Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

DIMENSI ROH MENJADI PELAYAN PUBLIK

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Komunikasi Terapeutik Sufistik

Dosen Pengampu

Achmad Sauqi, S.Ag, M.Pd.I

Oleh

Excel Willyana Putri 126303211004

Irmah Hikmatul Islah 126303212029

Mohamad Bariq Kafabillah 126303213041

PROGRAM STUDI TASAWUF PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG

NOVEMBER 2023

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan taufiq
dan inayah serta karunia-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat penulis
realisasikan. Sholawat dan salam semoga senantiasa abadi tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW dan umatnya.

Sehubungan dengan selesainya penulisan makalah ini maka kami


mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Achmad Sauqi, S.Ag, M.Pd.I selaku Dosen pembimbing mata


kuliah “Komunikasi Terapeutik Sufistik”.
2. Kepada kelompok sebelas , mata kuliah “Komunikasi Terapeutik
Sufistik”.
3. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan makalah
ini.

Atas segala kebaikan, penulis berharap semoga kebaikan mereka di terima


oleh Allah SWT, dan tercatat sebagai amal salih. Penulis sangat menyadari,
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangatlah penulis butuhkan sebagai proses agar
kedepannya menjadi insan yang lebih baik dan selalu belajar dari kekurangan
serta kesalahan.

Tulungagung, 24 November 2023

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................II

DAFTAR ISI........................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Pemahaman Terhadap Roh...........................................................................3

B. Rindu Kepada Allah dan Ridha-Nya............................................................5

C. Kepribadian Manusia yang Royal.................................................................7

D. Membumikan Karakter Al-Qur’an................................................................9

E. Percaya Kepada Pemimpin.........................................................................14

F. Gambarkan Cita-Citaku..............................................................................17

G. Manajemen Arah Layar Kehidupan............................................................18

H. Menjadi Pelayan Publik..............................................................................19

BAB III PENUTUP..............................................................................................21

A. Kesimpulan.................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

KIP mendalami dimensi roh dalam konteks pelayanan masyarakat Muslim.


Baharuddin memaparkan aspek roh dan dimensi roh, terbagi dalam dimensi al-ruh
dan dimensi al-fitrah. Fitrah dianggap sebagai anugerah yang melindungi manusia
dari kehilangan dimensi roh, menjaga akal, kalbu, roh, dan nafs untuk kebaikan.
Komunikasi internal menyoroti pentingnya dimensi fitrah dari Allah SWT sebagai
pelindung esensi manusia. Aspek rohaniah, sesuai Al-Qur'an, memiliki dua
dimensi psikis: al-ruh dan al-fitrah. Potensi roh ilahiah menunjukkan kepemilikan
roh oleh Allah, dengan manusia memiliki pengetahuan terbatas.

Ayat Al-Qur'an tentang ruh menggarisbawahi ketaatan pada urusan ruh


sebagai hikmah Tuhan. Potensi roh, dikemukakan oleh Hamdani Bakran,
tergantung pada kedekatan dengan Allah, mencapai puncak perjalanan spiritual,
dan menjalani ekspresi keinsanan. Keseluruhan unsur jasmaniah dan spiritual
manusia terhubung dengan cahaya roh-Nya, menjamin kehidupan hakiki,
terlindungi dari kegaiban dan tipu daya setan. Dengan demikian, potensi roh
ilahiah menjadi sumber kehidupan hakiki, terjaga dan terbimbing oleh cahaya roh-
Nya, dan bersatu dengan para rasul, nabi, dan ahli waris mereka.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemahaman terhadap roh itu?


2. Bagaimana rindu kepada Allah dan ridha-Nya?
3. Bagaimana kepripadian orang yang loyal?
4. Bagaimana membumikan karakter Al-Qur’an?
5. Bagaimana percaya kepada pemimpin?
6. Bagaimana menggambar cita-citaku?
7. Apa manajemen arah layar kehidupan?
8. Bagaimana menjadi pelayan publik?

1
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pemahaman terhadap roh.


2. Untuk mengetahui rindu kepada Allah dan ridha-Nya.
3. Untuk mengetahui kepribadian orang yang loyal.
4. Untuk mengetahui membumikan karakter Al-Qur’an.
5. Untuk mengetahui percaya kepada pemimpin.
6. Untuk mengetahui gambar cita-citaku.
7. Untuk mengetahui manajemen arah layar kehidupan.
8. Untuk mengetahui menjadi pelayan publik.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemahaman Terhadap Roh

belum cukup memiliki ilmu ketuhanan dan hakikat akan dapat menerima
penjelasan Allah yang memang mereka belum mengimani dan meyakini dengan
haqqul yaqin tentang kebesaran dan kekuasaan-Nya yang Maha suci lagi Maha
luas. Perlu diketahui bahwa roh berbeda dengan jism, dimana jism tidak memiliki
daya tanpa roh. Adapun roh tidk dapat berwujud tanpa jism dan bersifat dinamis,
yaitu dia dapat berpindah dari suatu dimensi ke dimensi lain.

1. Nama roh

Syekh Nuruddin ar-Rainy r.a menyatakan, bahwa roh yang agung (ruh
al’Adzim) adalah roh insan dan ia adalah khalifah pada alam insan, khalifah
dari sekalian para ulama suci, ulama mutakallimin, hukama (ahli hukum).
Dan menurut beliau, roh itu memiliki beberapa nama, dan dari nama tersebut
dapat diketahui fungsinya, antara lain:1

a. Nur (cahaya), ia dikatakan nur karena ia menerangi seluruh alam jasad,


dari padanyalah asal usul makhluk Allah.
b. Roh. Ia dikatakan roh karena segala alam ini bergerak dengan dia serta
tempat terbitnya hidup dan yang dihidupkan.
c. Akal Awal, ia dikatakan akawal awal karena ia menyampaikan sekalian
orang yang bermakrifat untuk mengenal Allah, dan ia membicarakan Rab
yang menjadikan dia
d. Durratul Baidha’(Inti Kebajikan), ia dikatakan dengan inti kebajikan,
karena ia menerima cahaya dari sifat Bahrul Qadim (samudra yang awal).
e. Ursyudul Majid, ia dinamakan dengan itu, karena ia meliputi sekalian
alam insan.
2. Potensi roh

1
Syekh Nuruddin ar-Raniry, Asrar al-Insan fi Makrifat ar-Ruh wa ar-Rahman (Balikpapan: tp., tt.),
hlm. 2-5, dalam Adz-Dzaky, Psikoterapi & Konseling Islam: Penerapan Metode Sufistik, hlm. 38-39.

