Oleh:
Meylizar Nur Afiana A0A017013/P
Mohammad Arif Nur C A0A017014/L
Dwi Sangadah A0A017015/P
Khoosyi Nur Jihan A0A017016/P
Cherly Kania Devi A0A017018/P
Desiana Sisianawati P A0A017020/P
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, akan berkah, rahmat serta
hidayahNya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas terstruktur
Pendidikan Agama Islam (UNO1002) dengan baik. Makalah ini disusun dengan
maksud untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah yang kami ambil.
Pada kesempatan ini kelompok kami mengucapkan terima kasih kepada :
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan yang membutuhkannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman
modern sekarang ini juga belum berakhir dan mungkin tak akan pernah berakhir.
Ternyata orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang
menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang
menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan
yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.
Kehadiran manusia tidak terlepas dari asal usul kehidupan di alam semesta.
Manusia hakihatnya adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Pada diri manusia
terdapat perpaduan antara sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dalam
pandangan Islam, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT manusia memiliki tugas
tertentu dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Untuk menjalankan
tugasnya manusia dikaruniakan akal dan pikiran oleh Allah SWT. Akal dan
pikiran tersebut yang akan menuntun manusia dalam menjalankan perannya.
Dalam hidup di dunia, manusia diberi tugas kekhalifaan, yaitu tugas
kepemimpinan, wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan
alam.
1
Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat
manusia dalam filsafat pendidikan islam yang meliputi hakikat Allah menciptakan
manusia, apa hakikat manusia, mengapa manusia memerlukan pendidikan, dan
mengapa manusia bisa di didik. Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah
wawasan bagi kita dalam memahami hakikat diri kita sebagai manusia di muka
bumi ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah
swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi
dan tugas mereka sebagai khalifah di muka dumi ini. Al-Quran menerangkan
bahwa manusia berasal dari tanah.
3
makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu
berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung
menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa.
Padahal berpikir , memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah
fakta kehidupan manusia.
Dalam Al-quran istilah manusia ditemukan 3 kosa kata yang berbeda dengan
makna manusia, akan tetapi memilki substansi yang berbeda yaitu kata basyar,
insan dan al-nas. Kata basyar dalam al-quran disebutkan 37 kali salah satunya al-
kahfi : innama anaa basyarun mitlukum (sesungguhnya aku ini hanya seorang
manusia seperti kamu).
Kata basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari
tanah liat, atau lempung kering (al-hijr : 33 ; al-ruum : 20), manusia makan dan
minum (al-mu’minuum : 33). Kata insan disebutkan dalam al-quran sebanyak 65
kali, diantaranya (al-alaq : 5), yaitu allamal insaana maa lam ya’ (dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya). Konsep islam selalu dihubungkan pada
sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu,
dfan memikul amanah (al-ahzar : 72). Insan adalah makhluk yang menjadi
(becoming) dan terus bergerak maju ke arah kesempurnaan.
Kata al-nas disebut sebanyak 240 kali, seperti al-zumar : 27 walakad dlarabna
linnaasi fii haadzal quraani min kulli matsal (sesungguhnya telah kami buatkan
bagi manusia dalam al-quran ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-nas
menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk social atau secara kolektif.
4
c. Jiwa. Manusia memiliki fitrah dalam arti potensi yaitu kelengkapan yang
diberikan pada saat dilahirkan ke dunia. Potensi yang dimiliki manusia dapat
di kelompokkan pada dua hal yaitu potensi fisik dan potensi rohania. Ibnu
sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya menjelaskan bahwa manusia
adalah makhluk social dan sekaligus makhluk ekonomi. Manusia adalah
makhluk social untuk menyempurnakan jiwa manusia demi kebaikan
hidupnya, karena manusia tidak hidup dengan baik tanpa ada orang lain.
Dengan kata lain manusia baru bisa mencapai kepuasan dan memenuhi segala
kepuasannya bila hidup berkumpul bersama manusia.
1. Menyembah Allah
Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku” (Qs Adz zariyat : 56).
5
(baca manfaat membaca Alqur’an dalam kehidupan dan manfaat membaca
alqur’an bagi ibu hamil), bersedekah (baca keutamaan bersedekah).
