Anda di halaman 1dari 21

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Filsafat Pendidikan Islam Rafani, Drs., M. Pd.

MAKALAH

HAKIKAT MANUSIA

Disusun Oleh

Kelompok 3:

1. Fadhillah Lilandariati Nim: 12011127019

2. Fahkroh Zulfi Maisyaroh Nim: 12011124022

Kelas : Tadris IPA 3A

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN ALAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah "Hakikat Manusia"
tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan


berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada kami membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi
saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat
diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Pekanbaru, 25 September 2021

Penulis

i
BAB I

1.1

1.4 Manfaat Penulisan...............................................................................................................2

BAB II

BAB III

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam al-Quran banyak sekali ditemukan gambaran tentang manusia dan makna filosofis
dari penciptaanya. Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dan sebaik-baik
ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran.

Dalam hal Ibn’Arabi misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,
³Tidak ada makhluk Allah yang paling bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup,
mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat,mendengar, berpikir dan memutuskan”.

Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengakapi dengan semua
pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan bagi pengemban tugas dan fungsinya sebagai
makhluk Allah di muka bumi (Ramayulis dan Nizar, 2009:57). Pembicara tentang manusia
adalah pembicaraan tentang diri kita sendiri, suatu pembicaraan yang tidak pernah tuntas dan
berakhir. Manusia dalam persektif Islam berbeda dengan konsep manusia dalam pandangan-
pandangan agama selain Islam.

Konsep manusia dalam pandangan Islam adalah konsep sentral bagi setiap disiplin ilmu
sosial kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai objek formal dan materialnya.Agar
konsep manusia yang kita bangun bukan semata-mata merupakan konsep yang spekulatif,
maka kita mesti bertanya pada zat yang mencipta dan mengerti manusia, yaitu Allah SWT,
melalui al-Quran. Lewat al-Quran Allah memberikan rahasia-rahasia tentang manusia
(Shaleh, 2004:52).

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah Hakikat Manusia antara lain sebagai berikut :
1.2.1. Apa pengertian dari Hakikat Manusia?
1.2.2. Bagaimanakah Konsep An Nas, Al Basar, dan Bani Adam?
1.2.3. Bagaimanakah Proses, Tujuan, dan Fungsi Ciptaan Manusia?

1
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari makalah Hakikat Manusia antara lain sebagai berikut :

1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari Hakikat Manusia


1.3.2. Untuk mengetahui Konsep An Nas, Al Basar, dan Bani Adam
1.3.3. Untuk mengetahui Proses, Tujuan, dan Fungsi Ciptaan Manusia
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian dari makalah Hakikat Manusia antara lain sebagai berikut:
1.4.1.Untuk melengkapi nilai tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
1.4.2.Untuk menambah wawasan mengenai Hakikat Manusia
1.4.3.Bermanfaat bagi pembaca disemua kalangan

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hakikat Manusia

Manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya kemudian


membedakan dengan makhluk yang lain. Kelebihan tersebut adalah karena manusia memiliki
akal dan pikiran. Dengan akal dan pikirannya, manusia mampu membudidayakan
lingkungannya untuk kepentingan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan akalnya manusia
dapat mengenal dan menerima berbagai konsep dan norma untuk mengatur kehidupannya,
disamping sebagai makhluk berpikir atau homosapiens dengan kemampuan pikiranya juga
manusia disebut sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk
religius/ makhluk bermoral.

Berbagai kajian terkait hakikat manusia telah dilakukan oleh para ahli. Wujud sifat
hakikat manusia yang telah dikemukakan oleh ahli menurut pandangan psikoanalitik,
pandangan humanistik, dan pandangan beavioristik. Uraian lebih detail mengenai ketiga
pandangan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

a. Pandangan Psikoanalitik.

Kelompok ini berpendapat bahwa perilaku manusia pada dasarnya digerakkan dan
dikontrol oleh kekuatan psikologis yang dimiliki. Prawira (2012: 66) menyatakan bahwa
Sigmund Freud sebagai pelopor aliran ini mengemukakan struktur pribadi manusia terdiri
dari 3 komponen, yaitu id (das es), yang berisi berbagai dorongan, kemauan, dan berbagai
keinginan instingtif yang selalu memerlukan pemenuhan dan pemuasan. Ego (das ich)
nampak perannya pada fungsi pikir yang bertindak sebagai jembatan untuk dapat
merealisasikan berbagai dorongan tersebut dengan mempertimbangkan berbagai kondisi
lingkungan. Super ego (das uber ich), yaitu fungsi kata hati yang bertugas sebagai kontrol
boleh tidaknya suatu dorongan direalisasikannya, sehingga super ego tumbuh dan
berkembang karena interaksi individu dengan norma, lingkungan dan tatanan sosial yang ada.
Seseorang yang perkembangan id-nya lebih dominan akan menampakkan perilaku yang
implusif, sedang seseorang yang lebih didominasi oleh super ego akan berperilaku moralis.
Tahapan berikutnya muncul aliran neoanalitik yang tetap berpegang pada tiga aspek struktur
kepribadian manusia tersebut di atas, tetapi aliran ini lebih menekankan ego sangat penting
sebagai pusat kepribadian manusia, yang tidak hanya berfungsi merealisasikan dorongan

3
yang muncul tetapi dengan egonya manusia akan lebih rasional, dan bertanggung jawab atas
perilaku intelektual dan sosialnya.

b. Pandangan Humanistik.

Carl Rogers yang merupakan tokoh utama aliran ini menolak pendapat psikho analitik
yang berpendapat bahwa manusia tidak rasional, Rogers lebih menekankan bahwa manusia
mempunyai dorongan terhadap dirinya sendri untuk berperilaku positif. Dalam pandangan ini
disebutkan bahwa manusia bersifat rasional dan tersosialisasikan, serta mampu menentukan
sendiri nasibnya, termasuk mengontrol dan mengatur dirinya sendiri. Dalam kondisi yang
memungkinkan, manusia akan mengarahkan dirinya sendiri menjadi individu yang positif,
menjadi masyarakat yang terbebas dari kecemasan. Sedangkan Adler berpendapat bahwa
perilaku individu tidak serta merta digerakkan atas dasar untuk kepuasaannya sendiri, namun
lebih banyak didasarkan pada tanggung jawab sosial dan dorongan untuk memenuhi
kebutuhannya.

c. Pandangan Martin Buber.

Aliran yang berkembang pada tahun 1961 ini berpendapat bahwa manusia yakni suatu
keberadaannya berpotensi, tetapi dihadapkan pada kesemestaan yang mengontrol potensi
perkembangan manusia. Manusia menjadi pusat ketakterdugaan dunia, karena manusia
mengandung kemungkinan baik dan buruk yang keduanya akan berkembang secara tidak
terduga.

d. Pandangan Behavioristik.

Kelompok ini berpendapat bahwa perilaku manusia adalah reaksi dan adaptasi dari
lingkungan sekitarnya, sehingga tingkah laku manusia sepenuhnya dikontrol oleh faktor-
faktor yang datang dari luar. Pada kelahirannya manusia bersifat netral, perkembangan
kepribadian individu sepenuhnya tergantung pada lingkungan. Aliran ini sama sekali tidak
menghargai potensi yang dimiliki individu dan mengingkari adanya kemauan individu.

Desmita (2016:55) mengemukakan bahwa pada behavioristik terdapat tedapat tiga


tradisi, yaitu Pavlov dan kondisioning klasik, B.F. Skinner dan kondisioning operant, serta
Bandura dan teori belajar sosial. Teori kondisioning klasik yang diperkenalkan Pavlov yaitu
rangsangan yang diberikan dapat mengakibatkan tingkah laku. Teori ini sering kali disebut
dengan stimulus-respon (S-R). Skiner berpendapat bahwa kemampuan manusia terwujud

4
dalam tingkah laku, yang dapat berkembang karena pengaruh lingkungan. Teori belajar sosial
yang dikemukakan Bandura menyatakan bahwa anak belajar tidak hanya melalui
pengalaman, namun juga melalui pengamatan terhadap apa yang dilakukan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pengertian hakikat manusia
adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna
eksistensi manusia di dunia. Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya”
(principe de’etre) manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat
gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki
sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985).

2.2. Manusia dan Hakikat Manusia


Manusia memiliki beberapa term yang dapat digunakan dalam Al Quran seperti
insan/ins/al-nas, basyar dan bani Adam. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan
penelusuran makna term-term tersebut.
1. Makna al-Insan/al-ins/al-nas (‫ االنس – االنسان‬- ‫)الناس‬
Kata ‫ انسان انس‬berakar kata ‫ س ن ا‬ins (‫( انسان‬segala sesuatu yang berlawanan dengan
cara liar, tidak biadab, tidak liar, jinak, dinamis, harmonis, dan bersahabat. Kata al-ins (‫)االنس‬
biasanya berdampingan dengan kata al-jin (‫)الجن‬. Manusia “al-ins” makhluk yang nampak
secara fisik ini sedangkan jin makhluk yang tidak nampak (metafisik). Metafisik di sini
identik dengan liar atau bebas, karena jin tidak mengenal ruang dan waktu.
Dengan sifat kemanusian itu, manusia berbeda dengan jenis makhluk lain yang
metafisis, yang asing, yang tidak berkembang biak dan tidak hidup seperti manusia biasa.
Dalam Al Quran kata ins ( ‫ ) انس‬terulang 10 kali, 12 ayat diantaranya berdampingan
dengan kata “jin” (‫)جن‬. Jin adalah jenis makhluk bukan manusia yang hidup di alam antah
beranta dan alam yang terindera. Di balik dinding alam kita manusia dan dia tidak mengikuti
hukum-hukum. Hukum yang dikenal dalam tata kehidupan manusia.
Kata insan (‫ )انسان‬tentang 70 kali, kata: al-nas (‫ )اناس‬terulang 240 kali. Term “al-nas”
secara umum menggambarkan manusia universal netral tanpa sifat. Sifat tertentu yang
membatasi atau mewarnai keberadaannya, sedangkan kata “insan” pada umumnya
menggambarkan makhluk manusia dengan berbagai potensi dan sifat, makna-makna dari akar
kata di atas paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk
tersebut, yakni ia memiliki sifat lupa, kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia
juga adalah makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonis dan
kebahagiaan kepada pihak-pihak lain.

