Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“Hakikat Manusia”

DISUSUN OLEH :
MAYANG SARI ( 211955 )
SAID MUHAMMAD FADIL ( 211962 )
SITI NURHAMIDAH ( 211800 )
Dosen Pengampu : Zulfah, M.Pd.

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAIN SULLTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami selalu ucapkan Alhamdulillah atas kehadiran Allah SWT, yang
mana sudah melimpahkan rahmat, dan ridho-nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas
makalah ini yang berjudul “hakikat manusia” dengan baik serta tepat waktu. Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat
pendidikan islam dari ibuk Zulfah, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah ini.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan
tentang bagaimana proses belajar mengajar dalam pendidikan Islam, bagi para pembaca
dan juga bagi penulis. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa belajar dan mengajar selalu
berkaitan karena seseorang yang belajar pasti ada yang mengajar sehingga terjadi
interaksi antara keduanya yang disebut proses belajar mengajar dan akan berkaitan
dengan filsafat berpikir logis dan keritis. Sebagian besar perubahan dalam diri manusia
merupakan akibat dari aktivitas belajar, Sehingga sangat wajar apabila belajar merupakan
konsep kunci dalam setiap kegiatan pendidikan. Oleh karena itu kami sebagai penyusun
makalah ini bisa menolong menaikkan pengetahuan kita menjadi lebih luas lagi.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari bahwasanya makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.

Bintan, 12 September 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1. Latar Belakang................................................................................................................1
2. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
3. Tujuan.............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
1. Hakikat Manusia.............................................................................................................3
2. Hakikat mansuia dalam perespektif islam.......................................................................6
3. Fitrah dalam prespektif islam..........................................................................................7
4. proses, tujuan, dan fungsi penciptaan manusia...............................................................8
BAB III PENUTUP..................................................................................................................16
1. Kesimpulan...................................................................................................................16
2. Saran..............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hakikat dari manusia dalam perspektif Islam?
2. Bagaimana fitrah dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana proses, tujuan, dan fungsi penciptaan manusia?

C. Tujuan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia
Menurut Imam Al-Ghazali Manusia dalam pandangan al-Ghazali terdiri dari dua
komponen yaitu jasad dan ruh. Pendapat ini didasarkan pada teori kebangkitan jasad pada
akhir hayat (kehidupan). Perlu kita ketahui bahwa manusia akan dibangkitkan di hari akhir
yaitu jasad dan ruh, karena itu yang merasakan nikmat dan pedihnya siksa akhirat adalah jiwa

1
dan raganya (Tiam, 2014). Dari teori ini maka manusia adalah individu yang memiliki unsur
jasadi dan ruhani. Kedua unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, akan
tetapi yang memiliki posisi tinggi adalah unsur ruhani. Ruhani adalah jiwa manusia terdiri
pada empat unsur; hati, ruh, nafsu (hawa/syahwat), dan akal (Mubarok, 2000). Dalam term al-
Ghazali menyebutkan dengan empat term, yakni
1. al-nafs al-hayawaniyat atau nafs kebinatangan (jiwa sensitif), berupa dorongan amarah
dan syahwat
2. al-nafs al-nabatiyat atau jiwa malaikat (jiwa vegetatif), berupa dorongan untuk melakukan
kebenaran atau bebas dari hewani
3. an-nafs annathiqoh atau jiwa berpikir, berupa dorongan untuk memilah dan memilih
perbuatan manusia secara realistis
4. al-nafs al-insaniyat atau jiwa kemanusiaan (jiwa kemanusiaan) berupa dorongan untuk
melakukan aktualisasi diri dan pengakuan sehingga ia melakukan perbuatan yang
terintegrasi dari nafs hayawaniat, nabatiayat, dan nathiqoh.

Hati terbagi menjadi dua kajian, pertama kajian umum dan khusus. Dalam kajian umum,
hati itu adalah daging yang berbentuk buah sanubari yang diletakkan pada sebelah kiri dari
dada. Melalui fungsi fisik ini dapat memberi kehidupan pada manusia dalam mengatur
metabolisme tubuh. Hati dalam arti khusus, berupa hati yang halus karena fungsinya yang soft
berupa kelembutan, kebijaksanaan, hikmah, dan cinta kasih. Ibarat sepotong daging yang
memiliki kemuliaan yang terdiri alam mulkiyah dan alam musyahadah semua sifat dan
kekuasaan Tuhan. Alam ini sebagai tempat jiwa-jiwa yang tenang yang menunjukkan nilai-
nilai Tuhan. Hati yang halus disebut dengan hati nurani, yang mengandung unsur rabbaniyah
(ketuhanan), dan ruhaniah (keruhaniaan). 1Hati yang halus inilah menjadi hakikat manusia,
dialah yang mengetahui, yang mengerti dan yang mengenal diri manusia, dialah yang diajak
bicara, yang disiksa, yang dicela, dan dituntut.

Ruh (nyawa) memiliki makna, pertama, secara fisik ruh ada pada badan, banjirnya cahaya
kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman dari padanya atas semua
anggotanya itu menyerupai banjirnya cahaya dari lampu yang berputar di sudut-sudut rumah.
Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai ke suatu rumah melainkan ia bersinar dengan cahaya
itu. Dalam term Bahasa Indonesia ruh disebut dengan pemberi kehidupan kepada badan
(organisme fisik) yang menyebabkan kehidupan pada manusia (Tim, 2001). Dalam term lain
ruh ini disebut dengan jiwa dan kesadaran manusia. Kesadaran ini yang menjadikan manusia
hidup atau mati (makna fisik) dan bermanfaat atau tidak (makna non fisik). Namun keduanya
memberi arti bahwa ruh atau nyawa adalah denyutnya kehidupan.

Nafsu adalah tempat yang menghimpun kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia.
Berdasar kualitasnya, nafsu dibagi tiga (Mubarok, 2000); pertama, Nafsu mutmainnah jika
mampu menentang nafsu syhawat, nafsu itu tenang dan damai. QS. al-Fajr: 27-28. Kedua,

1
E. Asmaya, “Hakikat manusia dalam tasawuf al-ghazali”, Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 12(1), 123-135.

2
nafsu lawwamah adalah nafsu yang tidak sempurna ketenangannya, dia menjadi pendorong
bgi nafsu syahwat dan sejenisnya. QS. al-Qiyamah: 2. Ketiga, Nafsu alamarah, nafsu yang
mendorong pada kejahatan, tunduk dan patuh pada tuntutan syahwat (hawa nafs). Nafs ini
memiliki jiwa pembangun dan pengrusak, biasa disebut dengan id eros dan id thanatos. Id
eros adalah yang membangun disebut dengan dorongan-dorngan positif, Sedang id thanatos
adalah dorongan atau motif untuk melakukan kerusakan. Dalam bahasa Indonesia, syahwat
yang menggoda manusia biasa disebut dengan hawa nafsu. Hawa Nafsu yakni dorongan nafs
yang cenderung bersifat rendah. Menurut al-Ghazali hawa nafsu itu musuh dari dalam, bukan
setan yang terlihat, “Nafsu selalu mengajak aku ke jalan kecelakaan, memperbanyak penyakit
dan kenyerianku. Bagaimana semestinya aku bertindak terhadap musuhku, jika ia menyelinap
di celah-celah tulang igaku.” (Al-Ghazali, 2000).

Dalam kondisi ini manusia akan merasa susah untuk menolak segala dorongan hawa
nafsu kecuali dengan berabagai upaya dan latihan dengan taqwa. Taqwa adalah gabungan dari
sifat-sifat yang menahan hawa nafs, tidak terperdaya pada fatamorgana, melepaskan segala
ikatan yang merintang di dalam menuju keridoan Allah SWT. Ditulis dalam Qs. asy-Syam
ayat 9-10 bahwa nafs itu diciptakan Tuhan secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga
kesuciannya. Sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat. Kualitas nasf tiap
orang berbeda-beda berkaitan dengan bagaimana usaha masing-masing menjaganya dari hawa
(QS. an-Naziat ayat 40). Disampaikan oleh oleh Hamka dengan mengutip pendapat al-Ghazali
bahwa manusia itu terdiri dari kekuatan marah, kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu (Hamka,
1960). kekuatan itu terus bergerak memberi ruang dan kesempatan kepada pemiliknya untuk
dikompromi. Karena itu disampaikan oleh Hamka bahwa masing-masing kekuatan itu harus
berjalan secara seimbang.

Jika kita mengikuti kekuatan marah akan menyebabkan sulit dan mempermudah kita
terbawa kepada kebinasaan. Jangan pula berlebihaan mengikuti syahwat menjadikan orang
humuq (pandir). Jika kekuatan syahwat dan marah itu diikuti sedang-sedang saja disertai
pertimbangan maka lebih baik perjalanannya menuju petunjuk Tuhan. Jika kemarahan itu
melebihi batas maka akan terjadi memukul dan membunuh. Tetapi kalau dia kurang pula
daripadanya yang mestinya, hilanglah diri dari perasaan cemburu (ghiroh) dan hilang pula
perasaan bertanggung jawab atas agama dan keperluan hidup atas dunia. Tetapi kalau marah
terletak di tengah-tengah, timbullah kesabaran, keberanian dalam perkara yang melakukan
keberanian dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan berdasar kebijaksanaan. Bagian yang
mengatur itu disebut dengan akal. Akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali
informasiinformasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu.
Dengan hati siap mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda dengan tingkatannya.

Kedudukan akal seperti seorang raja. Memiliki banyak pasukan, yaitu tamyiz
(kemampuan membedakan), daya hafal dan pemahaman. Kemampuan akal lainnya seperti
membantu memahami (persepsi), menyimpan, mengulang dan memanggil pemahaman

3
(memori) serta berpikir untuk memecahkan masalah (Rakhmat & Surjaman, 1999). Dari sudut
ini, akal mempunyai empat tingkatan kemampuan;

1. al-‘aql al hayulani (akal material), Akal material ini merupakan potensi akal untuk
menangkap arti-arti murni yang masih berupa ide. Akal ini untuk mengetahui apa
(mahiyah) (Supriyadi, 2009). Akal ini merupakan kemampuan dasar dan awal manusia
memfungsikan akalnya dalam kehidupannya.
2. al’aqal bi al malakat (habitual intellect) Akal habitual yaitu kesanggupan untuk
berfikir abstrak secara murni mulai kelihatan sehingga dapat menangkap pengertian
dan kaidah umum seluruh lebih besar daripada bagian (Supriyadi, 2009). Akal dalam
konsep ini merupakan kemapuan akalpada tahap lanjutan, karena ia telah mampu
berpikir abstrak.
3. al- ‘aql bi al fi’il (akal aktual) akal aktual yaitu akal yang lebih mudah dan lebih
banyak menangkap pengertian dan kaidah umum yang dimaksud. Akal ini merupakan
gudang bagi arti-arti abstrak yang dan kaidah umum yang dimaksud.
4. al’aqal al-mustafad (akal perolehan) akal mustafad adalah akal yang di dalamnya
terdapat arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan dengan mudah sekali.

Cara beraktivitas akal-akal tersebut untuk menghasilkan ilmu dapat dijelaskan secara
singkat; akal hayulani semata-mata berupa potensi, hanya akal mampu menangkap sesuatu
dari luar jika mendapat rangsangan. Kemudian akal malakat melakukan abstraksi. Proses
abstraksi itu menghasilkan pengertian. Hasil abstraksi (pengertian) itu kemudian disimpan
oleh akal fi’il dan selanjutnya diteruskan pada akal mustafad (akal yang mampu memahami
konsep yang sulit dijangkau nalar manusia, kecuali melalui bantuan hati nurani). Ma’rifatullah
Istilah ma’rifatullah berasal dari kata ma’rifah dan Allah. Ma’rifah ini diartikan sebagai
pengetahuan yang mendalam dan mendasar. Pengetahuan ini bersumber dari keyakinan atas
sesuatu hal. Seorang yang telah memiliki kemampuan ma’rifah berarti ia sudah berada di
ujung perjalanan dari ilmu pengetahuan. Jadi, ma’rifah adalah kumpulan ilmu pengetahuan,
perasan, pengalaman, amal dan ibadah. Kumpulan dari ilmu, filsafat dan agama (Amrullah,
1994). Orang yang ma’rifah disebut arif. Salah satu objek ma’rifah adalah Allah SWT.
Karena itu bisa disebut dengan ma’rifatullah. Konsep ma’rifatullah merupakan pemikiran al-
Ghazali terkait dengan puncak kepuasaan pengetahuan manusia, dan puncak pengetahuan itu
adalah mengetahui tentang Allah SWT.

Manusia acapkali mencari kepuasaan dan kebahagiaan dan jawabnya adalah


ma’rifatullah. Ma’rifatullah akan diperoleh melalui persaksian hati yang sangat yakin
(musyahadatul qolbi). Apabila manusia sudah sampai pada persaksian yang semacam ini, ia
akan merasakan suatu kebahagiaan yang memuaskan dan sulit dilukiskan. Ma’rifatullah
adalah puncaknya kebahagian seorang manusia. karena ia mampu menemukan
pengetahuannya tentang Allah SWT dan ia bisa merasakan dan melihat- yang terkandung
pada kejadian dunia akhirat yang sebenarnya adalah mengenal Allah SWT (Tuhan).

4
Disinilah perbedaan alGhazali dengan al-Hallaj dan suffi lainnya bahwa wujudnya itu
ialah kesatuan semesta (wahdatuwujud). Alam seluruhnya ini adalah makhluk dan ayat (bukti)
tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Apabila telah tajalli (jelas) dalam hati ma’rifat akan
hakikat ke-Tuhan itu dan sifat-sifat serta af’al (perbuatannya) dan nikmat rahmat itulah dia
bahagia. Bertambah luas dan mendalam ma’rifat manusia dengan itu pula bertambah luas
pulalah surga yang akan didapatinya. Dalam tasawuf cara yang ditempuh untuk menemukan
kebahagian itu berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya;

1. Tingkat orang awam, yakni yang mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang
yang dipercayainya. Bagi orang awam, maka tidak usah mendalam untuk mengkaji
persoalan agama dengan mendalam. Karena akan berakibat akan merusak.
2. Iman orang awam (biasa), yakni dia mendapat kepercayaan dari jalan membanding,
meneliti dan memeriksa dengan segala kekuatan akal dan menguji kebenarnnya.
3. Iman orang arifin (khawas), yakni dia tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri
akan kebenaran itu dengan tidak ada dindingdindingnya lagi.

Menurut al-Ghazali orang arifin adalah yang telah mencapai martabat maksudnya dia
sudah memiliki pengetahuan, keyakinan dan pengalaman.” Itulah kecintaan Tuhan yang telah
bertemu dengan inti sari ilmu. Orangorang alim tingkat kedua ini harus terus belajar. Untuk
mencapai derajat ketiga mulailah menaklukkan akal kepada jalan kecintaan. Jalannya ialah
melepaskan diri dari pengaruh kemegahan. Lepaskan negeri-negeri penipu (dunia) dan
tetapkan negeri tujuan yang abadi (akhirat). Menghadap sematamata kepada Allah SWT
dengan membesarkan himmah (cita-cita dan kemauan). Maka pilihlah suluk (jalan yang
ditempuh) oleh sufi; taklukkan diri, hawa dan nafsu dan keinginan ke dalam suatu latihan
batin (riyadhoh) dan perjuangan (mujahadah).

Dengan kesetiaan menempuh jalan demikian dari sedikit akan terbukalah hijab yang
mendinding antara saya dan Engkau, sehingga dapatlah musyahadah (menyaksikan sendiri).
Dengan penglihatan hati (musyahadatul-galb), bukan dengan pengelihatan mata. Sebab
penglihatan mata ini hanyalah alat belaka dari penglihatan hati. Buta dalam perkara ini
bukanlah buta mata tetapi buta hati yang ada dalam dada. Pembersihan diri ini disebutnya
juga dengan al-takhliyat, yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela. Pengosongan ini
sekaligus berlanjut dengan pengisian kembali dengan sifat-sifat terpuji yang disebutnya
dengan al-tahliyah. Al-Takhliyat dan al-tahliyat dilakukan dengan latihan yang panjang.
Apabila dengan latihan ini al-nafs mencapai tingkat tertentu dimana keinginan untuk selalu
mengarah kepada Tuhan mencapai kestabilannya, al-nafs disebut dengan al-nafs al-
muthmainnah. Al-nafs yang selalu dalam perjuangan menentukan orientasi kepada Tuhan atau
kepada tuntutan-tuntutan badani disebut dengan al-nafs lawwamat. Al-nafs yang lebih rendah
adalah selalu berorintasi kepada tuntutan badani. Dengan latihan yang terus-menerus, al-nafs
al-muthmainnah, setelah melalui fase altakhliyat dan al-tahliyat mencapai al-tajalli. Pada
tingkat ini pengetahuanpengetahuan abstrak dan informasi-informasi tentang dunia gaib

5
terbuka kepada al-nafs. Manusia tingkatan ini manusia telah mencapai kesempurnaannya
ma’rifatullah.

Jadi dapat kami simpulkan Manusia dalam perspektif tasawuf al-Ghazali merupakan
individu yang terdiri dari unsur hati, hati nurani, ruh, nafsu, syahwat dan akal. Dari semua
unsur ini menentukan status manusia sebagai individu yang beruntung atau merugi, yang
taqwa atau yang fujur, jiwa yang muthmainnah, lawwamah atau ammarah. Status ini sangat
tergantung kepada kemampuan diri dalam mengelola unsur-unsur jiwa tersebut agar berjalan
secara seimbang agar menjadi seorang ma’rifatullah. Oleh karena itu, agar menjadi seorang
ma’rifatullah maka harus melaksanakan tasawuf. Tasawuf itu adalah jalan untuk
membersihkan jiwa dan raga agar bahagia. Melalui ilmu dan amal berupa latihan-latihan jiwa
dengan mempertinggi sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) dan menahan dorongan nafsu dari
sifat-sifat yang tercela (mazmumah) sehingga menjadi bersihlah jiwa atau dengan amalan
takhalli, tahalli, dan tajalli. Hati yang bersih itulah yang dapat mendekati Tuhan, apalagi jika
senantiasa dihasi dengan dzikir yaitu menyebut asma Allah SWT.

B. Hakikat manusia dalam perspektif Islam


Manusia menurut terminology AlQur’an dapat dilihat dari beberapa sudut pandang.
Disebut Al-Basyar berdasrkan pendekatan aspek biologisnya atau mengacu kepada bentuk
fisik manusia. Dari sudut pandang ini manusia dilihat sebagai makhluk biologis yang
memiliki dorongan primer (makan, minum, hubungan seksual) dan makhluk generative
(berketurunan). Sedangkan dilihat dari fungsi dan potensi yang dimilikinya manusia disebut
Al-Insan yang menunjukkan makhluk berakal yang berperan sebagai subjek kebudayaan.
Konsep Al-Insan menggambarkan fungsi manusia sebagai penyandang khalifah tuhan yang
dikaitkan dengan proses penciptaan dan pertumbuhan serta proses perkembangannya. Selain
itu konsep Al-Insan juga menunjukkan potensi yang dimiliki manusia seperti kemampuan
untuk mengembangkan ilmu. Di samping itu, konsep ini juga menggambarkan sejumlah sifat-
sifat dan tanggung jawab manusia seperti lupa, khilaf, tergesa-gesa, suka membantah, kikir,
tidak bersyukur dan sebagainya.2
Namun kepadanya dibebankan amanah dan tanggung jawab untuk berbuat baik. Begitu
juga dengan konsep fitrah manusia itu sendiri yang lebih menunjukkan kepada keinsanan
manusia ketimbang kebasyariahannya. Sedangkan manusia dalam istilah Bani Adam
menunjukkan bahwa manusia tidak luput dari historisitas keberadaan manusia (Adam) di
bumi, sehingga penggunaan kata Bani Adam untuk manusia menunjukkan keterkaitan antara
manusia secara historisitas terhadap asal usulnya.
Selanjutnya manusia menurut pandangan Islam juga dipandang sebagai makhluk psikis.
Dari sudut pandang ini, pemahaman manusia berdasrkan aspek psikis ini sama sekali berbeda
dengan pandangan ilmuwan barat. Umumnya pemahaman barat tentang aspek psikis manusia
terbatas pada unsur-unsur kejiwaan yang terdiri atas unsure kognisi, roh dan akal yang

2
Nawangsih, E., & Achmad, G. H, “Hakikat Manusia dalam konteks pendidikan Islam”, Jurnal Ilmu Pendidikan, 4(2).
3034-3044.

6
merupakan potensi manusia yang dapat dikembangkan. Tetapi yang jelas unsure-unsur psikis
manusia itu menurut konsep islam senantiasa dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Beranjak
dari pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan yang memiliki hubungan makhluk-Khalik secara fitrah. Untuk menjadikan hubungan
tersebut berjalan normal, maka manusia dianugerahkan berbagai potensi yang dipersiapkan
untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut. Anugerah tersebut antara lain berupa
dorongan naluri, perangkat inderawi, kemampuan akal, dan fitrah agama yang jika
dikembangkan melalui bimbingan yang baik akan mampu mengantarkan manusia mencapai
sukses dalam kehidupannya sebagai makhluk yang mengabdi kepada penciptanya.
Prof. Dr. Omar Muhammad Toumi Al-Syaibani memperinci pandangan Islam terhadap
manusia atas delapan prinsip:
1. Kepercayaan bahwa manusia makhluk termulia di alam jagat raya ini.
2. Kepercayaan akan kemuliaan manusia.
3. Kepercayaan bahwa manusia itu ialah hewan yang berfikir.
4. Kepercayaan bahwa manusia itu memiliki tiga dimensi: badan, akal dan ruh.
5. Kepercayaan bahwa manusia dalam pertumbuhannya terpengaruh oleh faktor-faktor
warisan (pembawaan) dan ingkungan.
6. Kepercayaan bahwa manusia itu memiliki motivasi dan kebutuhan.
7. Kepercayaan bahwa ada perbedaan perseorangan di antara manusia.
8. Kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai keluasan sifat dan selalu berubah.

Fase proses penciptaan manusia dalam Islam Di dalam Al-Qur’an disebutkan tentang fase
proses penciptaan manusia: Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?. Padahal Dia
Sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. (Q.S. Nuh: 13-
14). Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-Mu’minuun:
12-14). Al-Qur’an menggambarkan tahap-tahap pertumbuhan janin di dalam rahim secara
jelas dan akurat, dan membagikannya ke dalam tujuh fase selain fase penciptaan dari tanah.
Fase itu antara lain:

1. Saripati tanah Saripati tanah yang dimaksud adalah zat yang diproduksi oleh alat
pencernaan yang berasal dari bahan makanan (baik tumbuhan maupun hewan) yang
bersumber dari tanah, yang selanjutnya menjadi darah, kemudian berproses hingga
akhirnya menjadi sperma ketika terjadi hubungan sex.
2. Nuthfah (mani) Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti setetes yang
dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan penemuan ilmiah yang
menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria

7
yang mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, tetapi yang berhasil bertemu
dengan ovum wanita hanya satu. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah.
3. ‘Alaqah (segumpal darah) ‘Alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau ‘gumpalan darah
yang membeku’ karena embrio selama fase ini berkembang melalui saat-saat internal
yang diketahui seperti pembentukan darah di pembuluh tertutup sampai dengan
putaran metabolis lengkap melalui plasenta (ari-ari). Selama fase ini darah ditangkap
di dalam pembuluh tertutup sehingga embrio memperoleh penampakan sebagai
gumpalan darah beku. Sedang ‘alaqah diartikan ‘lintah’ oleh karena embrio selama
fase ‘alaqah memperoleh penampakan yang sangat mirip dengan lintah. Fase ‘alaqah
(segumpal darah) yang terus menyempurnakan diri secara bertahap pun dimulai
sampai janin berbentuk seperti lintah yang hidup di dalam air.
4. Mudhghah (segumpal daging) Mudhghah berasal dari kata madhagha yang berarti
mengunyah. Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena bentuknya masih dalam
kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang dikunyah. Dan di antara sifat
segumpal daging ialah bisa memanjang dan bentuknya akan berubah jika dikunyah.
Mudhghah ini ada dua macam; mudhghah yang sempurna penciptaannya, dan
mudhghah yang tidak sempurna (plasenta).
5. Idzam (pembentukan tulang) Pada fase ini embrio mengalami perkembangan dari
bentuk sebelumnya yang hanya berupa segumpal daging hingga berubah menjadi
jaringan-jaringan tulang untuk membentuk tulang punggung dan struktur tulang
lainnya.
6. Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot) Pengungkapan
fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan lahm (daging) diibaratkan
pakaian yang membungkus tulang, selaras dengan kemajuan yang dicapai embriologi
yang menyatakan bahwa sel-sel tulang tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa
tidak terdeteksi adanya satu sel daging sebelum terlihat sel tulang. Pada fase ini
tulang punggung mulai terbentuk sempurna. Tulang ini mulai berubah dari yang
tadinya membungkuk seperti bulan sabit, menjadi lurus dan tegak.
7. Taswiyah (penyempurnaan) Fase ini mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang
dianugerahkan kepada manusia yang menjadikannya berbeda dengan makhluk-
makhluk lain. Sesuatu itu adalah ruh ciptaannya yang menjadikan manusia memiliki
potensi yang sangat besar sehingga dapat melanjutkan evolusinya hingga mencapai
kesempurnaan makhluk.

C. Fitrah dalam prespektif islam


Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana aktualisasinya
tergantung pilihan. Fitrah yang baik merupakan citra asli yang primer. Sedangkan fitrah buruk
merupakan citra asli yang sekunder. Fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang ada pada
sistem-sistem psiko-fisik manusia, dan dapat diaktulisasikan dalam bentuk tingkah laku.
Seluruh manusia memiliki fitra yang sama, meskipun perilakunya berbeda. Fitrah manusia
yang paling esensial adalah penerimaan terhadap amanah untuk menjadi khalifah dan hamba
8
Allah di muka bumi. Syahminan Zaini (1986:5-9) mengatakan bahwa jenis fitrah memiliki
banyak dimensinya, dimensi yang terpenting ialah;
a. Fitrah agama
Manusia sejak dilahirkan diberikan naluri atau insting beragama, insting yang mengakui
adanya Dzat Yang Maha Pencipta yaitu Allah Swt. Sebelum lahir ke dunia manusia telah
mengakui bahwa Allah Swt adalah Tuhan (Q.S. alA’raf: 172). Sehingga ketika dilahirkan
ia berkecenderungan al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak (Allah).

b. Fitrah intelek
adalah potensi manusia yang memiliki daya untuk memperoleh pengetahuan dan fitrah
manusia untuk dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Allah Swt selalu
memperingatkan manusia untuk selalu menggunakan fitrah inteleknya. Inilah yang
membedakan manusia dengan makhluk lain ciptaan Allah Swt.

c. Fitrah sosial
adalah kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat atau berkelompok yang di
dalamnya terbentuk ciri-ciri khas yang disebut kebudayaan. Kebudayaan merupakan
cerminan manusia dan masyarakat. Manusia merupakan komponen dari kebudayaan,
peranan manusia untuk membentuk kebudayaan yang islami dengan memasukan ke
dalam kurikulum pendidikan Islam ke seluruh peringkat dan tahapannya.

d. Fitrah Susila
adalah kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifatsifat amoral atau sifat-
sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya. Potensi ini untuk menolak sifat-
sifat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Manusia yang menyalahi aturan yang
bertentangan dengan Islam akibatnya menjadi hina.

e. Fitrah ekonomi
adalah fitrah manusia untuk mempertahankan hidup. Manusia mempertahankan
hidupnya dengan memberikan kebutuhan jasmaniah. Fitrah ekonomi tidak menghendaki
adanya materialisme atau diperbudak materi bagi manusia dengan mengeksploitasi
kekayaan alam untuk kepentingan diri pribadi. Karena fitrah manusia adalah menjaga dan
memanfaatkan kelestarian alam sebagai realisasi atas tugas manusia sebagai khalifah di
muka bumi.

f. Fitrah seni
adalah kemampuan manusia untuk menimbulkan daya estetika. Dalam pendidikan tugas
manusia yang terpenting adalah memberikan suasana gembira, senang dan aman dalam
proses belajar mengajar karena pendidikan merupakan proses kesenian yang karenanya
dibutuhkan “seni mendidik”.

9
g. Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihormati, menikah, cinta
tanah air, dan kebutuhan hidup lainnya.

D. Proses, tujuan dan fungsi penciptaan manusia


1. Proses Penciptaan Manusia
pnciptaan nabi Adam a.s. Bila nabi Adam diciptakan dari tanah liat yang kering yang berasal
dari Ada banyak tahapan yang dilalui dalam proses penciptaan manusia. )totosuharto))
Sebagaimana yang tergambar dalam surah shad yang artinya Artinya: ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan
manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya".(Q.S. Shad:71-72).

Menurut Musa Asy‟ari yang dikutip oleh Toto Suharto, dalam penciptaan manusia
terdiri dari empat tahap atau proses, yaitu:
1. Tahap Jasad
Dalam al- quran menjelaskan awal penciptaan manusia adalah dari thurab yaitu
tanah yang berdebu. Terkadang dengan kata Tin, atau salsal. Namun yang jelas
makna yang dimaksud dengan tanah ini adalah saripatinya. Penciptaan dari tanah
ini tidak berarti manusia diciptakan dari bahan tanah seperti pembuatan patung.
Penciptaan ini bermakna simbolik, yaitu saripati yang membentuk tumbuhan atau
binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi manusia.

2. Tahap Hayat
Awal mula kehidupan manusia dari air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan
binatang. Maksud air kehidupan disini adalah air yang hina atau sperma. Sperma
kemudian membuahi sel telur dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang
merupakan awal mula kehidupan seorang manusia.

3. Tahap Ruh
Ruh adalah sesuatu yang dihembuskan didalam sebuah jasad sehingga
memberikan nyawa terhadap jasad. Pada saat yang sama Tuhan juga menjadikan
pendengaran, pengelihatan dan hati pada manusia sehingga manusai menjadi
hidup. Maka hal ini menandakan bahwa ruhlah yang menjadi pinpinan dalam
jasad manusia, dari itu ruh kiranya dapat menjadi pembimbing pendengaran,
pengelihatan dan hati manusia dalam memahami kebenaran.

4. Tahap Nafs
Kata nafs dalam al-Qur’an ada empat pengertian yaitu nafsu, napas, jiwa dan diri.
Maka dari keempat kata ini al-Quran biasanya menggunakan kata Nafs untuk

10
pengertian diri. Diri maksudnya adalah kesatuan dari jasad, hayat, dan ruh.
Dinamikanya terletak pada aksi kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang
tercermin dalam aktifitas kehidupan manusia.))toto suharto))

Islam berpandangan bahwa manusia hakikatnya merupakan perkaitan antara


badan dan ruh. Badan dan ruh merupakan masing-masing merupakan substansi
yang berdiri sendiri yang tidak tergantung oleh adanya yang lain. Namun dengan
menyatunyalah yang kedua substansi ini barulah manusia bisa hidup dan
menjalani kehidupannya. Maka keduanya diciptakan oleh Allah Swt.)zuhairi))

2. Tujan Penciptaan Manusia


Tujuan manusia diciptakan tidak lain tidak bukan adalah untuk beribadah kepada
Allah SWT. Sesuai penjelasan Al-quran “Aku telah menciptakan jin dan manusia
hanya untuk beribadah kepada-Ku." (Al-Qur'an, 51:56). Ini menunjukkan bukti
tunduk dan taat terhadap Allah SWT. Yang telah menciptakan manusia.

Manusia diciptakan agar


menyembah kepada Allah
baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh.
Sesuai dengan potensi dan
keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan
yang lain dengan segala
kesempurnaannya maka
11
fungsi dan peran di dunia ini
adalah sebagai Abdun atau
hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar
menyembah kepada Allah
baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh.
Sesuai dengan potensi dan
keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan
yang lain dengan segala
kesempurnaannya maka

12
fungsi dan peran di dunia ini
adalah sebagai Abdun atau
hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar
menyembah kepada Allah
baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh.
Sesuai dengan potensi dan
keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan
yang lain dengan segala
kesempurnaannya maka

13
fungsi dan peran di dunia ini
adalah sebagai Abdun atau
hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar
menyembah kepada Allah
baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh.
Sesuai dengan potensi dan
keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan
yang lain dengan segala
kesempurnaannya maka

14
fungsi dan peran di dunia ini
adalah sebagai Abdun atau
hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar
menyembah kepada Allah
baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh.
Sesuai dengan potensi dan
keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan
yang lain dengan segala
kesempurnaannya maka

15
fungsi dan peran di dunia ini
adalah sebagai Abdun atau
hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar
menyembah kepada Allah
baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh.
Sesuai dengan potensi dan
keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan
yang lain dengan segala
kesempurnaannya maka

16
fungsi dan peran di dunia ini
adalah sebagai Abdun atau
hamba san sebagai
khalifah yang ditugaskan unt
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Asmaya, E. ( 2018 ). Hakikat manusia dalam tasawuf al-ghazali. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi, 12(1), 123-135.

Nawangsih, E., & Achmad, G. H. (2022). Hakikat Manusia dalam Konteks Pendidikan Islam. Edukatif:
Jurnal Ilmu pendidikan, 2022, 4.2: 3034-3044.

17

Anda mungkin juga menyukai