Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

“Hakikat Manusia”

DISUSUN OLEH :

MAYANG SARI ( 211955 )

SAID MUHAMMAD FADIL ( 211962 )

SITI NURHAMIDAH ( 211800 )

Dosen Pengampu : Zulfah, M.Pd.


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

STAIN SULLTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami selalu ucapkan Alhamdulillah atas kehadiran Allah SWT, yang
mana sudah melimpahkan rahmat, dan ridho-nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas
makalah ini yang berjudul “hakikat manusia” dengan baik serta tepat waktu. Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat
pendidikan islam dari ibuk Zulfah, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah ini.

Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan
tentang bagaimana proses belajar mengajar dalam pendidikan Islam, bagi para pembaca
dan juga bagi penulis. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa belajar dan mengajar selalu
berkaitan karena seseorang yang belajar pasti ada yang mengajar sehingga terjadi
interaksi antara keduanya yang disebut proses belajar mengajar dan akan berkaitan
dengan filsafat berpikir logis dan keritis. Sebagian besar perubahan dalam diri manusia
merupakan akibat dari aktivitas belajar, Sehingga sangat wajar apabila belajar merupakan
konsep kunci dalam setiap kegiatan pendidikan. Oleh karena itu kami sebagai penyusun
makalah ini bisa menolong menaikkan pengetahuan kita menjadi lebih luas lagi.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari bahwasanya makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.

Bintan, 12 September 2022

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1. Latar Belakang................................................................................................................1

2. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

3. Tujuan.............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

1. Hakikat Manusia.............................................................................................................3

2. Hakikat mansuia dalam perespektif islam.......................................................................6

3. Fitrah dalam prespektif islam..........................................................................................7

4. proses, tujuan, dan fungsi penciptaan manusia...............................................................8

BAB III PENUTUP..................................................................................................................16

1. Kesimpulan...................................................................................................................16

2. Saran..............................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Eksistensi manusia sepanjang masa selalu menarik untuk dikaji, tidak hanya
ilmu filsafat, psikologi, atau tasawuf, kajian tentang manusia terus berkembang
mengikuti pertumbuhan dan perkembangan ilmu. Perlu kita ketahui yang
Disampaikan oleh Ali, “Bahwa kajian tentang manusia merupakan suatu misteri
yang tidak pernah tuntas (Ali, 1997). Semua bidang ilmu akan menjadikan
manusia sebagai objek material bidang ilmu. Manusia adalah individu yang
terintegrasi unsur jasmani dan ruhani, yang dari kedua unsur ini manusia
mendapatkan bentuk yang sempurna, (Quraish Shihab, 1998). Jika
kesempurnaan itu tidak dijaga maka ia akan dikembalikan pada derajat yang
serendah-rendahnya, seperti dalam QS. 95 (At-Thin) ayat 4-6, “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian. Kemudian Kami
kembalikan ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang
beriman dan melakukan amal sholeh” (Shihab, 2002). Maksudnya adalah akan
menjadi rendah sebagaimana manusia sebelum menyatu dengan ruh ilahi
sehingga memiliki prilaku yang rendah.
perlu kita ketahui juga bahwa Misteri tentang manusia sama dengan misteri
tentang alam, semakin banyak dimensi yang telah diketahui, semakin disadari
bahwa hal-hal yang belum diketahui justru lebih banyak lagi. Manusia adalah
miniatur dari keajaiban alam ciptaan Tuhan. Ada orang yang secara individual
sangat menarik kepribadiannya dan dari kepribadian individual yang kuat dan
mulia itu ia kemudian sukses secara sosial, menjadi orang yang terhormat dan
dihormati oleh masyarakat. Quraish Syihab dalam bukunya “Wawasan Al-
Qur’an” mengungkapkan pendapat Alexis Carrel tentang kesukaran yang
dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa “sebenarnya manusia telah
mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya,

1
kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil
penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan, dan para ahli kerohanian sepanjang
masa ini. Tapi kita manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu
dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui
hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun
hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya
pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia kepada diri
mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban”.
Untuk memahami manusia dibutuhkan penjelasan dan interpretasi yang lebih
banyak dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh selain manusia. Hingga
pada akhirnya Al-Qur’an menggambarkan tahapan-tahapan dan petunjuk
mengenai manusia dimulai dari fase penciptaannya, dimensi kepribadiannya.
Yang kemudian kepribadian manusia ini diberikan wadah yaitu agama Islam
untuk mengetahui dan mengajarkan manusia lebih dalam dan jelas tentang
peran serta tanggung jawabnya sesuai dengan fitrah dan tujuan hidup manusia
itu sendiri sehingga menjadikannya sebagai model manusia muslim
sesungguhnya. Untuk memenuhi keinginan akan pengetahuan tentang manusia
itu sendiri maka dalam makalah ini peneliti mencoba mengungkapkan beberapa
literatur yang menjelaskan mengenai hakikat tentang manusia dalam perspektif
Islam
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hakikat dari manusia dalam perspektif Islam?
2. Bagaimana fitrah dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana proses, tujuan, dan fungsi penciptaan manusia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui makana hakikat manusia dalam prespektif islam
2. Mencari tau tujuan fitrah manusia di dalam islam
3. Agar mahasiswa mengetahui proses, tujuan, dan fungsi penciptaan manusia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia
Menurut Imam Al-Ghazali Manusia dalam pandangan al-Ghazali terdiri dari
dua komponen yaitu jasad dan ruh. Pendapat ini didasarkan pada teori kebangkitan
jasad pada akhir hayat (kehidupan). Perlu kita ketahui bahwa manusia akan
dibangkitkan di hari akhir yaitu jasad dan ruh, karena itu yang merasakan nikmat
dan pedihnya siksa akhirat adalah jiwa dan raganya (Tiam, 2014). Dari teori ini

