Anda di halaman 1dari 23

DINAMIKA RUHANI

(Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Pendidikan Akhlak)
Dosen Pengampu : Drs. Ja’far, M.A.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK IX (SEMBILAN)

NAMA ANGGOTA :

1. ADAM BUCHORI MUSLIM (11170163000003)


2. ZALFA SALSABILLA (11170163000015)
3. WINDI WULANDARI (11170163000035)

KELAS : PENDIDIKAN FISIKA 3A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA 1A


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
berkat nikmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Atas rahmat-Nya pula, penulis mengumpulkan informasi dan data dengan mudah tanpa
kendala. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam proses penyusunan makalah ini, baik dari segi materil maupun
spiritual sehingga karya tulis ini dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah dengan judul DINAMIKA RUHANI ini disusun sebagai salah satu syarat
penilaian kompetensi dasar pembuatan makalah pada Mata Kuliah Pendidikan Akhlak.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini dan juga pembuatan makalah yang akan
mendatang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan pada penulis khususnya.

Ciputat Timur, 04 Desember 2018

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………..……..…………………….…...……...01

DAFTAR ISI…………………………………………..…………………………………………02

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………..………………..………..03

1.1 Latar Belakang…………………………………………………….…………………03

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….………...03

1.3 Tujuan………………………………………………………………………………..03

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………................…04

2.1 Nature dan peran daya ruhani…………………………………………....…………...04

2.2 Pembentukan Akhlak………………………………………………………………...07

2.2.1 Tujuan Pembentukan Akhlak………………………………………………08

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi pembentukan Akhlak…………………………10

2.3 Perbedaan Ilham, waswas, hawajis dan khatir al-yaqin………….…………...………15

2.4 Intensitas khatir dan intensitas keburukan……………………………..………..……19

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….…...21

3.1 Kesimpulan………………………………………………………..…………………21

3.2 Saran………………………………………………………………………………….21

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai bentuk ciptaan Allah tidak hanya memiliki jasad sebagaimana
terlihat oleh kasat mata namun juga manusia memiliki ruh dan akal. Dimana
keberadaannya hanya dapat dirasakan dari diri masing-masing individu, meski terkadang
jasad dipengaruhi oleh ruhani dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Pengararuh yang diberikan dapat berupakan pengaruh negative maupun pengaruh positif.

Agama islam sebagai agama yang paling baik dan tidak pernah menggolongkan
manusia kedalam kelompok binatang. Hal ini berlaku selama manusia itu menggunakan
akal dan pikiran dari karunia Allah dalam hal-hal yang diridhoi-Nya. Sehingga makalah ini
disusun untuk mengetahui pengaruh dari pembentukan perilaku manusia dalam daya-daya
ruhani.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan fungsi dari Aql, Nafs dan Qalb?


2. Bagaimana pembentukan akhlak baik dan buruk?
3. Apa perbedaan dari Ilham, Waswas, hawajis dan Khatir al-yaqin
4. Bagaimana Intensitas Khatir dan intensitas keburukan?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan fungsi Aql, Nafs dan Qalb
2. Mengetahui Perbedaan ilhām, waswās, hawājis dan khāthir al-yaqīn.
3. Mengetahui Pembentukan akhlak baik dan buruk

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Nature dan peran daya ruhani (An-nafs, Al-Aql, dan Al-Qalbu)
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Jasmani manusia terdiri
dari unsur saripati tanah sedangkan roh merupakan substansi immateri berupa ruh. Ruh
tersebut memiliki dua daya yaitu daya pikir (Al-Aql) yang bersifat di otak serta daya rasa
(Al-Qolbu). Keduanya memiliki substansi dari roh manusia. Al Ghazali mengatakan bahwa
pada dasarnya akal merupakan bagian dari daya insani yang memiliki dua makna yaitu akal
jasmani yang lazim disebut otak yang mengungkapkan berbagai jenis pengetahuan, akal
dalam jenis ini di istilahkan oleh al-ghazali sebagai sifatnya ilmu yang bersemayam dalam
qalbu dan jenis kedua adalah akal ruhani yaitu cahaya ruhani dan daya nafsani yang
dipersiapkan untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan
bahwa akal jenis kedua hampir sama dengan qalbu dalam segi metafisiknya. Akal dalam
hal ini mampu mengantarkan manusia pada esensi kemanusiaan dan juga merupakan
kesehatan fitrah yang memiliki daya pembeda Antara yang baik dan buruk. Akal adalah
daya pikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat
menentukan hakikatnya.1 Ciri-ciri akal yaitu:
a. Secara jasmaniyyah berkedudukan di otak
b. Berkedudukan pada alam sadaar manusia
c. Potensinya bersifat argumentative dan logis yang bersifat rasional