5
Term al-nas (‫ )الناس‬menggambarkan manusia yang universal netral sebagai makhluk
sosial seperti pernyataan Al Quran QS. Al Hujurat (49): 13
‫شع ُْوبًا وَّ َقب ۤا ِٕىل لِ َتعارفُ ْوا ۚ اِنَّ اَ ْكرم ُكم عِ ْن َد هّٰللا‬
ُ ‫ٰ ٓيا َ ُّي َها ال َّناسُ ِا َّنا َخ َل ْق ٰن ُك ْم مِّنْ َذ َك ٍر وَّ ا ُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم‬
ِ ْ َ َ َ َ َ ِٕ َ
‫اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِنَّ هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم َخ ِب ْي ٌر‬

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal”.
Berbeda dengan kata “al-nas” term “insan” yang secara umum menggambarkan
manusia yang memiliki potensi atau sifat yang beragam, baik sifat positif maupun negatif.
Perhatikan Firman Allah: QS. Al Alaq (96): 4-5
٤ – ‫الَّذِيْ َعلَّ َم ِب ْال َقلَ ۙ ِم‬
َ ‫َعلَّ َم ااْل ِ ْن َس‬
٥ - ‫ان َما لَ ْم َيعْ لَ ۗ ْم‬

“Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Mengajarkan kepada manusia


apa yang tidak diketahuinya.
QS. Al Alaq (96): 6
٦ - ۙ ‫ان لَ َي ْط ٰغ ٓى‬
َ ‫َكٓاَّل اِنَّ ااْل ِ ْن َس‬
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas”.

Pada ayat 4-5 QS. Al Alaq di atas, Allah Swt menegaskan tentang pemberian ilmu
melalui “qalam” (tulisan). Ini merupakan salah satu anugrah terbesar karena dengan tulisan
satu generasi terdahulu dapat mentransfer ilmu dan pengalamannya kepada suatu generasi
yang akan datang kemudian. Sebagai penerima ilmu, manusia (al-insan) ini memiliki potensi
dan sifat positif.
Sedangkan ayat 6 QS.Al Alaq tersebut menandakan bahwa manusia juga memiliki
potensi atau sifat negatif yaitu ‫ يطغى‬yakni melampaui batas( ‫ )الشيان فى تجاوزالحد‬dengan cara
melanggar hukum dan aturan-aturan yang menjerumuskan ke lembah dosa.
2. Makna Basyar
Kata “‫ ” بشر‬yang terdiri dari huruf huruf ‫ ر ش ب‬yang arti dasarnya28 tampaknya
sesuatu baik dan indah. Kata “basyar” juga berarti menggembirakan, menguliti,
memperlihatkan dan mengurus sesuatu29. Al Raghib Al Ashfahani mengatakan bahwa
“basyar” berarti al-jild (kulit). Manusia disebut basyar karena kulitnya terlihat jelas, berbeda

6
dengan binatang, kulitnya tidak tampak karena tertutup oleh bulu. Dengan demikian manusia
yang sudah jelas di akui keberadaannya itulah yang disebut basyar.
Bintu syathi menyatakan bahwa basyar adalah manusia yang sudah diakui
keberadaannya manusia dewasa, namun kedewasaan secara jasmani (fisiologis dan biologis)
tanpa kedewasaan rohani (psikis). Pernyataan ini didasarkan pada penelusuran ayat tentang
basyar dalam susunan redaksi (tarkib) yang menggunakan kata “mitslu” yang berarti seperti.
Perhatikan QS Al Kahfi (18): 110
َ ‫قُ ْل ِا َّن َمٓا اَ َن ۠ا َب َش ٌر م ِّْثلُ ُك ْم ي ُْو ٰ ٓحى ِالَيَّ اَ َّن َمٓا ا ِٰل ُه ُك ْم ا ِٰل ٌه َّوا ِح ۚ ٌد َف َمنْ َك‬
َ ‫ان َيرْ ج ُْوا لِ َق ۤا َء َربِّهٖ َف ْل َيعْ َم ْل َع َماًل‬
‫صالِحً ا وَّ اَل‬
ࣖ ‫ُي ْش ِركْ ِب ِع َبا َد ِة َرب ٖ ِّٓه اَ َح ًدا‬

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku.”
Basyar dalam ayat seperti ini, menurut Bintu Syathi adalah manusia anak turunan
Adam, makhluk fisik yang suka makan dan jalan-jalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang
membuat pengertian basyar mencakup anak turunan Adam keseluruhan.
Berbeda dengan Bintu Syathi, H.A Muin Salim menuturkan dalam Al Quran
ditemukan 32 kali kata “basyar” adalah manusia dewasa secara fisik dan psikis (biologis dan
kejiwaan), sehingga dia mampu bertanggung jawab, sanggup diberikan beban keagamaan
bahkan mampu menjalankan tugas khalifah.
H.A. Muin Salim berangkat dari term basyar seperti QS. Al Rum (30): 20
‫ب ُث َّم ِا َذٓا اَ ْن ُت ْم َب َش ٌر َت ْن َتشِ ر ُْو َن‬
ٍ ‫َومِنْ ٰا ٰيت ٖ ِٓه اَنْ َخلَ َق ُك ْم مِّنْ ُت َرا‬

“Dan di antara ayat-ayat-Nya adalah ia menciptakan kamu dari tanah (turab)


kemudian kamu menjadi manusia (basyar) yang bersebar”.
Demikian juga QS. Ali Imran (3): 47 dan QS Al Maryam (19): 20 dengan klausanya berbunyi
“Padahal aku belum pernah disentuh oleh manusia (basyar)”.
Ayat di atas QS Al Rum (30): 20 menunjukkan perkembangan kehidupan manusia
(basyar), karena dalam ayat tersebut dikemukakan min yang bermakna ibtida dan lafadz
tsumma yang bermakna tatib ma’a tarākhị, artinya peruntutan dan perselangan waktu.
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa kejadian manusia diawali dari tanah
kemudian cara berangsur-angsur mencapai kesempurnaan kejadiaannya ketika ia telah
dewasa.
3. Makna Bani Adam

7
Kata Bani ( ‫نى‬ee‫ ) ب‬berasal dari kata ban ā ( ‫نى‬ee‫ )ب‬artinya membina, membangun,
mendirikan, menyusun. Jadi Bani Adam artinya susunan keturunan anak cucu anak Nabi
Adam dan generasi selanjutnya.
Dalam Al Quran term Bani Adam terdapat enam kali terulang38, seperti bunyi ayat
dalam QS. Al Isra (17): 70
ْ‫ض ْل ٰن ُه ْم َع ٰلى َك ِث ْي ٍر ِّممَّن‬
َّ ‫ت َو َف‬ َّ ‫َولَ َق ْد َكرَّ مْ َن ا َبنِٓيْْٓ ٰا َد َم َو َح َم ْل ٰن ُه ْم فِى ْال َب رِّ َو ْال َبحْ ِر َو َر َز ْق ٰن ُه ْم م َِّن‬
ِ ‫الطي ِّٰب‬
‫َخلَ ْق َنا َت ْفضِ ْي ًل‬
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Kemuliaan manusia sebagai Bani Adam dibanding dengan makhluk lainnya, termasuk
makhluk jin dan malaikat, hal ini bisa dilihat serangkaian deskripsi QS. Al Hijr (15):29
ُ ‫َفا َِذا َس َّو ْي ُت ٗه َو َن َف ْخ‬
‫ت فِ ْي ِه مِنْ رُّ ْوحِيْ َف َقع ُْوا لَ ٗه ٰس ِج ِدي َْن‬

“Maka apabila aku menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Dari permulaan kehadiran anak cucu Adam (manusia) seperti halnya hewan di bumi
ini, hanya manusia yang mencapai tahapan Adam yang mampu memikul tanggung jawab.
“Beberapa pemikir mengatakan, manusia lah yang beradab, sedangkan jin adalah makhluk
yang tidak beradab39. Namun manusia/insan ini pun ada tingkatan-tingkatannya. Manusia
yang sudah mencapai tingkatan Adam, masih terus berlanjut dan akan berakhir dengan
kondisi yang lebih tinggi dibanding Adam.
Dari beberapa term di atas dapat dipadukan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan
sebagai keturunan Adam yang jelas wujudnya, mampu berbicara dan berpikir serta hidup
dalam komunitas kemasyarakatan.
2.3. Proses Kejadian Manusia

Mula-mula Allah SWT menciptakan Adam a.s. dari tanah dan kemudian ditiupkan
ruh-Nya, sehingga Adam a.s. menjadi hidup, mampu mengingat, berpikir, berkehendak,
merasa, berangan-angan, menilai, dan menentukan pilihan. Kejadian ini mengisyaratkan
bahwa ruh dan jiwa merupakan dimensidimensi yang berbeda, sekalipun keduanya tidak
dapat terpisahkan selama manusia masih hidup. Ali Syari’ati dalam sebuah bukunya
menyebutkan, bahwa ruh yang ditiupkan Allah SWT kepada Adam a.s. adalah the spirit of
God.

8
Dengan demikian, manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu materi dan imateri.
Tubuh manusia bersifat materi yang berasal dari tanah, sedangkan ruh berasal dari substansi
imateri di alam gaib. Proses kejadian manusia ini disebut secara jelas di dalam Al-Quran dan
telah dibuktikan secara ilmiah oleh ilmu pengetahuan modern yang banyak ditulis oleh
beberapa ahli.

Al-Quran menjelaskan asal-usul manusia pertama (penciptaan Adam a.s.) dari tanah,
dengan menggunakan berbagai macam istilah, seperti turab (debu), thin (tanah), min
sulalatin min thin (sari pati tanah), Ilizib (tanah liat), shalshal min hamain masnuun (tanah
kering yang berasal dari lumpur yang diberi bentuk), dan ‘ardhun (bumi), sebagaimana
dinyatakan dalam QS. Al-Mu’minun, 23: 12-16.

{‫) ُث َّم َخلَ ْق َنا ال ُّن ْط َف َة َعلَ َق ًة‬13( ‫ِين‬ ٍ ‫) ُث َّم َج َع ْل َناهُ ُن ْط َف ًة فِي َق َر‬12( ‫ين‬
ٍ ‫ار َمك‬ َ ‫َولَ َق ْد َخلَ ْق َنا اإل ْن َس‬
ٍ ِ‫ان مِنْ سُاللَ ٍة مِنْ ط‬
ُ‫ك هَّللا ُ أَحْ َس ن‬
َ ‫ار‬َ ‫آخ َر َف َت َب‬ َ ‫َف َخلَ ْق َنا ْال َعلَ َق َة مُضْ َغ ًة َف َخلَ ْق َنا ْالمُضْ َغ َة عِ َظامًا َف َك َس ْو َنا ْال ِع َظ ا َم َلحْ ًم ا ُث َّم أَ ْن َش أْ َناهُ َخ ْل ًق ا‬
)16( ‫ون‬ َ ‫) ُث َّم إِ َّن ُك ْم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة ُت ْب َع ُث‬15( ‫ون‬ َ ِ‫) ُث َّم إِ َّن ُك ْم َبعْ َد َذل‬14( ‫ِين‬
َ ‫ك لَ َم ِّي ُت‬ َ ‫} ْال َخالِق‬

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
Hilang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat”.

Dari ayat-ayat tersebut kita memperoleh informasi, bahwa: (a) manusia pertama
diciptakan langsung dari tanah, (b) keturunannya diciptakan melalui proses yang berasal dari
sari pati tanah (air mani), dan (c) setelah sempurna kemudian manusia hidupnya di dunia,
mati dan dibangkitkan dari alam kubur dan kembali hidup di akhirat.

Selanjutnya mengenai unsur tanah dan Ruh Ilahi ini seakan-akan merupakan kutub-
kutub yang berlawanan, tanah adalah unsur yang bersifat fisik, statis, mati, dan letaknya
berada di bawah, sedangkan Ruh Ilahi sifatnya metafisik (gaib), dinamis, menghidupkan dan
letaknya berada di atas. Unsur tanah melambangkan jasmani, sedangkan Ruh Ilahi adalah
unsur ruhani manusia yang keduanya berbeda tetapi tidak dapat terpisahkan selama manusia
hidup.

9
Kutub-kutub tersebut menunjukkan bahwa pada diri manusia terdapat dua
kemungkinan, yakni manusia dapat meraih derajat stinggi-tingginya dengan mengarahkan
dirinya secara sadar menuju tingkat ruhaniyang tinggi dan juga dapat terjerumus pada derajat
yang serendah-rendahnya dengan mengumbar dorongan nafsu jasmani yang serba rendah.
Wilayah inilah yang membuktikan manusia sebagai makhluk memilih, memiliki kehendak
bebas (freedom of will) mendekatkan diri ke kutub Ruh Ilahi atau ke kutub tanah, termasuk
dalam memilih agama dan beragama. Kebebasan ini merupakan pembeda manusia dengan
makhluk Tuhan lainnya, sebagai anugerah khusus yang diberikan kepada manusia, untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada QS. Al-Baqarah (2): 256.

ِّ‫ْن َق ْد َّت َبي ََّن الرُّ ْش ُد م َِن ْال َغي‬


ِ ۗ ‫ۚ ٓاَل ا ِْك َرا َه فِى ال ِّدي‬ 
Artinya: “Tidak ada paksaaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar dari pada jalan yang sesat”.

2.4. Tujuan Hidup Manusia

Allah menciptakan alam semesta ini bukan dengan main-main, bukan tanpa tujuan.
Manusia yang merupakan bagian dari alam semesta ini pun diciptakan untuk suatu tujuan.
Allah menegaskan tujuan penciptaan manusia dalam firman-Nya, yang artinya: Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.

Berdasarkan ayat di atas, kedudukan manusia dalam sistem penciptaannya adalah


sebagai hamba Allah. Kedudukan ini berhubungan dengan hak dan kewajiban manusia di
hadapan Allah sebagai Penciptanya. Dalam hal ini, peranan ideal manusia adalah melakukan
ibadah kepada Allah.

Hakikat ibadah, menurut Sayyid Qutbh tersimpul dalam dua prinsip, yakni:

a) Tertanamnya makna menundukkan dan merendahkan diri kepada Allah


(al-‘ubudiyah lillah) di dalam jiwa. Dengan kata lain, manusia senantiasa menyadari bahwa
dalam alam ini hanya ada satu Tuhan yang kepada-Nya manusia beribadah.

b) Berorientasi kepada Allah dalam segala aktifitas kehidupan. (Sayyid Qutbh, 1975:
378).

Berdasarkan hakikat di atas, ibadah benar-benar masalah nilai rohani, selalu hubungan
dengan tujuan atau orientasi yang terwujud dalam bentuk niat. Sebagian orang berpendapat
bahwa ibadah dalam konsep Islam bukan mengisolasi diri dari aktifitas duniawi. Pendapat ini

10
barangkali didorong oleh keinginan untuk membuat pengertian ibadah yang mencakup segala
aktifitas yang tidak terbatas pada aktifitas ritual saja agar orang Islam aktif diberbagai
lapangan kehidupan. Ibadah tidak hanya berupa praktek-praktek ritual seperti shalat, puasa,
zakat dan haji, tetapi menuntut ilmu, berdagang dan mencari nafkah juga ibadah.
Persoalannya apakah shalat dan puasa tetap bernilai ibadah jika orang melakukannya dengan
tidak berorientasi kepada Allah? Jika dalam pelaksanannya orang tidak berniat menundukkan
dan merendahkan diri kepada Allah? Tanpa orientasi kepada Allah, tanpa niat hanya karena
Allah, shalat hanya akan merupakan gerakan berdiri, membungkuk, duduk dan seterusnya.
Demikian juga puasa, hanya akan merupakan aktifitas menahan diri dari lapar dan haus kalau
perbuatan itu dilakukan tanpa niat karena Allah.

Nabi Muhammad SAW menggariskan prinsip suatu aktifitas yang bernilai atau tidak
dalam suatu hadits Beliau, yang artinya: Sesungguhnya nilai segala perbuatan diukur dengan
niatnya, dan sesungguhnya setiap perbuatan seseorang akan dibalas sesuai dengan niatnya.

Hadits di atas memberi petunjuk bahwa shalat, puasa, zakat dan haji hanya merupakan
sebagian saja dari sekian banyak lapangan ibadah yang tersimpul dalam kedudukan manusia
sebagai khalifah Allah di muka bumi. (Jamal Syarif Ibrani, 2004: 70-71).

Ibarat orang bepergian, sebelum melangkah haruslah terlebih dahulu mengetahui ke


mana ia akan menuju. Bepergian tanpa tujuan akan seperti orang linglung, tidak menentu ke
mana ia harus melangkahkan kaki. Apakah belum sampai tujuan, tersesat jalan atau telah
sampai tujuan, tidak diketahui karena memang tujuan kepergiannya tidak jelas.

Manusia dalam hidup ini juga begitu. Dalam mengarungi hidup ini manusia harus
mempunyai tujuan hidup yang benar dan jelas, agar tidak tersesat jalan. Cuma sayang, kalau
dalam hal ini hanya bertumpu pada akal, tidak akan manusia dapat menentukan tujuan
hidupnya dengan benar. Untuk menentukan dari mana sesungguhnya manusia berasal, akal
sudah tidak mampu, apalagi menentukan untuk apa keberadaannya di alam dunia ini. Belum
lagi akal diminta menerangkan, ke mana sesungguhnya manusia sesudah mati, apakah
kematian itu bagi manusia merupakan akhir dari segalanya? Hal ini lebih tidak dimengerti
oleh akal.

Disebabkan oleh keterbatasan kemampuan akal menerangkan asal mula kejadian


manusia, lahirlah kemudian jawaban yang simpang-siur tentang tujuan hidup ini. Ada yang
mengatakan, tujuan hidup ini untuk mencapai kebahagiaan, tujuan hidup ini untuk berbuat

11
baik kepada sesama manusia, tujuan hidup ini untuk mengabdi kepada bangsa dan negara,
tujuan hidup ini untuk mengabdi kepada ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Bahkan ada yang
mengatakan, tujuan hidup hanyalah untuk sekedar bekerja, makan, kawin, beranak, dan
kemudian mati.

Semua rumusan tujuan hidup tersebut cenderung bersifat duniawi semata, sama sekali
tidak menyinggung aspek ukhrawi atau aspek ketuhanan. Dan di sinilah letak kesesatan dari
semua rumusan tujuan hidup tersebut. Suatu kesesatan pandangan hidup yang prinsip karena
telah mengingkari adanya Tuhan dan kehidupan akhirat. Selain itu, rumusan hidup tersebut
juga menunjukkan tidak tahunya keuntungan karena hanya memburu duniawi, padahal dunia
cuma fana sifatnya, tidak kekal, dan hakikatnya tidak lebih dari semacam fatamorgana atau
semacam sandiwara, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal “Wal
akhiratu khairun wa abqa” (Al-A’la: 17).

Tepat sekali apa yang pernah dikatakan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Siapa yang
cita-cita hidupnya hanya untuk apa-apa yang masuk ke dalam perutnya, maka nilai hidup
orang itu sama dengan apa-apa yang kemudian keluar dari perutnya”. (Tim Dosen Agama
Islam UIN Malang, 2002: 97). Sesungguhnya persoalan tujuan hidup manusia, bukanlah
wewenang akal untuk merumuskannya. Pada hakikatnya yang paling tahu tentang hal ini
ialah Allah SWT sendiri karena Dialah yang menciptakan manusia dan semua kehidupan ini.
Dengan sendirinya Allahlah pula yang berwenang dan lebih tahu tentang untuk apa
sebenarnya Dia menciptakan manusia.

Menurut Islam, tujuan hidup manusia adalah seperti yang dinyatakan oleh Allah
dalam firman-Nya,

َ ِ ‫ت ْٱل ِجنَّ َوٱإْل‬


‫نس إِاَّل لِ َيعْ ُب ُدون‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepada-Ku”. (Adz-Dzariyat: 56). Inilah tujuan hidup manusia yang sebenarnya, menurut
ketentuan Yang membuat hidup itu sendiri, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT.

12
2.4. Fungsi Kehidupan Manusia

Manusia mempunyai peran yang ideal yang harus dijalankan, yakni memakmurkan bumi,
mendiami dan memelihara serta mengembangkannya demi kemaslahatan hidup mereka
sendiri, bukan mengadakan pengrusakan di dalamnya. Kedudukan yang dipegang dan
peranan yang dimainkan manusia dalam panggung kehidupannya di dunia pasti berakhir
dengan kematian. Sesudah itu, dia akan dibangkitkan atau dihidupkan kembali di alam
akhirat. Di alam akhirat ini segala peranan yang dilaksanakan manusia selama hidup di dunia,
sekecil apapun peranan itu, akan dipertanggungjawabkan, lalu dinilai dan diperhitungkan
oleh Allah Yang Maha Adil. Setiap peranan akan mendapat balasan. Peranan yang baik akan
mendapat balasan yang baik, sementara peranan yang buruk akan mendapatkan balasan yang
buruk pula. Manusia yang mendapatkan balasan yang buruk akan merasakan kesengsaraan
yang teramat sangat, dan manusia yang memperoleh balasan yang baik akan merasakan
kebahagiaan yang abadi.

Tugas atau fungsi manusia di dalam kehidupan ini adalah menjalankan peranan itu dengan
sempurna dan senantiasa menambah kesempurnaan itu sampai akhir hayat. Hal itu dilakukan
agar manusia benar-benar menjadi makhluk yang paling mulia dan bertakwa dengan sebenar-
benar takwa. Manusia dilahirkan di tengah eksistensi alam semesta ini menyandang tugas dan
kewajiban yang berat dalam fungsinya yang ganda, yakni sebagaihamba Allah dan sebagai
khalifah Allah.
a) Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
Hamba Allah adalah orang yang taat dan patuh kepada perintah Allah. Hakikat kehambaan
kepada Allah adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan
kepatuhan manusia itu hanya layak diberikan kepada Allah. Dalam hubungannya dengan
Tuhan, manusia menempati posisi sebagai ciptaan dan Tuhan sebagai Pencipta. Posisi ini
memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada Penciptanya.
Hal itu sudah termaktub dalam Al-Quran tentang tujuan Allah menciptakan manusia, yakni

13
untuk menyembah kepada-Nya.
Konsekuensi manusia sebagai hamba Allah, dia harus senantiasa beribadah hanya kepada-
Nya. Hanya Allahlah yang disembah dan hanya kepada Allahlah manusia mohon
pertolongan. Beribadah kepada Allah merupakan prinsip hidup yang paling hakiki bagi orang
Islam, sehingga perilakunya sehari-hari senantiasa mencerminkan pengabdian itu di atas
segala-galanya. (Jamal Syarif Ibrani, 2004: 71-75).
Menyembah Allah semata, artinya hanya kepada Allahlah segala pengabdian ditujukan. Allah
adalah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala makhluk, tiada sekutu bagi-Nya baik Dia
sebagai Tuhan yang disembah maupun sebagai Tuhan Pemelihara alam semesta
ini.Pengingkaran manusia dalam penghambaan diri kepada Allah akan mengakibatkan dia
menghamba kepada dirinya, menghamba kepada hawa nafsunya, atau menghamba kepada
sesama makhluk Allah. Menyembah, memohon perlindungan atau apa saja perbuatan yang
menyerupakan Tuhandengan makhluk, atau mengangkat makhluk berkedudukan sebagai
Tuhan disebut syirik. Orang yang berbuat syirik disebut musyrik. Perbuatan syirik adalah
kezaliman terbesar di sisi Allah. Perbuatan atau amal shalih yang terwujud dalam fungsi
manusia sebagai khalifah akan berarti di sisi Allah jika dilakukan dalam rangka pengabdian
kepada-Nya. Maksudnya, seringkali ada perbuatan yang tampaknya dilakukan dalam urusan
duniawi (seperti berdagang, bertani, mengajar, menuntut ilmu, membersihkan lingkungan dan
urusan dunia lainnya) jika dilakukan dengan niat dan maksud ibadah kepada-Nya maka
seseorang telah melakukan dua fungsi (sebagai hamba dan khalifah) sekaligus. Ganjarannya
diperoleh di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, sesuatu pekerjaan besar yang telah banyak
manfaatnya bagi manusia akan sia-sia di sisi Allah jika tidak disertai niat ibadah kepada-Nya.

b) Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah

Al-Quran banyak memperkenalkan ayat tentang hakikat dan sifat-sifat manusia sebagai
makhluk yang menempati posisi unggul. Jauh sebelum manusia diciptakan, Tuhan telah
menyampaikan kepada malaikat bahwa Dia akan menciptakan khalifah (wakil) di muka
bumi. Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi. Dia yang bertugas mengurus bumi
dengan seluruh isinya, dan memakmurkannya sebagai amanah dari Allah. Sebagai penguasa
di bumi, manusia berkewajiban membudayakan alam semesta ini guna menyiapkan
kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Tugas dan kewajiban ini merupakan ujian dari Allah
kepada manusia, siapa di antaranya yang paling baik menunaikan amanah itu.