3
maka manusia adalah individu yang memiliki unsur jasadi dan ruhani. Kedua
unsur ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, akan tetapi yang
memiliki posisi tinggi adalah unsur ruhani. Ruhani adalah jiwa manusia terdiri
pada empat unsur; hati, ruh, nafsu (hawa/syahwat), dan akal (Mubarok, 2000).
Dalam term al-Ghazali menyebutkan dengan empat term, yakni
1. al-nafs al-hayawaniyat atau nafs kebinatangan (jiwa sensitif), berupa dorongan
amarah dan syahwat
2. al-nafs al-nabatiyat atau jiwa malaikat (jiwa vegetatif), berupa dorongan untuk
melakukan kebenaran atau bebas dari hewani
3. an-nafs annathiqoh atau jiwa berpikir, berupa dorongan untuk memilah dan
memilih perbuatan manusia secara realistis
4. al-nafs al-insaniyat atau jiwa kemanusiaan (jiwa kemanusiaan) berupa
dorongan untuk melakukan aktualisasi diri dan pengakuan sehingga ia
melakukan perbuatan yang terintegrasi dari nafs hayawaniat, nabatiayat, dan
nathiqoh.

Hati terbagi menjadi dua kajian, pertama kajian umum dan khusus. Dalam
kajian umum, hati itu adalah daging yang berbentuk buah sanubari yang diletakkan
pada sebelah kiri dari dada. Melalui fungsi fisik ini dapat memberi kehidupan pada
manusia dalam mengatur metabolisme tubuh. Hati dalam arti khusus, berupa hati
yang halus karena fungsinya yang soft berupa kelembutan, kebijaksanaan, hikmah,
dan cinta kasih. Ibarat sepotong daging yang memiliki kemuliaan yang terdiri alam
mulkiyah dan alam musyahadah semua sifat dan kekuasaan Tuhan. Alam ini
sebagai tempat jiwa-jiwa yang tenang yang menunjukkan nilai-nilai Tuhan. Hati
yang halus disebut dengan hati nurani, yang mengandung unsur rabbaniyah
(ketuhanan), dan ruhaniah (keruhaniaan). 1Hati yang halus inilah menjadi hakikat
manusia, dialah yang mengetahui, yang mengerti dan yang mengenal diri manusia,
dialah yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela, dan dituntut.
1
E. Asmaya, “Hakikat manusia dalam tasawuf al-ghazali”, Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 12(1), 123-
135.

4
Ruh (nyawa) memiliki makna, pertama, secara fisik ruh ada pada badan,
banjirnya cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman
dari padanya atas semua anggotanya itu menyerupai banjirnya cahaya dari lampu
yang berputar di sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai ke
suatu rumah melainkan ia bersinar dengan cahaya itu. Dalam term Bahasa
Indonesia ruh disebut dengan pemberi kehidupan kepada badan (organisme fisik)
yang menyebabkan kehidupan pada manusia (Tim, 2001). Dalam term lain ruh ini
disebut dengan jiwa dan kesadaran manusia. Kesadaran ini yang menjadikan
manusia hidup atau mati (makna fisik) dan bermanfaat atau tidak (makna non
fisik). Namun keduanya memberi arti bahwa ruh atau nyawa adalah denyutnya
kehidupan.

Nafsu adalah tempat yang menghimpun kekuatan marah dan nafsu syahwat
pada manusia. Berdasar kualitasnya, nafsu dibagi tiga (Mubarok, 2000); pertama,
Nafsu mutmainnah jika mampu menentang nafsu syhawat, nafsu itu tenang dan
damai. QS. al-Fajr: 27-28. Kedua, nafsu lawwamah adalah nafsu yang tidak
sempurna ketenangannya, dia menjadi pendorong bgi nafsu syahwat dan
sejenisnya. QS. al-Qiyamah: 2. Ketiga, Nafsu alamarah, nafsu yang mendorong
pada kejahatan, tunduk dan patuh pada tuntutan syahwat (hawa nafs). Nafs ini
memiliki jiwa pembangun dan pengrusak, biasa disebut dengan id eros dan id
thanatos. Id eros adalah yang membangun disebut dengan dorongan-dorngan
positif, Sedang id thanatos adalah dorongan atau motif untuk melakukan
kerusakan. Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia biasa
disebut dengan hawa nafsu. Hawa Nafsu yakni dorongan nafs yang cenderung
bersifat rendah. Menurut al-Ghazali hawa nafsu itu musuh dari dalam, bukan setan
yang terlihat, “Nafsu selalu mengajak aku ke jalan kecelakaan, memperbanyak
penyakit dan kenyerianku. Bagaimana semestinya aku bertindak terhadap
musuhku, jika ia menyelinap di celah-celah tulang igaku.” (Al-Ghazali, 2000).