Akal memilik arti menahan, melarang dan mencegah. Maka orang yang berakal
yaitu orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Akal merupakan organ
tubuh yang terletak dikepala (otak) yang memiliki cahaya nurani dan dipersiapkan untuk
memperoleh pengetahuan dan kognisi. Akal juga diartikan sebagai energy yang mampu
memperoleh, mengolah dan mengeluarkan pengetahuan. Fungsi akal:

a. Berfungsi untuk berpikir


b. Menghantarkan eksistensi manusia pada tingkat kesadaran

1
Al-Ghazali, Majmu ‘ Rasail al-Imam al-Ghzali, (Bairut: Dar Al-Kutub, 1986), hlm 48

5
c. Mampu mencapai kebenaran

Akal bertugas sebagai penasihat yang memberikan pendapat dan ide yang
menurutnya lebih baik. Apabila akal diterangi oleh cahaya islam maka ia akan menunukan
pada jalan kebenaran. Sebaliknya jika ia tidak tersentuh oleh cahaya islam maka ia akan
menunjukan jalan kebathilan. Oleh sebab itu syariat islam senantiasa berusaha menyinari
akal dengan cahaya islam agat alasan yang diberikannya pada qolbu menjadi kuat. Telah
diketahui perintah memang berasal dari otak menuju seluruh jasmani, sehingga muncul
anggapan bahwa otak adalah pemilik keputusan. Sungguh, anggapan ini tidaklah benar.
Otak adalah bagian dari jasmani. Maka, ketika turun perintah pada jasmani, perintah
tersebut tidak serta merta menuju kebagian jasmani tersebut. Akan tetapi, pertamakali akan
turun ke otak, yang kemudian ditujukan ke seluruh bagian jasmani.

Menurut pandangan Al-Ghazali, Qalbu dapat dikonotasikan dalam dua arti yaitu
daging berbentuk belahan sanubari yang berada di sisi dada kiri yang berisi darah merah
kehitaman dan merupakan sumber ruh kehidupan. Adapun makna yang kedua adalah sifat
kelembutan (Lathifah), Rabbaniyyah, ruhaniyyah, yang melekat pada kalbu jisim, ia
memiliki ketergantungan sama seperti ketergantungan jiwa dan raga atau seperti
ketergantuanan sifat dengan hal yang disifatinya. Lathifah sendiri merupakan hakikat
manusia yang memiliki kemampuan memahami, mengetahui, berdialog, yang berpotensi
diberi pahala ataupun siksa2

Dalam hal ini Al-Ghazali mengklasifikasi perangkat perangkat hati kedalam tiga
jenis3, yaitu Pertama, Syahwat yang berfungsi sebagai perangkat pendorong apakah untuk
menarik manfaat yang diinginkan ataukah untuk menolak bahaya, syahwat sendiri
merupakan salah satu perangkat hati yang berfungsi sebagai penarik manfaat. Kedua
perangkat penggerak anggota badan untuk menggapai sesuatu yang dituju terutama pada
otot dan urat saraf. Ketiga, perangkat persepsi yang berfungsi sebagai pengintai, yaitu
kemampuan melihat, mendengar, mencium, merasa dan menyentuh. Perangkat seperti ini

2
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Kutub, 2011) hlm 04
3
Auliya, M, Yaniyullah Delta, Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm
98

6
berada pada anggota badan tertentu. Ketiga perangkat tersebut menempati posisi lahir yaitu
pancaindera, dan ada juga yang menempati posisi batin yakni rongga otak.

Kalbu memiliki dua aspek yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. “Sesungguhnya di
dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka semua tubuh menjadi baik,
tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlak bahwa ia adalah
kalbu” (H.R Al-Bukhari). Kalbu ia adalah pemilik keputusan yang sebenarnya. Kalbu
mendengarkan usulan-usulan yang diberikan akal dan nafsu berikut perdebatan yang
terjadi diantara keduanya, ialah yang mengambil keputusan. Selain itu, kalbu juga
merupakan ruangan tempat tinggal perasaan. Fungsi kalbu:

a. Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa


b. Fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta
c. Fungsi konasi yang menghasilkan daya cipta

Dari sudut kondisinya, kalbu memiliki kondisi:

a. Baik, yaitu kalbu yang hidup, sehat dan mendapatkan kebahagiaan


b. Buruk, yaitu kalbu yang mati dan mendapat kesengsaraan
c. Antara yang baik dan hidup, yaitu kalbu yang hidup namun berpenyakit

Hawa nafsu (An-Nafs) adalah daya nafsani yang memiliki dua kekuatan yaitu
kekuatan ghadhabiyah dan as-syahwaniyah. Al-ghadah adalah suatu daya yang berpotensi
untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan yaitu tingkah laku yang berusaha
membela atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan dan rasa malu juga
melindungi diri sendiri, memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatan sendiri.

Sedangkan Asy-syahwat adalah stau daya yang berpotensi menginduksi diri dari
segala yang menyenangkan (keinginan, nafsu). Yang menjadi ukuran baik buruk baginya
ialah kenikmatan sesaat dan maslahat individual, terlepas dari segala kebenaran. Sebab,
nafsu tidak memiliki pandangan jauh seperti akal yang memprediksikan akibat yang belum
terjadi. Setan kerap mempengaruhi manusia lewat unsur ini. Ia merupakan lobang besar
yang setan gunakan untuk menggoda manusia. Maka dari itu syariat islam senantiasa
berupaya untuk mengendalikan nafsu, memperkecil pegaruhnya terhadap kalbu, menutup
jalan setan padanya serta mendidiknya dengan apa yang dibencinya. Dengan demikian,

7
jelaslah sudah bahwa akal dan nafsu tidak memiliki andil dalam mengambil keputusan,
tetapi hanya memberikan usulan dan pendapat.

