Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

AJARAN MA’RIFAT DAN TOKOH-TOKOH YANG


MENGEMBANGKANNYA

Dosen Pengampu: Dr. Kamil, M.S.I

KELOMPOK 12
Disusun Oleh:

FLORINDA SHEBA PRATIWI (102.2019.008)


INDAH MUTIARA SARI (102.2019. 007)

KELAS PGMI A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN SAMBAS
TAHUN AKADEMIK 2020/ 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT


karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini
sesuai dengan harapan dan waktu yang telah diberikan. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, dan para
sahabatnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu Bapak Dr.


Kamil, M.S.I Pada Mata kuliah Akhlak Tasawuf karena sudah memberikan
kesempatan dan pengarahan untuk menyusun makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat membantu dalam proses pembelajaran dan
semoga bermanfaat bagi semua yang membacanya. Penulis harapkan pula agar para
pembaca memperhatikan celah yang mungkin kurang sempurna dalam makalah ini
sehingga penulis dapat menyusun kembali yang lebih baik pada makalah berikutnya.

Sambas, 16 Januari 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................


B. Rumusan Masalah..........................................................................................
C. Tujuan............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifat.................................................
B. Alat Untuk Mencapai Ma’rifat.......................................................................
C. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifat.........................................................
D. Ma’rifat dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadist.........................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ma’rifat merupakan salah satu aspek dari kajian disiplin ilmu tasawuf
yang disandarkan kepada sumber ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis atau
sunnah yang tercermin dalam praktek kehidupan Rasulullah saw. 1 Kata
ma’rifat yang secara khusus menjadi konsep spiritual Islam di dalam al-
Qur’an memang tidak ditemukan secara harfiah. Akan tetapi dapat digali
makna ma’rifat yang menjadi inti kesufian dari subtansi berbagai pesan dalam
al-Qur’an. Kata yang berakar dari ‘arafa dalam keseluruhan al-Qur’an
disebutkan sebanyak 71 kali. Dari 71 kali penyebutan itulah dapat diketahui
bahwa ma’rifat dalam term al-Qur’an memiliki banyak arti: mengetahui,
mengenal, sangat akrab, hubungan yang patut, hubungan yang baik, dan
pengenalan berdasarkan pengetahuan mendalam.
Maka jika semua pengertian itu dihimpun dalam satu pengertian,
ma’rifat menurut subtansi al-Qur’an memiliki maksud sebagai pengenalan
yang baik serta mendalam berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh dan
rinci. Sebagai buah dari hubungan yang sangat dekat dan baik. 2 Ma’rifat
merupakan pengetahuan eksperensial (zauqi) yang disuntikan (infused) sangat
berbeda dengan pengetahuan lainnya yang biasa didapatkan melalui metode
rasional diskursif. Ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui
representasi, image atau simbol-simbol dari objek-objek penelitian.
Seperti indra menangkap objeknya secara langsung, demikian juga hati
atau intuisi menangkap objeknya juga secara langsung. Perbedaannya terletak
pada jenis objeknya. Kalau objek indra adalah benda-benda yang bersifat

1
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 1996, hlm. 181.
2
Muhammad Solikin, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, PT. Buku Kita, Jakarta, 2007, hlm.
176.
indrawi (mahsusat) sedangkan objekobjek intuisi adalah entitas-entitas
spiritual (ma’qulat).3
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dari pembahasan materi ini yaitu:
1. Apa Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifat?
2. Bagaimana Alat untuk Mencapai Ma’rifat?
3. Siapa Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifat?
4. Bagaimana Ma’rifat dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadist?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan materi ini yaitu:
1. Dapat Mengetahui Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifat
2. Dapat Mengetahui Alat untuk Mencapai Ma’rifat
3. Dapat Mengetahui Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifat
4. Dapat Mengetahui Ma’rifat dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadist

3
John Renard, Mencari Tuhan Menyelami ke Dalam Samudra Makrifat, Terj. Musa Kazhim
dan Arif Mulyadi, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2006, hlm. 13.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan Ma’rifat


Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui,
mengenal, atau pengetahuan Ilahi.4 Orang yang mempunyai ma’rifat disebut
arif. Menurut terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai
ilmu secara rinci, atau diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman
secara langsung atas Realitas Mutlak Tuhan. 5 Dimana sering digunakan untuk
menunjukan salah satu maqam (tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam
tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana sufistik, ma’rifat diartikan sebagai
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Dalam tasawuf, upaya
penghayatan ma’rifat kepada Allah SWT (ma’rifatullah) menjadi tujuan
utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.
Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang
bersifat eksoteris (zahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek
esoteris (batiniyyah) dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini
berwujud penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang
orang bisa mendapatkannya, pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari
yang biasa didapati orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak
terdapat keraguan sedikitpun. Ma’rifat bagi orang awam yakni dengan
memandang dan bertafakkur melalui penz}ahiran (manifestasi) sifat
keindahan dan kesempurnaan Allah SWT secara langsung, yaitu melalui
segala yang diciptakan Allah SWT di alam raya ini. 6 Jelasnya, Allah SWT

4
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit Amzah, Jakarta,
2005, hlm. 139.
5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 219.
6
Abdul Qadir al-Jilani, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi,
Citra Risalah,Yogyakarta, 2009, hlm. 113.
dapat dikenali di alam nyata ini, melalui sifat-sifat-Nya yang tampak oleh
pandangan makhluk-Nya.
Menurut Al-Husayn bin Mansur al-Hallaj, ma’rifat adalah apabila
seorang hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah SWT menjadikan pikiran-
pikirannya yang menyimpang sebagai sarana ilham, dan Dia menjaga
batinnya agar tidak muncul pikiran-pikiran selain-Nya. Adapun tanda seorang
arif yaitu bahwa dia kosong dari dunia maupun akhirat. 7 Dari beberapa
definisi bisa diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan dengan menggunakan hati sanubari, sehingga akan memberikan
pengetahuan yang menimbulkan keyakinan yang seyakin-yakinnya dari
keyakinan tersebut akan muncul ketenangan dan bertambahnya ketaqwaan
kepada Allah SWT.
B. Alat Untuk Mencapai Ma’rifat
Alat untuk mencapai ma’rifat adalah al-qalb (hati). Menuru al-Ghazali
qalb menpunyai dua pengertian. Arti pertama adalah hati jasmani (al-qalb al-
jasmani) atau daging sanubari, yaitu daging yang khusus yang berbentuk
jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi
darah hitam kental. Arti kedua adalah sebagai luthf rabbani ruhiy. Qalb yang
telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai dzikir dan
wirid secara teratur akan dapat mengeahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu
setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan. Proses penyampaian qalb pada
cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajali.8
Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan
perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini ditunjukkan dengan tahalli yaitu
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli
adalah ibarat dari pada penglihatan dimana seorang hamba Allah melihat
7
Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin Muhammad,
Penerbit Pustaka, Bandung, 1994, hlm. 315-316.
8
Abdul Qadir al-Jilani, Futuhul Ghaib Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj. Imron Rosidi,
Citra Risalah,Yogyakarta, 2009, hlm. 169-170.
kepadaNya berlaku kudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu, ia melihat Tuhan,
maka tiadalah perbuatan dari seorang hamba, gerak dan diam serba isbat
adalah bagi Allah semata-mata. Tajalli adalah jalan untuk mendapat ma’rifat,
dan terjadi setelah terjadinya al-fana yakni ilangnya sifat-sifat dan rasa
kemanusiaan, dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk
mencapai tajalli ini adalah hati, yaitu hati yang telah mendapat cahaya dari
Tuhan.9
Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan
cahaya Tuhan itu dapat pula dilihat dari isyarat ayat berikut ini : ‫نور عل نور‬
‫وره من يشا‬QQ‫دى هللا لن‬QQ‫ “ يه‬Cahaya diatas cahaya, Allah mengkaruniakan dengan
cahayanya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”(Q.S al-Nur, ayat :35).
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-
rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-
hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia biasa.
Orang yang sudah mencapai ma’rifat ia memperoleh hubungan
langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi
cahaya, ia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antena parabola yang
mendapatkan langsung pengetahuan dari Tuhan. Allah berfirman :‫و فوق كل ذي‬
‫ “ علم عليم‬Dan di atas yang berilmu pengetahuan ada lagi yang Maha
Mengetahui (Allah).” (Q.S. Yusuf, ayat 76).
C. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifat
Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan
paham ma’rifah ini, yaitu al-Ghazali dan Zun al-Nun al-misri. Al-Ghazali
nama lengakapnya Abu Hamid Muhammad, alghazali lahir pada tahun 1059
M. di Ghazaleh, suatu kota kecil terletak didekat Tus di Khurasan. Ia pernah
belajar pada Imam al-Haramain, al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-
Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, ia mempelajari teologi,