2. Menjadi Khalifah
6
pada pengharapan dan pengalaman kebahagiaan atau kesengsaraan hidup
manusia.
Bahwa yang menjadi sampel dalam kajian ini berkaitan dengan penciptaan
manusia adalah QS. al-Hajj/22: 5, sebagai berikut:
علَقَ ٖة ث ُ َّم ِمنَ اب ث ُ َّم ِمن نُّ ۡطفَ ٖة ث ُ َّم ِم ۡن ٖ ث فَإِنَّا َخلَ ۡقنَكُم ِمن ت ُ َر ِ ۡب ِمنَ ۡٱلبَع ٖ اس إِن كُنت ُ ۡم فِي َر ۡي ُ َّيََٰٓأَيُّ َهاٱلن
س ّٗمى ث ُ َّم نُ ۡخ ِر ُجكُ ۡم َ َضغ َٖة ُّم َخلَّقَ ٖة َوغ َۡي ِر ُم َخلَّقَ ٖة ِلنُبَيِنَ لَكُ ۡۚۡم َونُ ِق ُّر فِي ۡٱۡل َ ۡر َح ِام َما ن
َ شا َٰٓ ُء إِلَ َٰٓى أ َ َج ٖل ُّم ۡ ُّم
ِط ۡف ّٗٗل ث ُ َّم ِلت َۡبلُغُ َٰٓوا أَشُدَّكُ ۡ ۖۡم َو ِمنكُم َّمن يُت ََوفَّى َو ِمنكُم َّمن ي َُردُّ إِلَ َٰٓى أ َ ۡرذَ ِل ۡٱلعُ ُم ِر ِل َك ۡي َٗل يَعۡ لَ َم ِم ۢن بَعۡ ِد ِع ۡل ٖم
يج
ٖ ۢ بَ ِه ِ ۢ ٱات ََّل ۡت َو َر َب ۡ َوأ َ ۢنبَتَ ۡ ِمن كُ ِل وَ ۡو
ۡ علَ ۡي َه
ۡ اٱل َما َٰٓ َء ِ ش َّۡٗي ۚۡا َوت ََرٱ ۡٱۡل َ ۡر َ ا
َ َامدَ ّٗ َفإِذَآَٰ أَنلَ ۡلنَا
7
penciptaan manusia mengalami beberapa fase, yaitu dari sesuatu yang semula
berupa mani (nuthfah) hingga menjadi manusia sempurna seperti sekarang ini.
Penciptaan Manusia Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
Mengingat bahwa Tafsir al-Azhar bila dilihat dari aspek metodologis termasuk
dalam kelompok tafsir tahlili-ijmali, maka dalam menafsirkan QS. al-Hajj/22: 5,
HAMKA menafsirkannya dengan cara menjelaskannya secara global dari
beberapa fase penciptaan manusia tersebut. Namun, sebelum menjelaskan fase-
fase dalam penciptaan manusia, Hamka memulai tafsirnya dengan menjelaskan
terlebih dahulu latar belakang kenapa masalah ini menjadi penting untuk diketahui
semua manusia. Berpangkal dari firman Allah dalam QS. al-Hajj/22: 5, “ya
ayyuhan nas” (wahai sekalian manusia), beliau berusaha menjelaskan bahwa hal
ini merupakan seruan bagi seluruh umat manusia – tanpa terkecuali – mengenai
dua hal yang amat tentang penting dasar-dasar berfikir yang akan menjadi
pegangan hidup, yaitu percaya akan adanya Allah, dan percaya tentang adanya
kebangkitan kembali sesudah mati.
Semua itu disebabkan oleh karena adanya kenyataan bahwa banyak di antara
umat manusia yang tidak percaya akan kekuasaan Allah dan meragukan akan
kebenaran wahyu Ilahi. Mereka menganggap bahwa apa yang telah berubah dari
bentuk aslinya – seperti proses kematian manusia, dari dikubutrkan beratus-ratus
tahun lamayna hingga menjadi tulang-belulang yang berserakan, atau menjadi abu
setelah dibakar – tidak akan dapat kembali seperti semula.