2.2 Pembentukan Akhlak


Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan
pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah pembentukan akhlak. Misalkan pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasyi
yang dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak
adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam.4 Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat
bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu
untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya
dengan memeluk agama Islam.5
Menurut sebagian para ahli, akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah
garizah yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini bahwa, masalah akhlak adalah
pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan atau fitrah yang ada
dalam diri manusia, dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu cenderung kepada
kebenaran. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya,
walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. Kelompok ini lebih lanjut menduga bahwa akhlak
adalah gambaran batin sebagaimana terpantul dalam perbuatan lahir. Perbuatan lahir ini tidak
akan sanggup mengubah perbuatan batin. Orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat
dengan sendirinya meninggikan dirinya. Demikian juga sebaliknya.6
Kemudian ada pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari
pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Akhlak manusia
itu sebenarnya boleh diubah dan dibentuk. Orang yang jahat tidak akan selamanya jahat, seperti
halnya seekor binatang yang ganas dan buas bisa dijinakkan dengan latihan dan asuhan. Maka
manusia yang berakal bisa diubah dan dibentuk perangainya atau sifatnya. Oleh sebab itu usaha
yang demikian memerlukan kemauan yang gigih untuk menjamin terbentuknya akhlak yang
mulia. Sebagaimana dalam hadits

4
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet, IV, hlm 5
5
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma‟arif, 1980), cet IV, hlm. 48-49
6
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf. Op.Cit, hlm. 154

8
“Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, dan Mu‟az bin Jabal
radhiallahuanhuma dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda:
Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan
yang dapat menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik .“ (Riwayat
Turmudzi)
2.2.1 Tujuan Pembentukan Akhlak
Telah dikatakan di atas bahwa pembentukan akhlak adalah sama dengan
pendidikan akhlak, jadi tujuannya pun sama. Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah
agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang
telah digariskan oleh Allah swt. 7 Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Proses pendidikan atau pembentukan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia
yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia akan terwujud secara kukuh dalam diri
seseorang apabila setiap empat unsur utama kebatinan diri yaitu daya akal, daya marah,
daya syahwat dan daya keadilan, Berjaya dibawa ke tahap yang seimbang dan adil sehingga
tiap satunya boleh dengan mudah mentaati kehendak syarak dan akal. Akhlak mulia
merupakan tujuan pokok pembentukan akhlak Islam ini. Akhlak seseorang akan dianggap
mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai – nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an.
Secara umum Ali Abdul Halim Mahmud menjabarkan hal-hal yang termasuk
akhlak terpuji yaitu :8
1. Mencintai semua orang. Ini tercermin dalam perkataan dan perbuatan.
2. Toleran dan memberi kemudahan kepada sesama dalam semua urusan dan transaksi.
Seperti jual beli dan sebagainya.

7
Aboebakar Aceh, Pendidikan Sufi Sebuah Karya Mendidik Akhlak Manusia Karya Filosof Islam di Indonesia,
(Solo: CV. Ramadhani, 1991), cet. 3, hlm. 12
8
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 159.

9
3. Menunaikan hak-hak keluarga, kerabat, dan tetangga tanpa harus diminta terlebih
dahulu.
4. Menghindarkan diri dari sifat tamak, pelit, pemurah dan semua sifat tercela.
5. Tidak memutuskan hubungan silaturahmi dengan sesama.
6. Tidak kaku dan bersikap keras dalam berinteraksi dengan orang lain.
7. Berusaha menghias diri dengan sifat-sifat terpuji.
Menurut Ali Abdul Halim Mahmud tujuan pembentukan akhlak setidaknya
memiliki tujuan yaitu:9
1. Mempersiapkan manusia-manusia yang beriman yang selalu beramal sholeh. Tidak ada
sesuatu pun yang menyamai amal saleh dalam mencerminkan akhlak mulia ini. Tidak
ada pula yang menyamai akhlak mulia dalam mencerminkan keimanan seseorang
kepada Allah dan konsistensinya kepada manhaj Islam.
2. Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang menjalani kehidupannya sesuai dengan
ajaran Islam; melaksanakan apa yang diperintahkan agama dengan meninggalkan apa
yang diharamkan; menikmati hal-hal yang baik dan dibolehkan serta menjauhi segala
sesuatu yang dilarang, keji, hina, buruk, tercela, dan munkar.
3. Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang bisa berinteraksi secara baik dengan
sesamanya, baik dengan orang muslim maupun nonmuslim. Mampu bergaul dengan
orang-orang yang ada di sekelilingnya dengan mencari ridha Allah, yaitu dengan
mengikuti ajaran-ajaran-Nya dan petunjuk-petunjuk Nabi-Nya, dengan semua ini dapat
tercipta kestabilan masyarakat dan kesinambungan hidup umat manusia.
4. Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang mampu dan mau mengajak orang lain
ke jalan Allah, melaksanakan amar ma‟ruf nahi munkar dan berjuang fii sabilillah demi
tegaknya agama Islam.
5. Mempersiapkan insan beriman dan saleh, yang mau merasa bangga dengan
persaudaraannya sesama muslim dan selalu memberikan hak-hak persaudaraan
tersebut, mencintai dan membenci hanya karena Allah, dan sedikitpun tidak kecut oleh
celaan orang hasad selama dia berada di jalan yang benar.
6. Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang merasa bahwa dia adalah bagian dari
seluruh umat Islam yang berasal dari daerah, suku, dan bahasa. Atau insan yang siap

9
Ibid, hlm. 160

10
melaksanakan kewajiban yang harus ia penuhi demi seluruh umat Islam selama dia
mampu,
7. Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang merasa bangga dengan loyalitasnya
kepada agama Islam dan berusaha sekuat tenaga demi tegaknya panji-panji Islam di
muka bumi. Atau insan yang rela mengorbankan harta, kedudukan, waktu, dan jiwanya
demi tegaknya syari‟at Islam.