3
Potensi dan aktivitas roh dapat dilihat dari sisi lima martabat dan sisi
empat macam roh. Potensi roh ilahiah yang utama adalah memberikan hidup
dan kehidupan yang hidup secara hakiki, dalam habitat dan ketuhanan dan
serumpun bersama-sama para Rasul , Nabi, dan ahli waris mereka. Jasmani
orang-orang yang potensi roh ilahiahnya eksis, mereka akan terjaga, dan
terbimbing dengan cahaya roh-Nya dari kehancuran dan tipu daya setan.2

Imam Ghazali dalam kitabnya, ‘Miskat al-Anwar menyatakanbahwa roh


memiliki lima martabat, yakni:3

a. Martabat pertama, Roh Hassas, yaitu roh yang menerima perasaan, ia


adalah roh hewan dan ia ada dalam rahim ibu
b. Martabat kedua, Roh Hayal, yaitu roh yang memelihara segala rupa
perasaan, ia terdapat pada anak-anak yang masih muda umurnya.
c. Martabat ketiga, Roh Akal, yaitu roh yang mendapat semua ma’ni,
yang keluar dari panca indra dan khayal seperti pendapat makrifat
yang daruri. Roh akal ini tidak terdapat pada binatang dan anak-anak.
d. Martabat keempat, Roh Kudus, yang nabawi yaitu khusus bagi para
nabi dan beberapa wali, dengan roh ini dapat diketahui makrifat
Malaikat langit dan bumi.

Syekh Abdullah bin Husain al-Makki al Djailani menyatakan bahwa


potensi roh itu ada empat, yaitu:4

a. Roh Namiya, yaitu yag ada pada manusia, hewan, dan tumbuh-
tumbuhan. Pekerjaannya memelihara dan menumbuhkan.
b. Roh Mutaharrika, yaitu yang terdapat pada manusia dan hewan, tidak
ada pada tumbuh-tumbuhan, ia disebut juga dengan roh hewani, sebab
hewan bergerak karenanya.

2
Adz-Dzaky, Psikoterapi & Konseling Islam: Penerapan Metode Sufistik, hlm. 40
3
Syekh Nuruddin ar-Raniry, Asrar al-Insan fi Makrifat ar-Ruh wa ar-Rahman (Balikpapan: tp., tt.),
hlm. 221, dalam Adz-Dzaky, Psikoterapi & Konseling Islam: Penerapan Metode Sufistik, hlm. 38-
39.
4
Ibid

4
c. Roh Natika, yaitu khusus bagi manusia, tidak ada pada hewan dan
tumbuh-tumbuhan, ia juga disebut dengan roh insan, yang terjadi
dalam Amr.
d. Roh Kudus, yaitu faid (penjelmaan) Nur Dzat Allah bagi semua nabi
dan wali yang ada mukjizad dan karahmah, mereka paham akan semua
ma’ni dan batin. Semuanya dari ta’hrir (pengaruh) roh.

Aktivitas roh memelihara dan menumbuhkan. Roh menggerakkan jasmani.


Roh manusia menumbuhkan dan menggerakkan tubuh. Pengaruh roh semua
nabi menerima mukjizat dan wali mendapat karahmah. Jasmani manusia
beraktivitas karena roh mengalir pada tubuh manusia. Adanya roh, manusia
memiliki perasaan dan semua menjaga perasaan. Otak dan panca indra
manusia menjadi berfungsi.

B. Rindu Kepada Allah dan Ridha-Nya

Rindu kepada Allah dan ridha-Nya merupakan sifat dan ciri utama dari orang
yang beriman. Rindu kepada Allah dan ridha-Nya yang menjadikan kita selalu
berusaha untuk melakukan hal-hal yang mendekatkan diri kepadaNya. Ini
merupakan sifat dan kemuliaan yang Allah SWT jadikan bagi hamba-hamba yang
dipilihNya di dunia. Sehingga balasan untuk mereka Allah jadikan balasan
khusus. Rindu kepada Allah tentu menjadikan seorang hamba ingin mengetahui
jalan untuk bisa mengungkapkan rasa rindunya. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: “Barang siapa yang mengharapkan/cinta untuk berjumpa dengan Allah,
maka Allah SWT pun cinta dan merindukan perjumpaan dengan dirinya.” (HR.
Tirmidzi)5

Imam Al-Ghazali menggambarkan perihal rindu kepada Allah, berikut ini


kutipan dari kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali:

“Pertama, adalah cara berpikir, khayalan, I’tibar. Setiap pencinta (orang yang
mencintai) niscaya merindukan kekasih (orang yang dicintainya) ketika seorang
kekasih tidak dihadapkan secara fisik...6

5
Abdullah Taslim, (2021) Ceramah Singkat: Rindu Kepada Allah, Ngaji.ID
6
Imam Al-Ghazali, (2011) Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), hal. 291

5
Kedua, kita tidak akan menemukan batas dan tepi bagi rahasia-rahasia Ilahi,
tapi sebagian dari rahasia-rahasia ini terungkap kepada setiap manusia. Tidak pula
tepi bagi perkara-perkara yang tesembunyi...7

Ketiga, rindu kepada Allah. Kerinduan kepada Allah Azza wa Jalla tidak akan
terpuaskan di dunia ini. Kerinduan ini tidak akan terpuaskan di dunia ini.
Kerinduan ini tidak mempunyai akhir di dunia dan baru akan berakhir
(terpuaskan) di akhirat nanti...”8

Sejatinya kerinduan kepada Allah SWT tidak akan terpuaskan di dunia ini.
Pada dasarnya kerinduan itu tidak mempunyai akhir di dunia dan baru akan
terpuaskan di akhirat kelak. Ilmu mengenai Allah sama dengan pengenalan
terhadap Allah atau bisa di sebut dengan ma’rifatullah. Dimana hal tersebut tidak
memiliki batas dan tepi. Sedangkan pengetahuan manusia itu sangatlah terbatas.

Allah senantiasa merindukan orang-orang shaleh untuk berjumpa dengan-Nya


dan begitu pula dengan-Nya yang selalu senantiasa merindukan orang yang rindu
terhadap-Nya. Selain itu, barang siapa yang mencintai Allah SWT maka ia akan
menemukan-Nya. Namun barang siapa yang mencari selain Allah, maka niscaya
ia tidak akan mendapatkan-Nya.