9
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006, hlm.
10.
ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf
sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun mengembara sebagai sufi ia
kembali ke Tus di tahun 1105 M. dan meninggal disana tahun 1111 M.10
Adapun Zun Nun al-Misri berasal dari Naubah, suatu negeri yang terletak
Sudan dan Mesir.
Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya
tahun wafatnya, yaitu 860 M. menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum
Sufi dalam abad ketiga Hijrah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan
jalan buat menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci yang sedikit,
menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut terpaling dari jalan yang
benar. Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham ma’rifah
dapat diikuti dari pendapat-pendapatnya di bawah ini. AlGhazali misalnya
mengatakan, ma’rifah adalah: “nampak jelas rahasia -rahasia ke Tuhana dan
pengetahuan mengenai susunan urusan ke Tuhanan yang mencakup segala
yang ada.” Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan, ma’rifah adalah memandang
kepada wajah Allah.11
Seterusnya Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai
ma’rifah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengatakan Ya Allah atau Ya
Rabb. Karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan
bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan
temannya tidak akan memanggil temannya itu. Tetapi bagi al-Ghazali
ma’rifah urutannya terlebih dahulu dari pada mahabbah, karena mahabbah
timbul dari ma’rifah. Namun mahabbah yang dimaksud al-Ghazali berlainan
dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu mahabbah
dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang

10
William C. Chittik, Jalan Cinta Sang Sufi, Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, Terj.
M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2007. hlm. 226.
11
Annemarie Schimmel, Dunia Rumi Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, Terj. Saut
Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2001, hlm. 91.
timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia
hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain.
Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan ma’rifah dan mahabbah itulah
setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai oleh Sufi. Dan pengetahuan yang
diperoleh dari ma’rifah lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh
dengan akal. Adapun ma’rifah yang dimajukan oleh Zuna al-Nur al-Misri
adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya
terdapat pada kaum Sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari
mereka. Pengetahuan serupa ini hanya dapat diberikan Tuhan pada kaum Sufi.
Ma’rifah dimasukkah Tuhan ke dalam hati sorang Sufi, sehingga hatinya
penuh dengan cahaya.12 Ketika Zun al-Nun al-Misri ditanya bagaimana ia
memperoleh ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab: “Aku mengetahui Tuhan
dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja,
tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia,
tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifah adalah
pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian
tersebut dicapai setalah seorang Sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan,
kepada Tuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam
beramal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk
beribadat.
Para Sufi yang telah mencapai tinggkat ma’rifah ini memiliki perasaan
spiritual dan kejiwaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Imam Syathibi
dalam khitabnya Iqazd al-Himmah telah menyebutkan ciri-ciri mendapat
ma’rifah sebagai berikut: Berkata Syaikh Syathibi: Adapun ciri-ciri orang
yang mendapatkan ma’rifah ialah orang yang hatinya terang bagaikan cermin
yang dapat terlihat didalamnya hal-hal yang ghaib daripada selainnya dia, dan
sinar hatinya tiada lain selain kecuali cahaya iman dan cahaya yakin. Maka
12
Asep Usman Ismail, Apa Wali Itu Ada?, PT Raja Grafinda Persada, Jakarta, 2005, hlm. 165.
atas sekedar kekuatan imannya, maka bersinarlah nur hatinya. Dan atas kadar
kekuatan imannya, hatinya dapat berdialog dengan Tuhan, dan atas kadar
kekuatan musyahadah, maka dapatlah ia bermakrifah dengan nama-nama
Allah, Sifat-sifat Allah. Dan atas kadar kekuatan ma’rifatullah dengan
keduanya itu, maka dapatlah ia mencapai ma’rifah zat Allah yang maha agung
. Mengenal Allah. Al-Gazali juga banyak mengeluarkan kata-kata hikmah
yang banyak dikagumi oleh kaum sufi sesudahnya, beliau berkata apabila
seorang hamba telah bersunyi dengan dirinya, berhentilah perjalanan indera
lahir, dan bangunlah indera batin, maka teruskan zikir dengan hati,sebut dan
ingatlah dia dan jangan lepaskan. Dengan cara mujahadah seperti itu
tersingkaplah hijab yang memisahkan antara khalik dan makhluk, sehingga
terungkaplah apa yang menjadi rahasia yang berada dibalik alam nyata
ini.Itulah pokokpokok ajaran tasawuf yang pernah ada dalam sejarah
pemikiran Islam.13
D. Ma’rifat dalam Pandangan Al-Qur’an Dan Hadist
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifah adalah
pengetahuan tentang rahasia-rahsia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-
Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan kedalam hati
seorang Sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya
Tuhan). Di dalam al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur
diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang
berbunyi:
“Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya (nur) oleh Allah tiadalah
dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (Q.S. An Nur, 24:40)
Ayat tersebut berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki.
Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan
petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan
13
Simuh, dkk, Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 92.
mendapatkan kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang didapat
oleh seorang Sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat
dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah yang
berbunyi :
‫كنت خزينة خافية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعرفت ا ليھم فعرفوني‬
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka ciptakanlah Makhluk. Oleh karena itu aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku.
(hadis Qudsi)”
Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini
menunjukkan bahwa ma’rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan konsepsi ma’rifah dapat disimpulkan bahwa:
1. Mengenal Allah atau ma;rifatullah merupakan perintah Allah kepada
hamba-hamba-Nya agar mereka bisa mengenal Tuhannya.
2. Ma’rifatullah dalam pandangan sufisme tidaklah bertentang dengan Al-
Qur;an dan Hadist.
3. Untuk mencapai derajat ma’rifatullah dalam pandangan sufisme, adalah
orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah
seperti rajin shalat, senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid,
pelayan masyarakat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah
kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu
larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
B. Saran
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk
memberikan sumbangan saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah
kami untuk yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim ibn Hawazin. 1994. al-Qusyairi, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj. Ahsin
Muhammad, Penerbit Pustaka, Bandung.
Abdul Qadir al-Jilani, Futuhul Ghaib. 2009. Menyingkap Rahasia-rahasia Ilahi, Terj.
Imron Rosidi, Citra Risalah,Yogyakarta.
Abuddin Nata. 1996. Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta.
Annemarie Schimmel. 2001. Dunia Rumi Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, Terj.
Saut Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta.
Asep Usman Ismail. 2005. Apa Wali Itu Ada?, PT Raja Grafinda Persada, Jakarta.
John Renard. 2006. Mencari Tuhan Menyelami ke Dalam Samudra Makrifat, Terj.
Musa Kazhim dan Arif Mulyadi, PT Mizan Pustaka, Bandung.
Muhammad Solikin. 2007. Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, PT. Buku Kita, Jakarta.
Mulyadhi Kartanegara. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Simuh, dkk. 2001. Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin.2005. Kamus Ilmu Tasawuf, Penerbit
Amzah, Jakarta.
William C. Chittik. 2007. Jalan Cinta Sang Sufi, Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin
Rumi, Terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Penerbit Qalam,
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai