri dan semata-mata tunduk kepada-Nya.
Berkaitan dengan ini, sesuai apa yang diterangkan oleh Imam al-Qusyairi
(w. 465 H), yaitu : “Ma’rifat adalah sifat bagi orang yang mengenal Allah
SWT dengan segala sifat dan nama-Nya. Dan berlaku tulus kepada Allah SWT
dengan perbuatan perbuatannya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat
rendah serta cacat, yang berdiri lama dipintu, dan yang senantiasa
mengundurkan hatinya (dari hal-hal duniawi). Kemudian dia menikmati
kedekatan dengan Tuhan, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua
keadaannya, dan dia tidak mencondongkan hatinya kepada pikiran apapun
yang akan memancing perhatiannya kepada selain Allah SWT”.
Dari penjelasan al-Qusyairi tersebut, maka ma’rifat bisa didapat setelah
seseorang melakukan penyucian dan riyadah, baik dalam lahir maupun batin.
Dan tidak memberikan ruang dalam hatinya kecuali hanya untuk Allah SWT.
Proses qalb untuk dapat sampai pada kebenaran mutlak Allah SWT, erat
kaitannya dengan konsep Takhalliy,Tahalliy dan Tajalliy.
 Takhalliy yaitu mengosongkan dan membersihkan diri dari sifat-sifat
keduniawian yang tercela.
 Tahalliy yaitu mengisi kembali dan menghias jiwa dengan jalan membiasakan
diri dengan sifat, sikap, dan berbagai perbuatan baik.
 Tajalliy yaitu lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan
sifat-sifat ketuhanan.
Maka, pada intinya manusia adalah makhluk multidimensi yang mempunyai
titik keistimewaan sekaligus perbedaan antara manusia dan binatang atau
dengan makhluk lainnya. Karena dalam diri manusia memiliki pengetahuan

9
yang bisa berhubungan dengan Rabb-nya.Dengan pengetahuan tentang Ke-
Tuhanan tersebut, manusia memiliki derajat yang tinggi dari makhluk lain,
dan pengetahuan tersebut, manusia hanya diperintahkan untuk selalu memuja
atau beribadah kepada Allah SWT semata.
Sejalan dengan hal itu, Syaikh `Abdul Qadir al-Jailani(w. 561 H)
mengingatkan: “Celakalah engkau bila mengaku sufi padahal hatimu keruh.
Sufi adalah orang yang batin dan lahirnya mengikuti kitab Allah SWT dan
Rasul-Nya. Ketika kebeningan hatinya bertambah, dia akan keluar dari luar
wujudnya. Meninggalkan kehendak, pilihan dan urusannya karena kebeningan
hatinya”
Kesempurnaan sufi baru tercapai setelah terjadi keterpaduan antara aspek
syari’at dengan tarekat. Syari’at untuk mencapai derajat, sedangkan tarekat
berguna mencapai qurbah (kedekatan dengan Allah SWT). Dari situlah
ma’rifat akan dicapai oleh seseorang.Syari’at merupakan aspek zahir suatu
ibadah dan tarekat sebagai aspek batinnya. Sehingga seseorang yang bertakwa
selalu terikat dengan syari’at sambil memerangi hawa nafsu, egoisme diri dan
syaitan.Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua orang yang ikut dalam tarekat
dijamin sampai pada ma’rifah Karena bakat, minat, dan niat dari masing-
masing orang berbeda-beda. Ada yang dalam waktu singkat dapat melompat
dengan cepat dari suatu maqam ke maqam yang lain. Tetapi ada juga yang
harus melalui jalan panjang dan berliku-liku dan membutuhkan waktu lama
sekali untuk bisa naik sampai maqam (tingkatan) yang baru. Bahkan tidak
mustahil ada yang gagal karena tidak tahan, sehingga keluar dari tarekat
tersebut.Meskipun begitu, perlu disadari bahwa pelimpahan cahaya Ilahi ke
dalam hati seorang hamba tidak bisa diusahakan sepenuhnya oleh seseorang.
Tugas manusia hanyalah mempersiapkan (isti’dad) dengan membersihkan diri
dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya atau akhlak yang tercela.
Pada tahap akhir semuanya tergantung pada kemurahan Allah SWT.

10
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah
yang artinya penegtahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan
tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang
bias di dapati oleh orang-orang pada umumnya. Makrifah adalah pengetahuan
yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam
terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.Sedangkan alat untuk mencapai
ma’rifah ada dalam diri manusia, yaitu hati (qalb), namun artinya tidak sama
dengan heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa
adalah juga alat untuk berfikir.
.       Tokoh yang memperkenalkan ajaran ma’rifah adalah Zun Nun al-Mishri.
Sedangkan ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Quran,
dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar
dihubungkan dengan Tuhan.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://heriardani.blogspot.com/2018/11/tujuan-dan-kedudukan-dari-mahabbah-
dan.html
Penerbit J-ART, Bandung, 2004, Edisi Revisi Lajnah Pentashih Mushaf Al-
Qur’an Departemen Agama RI, h. 216.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya,
2002, h.919.
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit
Amzah, Jakarta,2005, h. 139.
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan
Pemurniannya,Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1993, h. 103.
Syihabuddin Umar ibn Muhammad Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif, Sebuah Buku
Daras Klasik Tasawuf, Terj. Ilma Nugrahani Ismail, Pustaka Hidayah, Bandung,
1998, h. 105.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, h. 219.
Abuddin Nata, Akhlak ..., h 220
Abuddin Nata, Akhlak ..., h. 219-220.
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus ..., h. 47.
Abdul Qadir al-Jilani, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj.
Imron Rosidi, Citra Risalah,Yogyakarta, 2009, h. 113.
(Imam al-Ghazali, Ihya’UlumAd-Din,Terj. Rus’an, Jilid IV, Wicaksana,
Semarang, 1984, h. 7
Mir Valiuddin, Tasawuf dalam Qur’an, Terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002, h. 20.
Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah ..., h.. 312.
Hasyim Muhammad, Dialog ..., h. 9.
Jamaluddin Kafie, Tasawuf Kontemporer, Penerbit Republika, Jakarta, 2003,h.22.
Imam al-Ghazali, Mukhtasar Ihya’ Ulumuddin, Terj. Irwan Kurniawan, Mizan,
Bandung: 1997, h. 206.
Annemarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono,
dkk, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, h. 239
Muhammad Sholikhin, 17 Jalan ..., h. 117

12
Muhammad Sholikhin, 17 Jalan ..., h. 116.
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2006, h. 165.
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami ..., h.156-157

13

Anda mungkin juga menyukai