Ketika seseorang telah menanamkan cintanya kepada Allah maka akan timbul
rasa rindu kepada-Nya, dengan hal ini ia akan senantiasa mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Sangat penting untuk seorang hamba menekankan rasa cinta serta
rindu kepada Allah agar selama hidup di dunia tidaklah sia-sia. Selanjutnya akan
ditunjukkan dengan keridhaan-Nya terhadap ketetapan yang dibuat oleh yang
dicintainya.

Seseorang yang merindukan ridha Allah akan senantiasa mendekatkan diri


dengan beribadah hanya karena mengharap ridha Allah. Ini merupakan tingkatan
ibadah yang paling tinggi. Ridha Allah adalah sumber segala sumber kenikmatan
dan karunia yang akan menyelamatkan manusia dari segala kamudharatan.9

7
Ibid, hal. 291
8
Ibid, hal. 291
9
Ahmad Niam Syukri Masruri, Ridha Allah Sumber Segala Kenikmatan, Jateng.nu.or.id

6
Orang yang tidak menyekutukan Allah pasti ia akan merasakan aman dan
nyaman dalam hatinya karena ia yakin apapun yang terjadi pada dirinya semua itu
dikembalikan kepada Allah SWT. Ia menyadari bahwa semua di alam semesta ini
milik Allah SWT. Manusia yang percaya kepada Allah SWT dan yakin bahwa dia
diciptakan sebaik-baiknya ciptaan maka ia tidak akan merasa rendah diri, pesimis,
konsep negatif, dll. Orang yang memiliki konsep diri positif sangat mengenal
akan dirinya, mengetahui kekuatan dirinya, sehingga ia selalu mengasah
potensinya yang ada, dimana potensi tersebut dapat berkembang menjadi profesi.
Bagaimanapun situasi kita, pasti memiliki kelebihan, dimana kelebihan tersebut
dapat mengangkat derajat kita melalui rindu dan ridha-Nya.10

C. Kepribadian Manusia yang Royal

Kepribadian loyal dalam komunikasi intrapribadi mencakup karakteristik


seperti kesetiaan, kepercayaan, dan keterbukaan, orang dengan kepribadian loyal
cenderung memiliki sikap yang sangat perhatian terhadap hal-hal di sekitar
mereka. Mereka juga merasa bahagia ketika dapat membantu orang lain dan
sering bekerja di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan ilmu sosial.
Selain itu, orang dengan kepribadian loyal juga cenderung sulit marah, sensitif,
baik hati, dan mudah berempati kepada orang lain. Dengan demikian, ciri
kepribadian loyal dalam komunikasi intrapribadi mencakup sikap perhatian
terhadap orang lain, kemauan untuk membantu, serta pengembangan sifat-sifat
yang mencerminkan kebaikan, kejujuran, dan kepedulian terhadap sesama.
Loyalitas dalam komunikasi intrapribadi juga mencerminkan kesetiaan dan
kepercayaan yang tinggi terhadap orang lain, serta kesediaan untuk membangun
hubungan yang dipenuhi dengan kepercayaan, keterbukaan, dan empati.11

Kepribadian manusia yang loyal dalam komunikasi terapeutik dapat


mencakup karakteristik seperti keikhlasan (genuineness), empati (empathy), dan
kehangatan (warmth). Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien. Dalam konteks terapi, loyalitas dalam komunikasi terapeutik

10
Armawati Arbi, Komunikasi Intrapribadi, hlm. 234
11
Irta Sulastri, “Komunikasi Terapeutik Kajian,” Journal komunikasi dan penyajian I, no. 1 (2018):
12.

7
mengacu pada kesetiaan perawat atau terapis dalam membangun hubungan yang
dipenuhi dengan kepercayaan, keterbukaan, dan empati dengan pasien.
Komunikasi terapeutik juga melibatkan interaksi antara perawat profesional dan
pasien yang bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan, keamanan, kepercayaan,
atau kesehatan dan kesejahteraan pasien. Dalam hal ini, loyalitas dalam
komunikasi terapeutik menunjukkan kesediaan untuk mendengarkan dengan
penuh perhatian, memberikan dukungan, dan membangun hubungan yang positif
dengan pasien untuk mencapai tujuan terapi. Dalam praktiknya, loyalitas dalam
komunikasi terapeutik juga mencerminkan sikap empatik, hangat (ramah), dan
tulus (besungguh-sungguh) dari perawat atau terapis. Hal ini menunjukkan bahwa
kesetiaan dalam komunikasi terapeutik memainkan peran penting dalam
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pasien untuk berbagi
pengetahuan, perasaan, dan informasi dalam rangka mencapai tujuan perawatan
yang optimalDengan demikian, kepribadian manusia yang loyal dalam
komunikasi terapeutik menunjukkan kesediaan untuk membangun hubungan yang
dipenuhi dengan kepercayaan, keterbukaan, dan empati dengan pasien, serta
memberikan dukungan dan perhatian penuh untuk mencapai tujuan terapi.12

Dalam konteks tasawuf, kepribadian yang loyal cenderung memiliki dimensi


spiritual dan etika yang mendalam. Beberapa ciri kepribadian loyal dalam tasawuf
melibatkan:

1. Tawakal (Bergantung pada Allah): Seseorang yang memiliki kepribadian


loyal dalam tasawuf cenderung memiliki sikap tawakal, yaitu kepercayaan
dan ketergantungan penuh kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan
2. Ikhlas (Kehendak yang Murni): Kepribadian loyal di dalam tasawuf
mencakup kesucian niat dan tindakan, di mana seseorang bertindak semata-
mata karena Allah tanpa mengharapkan pujian atau ganjaran dunia.
3. Dzikir (Mengingat Allah): Seseorang yang loyal dalam tasawuf seringkali
terlibat dalam dzikir, yaitu mengingat dan menyebut nama-nama Allah secara
teratur untuk memperkuat hubungan spiritual mereka.

12
Surya Atika, “Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Religius, Cinta Tanah Air Dan Disiplin) Di SLB Al
Ishlaah Padang,” E-JUPEKhu (Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus) 3, no. 3 (2014): 747–755.