5
Dalam kondisi ini manusia akan merasa susah untuk menolak segala dorongan
hawa nafsu kecuali dengan berabagai upaya dan latihan dengan taqwa. Taqwa
adalah gabungan dari sifat-sifat yang menahan hawa nafs, tidak terperdaya pada
fatamorgana, melepaskan segala ikatan yang merintang di dalam menuju keridoan
Allah SWT. Ditulis dalam Qs. asy-Syam ayat 9-10 bahwa nafs itu diciptakan
Tuhan secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga kesuciannya. Sebab ia bisa
rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat. Kualitas nasf tiap orang berbeda-
beda berkaitan dengan bagaimana usaha masing-masing menjaganya dari hawa
(QS. an-Naziat ayat 40). Disampaikan oleh oleh Hamka dengan mengutip
pendapat al-Ghazali bahwa manusia itu terdiri dari kekuatan marah, kekuatan
syahwat dan kekuatan ilmu (Hamka, 1960). kekuatan itu terus bergerak memberi
ruang dan kesempatan kepada pemiliknya untuk dikompromi. Karena itu
disampaikan oleh Hamka bahwa masing-masing kekuatan itu harus berjalan secara
seimbang.

Jika kita mengikuti kekuatan marah akan menyebabkan sulit dan


mempermudah kita terbawa kepada kebinasaan. Jangan pula berlebihaan
mengikuti syahwat menjadikan orang humuq (pandir). Jika kekuatan syahwat dan
marah itu diikuti sedang-sedang saja disertai pertimbangan maka lebih baik
perjalanannya menuju petunjuk Tuhan. Jika kemarahan itu melebihi batas maka
akan terjadi memukul dan membunuh. Tetapi kalau dia kurang pula daripadanya
yang mestinya, hilanglah diri dari perasaan cemburu (ghiroh) dan hilang pula
perasaan bertanggung jawab atas agama dan keperluan hidup atas dunia. Tetapi
kalau marah terletak di tengah-tengah, timbullah kesabaran, keberanian dalam
perkara yang melakukan keberanian dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan
berdasar kebijaksanaan. Bagian yang mengatur itu disebut dengan akal. Akal
adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasiinformasi nalar. Seakan-
akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengan hati siap
mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda dengan tingkatannya.

6
Kedudukan akal seperti seorang raja. Memiliki banyak pasukan, yaitu tamyiz
(kemampuan membedakan), daya hafal dan pemahaman. Kemampuan akal lainnya
seperti membantu memahami (persepsi), menyimpan, mengulang dan memanggil
pemahaman (memori) serta berpikir untuk memecahkan masalah (Rakhmat &
Surjaman, 1999). Dari sudut ini, akal mempunyai empat tingkatan kemampuan;

1. al-‘aql al hayulani (akal material), Akal material ini merupakan potensi


akal untuk menangkap arti-arti murni yang masih berupa ide. Akal ini
untuk mengetahui apa (mahiyah) (Supriyadi, 2009). Akal ini merupakan
kemampuan dasar dan awal manusia memfungsikan akalnya dalam
kehidupannya.
2. al’aqal bi al malakat (habitual intellect) Akal habitual yaitu kesanggupan
untuk berfikir abstrak secara murni mulai kelihatan sehingga dapat
menangkap pengertian dan kaidah umum seluruh lebih besar daripada
bagian (Supriyadi, 2009). Akal dalam konsep ini merupakan kemapuan
akalpada tahap lanjutan, karena ia telah mampu berpikir abstrak.
3. al- ‘aql bi al fi’il (akal aktual) akal aktual yaitu akal yang lebih mudah dan
lebih banyak menangkap pengertian dan kaidah umum yang dimaksud.
Akal ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak yang dan kaidah umum
yang dimaksud.
4. al’aqal al-mustafad (akal perolehan) akal mustafad adalah akal yang di
dalamnya terdapat arti-arti abstrak yang dapat dikeluarkan dengan mudah
sekali.

Cara beraktivitas akal-akal tersebut untuk menghasilkan ilmu dapat dijelaskan


secara singkat; akal hayulani semata-mata berupa potensi, hanya akal mampu
menangkap sesuatu dari luar jika mendapat rangsangan. Kemudian akal malakat
melakukan abstraksi. Proses abstraksi itu menghasilkan pengertian. Hasil abstraksi
(pengertian) itu kemudian disimpan oleh akal fi’il dan selanjutnya diteruskan pada
akal mustafad (akal yang mampu memahami konsep yang sulit dijangkau nalar

7
manusia, kecuali melalui bantuan hati nurani). Ma’rifatullah Istilah ma’rifatullah
berasal dari kata ma’rifah dan Allah. Ma’rifah ini diartikan sebagai pengetahuan
yang mendalam dan mendasar. Pengetahuan ini bersumber dari keyakinan atas
sesuatu hal. Seorang yang telah memiliki kemampuan ma’rifah berarti ia sudah
berada di ujung perjalanan dari ilmu pengetahuan. Jadi, ma’rifah adalah kumpulan
ilmu pengetahuan, perasan, pengalaman, amal dan ibadah. Kumpulan dari ilmu,
filsafat dan agama (Amrullah, 1994). Orang yang ma’rifah disebut arif. Salah satu
objek ma’rifah adalah Allah SWT. Karena itu bisa disebut dengan ma’rifatullah.
Konsep ma’rifatullah merupakan pemikiran al-Ghazali terkait dengan puncak
kepuasaan pengetahuan manusia, dan puncak pengetahuan itu adalah mengetahui
tentang Allah SWT.