2.2.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak


Untuk menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak ada
tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama aliran nativisme. Kedua, aliran Empirisme.
Dan ketiga aliran konvergensi.10
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap
pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat
berupa kecenderungan, bakat akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki
pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut
menjadi baik.
Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri
manusia, dan hal ini kelihatannya terkait erat dengan pendapat aliran intuisisme dalam
penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan di atas. Aliran ini tampak kurang
menghargai atau kurang memperhitungkan peranan pembinaan atau pembentukan dan
pendidikan.
Kemudian menurut aliran empirisme bahwa faktor yang sangat berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial,
termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang
diberikan . jika pendidikan dan pembinaan yang diberikan kepada anak itu baik, maka
baiklah anak itu.
Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak begitu percaya kepada peranan yang
dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi berbeda dengan pandangan
aliran konvergensi, aliran ini berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor
internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan atau pembentukan

10
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf. Op.Cit, hlm. 165

11
dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial.
Fitrah atau kecenderungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara
intensif melalui berbagai metode.
Aliran yang ketiga ini tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami
dari surat an-Nahk ayat, 78;

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar
kamu bersyukur.(Q.S. An Nahl : 78).11

Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik,
yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan
cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan.

Menurut Hamzah Ya‟kub Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya akhlak


atau moral pada prinsipnya dipengaruhi dan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu factor
intern dan faktor ekstern.12

a) Faktor Intern
Faktor intern adalah faktor yang datang dari diri sendiri yaitu fitrah yang suci yang
merupakan bakat bawaan sejak manusia lahir dan mengandung pengertian tentang
kesucian anak yang lahir dari pengaruh-pengaruh luarnya.
Setiap anak yang lahir ke dunia ini telah memiliki naluri keagamaan yang nantinya
akan mempengaruhi dirinya seperti unsur-unsur yang ada dalam dirinya yang turut
membentuk akhlak atau moral, diantaranya adalah ;
 Instink (naluri)

11
DEPAG RI, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : CV Toha Putra, 1989) hlm. 413.
12
Hamzah Ya‟qub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1993), hlm. 57.

12
Instink adalah kesanggupan melakukan hal-hal yang kompleks tanpa latihan
sebelumnya, terarah pada tujuan yang berarti bagi si subyek, tidak disadari dan
berlangsung secara mekanis. 13 Ahli-ahli psikologi menerangkan berbagai naluri
yang ada pada manusia yang menjadi pendorong tingkah lakunya, diantaranya
naluri makan, naluri berjodoh, naluri keibu-bapakan, naluri berjuang, naluri
bertuhan dan sebagainya.14
 Kebiasaan
Salah satu faktor penting dalam pembentukan akhlak adalah kebiasaan atau adat
istiadat. Yang dimaksud kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang
sehingga menjadi mudah dikerjakan.15 Kebiasaan dipandang sebagai fitrah yang
kedua setelah nurani. Karena 99% perbuatan manusia terjadi karena kebiasaan.
Misalnya makan, minum, mandi, cara berpakaian itu merupakan kebiasaan yang
sering diulangulang.
 Keturunan
Ahmad Amin mengatakan bahwa perpindahan sifatsifat tertentu dari orang tua
kepada keturunannya, maka disebut al- Waratsah atau warisan sifat-sifat.16 Warisan
sifat orang tua terhadap keturunanya, ada yang sifatnya langsung dan tidak
langsung. Artinya, langsung terhadap anaknya dan tidak langsung terhadap
anaknya, misalnya terhadap cucunya. Sebagai contoh, ayahnya adalah seorang
pahlawan, belum tentu anaknya seorang pemberani bagaikan pahlawan, bisa saja
sifat itu turun kepada cucunya.
 Keinginan atau kemauan keras
Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku manusia adalah kemauan
keras atau kehendak. Kehendak ini adalah suatu fungsi jiwa untuk dapat mencapai
17
sesuatu. Kehendak ini merupakan kekuatan dari dalam. Itulah yang
menggerakkan manusia berbuat dengan sungguh-sungguh. Seseorang dapat bekerja

13
Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung : Mandar Maju, 1996), hlm. 100
14
Hamzah Ya‟qub, Etika Islam,Op.Cit hlm. 30.
15
Ibid, hlm. 31.
16
Ahmad Amin, Ethika (Ilmu Akhlak) terj. Farid Ma‟ruf, (Jakarta : Bulan Bintang,1975), hlm. 35.
17
Agus Sujanto, Psikologi Umum, (Jakarta, : Aksara Baru, 1985), hlm. 93.

13
sampai larut malam dan pergi menuntut ilmu di negeri yang jauh berkat kekuatan
„azam (kemauan keras).
Demikianlah seseorang dapat mengerjakan sesuatu yang berat dan hebat memuat
pandangan orang lain karena digerakkan oleh kehendak. Dari kehendak itulah
menjelma niat yang baik dan yang buruk, sehingga perbuatan atau tingkah laku
menjadi baik dan buruk karenanya.
 Hati nurani Pada diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu
memberikan peringatan (isyarat) apabila tingkah laku manusia berada di ambang
bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah “suara batin” atau “suara hati”
yang dalam bahasa arab disebut dengan “dhamir”.18 Dalam bahasa Inggris disebut
“conscience”. 19 Sedangkan “conscience” adalah sistem nilai moral seseorang,
kesadaran akan benar dan salah dalam tingkah laku.20 Fungsi hati nurani adalah
memperingati bahayanya perbuatan buruk dan berusaha mencegahnya. Jika
seseorang terjerumus melakukan keburukan, maka batin merasa tidak senang
(menyesal), dan selain memberikan isyarat untuk mencegah dari keburukan, juga
memberikan

kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yang baik. Oleh
karena itu, hati nurani termasuk salah satu faktor yang ikut membentuk akhlak manusia.

b) Faktor ekstern
Adapun faktor ekstern adalah faktor yang diambil dari luar yang mempengaruhi
kelakuan atau perbuatan manusia, yaitu meliputi ;
 Lingkungan
Salah satu faktor yang turut menentukan kelakuan seseorang atau suatu masyarakat
adalah lingkungan (milleu). Milleu adalah suatu yang melingkupi suatu tubuh yang
hidup.30 Misalnya lingkungan alam mampu mematahkan/mematangkan
pertumbuhan bakat yang dibawa oleh seseorang ; lingkungan pergaulan mampu
mempengaruhi pikiran, sifat, dan tingkah laku.

18
Basuni Imamuddin, et.al., Kamus Kontekstual Arab-Indonesia, (Depok : Ulinuha Press, 2001), hlm. 314.
19
John. M. Echol, et.al., Kamus Bahasa Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1987), hlm. 139
20
C.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta : Rajawali Press, 1989), hlm. 106.

14
 Pengaruh keluarga
Setelah manusia lahir maka akan terlihat dengan jelas fungsi keluarga dalam
pendidikan yaitu memberikan pengalaman kepada anak baik melalui penglihatan
atau pembinaan menuju terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua.
Dengan demikian orang tua (keluarga) merupakan pusat kehidupan rohani sebagai
penyebab perkenalan dengan alam luar tentang sikap, cara berbuat, serta
pemikirannya di hari kemudian. Dengan kata lain, keluarga yang melaksanakan
pendidikan akan memberikan pengaruh yang besar dalam pembentukan akhlak.
 Pengaruh sekolah
Sekolah adalah lingkungan pendidikan kedua setelah pendidikan keluarga dimana
dapat mempengaruhi akhlak anak. Sebagaimana dikatakan oleh Mahmud Yunus
sebagai berikut ;
“Kewajiban sekolah adalah melaksanakan pendidikan yang tidak dapat
dilaksanakan di rumah tangga, pengalaman anakanak dijadikan dasar pelajaran
sekolah, kelakuan anak-anak yang kurang baik diperbaiki, tabiat-tabiatnya yang
salah dibetulkan, perangai yang kasar diperhalus, tingkah laku yang tidak senonoh
diperbaiki dan begitulah seterunya.”21
Di dalam sekolah berlangsung beberapa bentuk dasar dari kelangsungan
pendidikan. Pada umumnya yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan, dari
kecakapankecakapan pada umumnya, belajar bekerja sama dengan kawan
sekelompok melaksanakan tuntunan-tuntunan dan contoh yang baik, dan belajar
menahan diri dari kepentingan orang lain.22
 Pendidikan masyarakat
Masyarakat dalam pengertian yang sederhana adalah kumpulan individu dalam
kelompok yang diikat oleh ketentuan negara, kebudayaan, dan agama. Ahmad D.
Marimba mengatakan; “Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang
dalam masyarakat banyak sekali. Hal ini meliputi segala bidang baik pembentukan

21
Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta : Agung, 1978), hlm. 31.
22
Abu Ahmadi, et.al., Psikologi Sosial, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), hlm. 269.

15
kebiasaan. Kebiasaan pengertian (pengetahuan), sikap dan minat maupun
pembentukan kesusilaan dan keagamaan”.23

2.3 Perbedaan ilhām, waswās, hawājis dan khāthir al-yaqīn.

a. Khatir (lintasan/bisikan)
Para Ahli Tazkiyyatun Nafs menyebut Khotir / lintasan pikiran atau inspirasi adalah
merupakan bagian dari suatu bentuk pengaruh yang datang dan merasuki ke dalam hati
seseorang dan disebut sebagai bagian dari al- waridat (sesuatu yang datang kedalam
hati).Waridat ini kadang-kadang dalam bentuk keadaan 'kontraksi' (Keinginan yang maju
mundur/ berlawanan/ Al- Khonnaas) atau 'ekspansi' (keinginan yang tiba- tiba menguat),
sukacita atau kesedihan, dan kadang-kadang dalam bentuk seperti bisikan kata-kata dan ucapan
yang mempengaruhi diri sendiri (Wisik- Jawa).
Dalam hal yang terakhir ini (bisikan hati) mereka sebut sebagai khawatir (Jama’ dari
Khatir/ khatirah). Hal ini terjadi ketika seolah-olah seseorang dalam hatinya ada yang sedang
membisiki dan berbicara dengannya.
Dalam hal bisikan yang ada dalam hati, al-Ghazali menunjukkan ciri –cirinya sebagai
berikut: bahwa setiap bisikan atau lintasan batin yang mendorong kepada kebaikan, maka ia
datang dari malaikat, sedangkan lintasan batin yang condong pada hal negatif pasti berasal dari
setan.
Dalam Hadist Rasulullah SAW :
“Ada dua lintasan didalam hati, yaitu: lintasan dari malaikat menjanjikan kebaikan dan
membenarkan kebenaran. Barang siapa menemukan hal demikian hendaklah ia mengetahui
bahwa itu dari Allah SWT., hendaklah ia memuji Allah. Dan langkah dari musuh menjanjikan
menjanjikan membohongi kebenaran dan dan menolak kebaikan. Barang siapa menemukan
hal demikian hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Kemudian Rasulullah membaca firman Allah SWT: “setan menjanjikan kamu kefakiran dan
memerintahkan kamu berbuat keburukan.” HR. Al-Tirmudzi dari hadis Ibn Mas’ud.24
Rasulullah menjelaskan dalam hadist tersebut adanya dua bisikan batin dari malaikat dan
setan. Ciri bisikan malaikat adalah menjanjikan kebaikan dan mendukungkebenaran Al-Qur’an

23
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Op.Cit, hlm. 63
24
Sodiq, Akhmad. 2018 .prophertic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut al-Ghazali.
Prenada Media h. 64

16
dan Hadist. Adapun ciri bisikan setan adalah sebaliknya yaitu menjanjikan keburukan,
mengingkari kebenaran (Al-Qur’an dan Hadist) dan menolak kebaikan.
1. Macam – macam khatir menurut ulama
a. Ibn ‘Ataillah
Ibn ‘Ataillah membedakan bisikan setan dan bisikan malaikat itu dengan ciri-ciri yang
dapat dirasakan langsung oleh penerimanya. Ia menjelaskan bahwa bisikan malaikat
akan berdampak dingin, lezat, tidak ada duka, tidak ada perubahan dalam ilustrasinya
dan meninggalkan ilmu. Adapun bisikan setan mengakibatkan kekacauan pada anggota
badan, duka, bingung dan meninggalkan tindakan serampangan25
b. Al-Mushasibi
Berbeda dengan al-Ghazali, al-Mushasibi membagi bisikan hati menjadi 3 bagian.
Pertama, bisikan ketaatan yang merupakan peringatan dari Allah Lewat hati.
Kedua, lintasan jiwa yang kebanyakannya membujuk untuk memperturutkan hawa
nafsu atau mencicipi dosa besar, perbuatan buruk yang memperdaya jiwa manusia.
Ketiga, bisikan setan ketika menghiasi kemaksiatan dan perbuatan buruk manusia26
c. Syekh Abdul Qodir al-jilani
Syekh Abdul Qodir al-jilani membagi bisikan yang ada dihaati menjadi 6 macam yaitu:
1. Bisikan Nafsu
Bisikan Nafsu memerintahkan untuk memenuhisyahwat dan mengikuti
keinginan yang mubah (hal yang diperbolehkan syara’) dan kesalahan.
2. Bisikan Setan
Bisikan setan perintah asalnya adalah kufur, syirik, mengeluh, dan gelisah
dengan janji Allah, bergumul dengan kemaksiatan dan menundanunda taubat.
Bisikan inilah yang mencelakakan diri didunia dan di Akhirat.
3. Bisikan Roh
4. Bisikan Malaikat
5. Bisikan Akal
6. Bisikan Keyakinan (Al-Yaqin)

25
Ibn ‘Ataillah, miftah Al Falah wa Misbah al-Arwah, h 28 dalam Sodiq, Akhmad. 2018 .prophertic Character
Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut al-Ghazali. Prenada Media h. 64
26
Sodiq, Akhmad. 2018 .prophertic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut al-Ghazali.
Prenada Media h. 65

17
Bisikan keyakinan (al-yaqin) adalah roh keimanan dan maksud dari ilmu,
ia kembali menyadar kepada Allah. Bisikan ini dikhususkan bagi para Auliya’,
syuhada dan abdal.27
NO BISIKAN MALAIKAT BISIKAN SETAN
1. Disebut ilham. Disebut was was.
2. Menjanjikan kebaikan. Menjanjikan keburukan dan
menolak kebaikan.
3. Membenarkan Mengingkari kebenaran.
kebenaran.
4. Terasa dalam batin sejuk, Mengakibatkan guncangan
lezat, tidak ada duka, dan anggota badan, duka, dan
tidak ada perubahan bingung.
dalam ilustrasinya.
5. Menimbulkan ilmu. Menimbulkan tindakan
serampangan.
6. Kesediaan menerima Kesediaan menerima
ilham disebut taufik. waswas disebut ighwa
(kesesatan) dan khidzlan
(kehinaan).

b. Ilham
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya ihya ulum al-Din, juz 3 halaman 25. Khatir kebaikan
yang dibawa malaikat dalam batin disebut ilham. Keadaan hati yang bersedia menerima ilham
ini disebut taufiq. Adapun khatir negatif yang diembuskan setan disebut waswas dan kesediaan
hati menerima ajakan setan disebut ighwa (kesesatan) khidzlan (kehinaan)28
c. Waswas

27
Syekh abdul qodir jilany, al-ghunyah li talib sirat al-haqq, (Beirut: Al-maktabat al-Sa’biyah, t.th), juz 1, h. 101.
Dalam Sodiq, Akhmad. 2018 .prophertic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut al-Ghazali.
Prenada Media h. 66
28
Sodiq, Akhmad. 2018 .prophertic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut al-Ghazali.
Prenada Media h. 65

18
Menurut al ghazali, bisikan setan (waswas) dapat dikelompokkan dalam tiga macam. Yaitu :
Pertama, waswas yang bercampur kebenaran. Misalnya setan mengatakan, “jangan
tinggalkan bersenang senang dengan kelezatan dunia, karena umur ini panjang. Sedang sabar
atas keinginan pada kelezatan sepanjang umur adalah kepedihan yang hebat.” Sesungguhnya
pernyataan setan ini memang benar adanya, namun jika seorang hamba mengingat keangungan
hak Allah, keagungan pahala dan kedahsyatan siksa-Nya, maka ia dapat mengatakan pada
dirinya bahwa bersabar atas kesenangan syahwat memang berat tetapi sabar terhadap neraka
adalh jauh lebih berat.
Waswas semacam ini dapat dipatahkan secara sempurna oleh para ‘arifin yang melihat
cahaya iman dan makrifat.
Kedua, waswas setan dengan menggerakan dan menguatkan syahwat. Jenis waswas ini
sebagian diketahui oleh seorang hamba dengan pasti bahwa itu maksiat dan sebagian
meragukan. Pada jenis waswas dapat diketahui dengan pasti kemaksiatannya, setan
menghindar dan bersembunyi dari hati. Untuk jenis waswas meragukan, setan tetap tinggal
dihati dan membutuhkan mujahadah untuk mengusirnya.
Ketiga, waswas yang berbentuk semata – mata lintasan hati dan mengingat hal-hal
keseharian. Waswas jenis ini tidak langsung menyuruh maksiat, tetapi ia menghambat
konsentrasi ibadah dengan segala peristiwa keseharian sehingga sang ‘abid terganggu. Waswas
dalam bentuk ini dapat dengan mudah terusir dengan dzikir, namun ia dapat kembali suatu saat
dengan cepat. Sehingga antara dzikir dan lalai dapat berganti tiada henti. Waswas ini senantiasa
ada, bahkan pada orang yang ‘arif billah. Hanya saja orang – orang yang tenggelam mencintai
Allah itu telah dikuasai cinta seluruh kesadarannya, sehingga lintasan ini tidak pernah
dipedulikan29
d. Hawajis
Imam junayd ra. Membedakan antara hawajis dan waswas: bahwa nafsu itu hawajis,
apabila menuntut terhadap suatu perkara, ia akan menempel dan akan kembali lagi walaupun
berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan
mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang – orang yang mujahadahnya benar,maka bisikan itu
tidak aan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhinya. Sementara syaiton (waswas),

29
Sodiq, Akhmad. 2018 .prophertic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak menurut al-Ghazali.
Prenada Media H.69

19
ketika menjerumuskan seseorang melalui godaannya, kemudian ditentang, maka syaiton akan
kembali mempengaruhi dengan godaan lainnya. Sebab secara keseluruhan, sikap kontra adalah
sama. Yang penting bagi syaiton, orang tersebut bisa mengikuti ajakan yang menjerumuskan.
Baginya tidak ada peringanan dalam penjerumusan itu.’

3 Intensitas Khatir dan Intensitas keburukan


Khatir adalah bisikan yang menghujam kedalam hati seseorang tanpa diduga
olehnya. Bisikan pada khatir lebih terarah pada perintah untuk melakukan sesuatu. Khatir
juga disebut bekas-bekas yang timbul di dalam hati seseorang, yang mendorongnya dan
mengajaknya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan karena berubah-
ubahnyanya hati. Semua khatir yang timbul di hati seseorang itu sebenarnya dari Allah
Ta’ala. Asal timbulnya khatir yaitu Allah menugasi di hati turunan adam, satu malaikat
yang mengajak berbuat kebaikan. Malaikat itu bernama Mulhim dan ajakannya bisa
disebut Ilham. Untuk menyeimbangi malaikat mulhim ini Allah juga memberi kekuasaan
pada setan yang mengajak turunan adam untuk berbuat kejelekan. Setan itu bernama setan
waswas dan ajakannya disebut waswasah. Dua makhluk halus ini (Malaikat Mulhim dan
setan waswas) selalu bertempat dihati manusia. Sementara itu, manusia bisa merasakan
pendengaran hatinya terhadap ajakan-ajakan tersebut. Hal ini sesuai dengan hadits-hadits
yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila anak turun Adam dikaruniai anak, maka Allah Ta’ala menyertakan pada
anak itu satu malaikat dan juga satu setan. Setan bertengger pada telingga hati manusia
sebelah kiri dan malaikat bertengger pada telinga hati manusia sebelah kanan. Lalu
keduanya selalu mengajak manusia tersebut”.
“Setan itu mempunyai tempat di hati anak turun Adam dan Malaikat juga mempunyai
tempat”.
Kemudian Allah Ta’ala mengisikan pada ragangan manusia, watak yang condong
kepada kesenangan-kesenangan dan memperoleh kelezatan-kelezatan bagaimanapun
bentuknya, baik (halal) atau buruk (haram). Watak inilah yang disebut hawa nafsu yang
selalu memalingkan manusia kepada berbagai kerusakan. Jadi, di dalam ragangan manusia
terdapat tiga unsur yang selalu mengajak (satu diantaranya kita sendiri yang harus
mengendalikannya, yaitu hawa nafsu. Selanjutnya, perlu kita tahu bahwa gerak-gerak hati

20
itu adalah bekas-bekas yang timbul di dalam hati seseorang, yang mendorongnya dan
mengajaknya untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Bekas-bekas inilah yang disebut “khatir”, karena berubah-ubahnya hati. Semua khatir
yang timbul di hati seseorang itu sebenarnya dari Allah Ta’ala. Hanya saja, khatir itu dibagi
menjadi empat bagian, yaitu :
1. Khatir yang ditimbulkan oleh Allah Ta’ala di dalam hati pada permulaan. Khatir ini
semacam ini disebut “Khatir” saja.
2. Khatir yang diadakan Allah Ta’ala sesuai dengan watak manusia, khatir ini
dinamakan “hawa nafsu”dan digolongkan kepada nafsu tersebut.
3. Khatir yang diwujudkan Allah Ta’ala sesudah adanya ajakan Malaikat Mulhim. Khatir
ini dinamakan “Khatir Ilham” atau “Khatir Malakiy”, atau biasa juga kita sebut
sebagai “Ilham” saja.
4. Khatir yang ditimbulkan oleh Allah Ta’ala sesudah adanya ajakan setan. Khatir ini
disebut "Khatir syaithaniy” atau “waswasah”. Dinamakan demikian, sebab waswasah
itu gerak hati yang datang dari setan tetapi sebenarnya khatir ini timbul sesudah adanya
ajakan dari setan, sehingga seolah-olah khatir ini datang dari setan.

Sementara itu, khatir yang datang dari hawa nafsu selalu (cenderung) mengajak manusia
kepada kejelekan demi mencegah kebaikan dan agar orang menyimpang.
Seperti itulah macam-macam gerak hati dan kehadiran Malaikat Mulhim dengan setan
waswas dalam hati kita. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari godaan-godaan setan,
serta menguatkan iman kita kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab suci Al-qur’an, Hari Kiamat serta Qada’ dan Qadar-Nya.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Manusia yang tercipta tidak hanya terdiri dari jasmani yang terlihat oleh kasat mata
bentuknya. Namun juga terdiri dari ruhani serta akal, nafsu dan kalbu. Allah memberikan
kelebihan dan keutamaan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yang berupa
potensi dasar yang disertakan Allah, baik internal maupun ekstrnal. Potensi ini menjadi
pondasi bagi manusia untuk menjalaskan tugas serta memikul tanggung jawab. Oleh
karena itu ia harus diolah dan didayagunakan sebaik-baiknya sehingga dapat menunaikan
tugas dengan baik.

3.2 Saran
Pemberian yang telah diberikan Allah SWT hendaknya dipergunakan dengan baik
dan semsestinya sehingga akan menimbulkan keberkahan dan kebaikan yang berbalik
kepada diri kita sendiri.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aboebakar Aceh, 1991, Pendidikan Sufi Sebuah Karya Mendidik Akhlak Manusia Karya
Filosof Islam di Indonesia, Cetakan 3, Penerbit : CV. Ramadhani, Jakarta.
Abu Ahmadi, 1991, et.al., Psikologi Sosial, Penerbit : Rineka Cipta, Jakarta.
Abuddin Nata, 2002, Akhlak Tasawuf, Cetakan IV Penerbit : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Agus Sujanto, 1985, Psikologi Umum, Penerbit, : Aksara Baru, Jakarta.
Ahmad Amin, 1975, Ethika (Ilmu Akhlak) terj. Farid Ma‟ruf, Penerbit : Bulan Bintang,
Jakarta.
Ahmad D Marimba, 1980, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan IV, Penerbit : Al-
Ma‟arif, Bandung.
Al-Ghazali. 1986. Majmu ‘ Rasail al-Imam al-Ghzali. Bairut: Dar Al-Kutub
Al-Ghazali. 2011. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub
Ali Abdul Halim Mahmud, 2004, Akhlak Mulia, Penerbit : PT Gema Insani, Jakarta.
Auliya, M, Yaniyullah Delta. 2005. Melejitkan Kecerdasan Hati dan Otak, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Basuni Imamuddin, 2001, et.al., Kamus Kontekstual Arab-Indonesia, Penerbit : Ulinuha Press,
Depok.
C.P. Chaplin, 1989, Kamus Lengkap Psikologi, Penerbit : PT Rajawali Press, Jakarta.
DEPAG RI, 1989, Al Qur'an dan Terjemahannya, Penerbit : CV Toha Putra, Semarang.
Hamzah Ya‟qub, 1993, Etika Islam, Penerbit : Diponegoro, Bandung.
John. M. Echol, 1987, et.al., Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Penerbit : Gramedia, Jakarta.
Kartini Kartono, 1996, Psikologi Umum, Penerbit : Mandar Maju, Bandung.
Mahmud Yunus, 1978, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Penerbit : Agung, Jakarta.
Sodiq, Akhmad. 2018 .prophertic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Akhlak
menurut al-Ghazali. Prenada Media

23

Anda mungkin juga menyukai