8
4. Sabar dan Syukur: Mereka memiliki kesabaran dalam menghadapi cobaan
dan kesyukuran dalam kebahagiaan. Ini mencerminkan kesadaran terhadap
takdir Allah.
5. Tawadhu' (Kerendahan Hati): Kepribadian loyal dalam tasawuf mencakup
sifat tawadhu', di mana seseorang rendah hati dan tidak menyombongkan diri.
6. Muhasabah (Introspeksi Diri): Orang yang loyal dalam tasawuf cenderung
melakukan muhasabah, yaitu introspeksi diri untuk memeriksa perbuatan,
pikiran, dan niat mereka secara berkala.
7. Tafakkur (Merenung): Seseorang yang loyal dalam tasawuf seringkali terlibat
dalam tafakkur, yaitu merenungkan makna-makna spiritual dan tujuan hidup.
8. Kasih Sayang dan Keadilan: Mereka menunjukkan kasih sayang terhadap
sesama makhluk dan berusaha untuk menjalani kehidupan dengan prinsip
keadilan.

D. Membumikan Karakter Al-Qur’an

Membumikan karakter Al-Qur'an berarti mengaplikasikan nilai-nilai dan


ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
mencakup pengembangan karakter dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran
Islam. Menurut ajaran tasawuf dalam Islam dapat membentuk kepribadian Insan
Kamil, yaitu manusia yang sempurna secara spiritual. Ciri-ciri kepribadian Insan
Kamil mencakup sikap-sikap muhasabah (introspeksi diri), muraqabah
(pengawasan diri), dan sifat-sifat yang mencerminkan kebaikan, kejujuran, dan
kepedulian terhadap sesama.Dalam konteks komunikasi intrapribadi,
membumikan karakter Al-Qur'an dapat tercermin dalam sikap-sikap yang
mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti kesetiaan, kepercayaan, dan
keterbukaan. Dalam hal ini, membumikan karakter Al-Qur'an dalam komunikasi
intrapribadi mencakup pengembangan sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai
Islam, seperti kesetiaan, kepercayaan, dan keterbukaan. Hal ini menunjukkan
kesediaan untuk membangun hubungan yang dipenuhi dengan kepercayaan,
keterbukaan, dan empati dengan rekan kerja atau sesama anggota organisasi.
Dengan demikian, membumikan karakter Al-Qur'an dalam komunikasi
intrapribadi mencakup pengembangan sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai

9
Islam, seperti kesetiaan, kepercayaan, dan keterbukaan, serta pengembangan sifat-
sifat yang mencerminkan kebaikan, kejujuran, dan kepedulian terhadap sesama.

Usaha kaum muslimin untuk memahami al-Qur'an dalam rangka menemukan


dan memfungsikan al-Qur'an sebagai petunjuk (huda) dalam realita kehidupan
nampaknya tidak pernah berhenti dilakukan. Hal ini ditandai dengan telah
lahirnya berbagai karya tafsir dengan metode pendekatan yang bermacam-macam.
Pada periode Rasul dan sahabat, kaum muslim memang tidak terlalu banyak
mengalami kendala di dalam memahami kitab suci tersebut, karena disamping
menguasai bahasa Arab dengan baik, mereka juga mengetahui betul seluk beluk
turunnya ayat. Selain itu, apabila mereka menghadapi suatu persoalan dalam
memahami al-Qur'an, mereka dapat secara langsung menanyakan kepada
Rasulullah. Namun setelah Rasulullah meninggal, persoalan-persoalan yang
dihadapi kaum muslim menjadi berkembang dan semakin kompleks, kaum
muslim kemudian berupaya menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut dengan
merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Pemahaman dan penafsiran
terhadap alQur'an tersebut telah melahirkan banyak karya tafsir dengan metode
pendekatan yang beragam. Setidaknya terdapat empat metode tafsir yang lazim
dikenal selama ini, yaitu metode tahlily, metode ijmaly, metode muqaram dan
metode maudu'iy. Berbagai metode ini membuktikan bahwa tafsir adalah usaha
manusia untuk memahami kandungan ayat ayat al-Qur'an, sesuai dengan
kemampuan akalnya. Suatu hal yang tidak dapat dibantah adalah bahwa seorang
mufassir, walaupun telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam keilmuannya,
tidak mengatakan secara pasti dan fmal bahwa inilah tafsir yang paling benar dan
yang dimaksud sesunggunya oleh Allah SWT.

Suatu tafsir mencerminkan keterbatasan kemampuan penafsirnya dan


sekaligus ia tidak terlepas dari subyektifitas dirinya, bahkan yang lebih tepat atau
pandangan yang intersubtektif karena ketika seseorang menafsirkan sebuah ayat
dalam benaknya juga hadir sekian subyek yang dijadikan rujukannya . Dengan
demikian, tidak mengherankan jika ayat yang sama akan berbicara berbeda-beda
ketika berjumpa dengan Qurays Shihab selanjutnya disebut Shihab dan
mufassirmufassir lainnya. Upaya membumikan pesan-pesan al-Qur'an yang
dilakukan Shihab tidak terlepas dari tanggung jawab dan kewajib- annya sebagai

10
seorang umat Islam. Zamakhsyari dalam mukaddimah Tafsir al-Kasysyaf,
berpendapat bahwa mempelajari tafsir al-Quran merupakan fardu ayn.

Mahmud al-Aqqad menulis, bahwa kita berkewajiban memahami alQur'an di


masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang Arab yang hidup di masa
dakwah Muhammad SAW.' Hal ini sesuai dengan keyakinan teologis universal-
itas yang tidak saj a menghasilkan pandangan bahwa ia berlaku untuk semua
tempat dan walctu. Seperti yang telah dibuktikan oleh kaum muslim klasik, tapi
bisa juga dipahami dari aspek lain yaitu bahwa kebenaran Islam melalui
penafsiran terhadap al-Qur'an dapat didekati dengan berbagai pola oleh setup
bangsa dan masa, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu untuk
membumikannya dalam konteks Indonesia, kita hams memberinya interpretasi
barn tanpa mengorbankan teks sekaligus kepribadian, budaya bangsa dan
perkembangan positif masyarakat

Untuk memahami tujuan al-Quran, Qur ' an terlebih dahulu harus mengetahui
periode turunnya al-Qur'an. Karena dengan mengetahui periode-periode tersebut,
tujuan-tujuan al-Qur'an lebih jelas. Berdasarkan ringkasan sejarahnya, tampaknya
bahwa Tuhan menurunkan ayat-ayat al-Qur'an sejalan dengan pertimbangan
dakwah yang diperintahkan kepada Rasulullah. Dengan demikian Al-Qur'an
diturunkan sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat. Apabila
dakwah telah menyelu ruh, dimana orang-orang telah berbondong-bondong untuk
memeluk agama Islam, maka berakhirlah penurunannya dan datang pulalah
penegasan dari Allah SWT. Artinya ayat-ayat alQur'an disesuaikan dengan
keadaan masyarakat saat itu. Tetapi ini bukan berarti ajaran-ajarannya hanya dapat
diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau pada waktu itu saja melainkan
hanya dijadikan sebagai argu-mentasi dakwah. AlQur'an dapat diumpamakan
sebagai seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat melepas-kan diri
dari keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek dakwah.
Dimana metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembang-an
dan tingkat kecerdasan objek tersebut.