Manusia acapkali mencari kepuasaan dan kebahagiaan dan jawabnya adalah


ma’rifatullah. Ma’rifatullah akan diperoleh melalui persaksian hati yang sangat
yakin (musyahadatul qolbi). Apabila manusia sudah sampai pada persaksian yang
semacam ini, ia akan merasakan suatu kebahagiaan yang memuaskan dan sulit
dilukiskan. Ma’rifatullah adalah puncaknya kebahagian seorang manusia. karena
ia mampu menemukan pengetahuannya tentang Allah SWT dan ia bisa merasakan
dan melihat- yang terkandung pada kejadian dunia akhirat yang sebenarnya adalah
mengenal Allah SWT (Tuhan).

Disinilah perbedaan alGhazali dengan al-Hallaj dan suffi lainnya bahwa


wujudnya itu ialah kesatuan semesta (wahdatuwujud). Alam seluruhnya ini adalah
makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Apabila telah
tajalli (jelas) dalam hati ma’rifat akan hakikat ke-Tuhan itu dan sifat-sifat serta
af’al (perbuatannya) dan nikmat rahmat itulah dia bahagia. Bertambah luas dan
mendalam ma’rifat manusia dengan itu pula bertambah luas pulalah surga yang
akan didapatinya. Dalam tasawuf cara yang ditempuh untuk menemukan
kebahagian itu berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya;

8
1. Tingkat orang awam, yakni yang mempercayai kabar berita yang dibawa
oleh orang yang dipercayainya. Bagi orang awam, maka tidak usah
mendalam untuk mengkaji persoalan agama dengan mendalam. Karena
akan berakibat akan merusak.
2. Iman orang awam (biasa), yakni dia mendapat kepercayaan dari jalan
membanding, meneliti dan memeriksa dengan segala kekuatan akal dan
menguji kebenarnnya.
3. Iman orang arifin (khawas), yakni dia tumbuh keyakinan setelah
menyaksikan sendiri akan kebenaran itu dengan tidak ada
dindingdindingnya lagi.

Menurut al-Ghazali orang arifin adalah yang telah mencapai martabat


maksudnya dia sudah memiliki pengetahuan, keyakinan dan pengalaman.” Itulah
kecintaan Tuhan yang telah bertemu dengan inti sari ilmu. Orangorang alim
tingkat kedua ini harus terus belajar. Untuk mencapai derajat ketiga mulailah
menaklukkan akal kepada jalan kecintaan. Jalannya ialah melepaskan diri dari
pengaruh kemegahan. Lepaskan negeri-negeri penipu (dunia) dan tetapkan negeri
tujuan yang abadi (akhirat). Menghadap sematamata kepada Allah SWT dengan
membesarkan himmah (cita-cita dan kemauan). Maka pilihlah suluk (jalan yang
ditempuh) oleh sufi; taklukkan diri, hawa dan nafsu dan keinginan ke dalam suatu
latihan batin (riyadhoh) dan perjuangan (mujahadah).

Dengan kesetiaan menempuh jalan demikian dari sedikit akan terbukalah


hijab yang mendinding antara saya dan Engkau, sehingga dapatlah musyahadah
(menyaksikan sendiri). Dengan penglihatan hati (musyahadatul-galb), bukan
dengan pengelihatan mata. Sebab penglihatan mata ini hanyalah alat belaka dari
penglihatan hati. Buta dalam perkara ini bukanlah buta mata tetapi buta hati yang
ada dalam dada. Pembersihan diri ini disebutnya juga dengan al-takhliyat, yaitu
mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela. Pengosongan ini sekaligus berlanjut
dengan pengisian kembali dengan sifat-sifat terpuji yang disebutnya dengan al-

9
tahliyah. Al-Takhliyat dan al-tahliyat dilakukan dengan latihan yang panjang.
Apabila dengan latihan ini al-nafs mencapai tingkat tertentu dimana keinginan
untuk selalu mengarah kepada Tuhan mencapai kestabilannya, al-nafs disebut
dengan al-nafs al-muthmainnah. Al-nafs yang selalu dalam perjuangan
menentukan orientasi kepada Tuhan atau kepada tuntutan-tuntutan badani disebut
dengan al-nafs lawwamat. Al-nafs yang lebih rendah adalah selalu berorintasi
kepada tuntutan badani. Dengan latihan yang terus-menerus, al-nafs al-
muthmainnah, setelah melalui fase altakhliyat dan al-tahliyat mencapai al-tajalli.
Pada tingkat ini pengetahuanpengetahuan abstrak dan informasi-informasi tentang
dunia gaib terbuka kepada al-nafs. Manusia tingkatan ini manusia telah mencapai
kesempurnaannya ma’rifatullah.

Jadi dapat kami simpulkan Manusia dalam perspektif tasawuf al-Ghazali


merupakan individu yang terdiri dari unsur hati, hati nurani, ruh, nafsu, syahwat
dan akal. Dari semua unsur ini menentukan status manusia sebagai individu yang
beruntung atau merugi, yang taqwa atau yang fujur, jiwa yang muthmainnah,
lawwamah atau ammarah. Status ini sangat tergantung kepada kemampuan diri
dalam mengelola unsur-unsur jiwa tersebut agar berjalan secara seimbang agar
menjadi seorang ma’rifatullah. Oleh karena itu, agar menjadi seorang ma’rifatullah
maka harus melaksanakan tasawuf. Tasawuf itu adalah jalan untuk membersihkan
jiwa dan raga agar bahagia. Melalui ilmu dan amal berupa latihan-latihan jiwa
dengan mempertinggi sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) dan menahan dorongan
nafsu dari sifat-sifat yang tercela (mazmumah) sehingga menjadi bersihlah jiwa
atau dengan amalan takhalli, tahalli, dan tajalli. Hati yang bersih itulah yang dapat
mendekati Tuhan, apalagi jika senantiasa dihasi dengan dzikir yaitu menyebut
asma Allah SWT.

B. Hakikat manusia dalam perspektif Islam


Manusia menurut terminology AlQur’an dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang. Disebut Al-Basyar berdasrkan pendekatan aspek biologisnya atau

10
mengacu kepada bentuk fisik manusia. Dari sudut pandang ini manusia dilihat
sebagai makhluk biologis yang memiliki dorongan primer (makan, minum,
hubungan seksual) dan makhluk generative (berketurunan). Sedangkan dilihat dari
fungsi dan potensi yang dimilikinya manusia disebut Al-Insan yang menunjukkan
makhluk berakal yang berperan sebagai subjek kebudayaan. Konsep Al-Insan
menggambarkan fungsi manusia sebagai penyandang khalifah tuhan yang
dikaitkan dengan proses penciptaan dan pertumbuhan serta proses
perkembangannya. Selain itu konsep Al-Insan juga menunjukkan potensi yang
dimiliki manusia seperti kemampuan untuk mengembangkan ilmu. Di samping itu,
konsep ini juga menggambarkan sejumlah sifat-sifat dan tanggung jawab manusia
seperti lupa, khilaf, tergesa-gesa, suka membantah, kikir, tidak bersyukur dan
sebagainya.2
Namun kepadanya dibebankan amanah dan tanggung jawab untuk berbuat
baik. Begitu juga dengan konsep fitrah manusia itu sendiri yang lebih
menunjukkan kepada keinsanan manusia ketimbang kebasyariahannya. Sedangkan
manusia dalam istilah Bani Adam menunjukkan bahwa manusia tidak luput dari
historisitas keberadaan manusia (Adam) di bumi, sehingga penggunaan kata Bani
Adam untuk manusia menunjukkan keterkaitan antara manusia secara historisitas
terhadap asal usulnya.
Selanjutnya manusia menurut pandangan Islam juga dipandang sebagai
makhluk psikis. Dari sudut pandang ini, pemahaman manusia berdasrkan aspek
psikis ini sama sekali berbeda dengan pandangan ilmuwan barat. Umumnya
pemahaman barat tentang aspek psikis manusia terbatas pada unsur-unsur
kejiwaan yang terdiri atas unsure kognisi, roh dan akal yang merupakan potensi
manusia yang dapat dikembangkan. Tetapi yang jelas unsure-unsur psikis manusia
itu menurut konsep islam senantiasa dihubungkan dengan nilai-nilai agama.
Beranjak dari pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa

2
Nawangsih, E., & Achmad, G. H, “Hakikat Manusia dalam konteks pendidikan Islam”, Jurnal Ilmu
Pendidikan, 4(2). 3034-3044.

11
manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki hubungan makhluk-Khalik secara
fitrah. Untuk menjadikan hubungan tersebut berjalan normal, maka manusia
dianugerahkan berbagai potensi yang dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan
hubungan tersebut. Anugerah tersebut antara lain berupa dorongan naluri,
perangkat inderawi, kemampuan akal, dan fitrah agama yang jika dikembangkan
melalui bimbingan yang baik akan mampu mengantarkan manusia mencapai
sukses dalam kehidupannya sebagai makhluk yang mengabdi kepada penciptanya.
Prof. Dr. Omar Muhammad Toumi Al-Syaibani memperinci pandangan Islam
terhadap manusia atas delapan prinsip:
1. Kepercayaan bahwa manusia makhluk termulia di alam jagat raya ini.
2. Kepercayaan akan kemuliaan manusia.
3. Kepercayaan bahwa manusia itu ialah hewan yang berfikir.
4. Kepercayaan bahwa manusia itu memiliki tiga dimensi: badan, akal dan
ruh.
5. Kepercayaan bahwa manusia dalam pertumbuhannya terpengaruh oleh
faktor-faktor warisan (pembawaan) dan ingkungan.
6. Kepercayaan bahwa manusia itu memiliki motivasi dan kebutuhan.
7. Kepercayaan bahwa ada perbedaan perseorangan di antara manusia.
8. Kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai keluasan sifat dan selalu
berubah.

Fase proses penciptaan manusia dalam Islam Di dalam Al-Qur’an disebutkan


tentang fase proses penciptaan manusia: Mengapa kamu tidak percaya akan
kebesaran Allah?. Padahal Dia Sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam
beberapa tingkatan kejadian. (Q.S. Nuh: 13-14). Dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang

12
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami
jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta
yang paling baik. (Q.S. Al-Mu’minuun: 12-14). Al-Qur’an menggambarkan tahap-
tahap pertumbuhan janin di dalam rahim secara jelas dan akurat, dan
membagikannya ke dalam tujuh fase selain fase penciptaan dari tanah. Fase itu
antara lain:

1. Saripati tanah Saripati tanah yang dimaksud adalah zat yang diproduksi
oleh alat pencernaan yang berasal dari bahan makanan (baik tumbuhan
maupun hewan) yang bersumber dari tanah, yang selanjutnya menjadi
darah, kemudian berproses hingga akhirnya menjadi sperma ketika terjadi
hubungan sex.
2. Nuthfah (mani) Makna asal kata ‘nuthfah’ dalam bahasa Arab berarti
setetes yang dapat membasahi. Penggunaan kata ini sejalan dengan
penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang
menyembur dari alat kelamin pria yang mengandung sekitar dua ratus juta
benih manusia, tetapi yang berhasil bertemu dengan ovum wanita hanya
satu. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah.
3. ‘Alaqah (segumpal darah) ‘Alaqah diartikan ‘segumpal darah’ atau
‘gumpalan darah yang membeku’ karena embrio selama fase ini
berkembang melalui saat-saat internal yang diketahui seperti pembentukan
darah di pembuluh tertutup sampai dengan putaran metabolis lengkap
melalui plasenta (ari-ari). Selama fase ini darah ditangkap di dalam
pembuluh tertutup sehingga embrio memperoleh penampakan sebagai
gumpalan darah beku. Sedang ‘alaqah diartikan ‘lintah’ oleh karena
embrio selama fase ‘alaqah memperoleh penampakan yang sangat mirip
dengan lintah. Fase ‘alaqah (segumpal darah) yang terus menyempurnakan
diri secara bertahap pun dimulai sampai janin berbentuk seperti lintah
yang hidup di dalam air.

13
4. Mudhghah (segumpal daging) Mudhghah berasal dari kata madhagha
yang berarti mengunyah. Pada fase ini embrio disebut mudhghah karena
bentuknya masih dalam kadar yang kecil seukuran dengan sesuatu yang
dikunyah. Dan di antara sifat segumpal daging ialah bisa memanjang dan
bentuknya akan berubah jika dikunyah. Mudhghah ini ada dua macam;
mudhghah yang sempurna penciptaannya, dan mudhghah yang tidak
sempurna (plasenta).
5. Idzam (pembentukan tulang) Pada fase ini embrio mengalami
perkembangan dari bentuk sebelumnya yang hanya berupa segumpal
daging hingga berubah menjadi jaringan-jaringan tulang untuk
membentuk tulang punggung dan struktur tulang lainnya.
6. Kisa al-‘idzam bil-lahm (penutupan tulang dengan daging atau otot)
Pengungkapan fase ini dengan kisa yang berarti membungkus, dan lahm
(daging) diibaratkan pakaian yang membungkus tulang, selaras dengan
kemajuan yang dicapai embriologi yang menyatakan bahwa sel-sel tulang
tercipta sebelum sel-sel daging, dan bahwa tidak terdeteksi adanya satu sel
daging sebelum terlihat sel tulang. Pada fase ini tulang punggung mulai
terbentuk sempurna. Tulang ini mulai berubah dari yang tadinya
membungkuk seperti bulan sabit, menjadi lurus dan tegak.
7. Taswiyah (penyempurnaan) Fase ini mengisyaratkan bahwa ada sesuatu
yang dianugerahkan kepada manusia yang menjadikannya berbeda dengan
makhluk-makhluk lain. Sesuatu itu adalah ruh ciptaannya yang
menjadikan manusia memiliki potensi yang sangat besar sehingga dapat
melanjutkan evolusinya hingga mencapai kesempurnaan makhluk.

C. Fitrah dalam prespektif islam


Fitrah merupakan citra asli manusia, yang berpotensi baik atau buruk dimana
aktualisasinya tergantung pilihan. Fitrah yang baik merupakan citra asli yang
primer. Sedangkan fitrah buruk merupakan citra asli yang sekunder. Fitrah adalah

14
citra asli yang dinamis, yang ada pada sistem-sistem psiko-fisik manusia, dan
dapat diaktulisasikan dalam bentuk tingkah laku. Seluruh manusia memiliki fitra
yang sama, meskipun perilakunya berbeda. Fitrah manusia yang paling esensial
adalah penerimaan terhadap amanah untuk menjadi khalifah dan hamba Allah di
muka bumi. Syahminan Zaini (1986:5-9) mengatakan bahwa jenis fitrah memiliki
banyak dimensinya, dimensi yang terpenting ialah;
a. Fitrah agama
Manusia sejak dilahirkan diberikan naluri atau insting beragama, insting yang
mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta yaitu Allah Swt. Sebelum lahir
ke dunia manusia telah mengakui bahwa Allah Swt adalah Tuhan (Q.S.
alA’raf: 172). Sehingga ketika dilahirkan ia berkecenderungan al-hanif, yakni
rindu akan kebenaran mutlak (Allah).

b. Fitrah intelek
adalah potensi manusia yang memiliki daya untuk memperoleh pengetahuan
dan fitrah manusia untuk dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk. Allah Swt selalu memperingatkan manusia untuk selalu menggunakan
fitrah inteleknya. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain
ciptaan Allah Swt.

c. Fitrah sosial
adalah kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat atau berkelompok
yang di dalamnya terbentuk ciri-ciri khas yang disebut kebudayaan.
Kebudayaan merupakan cerminan manusia dan masyarakat. Manusia
merupakan komponen dari kebudayaan, peranan manusia untuk membentuk
kebudayaan yang islami dengan memasukan ke dalam kurikulum pendidikan
Islam ke seluruh peringkat dan tahapannya.

d. Fitrah Susila

15
adalah kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifatsifat amoral
atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya. Potensi ini
untuk menolak sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Manusia
yang menyalahi aturan yang bertentangan dengan Islam akibatnya menjadi
hina.

e. Fitrah ekonomi
adalah fitrah manusia untuk mempertahankan hidup. Manusia
mempertahankan hidupnya dengan memberikan kebutuhan jasmaniah. Fitrah
ekonomi tidak menghendaki adanya materialisme atau diperbudak materi bagi
manusia dengan mengeksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan diri
pribadi. Karena fitrah manusia adalah menjaga dan memanfaatkan kelestarian
alam sebagai realisasi atas tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

f. Fitrah seni
adalah kemampuan manusia untuk menimbulkan daya estetika. Dalam
pendidikan tugas manusia yang terpenting adalah memberikan suasana
gembira, senang dan aman dalam proses belajar mengajar karena pendidikan
merupakan proses kesenian yang karenanya dibutuhkan “seni mendidik”.
g. Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihormati,
menikah, cinta tanah air, dan kebutuhan hidup lainnya.3

D. Proses, tujuan dan fungsi penciptaan manusia


1. Proses Penciptaan Manusia
pnciptaan nabi Adam a.s. Bila nabi Adam diciptakan dari tanah liat yang kering
yang berasal dari Ada banyak tahapan yang dilalui dalam proses penciptaan
manusia. )totosuharto)) Sebagaimana yang tergambar dalam surah shad

3
Haris hermawan, filsafat pendidikan islam,( Jakarta: Derektoart Jenderal Pendidkan Islam
Departemen Agama RI; 2009), hlm 56.

16
yang artinya Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya".(Q.S. Shad:71-72).

Menurut Musa Asy‟ari yang dikutip oleh Toto Suharto, dalam penciptaan
manusia terdiri dari empat tahap atau proses, yaitu:
1. Tahap Jasad
Dalam al- quran menjelaskan awal penciptaan manusia adalah dari
thurab yaitu tanah yang berdebu. Terkadang dengan kata Tin, atau
salsal. Namun yang jelas makna yang dimaksud dengan tanah ini
adalah saripatinya. Penciptaan dari tanah ini tidak berarti manusia
diciptakan dari bahan tanah seperti pembuatan patung. Penciptaan ini
bermakna simbolik, yaitu saripati yang membentuk tumbuhan atau
binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi manusia.

2. Tahap Hayat
Awal mula kehidupan manusia dari air, sebagaimana kehidupan
tumbuhan dan binatang. Maksud air kehidupan disini adalah air yang
hina atau sperma. Sperma kemudian membuahi sel telur dalam rahim
seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula kehidupan
seorang manusia.

3. Tahap Ruh
Ruh adalah sesuatu yang dihembuskan didalam sebuah jasad sehingga
memberikan nyawa terhadap jasad. Pada saat yang sama Tuhan juga
menjadikan pendengaran, pengelihatan dan hati pada manusia

17
sehingga manusai menjadi hidup. Maka hal ini menandakan bahwa
ruhlah yang menjadi pinpinan dalam jasad manusia, dari itu ruh
kiranya dapat menjadi pembimbing pendengaran, pengelihatan dan
hati manusia dalam memahami kebenaran.

4. Tahap Nafs
Kata nafs dalam al-Qur’an ada empat pengertian yaitu nafsu, napas,
jiwa dan diri. Maka dari keempat kata ini al-Quran biasanya
menggunakan kata Nafs untuk pengertian diri. Diri maksudnya adalah
kesatuan dari jasad, hayat, dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi
kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam
aktifitas kehidupan manusia.4

Islam berpandangan bahwa manusia hakikatnya merupakan perkaitan


antara badan dan ruh. Badan dan ruh merupakan masing-masing
merupakan substansi yang berdiri sendiri yang tidak tergantung oleh
adanya yang lain. Namun dengan menyatunyalah yang kedua substansi
ini barulah manusia bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Maka
keduanya diciptakan oleh Allah Swt.5

2. Tujan Penciptaan Manusia


Tujuan manusia diciptakan tidak lain tidak bukan adalah untuk beribadah
kepada Allah SWT. Sesuai penjelasan Al-quran “Aku telah menciptakan
jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Ku." (Al-Qur'an, 51:56).
Ini menunjukkan bukti tunduk dan taat terhadap Allah SWT. Yang telah
menciptakan manusia.6

4
Totosuharto, filsafat pendidikan islam, (Jakarta: A-Kuzz media: 2011), hlm 81.
5
Zuhairi, filsafat pendidikan islam, (Jakarta: Bumi Aksara2009), hlm 75.
6
Zakiah, buku ajar pendidikan agama islam untuk perguruan tinggi umum, (Medan: 2015), hlm 13.