14
Dalam pelaksanaannya kewajiban dan amanah, semua manusia dipandang sama berdasarkan
bidang dan keahliannya masing-masing. Tidak ada kelebihan yang satu dari yang lainnya,
kecuali yang paling baik dalam menunaikan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi
ini, yang lebih banyak manfaatnya bagi kemanusiaan, atau dengan kata lain yang lebih
bertakwa kepada Allah SWT. Perbedaan warna kulit, ras dan bangsa hanya sebagai pertanda
dan identitas dalam pergaulan kehidupan sehari-hari.
Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Islam tidak memberikan hak istimewa
bagi seseorang atau segolongan tertentu baik dalam bidang ibadah ritual, maupun dalam
bidang politik, sosial dan ekonomi. Setiap orang memiliki hak yang sama dalam
berkehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Islam menentang bentuk diskriminasi, baik
diskriminasi keturunan, maupun diskriminasi warna kulit, kesukuan, kebangsaan dan
kekayaan.

Konsekuensi kekhalifahan manusia di muka bumi adalah membangun, mengolah dan


memakmurkan bumi ini dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian kehidupan seorang
muslim akan dipenuhi dengan amaliah dan kerja keras yang tiada henti. Kerja keras bagi
seorang muslim adalah salah satu dari bentuk ibadah kepada Allah.Manusia yang dianggap
sebagai khalifah tidak akan menjunjung tinggi tanggung jawab kekhalifahannya tanpa
dilengkapi dengan potensi-potensi yang memungkinkannya mampu melaksanakan tugasnya.
M. Quraish Shihab mengemukakan beberapa potensi tersebut yang diberikan Allah kepada
manusia sehubungan dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yakni:

1) Kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda. Melalui
potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam semesta, menyusun konsep,
mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan untuk melaksanakannya serta
memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya.

2) Pengalaman selama beradadi surga, baik yang manis seperti kedamaian dan kesejahteraan,
maupun yang pahit seperti keluarnya Adam dan Hawa dari surga akibat terbujuk oleh rayuan
syaitan. Pengalaman ini amat berharga dalam menghadapi rayuan syaitan di dunia, sekaligus
peringatan bahwa jangankan yang belum masuk surga, yang sudah masuk surgapun, bila
mengikuti rayuan syaitan akan diusir dari surga.

15
3) Tuhan telah menaklukkan dan memudahkan alam semesta ini untuk diolah oleh manusia.
Penaklukkan yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia sendiri. Perlu digarisbawahi bahwa
kemudahan dan penaklukkan tersebut bersumber dari Allah. Dengan demikian, manusia dan
seluruh isi alam semesta itu mempunyai kedudukan yang sama dari segi ketundukan
(penghambaan diri) kepada Allah.

4) Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia selama berada di bumi.

16
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang
manusia dan makna eksistensi manusia di dunia. Manusia memiliki beberapa term yang dapat
digunakan dalam Al Quran seperti insan/ins/al-nas, basyar dan bani Adam. Manusia itu
terdiri dari dua unsur, yaitu materi dan imateri. Tubuh manusia bersifat materi yang berasal
dari tanah, sedangkan ruh berasal dari substansi imateri di alam gaib. Proses kejadian
manusia ini disebut secara jelas di dalam Al-Quran dan telah dibuktikan secara ilmiah oleh
ilmu pengetahuan modern yang banyak ditulis oleh beberapa ahli. Allah menciptakan alam
semesta ini bukan dengan main-main, bukan tanpa tujuan. Manusia yang merupakan bagian
dari alam semesta ini pun diciptakan untuk suatu tujuan.

3.2. Saran

Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
siapapun yang membacanya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairul. 2014. Hakikat Manusia dalam Pendidikan sebuah Tinjauan Filosofis. Jogjakarta: Suka
Press.

Anshory, Icshan dkk. 2018. Pengantar Pendidikan. Malang: UMM Press.

Siregar, Eliana. 2017. Hakikat Manusia. Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan
Tajdid. Vol(20)No(2).

Khobir, Abdul. 2010. Hakikat Manusia dan Implikasinya dalam Pendidikan. Jurnal Forum Tarbiyah.
Vol(8)No(1).

Abdullah, Dudung. 2017. Konsep Manusia dalam Al-Qur'an (Tela'ah Kritis tentang Makna dan
Eksistensi). Jurnal Al-Daulah. Vol(6)No(2).

Hasan, M. 2010. Tujuan Penciptaan Manusia dan Fungsi Lembaga-lembaga Pendidikan. Jurnal
Hunafa. Vol(7)No(1).

Sami'uddin. 2019. Fungsi dan Tujuan Kehidupan Manusia. Jurnal Studi Islam. Vol(14)No(2).

18

Anda mungkin juga menyukai