Menekankan Aspek Korelasi (Munasabah) antara Satu Ayat atau Surat


sebelum atau sesudahnya Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu

11
ayat atau tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan
kata kata dalam redaksi ayat tadi. Contohnya seperti dalam (QS. 27-88) yang
artinya dan engkau lihat gunung-gunung itu kamu sangka tetap pada tempatnya,
padahal ia berjalan sebagaitnna jalannya awan memahami ayat ini terlebih dahulu
harus dipahami konteks ayat ini dengan ayat- ayat sebelumnya dan ayat-ayat
sesudahnya. Apakah ia berbicara tentang keadaan gunung di dunia kita saat ini
ataukah keadaan gunung setelah kiamat nanti. Terbukti bahwa ayat ini
membicarakan keadaan bumi saat ini, bukan di hari kiamat nanti dengan
munculnya teori gerakan bumi, baik mengenai peredarannya mengel ilingi
matahari maupun gerakan lapisan pada perut bumi. Selanjutnya dalam peristiwa
perjalanan rasulullah dari Makkah ke Bayt alMaqdis, kemudian naik ke Sidrat al-
Muntaha, lalu kembali ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan
tantangan terbesar sesudah al-Qur'an disodorkan oleh Tuhan kepada umat
Manusia.

Bagi kaum empiris dan rasionalis yang terlepas dari bimbingan wahyu tentu
tidak akan mempercayai kejadian dan keajaiabn yang terjadi pada diri rasul.
Berangkat dari peristiwa ini, untuk menje-laskannya, Shihab mengutip pendapat
al-Suyuthi dalam Asrar Tartib al-Qur'an yang mengatakan bahwa pengantar satu
uraian dalam al-Qur'an adalah uraian yang terdapat dalam al-Quran adalah uraian
yang terdapat dalam surat sebelumya. Dengan demikian, maka pengantar uraian
peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang
berarti lebah. Dikatakan dengan Lebah kare-na mekhluk ini memiliki keajaiban
yang bukan hanya terlihat pada jenisnya. Keajaibannya juga terlihat dari bentuk
sarangnya bersegi enam dan di-selubungi oleh selaput yang sangat halus,
menghasilkan madu untuk kesehatan, dan masih banyak lagi. Lebah dipilih Tuhan
untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar penjelasan
manusia seutuhnya. Berdasarkan hal di atas kita dapat mengetahui bahwa
penyusunan ayatayat atau surat dalam al Qur'an tidak didasarkan pada kronologis
masa turunnya, tetapi pada korelasi maknanya, sehingga kandungan ayat atau
surat terdahulu selalu berkaitan dengan kandungan ayat atau surat kemudian.
Itulah sebabnya hubungan antara ayat atau surat dengan lainnya dalam al-Qur'an
satu sama lain dalam hubungan yang sangat serasi.

12
Problematika Pembumian AI-Qur'an Pembumian AI-Qur'an walaupun sejak
masa berdirinya Islam atau turunnya ke bumi sudar terns diupayakan, namun
dalam persinggungannya dengan historis, perkembangan pemikiran manusia,
penyebaran ragamnya kebudayaan dan terlebih perkembangan ilmu pengetahuan
tak semuanya berjalan mulus. Problematika yang nampak dalam pembumian AI-
Qur'an di antaranya disebabkan beberapa hal di bawah ini:

1. Tak semua pesan Al-Qur'an bisa dibumikan mengingat faktorgeografis,


keterbatasan pemahaman dan sarana penunjang.Al-Qur'an sangat fleksibel
mendefinisikan perintah atau pesannya, seperti: "Buatlah mudah
danjanganlah dipersulit, Allah tidak akan membebankan of eh sualu kaum di
luar kesanggupannya ". Ayat-ayat ini menjadi sebab pemahaman yang
relatif, sekaligus kemudahan yang bisa didapati dalam kondisikondisi
tertentu. Dari sisi Jain menampakkan fenomena akan terjadinya
penyimpangan maksud yang sesungguhnya dari ayat Al-Qur'an itu sendiri,
karena kelemahan manusia yang berhadapan dengan kondisi geografis dan
sarana penunjangnya.
2. Perbedaan Jahjah atau bahasaAl-Qur'an adalah kitab penunjuk yang
berbahasa Arab. Dalam persinggungannya dengan budaya luar (bahasa
'Ajam) tak semua pesan Al-Qur'an ditransformasi secara persis, ha] ini
terjadi karena banyak istilah Arab yang ditransformasi melalui terjemahan
akan selalu dibarengi dengan bahaya reduksi dan implikasi kandungan
makna. Akibatnya kultur bahasa yang khas tak mudah dipindah ke dalam
bahasa lain dalam kultur yang berbeda, contohnya: kata 'fitnah' dalam
bahasa Indonesia dengan 'fitnah' dalam bahasa AJ-Qur'an. "Sesungguhnya
anak-anak dan harta-harta yang ada pada kamu ilu adalah fitnah". Sangat
jauh perbedaan konotasinya, sehingga maksud dari ayat yang merupakan
representasi kehendak Tuhan itu sangat jauh dari jangkauan manusia karena
alasan beda bahasa. Belum Jagi disiplin keilmuan penafsir yang memberi
interpretasi terkadang cenderung politis dan berada pada kisaran disiphn
ilmu yang ditekuninya masing-masing, seperti Filsafat cenderung
melahirkan corak Falsafi, Tasawuf melahirkan Sufi, Fikih melahirkan Tafsir
Hukum, Estetika melahirkan Akhlak, dan lain-Jain.