18
3. Fungsi manusia
Dalam penciptaannya manusia mengemban amanah dari allah yaitu
berupa menjadi khalifah di bumi. Khalifah bisa berarti pengganti tuhan
atau penganti generasi sebelumnya. Dengan fungsi kekhalifahan. Manusia
di tuntut kerja dan dinamis dalam membangun dunia, reproduksi dan
pendidikan manusia. Untuk melnjutkan melestarikan hasil-hasil usahanya
sebagai penentu kekahlifahannya, dan semua itu disebut amal saleh.7

Manusia diciptakan agar menyembah kepada Allah baik Mahdloh


ataupun Ghoiru Mahdloh. Sesuai dengan potensi dan keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan yang lain dengan segala kesempurnaannya maka
fungsi dan peran di dunia ini adalah sebagai Abdun atau hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar menyembah kepada Allah baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh. Sesuai dengan potensi dan keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan yang lain dengan segala kesempurnaannya maka
fungsi dan peran di dunia ini adalah sebagai Abdun atau hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar menyembah kepada Allah baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh. Sesuai dengan potensi dan keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan yang lain dengan segala kesempurnaannya maka
fungsi dan peran di dunia ini adalah sebagai Abdun atau hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar menyembah kepada Allah baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh. Sesuai dengan potensi dan keunggulan manusia
7
Sudarto,filsafat pendidikan islam, (Yogyakarta: Dee Publish: 2021), hlm 10.

19
dibanding makhluk ciptaan yang lain dengan segala kesempurnaannya maka
fungsi dan peran di dunia ini adalah sebagai Abdun atau hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar menyembah kepada Allah baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh. Sesuai dengan potensi dan keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan yang lain dengan segala kesempurnaannya maka
fungsi dan peran di dunia ini adalah sebagai Abdun atau hamba san sebagai
khalifah yang ditug
Manusia diciptakan agar menyembah kepada Allah baik Mahdloh
ataupun Ghoiru Mahdloh. Sesuai dengan potensi dan keunggulan manusia
dibanding makhluk ciptaan yang lain dengan segala kesempurnaannya maka
fungsi dan peran di dunia ini adalah sebagai Abdun atau hamba san sebagai
khalifah yang ditugaskan unt

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
dari pembahasan yang telah kami samapikan dapat kami simpulkan bahwa
hakikat manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan dalam
cara berpikir dan juga cara untuk mengendalikan diri , dan sudah kita ketahui
juga manusia diberikan nafsu dan juga hasrat yang bertujuan untuk memenuih
syarat untuk mencapai tujuan yaitu sebagai manusia yang berkarakter. Dan
manusia juga merupakan makhluk yang sangat unik Dengan keunikan yang
dimilikinya, manusia merupakan makhluk yang rumit dan misterius. Untuk

20
memahami manusia dibutuhkan penjelasan dan interpretasi yang lebih banyak
dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh selain manusia. Al-Qur’an
menggambarkan tahap-tahap pertumbuhan janin di dalam rahim secara jelas
dan akurat, dan membagikannya ke dalam enam fase selain fase penciptaan dari
tanah. Mengenai dimensi kepribadian manusia Manusia dapat dipandang dari
sudut pandang yang beragam. Satu sisi dapat dipandang sebagai realitas fisik,
dan sisi lain dapat di pandang sebagai realitas psikis. Tentang peran dan
tanggung jawab manusia menurut Islam Di dalam Al Quran sudah begitu
lengkap semua hal mengenai fungsi, peran dan tanggung jawab manusia.
Oleh karena itu manusia wajib membaca dan memahami Al Quran agar dapat
memahami apa fungsi, peran dan tanggung jawabnya sebagai manusia sehingga
dapat menjalani kehidupan dengan penuh makna. Adapun Fitrah dan tujuan
hidup manusia, Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang
diciptakan oleh Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya
(serta ruhnya). Masing-masing telah ditetapkan ketentuannya dan juga saat
hidupnya. Sedangkan mengenai tujuan hidup, Orang Islam dengan rahmat dan
hidayah Tuhan telah dibimbing bertujuan hidup sesuai dengan firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah ayat 21, adz-Zariyat:56, al-Bayyinah:5.
Sedangkan untuk kategori ciri model seorang manusia muslim seperti yang
telah dipaparkan adalah yang sesuai dengan penjelasan surat Al-Ashr, yaitu
yang beriman, beramal soleh, saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.
B. Saran
Kami sebagai pemakalah sebelumnya, mengucapkan mohon maaf jika
terdapat kekurangan di makalah yang telah kami buat, dan di sini kita sama-sama
belajar semoga dari materi yang telah kami sampaikan ada sedikit pembahasan
yang benar dan berguna, bagi teman-teman yang membaca dan dapat di pahami
dan kami berharap dari materi yang telah kami sampaikan dapat memberi
bantuan didalam mencari pengetahuan dan teman-teman pun jika membuat
makalah bisa lebih baik dari apa yang telah kami buat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Asmaya, E. ( 2018 ). Hakikat manusia dalam tasawuf al-ghazali. KOMUNIKA:


Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 12(1), 123-135.

Nawangsih, E., & Achmad, G. H. (2022). Hakikat Manusia dalam Konteks


Pendidikan Islam. Edukatif: Jurnal Ilmu pendidikan, 2022, 4.2: 3034-3044.

Hermawan, haris. (2011 ). filsafat pendidikan islam, Jakarta: Derektoart Jenderal


Pendidkan Islam Departemen Agama RI.

Suharto, toto. (2011). filsafat pendidikan islam, Jakarta: A-Kuzz media.

Zuhairi. ( 2009 ). Filsafat pendidikan islam, Jakarta:Bumi Aksara.

Zakiah, dkk. ( 2015 ). Buku ajar pendidikan agama islam untuk perguruan tinggi
umum. Medan.

Sudarto. (2021). filsafat pendidikan islam, Yogyakarta: Dee Publish.

22
23

Anda mungkin juga menyukai