Secara logika, memang hal itu mustahil akan terjadi. Hal yang demikianlah
yang akan menjadikan seseorang meragukan akan wahyu Ilahi. Bahkan keraguan
itu akan bertambah manakala fikiran selalu bertumpu pada kesanggupan yang
terbatas. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat al-Qur’an kita disuruh untuk
merenungkan hal yang selalu kita hadapi, bahkan tentang diri kita masing-masing.
Untuk membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk di
dalamnya adalah membangkitkan manusia yang telah mati, dalam ayat
selanjutnya disebutkan tentang asal-usul kejadian manusia, yaitu yang dalam ayat
tersebut dijelaskan bahwa proses kejadian manusia melalui beberapa fase. Secara
eksplisit, Hamka tidak menyatakn secara pasti tentang pembagian fase-fase
8
tersebut. Namun, jika diikuti arah penafsirannya, nampaknya ia membagi fase
penciptaan manusia menjadi 7 fase. Fase-fase dimaksud adalah:
1) Fase Turab
Menurut Hamka bahwa fase turab ini tidak hanya berkenaan dengan
manusia pertama saja, yaitu Adam, tetapi juga kita semua diciptakan dari
tanah. Menurutnya, bumi yang terkena siraman air hujan akan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, buah-buahan, bahkan
segala macam makanan pokok seperti: padi, jelai, gandum dan sagu. Dari
berbagai macam makanan itulah terdapat zat-zat yang dapat menyuburkan
hidup manusia. Hal ini sejalan dengan (QS.As-Sajdah:32/27) yang
menjelaskan bahwa dari tumbuh-tumbuhan binatang ternak mereka dan
mereka sendiri makan.
2) Fase Nuthfah
Fase kedua adalah proses penciptaan manusia sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa nuthfah asalnya adalah dari beberapa makanan yang kita
makan sehari-hari. Dalam pengertian nuthfah, Hamka tidak mengkhususkan
hanya pada laki-laki saja, artinya bahwa nuthfah itu tidak hanya dipunyai oleh
laki-laki saja sebagaimana dipahami selama ini. Tetapi yang dimaksud nuthfa
adalah berpadunya mani laki-laki dan mani perempuan yang ada dalam rahim
seorang ibu. Mengenai hal ini Hamka mengatakan sebagai berikut:
Ahli gizi menyelidiki khasiat tumbuh-tumbuhan itu bagi menyuburkan
darah. Dikenalilah betapa pentingnya zat hormon dalam darah manusia untuk
nafsu setubuh atau sex. Dari dalam darah itulah mani, baik mani si laki-laki
atau mani si perempuan. Misalnya secara kasar: “petang hari suami istri
makan buah durian yang panas khasiatnya itu, malam harinya mereka
bersetubuh dengan puas. Maka lekatlah zat yang akan jadi orang, yang
panjang bagai cacing yang ada di mani si laki-laki dengan zat bulat sebagai
kuning telur dalam mani si perempuan. Keduanya berpadu dalam rahim !”
Itulah yang bernama nuthfah.
3) Fase Alaqah
Fase ketiga adalah fase alaqah. Fase ini merupakan kelanjutan dari
fase nuthfah. Hamka mengartikan bahwa alaqah ini dengan “segumpal
9
darah”. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa proses terjadinya nuthfah menjadi
alaqah setelah nuthfah berada di rahim wanita selama empat puluh hari
lamanya. Proses berubahnya nuthfah menjadi alaqah sebagaimana
dikatakannya: “Yaitu berangsur-angsur dalam pertumbuhan empatpuluh hari
mani segumpal yang telah jadi satu bertambah besar itu telah berangsur-
angsur menjadi segumpal darah. Itulah yang dinamakan alaqah”.
4) Fase Mudhghah
Fase selanjutnya adalah fase mudhghah (segumpal daging). Proses
terjadinya alaqah menjadi mudhghah, menurut Hamka juga setelah melalui
empat puluh hari lamanya. Pada masa ini, maka dapat diketahui secara pasti
kapan seorang wanita mengalami keguguran. Apakah pada waktu masih
menjadi nuthfah (di bawah 40 hari), atau di waktu alaqah (di watu 80 hari),
ataukah di waktu mudhghah (di bawah 120 hari).“Yang terbentuk ataupun
tidak terbentuk” pada penafsirannya adalah sampai kepada sekitar 120 hari
itulah akan jelas, apakah akan menjadi manusia sempurna atau tidak
sempurna. Sebab, pada umur 120 hari itulah nyawa akan mulai ditiupkan.
Pada masalah yang demikian Hamka menjelaskan sedikitnya ada dua makna,
(1) supaya jelas bagi manusia bagaimana proses perkembangan kejadian itu,
(2) bahwa setelah 3 x 40 = 120 hari (empat bulan) sudah jelaslah bagi
manusia bahwa perkembangan akan jadi manusia sudah cukup, atau sudah
matang. Kalaupun akan jadi maka di waktu itu pulalah ketentuanya supaya
penjagaan atas kehamilah diselenggrakan dengan baik pada masa itu.
5) Fase Tifl
Fase Tifl (bayi) adalah fase setelah mudhghah. Proses
terjadinya mudhghah hingga menjadi tifl melalui proses yang cukup lama.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada fase mudhghah, Allah
telah menentukan beberapa hal baik menyangkut jenis kelamin, rizki, bentuk
rupa, dan lain sebagainya. Pada fase tifl ini, sekalipun sudah cukup sempurna
bentuk tubuhnya, namun belum tahu apa-apa. Segala alat panca indera belum
dicukupkan dan akal belum ada. Ini sebagaimana dijelaskan dalam (QS.An-
Nahl:16/78): “Dan Allahlah yang mengeluarkan kamu dari perut ibu, kamu
tidak mengetahui apa-apa”.
10
6) Fase Dewasa (Asudda)
Fase ini merupakan kelanjutan dari fase sebelumnya, yaitu tifl (bayi).
Proses untuk menjadi seorang dewasa juga melalui proses yang berangsur-
angsur. Dari bayi yang mencucut susu ibunya, sampai mampu memakan
makanan keras. Dari tidur miring sampai merangkak mencoba berdiri, tegak
dan terjatuh dan tegak pula, sampai ia menjadi seorang yang sangat kuat.
7) Fase Pikun
Fase ini merupakan fase yang paling akhir yang harus dilalui oleh manusia
karena Allah memanjangkan umurnya. Sebab, bagi mereka yang umurnya
dipendekkan oleh Allah, sudah tentu fase ini tidak sempat dijalaninya bahkan
ada yang tidak sampai pada fase mudhghah seandainya seorang ibu
mengalami keguguran. Artinya, secara normal semua fase ini akan dijalani
manusia.
Bagi mereka yang dipanjangkan umurnya, hingga mencapai 100 tahun
misalnya, maka ia akan mengalami suatu keadaan di mana ia menjadi lemah
kembali, bahkan tidak mampu mengingat hal-hal yang pernah diketahuinya.
Menurut Hamka, orang-orang yang dipanjangkan umurnya seperti itu disebut
‘tawanan Allah’ (asirullah) yang masih di tawan sementara di dunia ini,
karena memenuhi kebijaksanaan tertinggi dari Tuhan.Dan pada waktunya,
orang-orang yang demikian akan dimudakan kembali oleh Tuhan,
sebagaimana janji-Nya.
11
mukallaf dalam bentuk tuntutan (perintah atau larangan) dan pilihan (untuk
berbuat atau tidak berbuat) disebut hukum takli>fi>. Definisi ini
menunjukkan adanya dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk
dapat disebut mukallaf, yaitu pertama, ia harus mengetahui atau memahami
titah Allah. Pengetahuan atau pemahaman berhubungan dengan akal yang
pada diri manusia dapat diketahui dari perkembangan jasmaninya. Dengan
demikian, syarat yang pertama adalah berakal dan ba>lig} (dewasa). Kedua,
ia layak menerima dan melaksanakan tuntutan tersebut (ahl al-takli>f).
Kelayakan inilah yang di dalam istilah ushul fiqh disebut sebagai ahliyyah.