13
3. Perbedaan bentuk atau dasar negara (kekuasaan)Sebagai agama universal
yang telah disempumakan, Islam tidak hanya memberikan pedoman hidup
pada aspek akidah, ibadah, akhlak, tetapi juga dalam bidang
kemasyarakatan (kekuasaan). Untuk bisa melaksanakan seluruh aturan Al-
Qur'an, bebcrapa pemikir Islam seperti: Jbn al-Farra, al-Mawardi, Sayyid
Qutb, menegaskan perlunya sebagai legitimasi dipentingkan mengingat
banyak dari adanya perbedaan bentuk atau dasar negara, hukum
kemasyarakatan yang berkaitan dengan hukuman pidana, seperti: pencurian
(QS 5:58), zina (QS 24:2), menuduh zina (QS 24:4-5), membunuh (QS 2: I
78), minumanminuman keras (QS 5:90), murtad, ta'zir dan lainnya tak
dapat dilaksanakan. Padahal ini merupakan masalah penting untuk menolak
orang-orang melampaui batas kemuliaan, moral, untuk menjamin
keamanan, keadilan, kemerdekaan, di samping untuk merelaisasikan
keseimbangan dalam menghormati hak dan kewajiban, serta kemas!ahatan
umum umat manusia.
4. Dominasi dasar-dasar ide atau nilai berpengaruh pada kendalarekayasa
prasarana yang menjembatani upaya pembumian.13

E. Percaya Kepada Pemimpin

Percaya kepada pemimpin dalam konteks komunikasi intrapribadi merupakan


hal yang penting dalam membangun hubungan yang sehat di dalam organisasi.
Pemimpin yang efektif pada umumnya memiliki kemampuan komunikasi yang
efektif, sehingga sedikit banyak akan mampu merangsang partisipasi orang-orang
yang dipimpinnya. Komunikasi yang baik dengan kepemimpinan sangat erat
hubungannya, sehingga seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas,
jujur, bertanggung jawab, berani dalam mengambil keputusan, dan keahlian
berkomunikasi yang sangat baik.

Menurut ditsmp.kemdikbud.go.id,14 seorang pemimpin yang hebat haruslah


menguasai kemampuan berbicara, baik secara pribadi dengan individu ataupun
berbicara di depan umum. Agar dapat mengatur anggotanya dengan baik, salah

13
M Luthfi, “Membumikan Al-Qur’an: Peluang Dan Tantangan,” Al-Qalam 20, no. 98,99 (2003):
21–40.
14
https://ditsmp.kemdikbud.go.id/

14
satu kemampuan yang wajib dimiliki seorang pemimpin adalah kecakapan dalam
berkomunikasi. Komunikasi yang dimaksud sendiri tidak hanya sekadar bisa
berbicara, namun juga melibatkan kemampuan mendengarkan dengan
baik.Dengan demikian, percaya kepada pemimpin dalam konteks komunikasi
intrapribadi mencakup kemampuan pemimpin dalam berkomunikasi secara
efektif, mendengarkan dengan baik, memiliki keahlian berbicara, serta
membangun hubungan yang dipenuhi dengan kepercayaan, keterbukaan, dan
empati dengan anggota organisasi.

Definisi Kepercayaan kepada Pemimpin Robbins dan Judge (2008: 97)


Kepercayaan (trust) adalah ekspektasi atau pengharapan positif bahwa orang lain
tidak akan melalui kata-kata, tindakan dan kebijakan serta bertindak secara
oportunistik. Dua unsur penting dari definisi kepercayaan adalah bahwa
kepercayaan menyiratkan familiaritas dan resiko.

Definisi kepercayaan yang dikemukakan oleh Suranto (2011: 32) menyatakan


bahwa kepercayaan adalah perasaan bahwa tidak ada bahaya dari orang lain dalam
suatu hubungan. Kepercayaan berkaitan dengan keteramalan (prediksi), artinya
ketika kita dapat meramalkan bahwa seseorang tidak akan menghianati dan dapat
bekerjasama dengan baik, maka kepercayaan kita pada orang tersebut lebih besar.
Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan
dapat bersifat rasional dan irrasional. Kepercayaan memberikan perspektif pada
manusia dalam mempersepsikan kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan
keputusan dan menentukan sikap terhadap objek sikap.15

Solomon (1959 dalam Rahmat, 2007: 42) kepercayaan dibentuk oleh


pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan. Pengetahuan dihubungkan dengan
jumlah informasi yang dimiliki seseorang. Banyak 19 kepercayaan didasarkan
pada pengetahuan yang tidak lengkap. Kebutuhan dan kepentingan sering
mewarnai kepercayaan.

Devos (2007 dalam Kusumaputri, 2015 :103) kepercayaan pada pemimpin


termasuk dalam kategori sebagai konteks perubahan organisasi. Kepercayaan
15
Nabila Rahma Aidina and Unika Prihatsanti, “Hubungan Antara Kepercayaan Terhadap
Pemimpin Dengan Keterikatan Kerja Pada Karyawan Pt Telkom Witel Semarang,” Jurnal EMPATI
6, no. 4 (2018): 137–142.

15
digambarkan sebagai tingkat kepercayaan para anggota dalam suatu organisasi
terhadap niat baik para pemimpinnya yang secara khusus merefleksikan sejauh
mana para anggota mampu mempercayai kejujuran, keikhlasan dan objektifitas.

Robbins dan Judge (2008: 98) pada dasarnya, kepercayaan memberikan


peluang untuk kecewa atau dimanfaatkan orang lain. Kepercayaan bukan sekedar
mengambil resiko melainkan juga kesediaan untuk mengambil resiko tersebut.
Jadi, ketika mempercayai mempercayai seseorang, berharap ia tidak sedang
memanfaatkan kepercayaan yang kita berikan. Kesediaan untuk mengambil resiko
bisa terjadi pada semua situasi kepercayaan.

Giffin (1967 dalam Rahmat, 2007: 130) menyebutkan 3 unsur yang membuat
seseorang dapat dipercaya yakni

1) ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh


kepercayaan kepada seseorang, ia akan menghadapi risiko. Risiko itu
dapat berupa kerugian yang dapat dialami.
2) orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti menyadari
bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.
3) orang yang menyakini bahwa perilaku orang lain akan berakibat baik
bagi dirinya. 20 Bligh (2017) kepercayaan adalah hubungan
interpersonal yang dinamis antar manusia, dengan implikasi unik
untuk tempat kerja.

Kepercayaan diklaim sebagai harapan atau keyakinan yang bisa dilakukan


seseorang mengandalkan tindakan dan kata-kata orang lain dan bahwa orang
tersebut memiliki niat baik untuk melaksanakan janji mereka. Kepercayaan sangat
berarti dalam situasi di mana seseorang pihak beresiko atau rentan terhadap pihak
lain. Lewis dan Weigert (1985) mendefinisikan bahwa kepercayaan didasarkan
pada proses kognitif yang membedakan antara orang dan lembaga yang dapat
dipercaya, tidak dipercaya dan tidak diketahui. Dalam hal ini kognitif akan
memilih siapa yang akan dipercaya dan hormati sehingga itulah yang menjadi
alasan yang baik dalam menentukan siapa yang dapat dipercaya. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa kepercayaan adalah suatu harapan positif, asumsi, atau
keyakinan dari proses kognitif seseorang yang dipegang dan ditujukan pada orang

16
lain bahwa orang tersebut akan berperilaku seperti yang diharapkan dan
dibutuhkan. Ketika seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain maka
harapannya terhadap orang tersebut adalah dapat mewujudkan harapan-harapan
yang ada pada dirinya. Dari 5 (lima) faktor yang mendasari kepercayaan,

a) Dimensi integritas adalah yang paling penting saat seseorang menilai


apakah orang lain bisa dipercaya atau tidak. Misalnya ketika 570 pegawai
kantoran belum lama ini diberi daftar 28 sifat yang terkait dengan
kepemimpinan dan mereka memilih kejujuran berada pada peringkat
tertinggi.
b) Kompetensi Kompetensi meliputi pengetahuan serta keahlian teknis dan
antarpersonal individu. Seseorang cenderung tidak mendengar atau
menggantungkan diri pada seseorang yang kemampuannya tidak bisa
dipercayai. Seseorang perlu percaya bahwa orang tersebut memiliki
keahlian dan kemampuan untuk melakukan apa yang mereka katakan.
c) Konsistensi Konsistensi berkaitan dengan keandalan, prediktabilitas dan
penilaian yang baik pada diri seseorang dalam menangani situasi.
Inkonsistensi antara kata dan perbuatan akan menurunkan tingkat
kepercayaan. Konsistensi terutama relevan bagi manajer. Tidak ada hal
yang paling cepat menarik perhatian melebihi ketimpangan 22 antara kata-
kata yang dikorbankan eksekutif dan apa yang mereka harapkan dilakukan
oleh para rekan mereka.
d) Kesetiaan Kesetiaan adalah kesediaan untuk melindungi dan
menyelamatkan muka orang lain. Kepercayaan masyarakat bahwa
seseorang mampu untuk bergantung pada seseorang yang diyakini tidak
akan berlaku secara oportunistik.
e) Keterbukaan (Openness) Dengan keterbukaan, seorang pemimpin akan
dapat bekerja secara tenang tanpa terganggu praduga-praduga yang negatif
dari staffnya ataupun dari koleganya yang lain. Dalam batas-batas tertentu
keterbukan ini memang menjadi positif dalam meneguhkan
kepemimpinannya, namun ada juga hal-hal yang terkait keterbukaan ini
yang mestinya dikembangkan dan dijalankan secara proporsional sesuai
levelnya.

17
F. Gambarkan Cita-Citaku

Manusia yang memiliki manajemen cita-citanya, biasanya menulis dibuku


diarinya rencana-rencana mingguan, bulanan, bahkan tahunannya. Secara rutin, ia
terus mengupdate dan merevisi kembali cita-citanya, seperti tentang cita-citanya
dan proses yang sedang ia lakukan. Psikolog dan motivator (orang tua, guru,
dosen, pendakwah) memberikan semangat seorang anak didik untuk menuliskan
dan menggambarkan cita-citanya.

Visualisasi dan menggambar sebaiknya dilakukan seseorang sebelum ia


merealisasikan di alam nyata. Kunci orang-orang berhasil biasanya dia
menggambarkan dan melakukan. Sebenarnya visualisasi ini digambarkan dan
dihayati dalam gerakan sholat. Isi dan gerakan sholat adalah membangun
idealisme berpikir. Menurut Ary Ginanjar metode visualisasi yang sempurna
adalah kegiatan dan gerakan sholat. (QS. Ibrahim [14]:31).

Dalam melaksanakan visualisasi tersebut, seseorang menulis rencana


mingguannya di buku diari, ia juga menambahkan doanya dan ditutup dengan
“Semoga ALLAH mengizinkannya”, dan ia berusaha seoptimal mungkin sambil
merevisi metode yang ia lakukan. Apabila manusia sudah berusaha seoptimal
mungkin, ALLAH pun akan menolongnya.

Manusia yang mapan berasal dari keluarga yang sakinah. Menurut


Mubarak, keluarga sakinah adalah keluarga yang mapan, yaitu mapan rohani,
jasmani, ekonomi, sosial, budaya, rasa aman. Agama menyuruh Adzan dan
Aqiqah, belajar etika dan kebiasaan dilatih oleh keluarga.26

_______________

26 Mubarok, Psikologi Keluarga, h. 143-150

G. Manajemen Arah Layar Kehidupan

Menurut Fethullah Gulen,cendikiawan asal Turki,menerangkan antara


qadha dan takdir,ia mengatakan hubungan keduanya sangatlah erat dan luas.ia
menyimpulkan ke dalam 4 perkara,yaitu :

1. Qadha dan takdir menurut Allah SWT.

18
2. Qadha dan takdir menurut catatan Allah SWT bagi segala sesuatu.

3. Qadha dan takdir menurut kehendak Allah SWT.

4. Qadha dan takdir dari sisi makhluk.

Manusia tidak mengetahui apapun apa yg baik dan buruk bagi dirinya.
Setiap mukmin harus tunduk pada Qadha dan takdir Allah SWT mereka tidak
perlu merasa risau atas hikmah dibalik apa saja yg telah ditakdirkan Allah SWT
bagi dirinya.setiap mukmin berusaha kebaikan seoptimal mungkin dengan niat yg
ikhlas,dan bersikap pasrah dan tawakal atas ketetapan Allah SWT.

Pada perkara pertama ini, Gulen menyimpulkan bahwa setiap kejadian


pada awal dan akhirnya terbentuk berdasarkan atas ilmu dan takdir Allah SWT.

Perkara kedua Qadha dan takdir yg dilihat dari sisi catatan Allah, yaitu
dimana hubungan keduanya sangat erat dengan perhitungan manusia atas segala
perbuatan yg dilakukan.

Perkara ketiga, Qadha dan takdir dari sisi kehendak Allah terbagi menjadi
2 sudut pandang. Yang pertama, yaitu kehendak yg tertuang dalam kitab suci Al
Qur'an.

H. Menjadi Pelayan Publik

Dijelaskan (Alamsyah, 2011) Pelayanan publik dapat diartikan sebagai


aktivitas pelayanan yang dilakukan pemerintah atau organisasi tertentu serta
individu lainnya dengan maksud dan tujuan dalam merespon keinginan individu
maupun organisasi kelompok, yang berhubungan langsung dengan kepentingan
dalam kependudukan. Hal yang menjadi krusial dalam konteks ini adalah apa dan
bagaimana kepentingan tersebut direspon oleh para pelaku pelayan publik.