Ahliyyah didefinisikan sebagai kelayakan, kepantasan, atau kecakapan
(shalahiyyah) manusia untuk ditetapkan kepadanya hak-hak orang lain
(ilzam) dan untuk ditetapkan kepadanya hak-hak terhadap orang lain
(iltizam).7 Dengan kata lain, ahliyyah mencakup kelayakan untuk dikenai dan
untuk melaksanakan hukum. Definisi ini menggambarkan bahwa terdapat dua
macam ahliyyah, yaitu ahliyyah al-wuju>b dan ahliyyah al-ada>’. Ahliyyah
al-wuju>b merupakan kelayakan manusia untuk menerima hak-hak yang
ditetapkan baginya dan dikenai kewajiban-kewajiban. Lebih jelasnya adalah
kelayakan manusia untuk menerima hak dan dikenai kewajiban yang berlaku
ditinjau dari segi ia adalah manusia sejak lahir sampai dalam segala sifat,
kondisi, dan keadaannya, atau dengan meminjam istilahnya Syamsul Anwar
adalah kecakapan hukum pasif. Sedangkan ahliyyah al-ada>’ adalah
kelayakan mukallaf untuk diperhitungkan perkataan dan perbuatannya secara
syari’. Dalam pengertiannya, ahliyyah al-ada>’ merupakan tanggung jawab,
dalam arti segala tindakan mukallaf baik perkataan atau perbuatan dianggap
sah dengan segala akibat hukumnya, atau Syamsul Anwar memberi istilah
kecakapan hukum aktif.
Dari kedua macam kecakapan hukum di atas diklasifikasi ke dalam
kecakapan tidak sempurna dan kecakapan sempurna. Sehingga secara
keseluruhan terdapat empat kecakapan hukum, yaitu: pertama, kecakapan
menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wuju>b al-na>qis}ah), di mana
subyek hukum berada dalam kandungan ibu. Kedua, kecakapan menerima
hukum sempurna (ahliyyatul wuju>b al-ka>milah), di miliki oleh subjek
12
hukum sejak lahir sampai meninggal dunia. Ketiga, kecakapan bertindak
hukum tidak sempurna (ahliyyatul ada>’ al-na>qis}ah), yang dimiliki oleh
subyek hukum dalam usia tamyiz. Keempat, kecakapan bertindak hukum
sempurna (ahliyyatul ada’ al-kamilah), di miliki oleh subyek hukum sejak
menginjak dewasa sampai meninggal dunia.
ع شرا ب ل غوا اذا وا ضرب وهم س ب عا ب ل غوا اذا ب ال ص الة اوالدك م مروا
“Suruhlah anak-anak kalian untuk melaksanakan salat jika telah
berumur 7 tahun, dan apabila telah berumur 10 tahun (tidak mau
melakukan salat, pukullah dia”.
Kondisi dalam mengukur kedewasaan seorang anak yang paling
penting adalah sudah bernalar (‘aql). Batasan yang dapat dijadikan
pegangan untuk menggambarkan tingkat nalar pada seorang anak adalah
bahwa anak bisa memahami perkataan orang lain dan bisa memberikan
tanggapan yang benar terhadap perkataan itu. Kemampuan akal atau
nalar merupakan hal yang diperhitungkan pertama kali pada seorang anak
untuk bisa disebut mumayyiz. Pada usia ini seorang anak belum dapat
dikatakan dewasa, secara mental atau sosial, untuk melaksanakan
13
tanggung jawab orang dewasa dan dia harus selalu mendapatkan
penjagaan serta pengawasan dari orang dewasa.
b. Baligh dan Tanda-tandanya
Ba>lig} atau masa pubertas merupakan masa yang sangat penting.
Masa tersebut merupakan titik alih secara fisik antara bentuk tubuh anak-
anak menjadi tubuh orang dewasa. Bagi seorang laki-laki, gejala yang
dapat diketahui adalah mengalami ih}tila>m atau mimpi basah, yaitu
keluarnya air mani dengan tiba-tiba. Tahap ini juga ditandai dengan
tumbuhnya rambut di sekitar alat kelamin atau ciri-ciri seksual sekunder
lainnya. Sementara itu, bagi seorang perempuan diketahui dengan tanda-
tanda tertentu yang berbeda dengan laki-laki. Dia akan mengalami
menstruasi yang merupakan tanda kemampuan untuk melanjutkan
keturunan. Kalau diukur melalui usia, baligh ditentukan mulai dari umur
9 sampai 15 tahun (mulai anak kelas 4 SD sampai kelas 3 SMP).
c. Rusyd
Hukum Islam menekankan arti penting pencapaian rusyd atau
kedewasaan mental dalam masalah kecakapan melakukan perbuatan
hukum. Kedewasaan mental tidak dapat dengan mudah dipastikan
dengan tes-tes yang memungkinkan adanya tanda-tanda tersebut.
Kalau kita telusuri berdasarkan tingkat pendidikan seorang anak,
tingkat rusyd pada sebagian anak di pedesaan dan perkotaan mengalami
perbedaan dan mencolok. Karena di Indonesia regulasi wajib belajar
hanya 9 tahun (tingkat SMP), maka tidak sedikit anak perempuan di
pedesaan dinikahkan pada usia 15 tahun. Sebaliknya, di perkotaan,
karena tingkat pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi, maka
tidak sedikit anak perempuan mereka dinikahkan pada usia 21 tahun.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dasar
penetapan kedewasaan dan kecakapan melakukan perbuatan hukum
dalam hukum Islam didasarkan kepada: (1) Umur seseorang, yaitu 15
tahun. (2) Tanda-tanda fisik, yang dalam hukum Islam dikenal istilah
tamyiz, baligh, dan rusyd. (3) Kondisi mental yang baik.
14
E. Peran Manusia Dalam Kehidupan Beragama, Berbangsa dan Bernegara
Juga Ilmu Pengetahuan
Secara harfiyah, muslim adalah orang yang beragama Islam. Ciri utamanya
adalah percaya dan yakin Allah SWT sebagai Tuhan yang berhak disembah dan
ditaati serta yakin Muhammad Saw adalah utusan-Nya. Dalam keseharian, ciri
seorang Muslim itu adalah menjalankan ibadah shalat, sebagai pembeda utama
antara umat Islam dengan kaum non-Muslim, dan mengamalkan ajaran Islam
lainnya.
Shalat adalah simbol kepasrahan dan ketaan kepada Allah SWT. Dalam shalat
kita berdialog, menyembah, mengagungkan Allah SWT, dan menyatakan siap
menaati perintah-Nya. Dalam salah satu bacaan wajib shalat, yakni QS Al-
Fatihah, seorang Muslim menyatakan "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" --
hanya kepada-Mu kami mengabdi (menyembah) dan hanya kepada-Mu kami
memohon.
a. Iman : yakin sepenuh hati bahwa Islam yang terbaik dan paling benar.
b. Ilmu : mempelajari dan memahami ajaran Islam secara keseluruhan.
c. Amal : mengamalkan ajaran Islam seoptimal mungkin (mastatho'tum)
d. Dakwah : menyebarkan kebenaran agama Islam kepada orang lain.
e. Jihad : menjaga kehormatan dan membela nama baik Islam dan kaum
Muslim.
15
2. Peran manusia dalam kehidupan beragama
Pada Al-Qur’an QS 2 (al-Baqarah) : 30, Allah SWT berfirman yang
artinya: “Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
sesungguhnya aku hendak menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi”,
mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan
engkau?”. Allah berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui”.
Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa fungsi dan peranan
manusia sebagai khalifah atau pemimpin dimuka bumi ini. Sehingga peran
yang dilakukan sesuai ketetapan Allah, di antaranya yaitu:
a. Belajar (surat an-Naml : 15-16 dan al-Mukmin : 54)
Belajar tentunya membuat seseorang mengetahui banyak hal yang
sebelumnya ia belum mengetahuinya. Belajar dinyatakan pada surat al-
‘Alaq ayat 1 adalah mempelajari ilmu Allah dan ayat kedua dijelaskan
juga yang termasuk ilmu Allah adalah al-Kitab. Jadi tidak lain ilmu Allah
yang berwujud al-Qur’an dan ciptaanNya.
b. Mengajarkan ilmu (al-Baqarah : 31-39)
Selain belajar khalifatullah juga harus mengajarkan ilmu yang
didapat. Ilmu yang diajarkan tidak hanya ilmu yang dikarang manusia
akan tetapi juga ilmu Allah yaitu al-Qur’an dan al-Bayan (ilmu
pengetauan). Dalam Al-Qur’an itu sendiri berisi berbagai aturan yang
mengatur kehidupan manusia. Al-Qura’an digunakan sebagai pedoman
hidup manusia, sehingga dengan mengajarkan al-Qur’an berarti
mengajarkan cara hidup yang benar menurut Allah SWT.
c. Membudidayakan Ilmu (al-Mu’min : 35)
Ilmu yang sudah didapat tidah hanya disampaikan orang lain, tetapi
yang utama ialah untuk diamalkan oleh diri sendiri terlebih dahulu
sehingga membudaya seperti yang di contohkan oleh nabi SAW yaitu
setelah diri sendiri dan keluarganya,kemudian teman dekatnya dan baru
orang lain. Proses pembudidayaan ilmu Allah berjalan seperti proses
16
pembentukan kepribadian dan proses iman. Tau, mau, dan melakukan
apa yang diketahui.
3. Peran manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
a. Menjaga keutuhan bangsa
Dalam kehidupan bermasyarakat menjaga keutuhan bangsa adalah
cara menjaga keutuhan wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia
.sejak awal kemerdekaan para tokoh bangsa Indonesia telah membentengi
diri dengan merumuskan dasar Negara, yaitu pancasila.
b. Melakukan Hak dan Kewajiban
Kita sebagai warga negara harus tau Hak dan Kewajiban kita.
Hubungan antara negara dan warga Negara adalah hal-hal yang terdapat
dalam hak dan kewajiban warga negara.
c. Demokratis
Menjadikan demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan
bernegara.
4. Peran manusia dalam kehidupan ilmu pengetahuan
Manusia berperan sebagai subjek dalam perkembangan ilmu dan
teknologi.
17
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Tujuan hidup manusia dalam islam yaitu untuk menyembah dan beribadah
kepada Allah SWT. Sebagai hamba Allah, manusia wajib menjalankan segala
perintah dan menjauhi segala laranganNya. Manusia juga harus menjadikan rukun
iman dan rukun islam sebagai pedoman hidupnya.
Manusia diciptakan dari tanah, setetes mani, segumpal darah serta segumpal
daging yang disebutkan pada QS. al-Hajj/22: 5, “Hai manusia, jika kamu dalam
keraguan tentang kebangkitan(dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya
Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian
dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging”.
Penetapan batas awal umur sebagai dasar hukum seseorang dikenai hak dan
kewajiban dalam hukum Islam didasarkan pada usia atau tanda-tanda fisik yang di
dalam hukum Islam dikenal dengan istilah tamyiz, baligh, rusyd.
Peran manusia dalam kehidupan beragama yaitu belajar, mengajarkan ilmu dan
membudayakan ilmu. Peran manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
menjaga keutuhan bangsa, melakukan hak dan kewajiban dan demokratis. Peran
manusia dalam kehidupan ilmu pengetahuan yaitu sebagai subjek dalam
perkembangan ilmu dan teknologi.
18
B. Saran
Penulis banyak berharap pada pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan berikutnya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Trinurmi, Sitti. 2015. Hakekat Dan Tujuan Hidup Manusia dan Hubungannya
Dengan Tujuan Pendidikan Islam. Bimbingan Penyuluhan Islam Vol 76, No
3, Hal 57-68.
http://www.risalahislam.com/2016/10/kewajiban-seorang-muslim-terhadap-
islam.html?m=1 diakses 18 Maret 2018.
https://www.google.co.id/amp/s/sukirman722.wordpress.com/2014/05/23/makala
h-hakikat-manusia-dalam-islam/amp/?espv=1 diakses 18 Maret 2018.
http://contohberkaryailmiah.blogspot.co.id/2017/01/makalah-peranan-warga-
negara-dalam.html?m=1 diakses 18 Maret 2018.
http://syafrizalilham.blogspot.co.id/2017/04/manusia-sebagai-subjek-dan-objek-
dalam.html?m=1 diakses 18 Maret 2018.
http://pascasarjana2015.blogspot.co.id/2016/03/konsep-penciptaan-manusia-
tafsir.html diakses 18 Maret 2018.
20