Pelayanan publik juga dimaknai pemberian layanan (melayani) keperluan


orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. (Hardiyansyah, 2018)
Paparan dari (Meiliana, 2011) juga mengartikan pelayanan publik merupakan
sebagai salah satu dari pelaksanaan good governance sekaligus menjadi indikator

19
kualitas kinerja pemerintahan dalam pemenuhan hak bagi kebutuhan masyarakat.
Karena pada dasarnya, manajemen publik dapat dikatakan sebuah usaha internal
organisasi penyedia layanan publik dalam melakukan perbaikan secara
berkelanjutan mengenai kualitas dalam pelayanan yang diberikan sesuai dengan
kondisi perubahan yang terjadi, khususnya di lingkungan luar organisasi.
(Suparman, 2017).

Selain itu, dijelaskan oleh Zeithaml dkk, komunikasi termasuk salah satu
dimensi dalam penentuan kualitas pelayanan terhadap publik. Dimana komunikasi
dalam pelayanan diukur dari kesiapan pemberi layanan untuk menyerap aspirasi
para penggunan layanan dan kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi
baru terhadap publik. Jika melihat dari pemaparan tersebut, penekanan primer
komunikasi terhadap pelayanan bertumpu pada kemampuan petugas layanan
dalam melakukan komunikasi. Petugas layanan sebagai perangkat terdepan dalam
penyelenggaraan pelayanan , sepatutnya menyadari bahwa penilaian kualitas
pelayanan yang diberikan pengguna, didapatkan setelah mereka memberikan
pelayanan. Makadari itu kemampuan komunikasi efektif diwajibkan dimiliki oleh
seluruh perangkat penyelenggara pelayanan, demi terciptanya pelayanan yang
efektif dan efisien (Abdal et al., 2020)

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Belum cukup memiliki ilmu ketuhanan dan hakikat akan dapat menerima
penjelasan Allah yang memang mereka belum mengimani dan meyakini dengan
haqqul yaqin tentang kebesaran dan kekuasaan-Nya yang Maha suci lagi Maha
luas. Rindu kepada Allah dan ridha-Nya merupakan sifat dan ciri utama dari orang
yang beriman. Rindu kepada Allah dan ridha-Nya yang menjadikan kita selalu
berusaha untuk melakukan hal-hal yang mendekatkan diri kepadaNya.
Kepribadian loyal dalam komunikasi intrapribadi mencakup karakteristik seperti
kesetiaan, kepercayaan, dan keterbukaan, orang dengan kepribadian loyal
cenderung memiliki sikap yang sangat perhatian terhadap hal-hal di sekitar
mereka. Membumikan karakter Al-Qur’an berarti mengaplikasikan nilai-nilai dan
ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
mencakup pengembangan karakter dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran
Islam. Menurut ajaran tasawuf dalam Islam dapat membentuk kepribadian Insan
Kamil, yaitu manusia yang sempurna secara spiritual. Percaya kepada pemimpin
dalam konteks komunikasi intrapribadi merupakan hal yang penting dalam
membangun hubungan yang sehat di dalam organisasi. Manusia yang memiliki
manajemen cita-citanya, biasanya menulis dibuku diarinya rencana-rencana
mingguan, bulanan, bahkan tahunannya. Secara rutin, ia terus mengupdate dan
merevisi kembali cita-citanya, seperti tentang cita-citanya dan proses yang sedang
ia lakukan. Manusia tidak mengetahui apapun apa yg baik dan buruk bagi dirinya.
Setiap mukmin harus tunduk pada Qadha dan takdir Allah SWT mereka tidak
perlu merasa risau atas hikmah dibalik apa saja yg telah ditakdirkan Allah SWT
bagi dirinya.setiap mukmin berusaha kebaikan seoptimal mungkin dengan niat yg
ikhlas,dan bersikap pasrah dan tawakal atas ketetapan Allah SWT. Pelayanan
publik dapat diartikan sebagai aktivitas pelayanan yang dilakukan pemerintah atau
organisasi tertentu serta individu lainnya dengan maksud dan tujuan dalam
merespon keinginan individu maupun organisasi kelompok, yang berhubungan
langsung dengan kepentingan dalam kependudukan.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, I. (2011). Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama).


Bandung: Marja.

Arbi, A. (2019). Komunikasi Intrapribadi: Integrasi Komunikasi Spiritual,


Komunikasi Islam, dan Komunikasi Lingkungan. Jakarta: Kencana.

ar-Raniry, S. N. (t.thn.). Asrar al-Insan fi Makrifat ar-Ruh wa ar-Rahman. Dalam


Adz-Dzaky, Psikoterapi & Konseling Islam: Penerapan Metode Sufistik.
Balikpapan: tp., tt.

Atika, S. (2014). Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Religius, Cinta Tanah Air


Dan Disiplin) Di SLB Al Ishlaah Padang. E-JUPEKhu (Jurnal Ilmiah
Pendidikan Khusus), 3(3).

Luthfi, M. (2003). Membumikan Al-Qur’an: Peluang Dan Tantangan. Al-Qalam,


20(98,99).

Masruri, A. N. (2023, Agustus). Ridha Allah Sumber Segala Kenikmatan. Diambil


kembali dari Jateng.nu.or.id: https://jateng.nu.or.id/taushiyah/ridha-allah-
sumber-segala-kenikmatan-0yvco

Prihatsanti, N. R. (2018). Hubungan Antara Kepercayaan Terhadap Pemimpin


Dengan Keterikatan Kerja Pada Karyawan PT. Telkomsel Witel
Semarang. Jurnal EMPATI, 6(4).

SMP, P. W. (2021). Keahlian Komunikasi yang Harus Dimiliki Seorang


Pemimpin. Diambil kembali dari Kemdikbud:
https://ditsmp.kemdikbud.go.id/keahlian-komunikasi-yang-harus-dimiliki-
seorang-pemimpin/

Sulastri, I. (2018). Komunikasi Terapeutik Kajian. Journal Komunikasi dan


Penyajian, 1(1).

Taslim, A. (2021). Ceramah Singkat: Rindu Kepada Allah. Diambil kembali dari
Ngaji.ID: https://www.ngaji.id/ceramah-singkat-rindu-kepada-allah/

23
24

Anda mungkin juga menyukai