Anda di halaman 1dari 23

STRUKTUR JIWA DALAM ISLAM

Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Islam dan Psikologi
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Qory Mutia Nursaid 11180700000015
Andini Salsabilla 11180700000018
Azkia Dhea Kamila 11180700000025
Salsabila Shafa 11180700000106
Inka Maulidah 11180700000180
Ana Nabila Firdaus 11180700000181

Kelas 7B

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Struktur Jiwa dalam Islam” untuk memenuhi
tugas mata kuliah Islam dan Psikologi. Harapan kami semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Penulis mengakui bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kami berharap kepada pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang membangun untuk makalah ini.

Jakarta, 11 Oktober 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
2.1 Struktur Manusia ............................................................................................................. 2
2.2 Perbandingan Struktur Jiwa dalam Psikologi Islam dan Psikologi Barat Kontemporer 11
2.3 Pengertian Kepribadian dalam Islam ............................................................................. 13
2.4 Ruang Lingkup Pembahasan Psikologi Kepribadian Islam ........................................... 14
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 19
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dianggap sebagai Khalifah di muka bumi ini, sebagaimana dijelaskan di dalam
Al-Quran bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT.
Dalam Al-Quran menjelaskan bahwa manusia berasal dari tanah. Allah menciptakan struktur
manusia dalam bentuk potensial, struktur itu tidak secara otomatis bernilai baik atau buruk.
Hal ini sangat tergantung dengan pilihan manusia dalam mengaktuliasasikan struktur tersebut,
yang mana pilihan itu menjadi tanggung jawab di akhirat kelak. Maka dari itu, aktualisasi
struktur ini yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, serta yang menjadikan
manusia sebagai Khalifah di bumi ini.
Dalam mengupayakan potensi potensi struktur manusia terdapat dinamika proses serta
variabel variabel yang mempengaruhi. Pendekatan Islam memandang dinamika tersebut dibagi
menjadi tiga dimensi yakni, al-jismiah, al-nafsiyah dan al-ruhaniah. Pandangan ini sesuai
dengan istilah istilah mengenai manusia di Al-Quran yang mengacu aspek fisik maupun psikis
secara totalitas. Namun seiring munculnya beragam paradigma, metodologi dan konsep,
terdapat tiga pendekatan psikologi besar yang mempengaruhi yakni, pendekatan psikoanalisa,
behaviourisme, dan humanisme. Pendekatan ini sangat mempengaruhi kajian mengenai
perilaku dan kejiwaan manusia, meskipun terdapat banyak kekurangan dalam masing masing
pendekatan. Oleh karena itu, kami ingin membahas mengenai struktur manusia dan kepribadian
dalam pendekatan Psikologi Islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja struktur manusia dalam pendekatan Psikologi Islam?
2. Bagaimana perbandingan struktur manusia dalam pendekatan Psikologi Islam dengan
Psikologi Barat Kontemporer?
3. Apa pengertian dari kepribadian dalam Psikologi Islam?
4. Bagaimana ruang lingkup kepribadian dalam Psikologi Islam?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui struktur manusia dalam pendekatan Psikologi Islam.
2. Untuk memahami perbandingan struktur manusia dalam pendekatan psikologi Islam
dengan Psikologi Barat Kontemporer.
3. Untuk memahami definisi kepribadian dalam Psikologi Islam.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup kepribadian dalam Psikologi Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Struktur Manusia


Menurut al-Zarkalî, studi tentang diri manusia dapat dilihat melalui tiga sudut, yaitu:
1. Jasad (fisik); apa dan bagaimana organisme dan sifat-sifat uniknya.
2. Jiwa (psikis); apa dan bagaimana hakikat dan sifat-sifat uniknya.
3. Jasad dan jiwa (psikofisik); berupa akhlak, perbuatan, gerakan, dan sebagainya.
Ketiga kondisi tersebut dalam terminologi Islam lebih dikenal dengan term al-jasad, al-
rûh, dan al-nafs. Jasad merupakan aspek biologis atau fisik manusia, roh merupakan aspek
psikologis atau psikis manusia, dan nafs merupakan aspek psikofisik manusia yang merupakan
sinergi antara jasad dan roh.
2.1.1. Struktur Jism (Jasmani)
Jism adalah aspek diri manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Setiap alam
biotik-lahiriah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara,
dan air. Manusia merupakan makhluk biotik yang unsur-unsur pembentukan materialnya
bersifat proporsional antara keempat unsur tersebut, sehingga manusia disebut sebagai
makhluk yang terbaik. Firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Tin ayat 4 disebutkan,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Keempat unsur diatas merupakan materi yang abiotik (tidak hidup). Ia akan hidup jika
diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thâqah al-jismiyyah). Energi kehidupan ini
lazimnya disebut dengan nyawa, karena nyawa manusia hidup. Ibn Maskawih menyebut energi
tersebut dengan al-hayâh (daya hidup). Sedangkan al-Ghazali menyebutnya dengan al-rûh
jasmaniyyah (ruh material).
Nyawa atau daya hidup manusia telah ada sejak adanya sel-sel seks pria (sperma) dan
wanita (ovum). Sperma dan ovum itu hidup dan kehidupannya mampu menjalin hubungan
sehingga terjadilah benih manusia (embrio). Dengan begitu, maka nyawa (al-hayat) berbeda
dengan al-rûh, sebab al-hayat ada sejak adanya sel-sel kelamin, sedang al-rûh ada setelah
embrio berusia empat bulan dalam kandungan (HR al-Bukhari dan Ahmad ibn Hambal).
Nyawa dimiliki oleh hewan dan manusia, sedangkan roh hanya dimiliki manusia. Kematian al-
hayat tidak berarti kematian al-rûh, sebab al-rûh selalu hidup sebelum dan sesudah adanya
nyawa manusia. Roh bersifat substansi (jawhar), sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru
datang (‘aradh) bersamaan adanya tubuh.

2
Daya hidup pada diri manusia memiliki batas yang disebut sebagai ajal. Apabila batas energi
telah habis, tanpa sebab apa pun manusia akan mengalami kematian (al-mawt). Jasad memiliki
natur tersendiri. Diantaranya:
1. Dari alam ciptaan (al-khalq), yang memiliki bentuk, rupa, berkualitas, berkadar,
bergerak dan diam, serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ (al-Farabi).
2. Dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan
benda-benda lain (al-Ghazalî).
3. Komponen materi (Ibn Rusyd).
4. Sifatnya material yang hanya dapat menangkap satu bentuk yang konkret, dan tidak
dapat menangkap yang abstrak.
5. Naturnya indrawi, empirik, dan dapat disifati.
2.1.2. Struktur Roh
Roh merupakan substansi (jawhar) psikologis manusia yang menjadi esensi
keberadaannya, baik di dunia maupun di akhirat. Hal itu berbeda dengan psikologi kepribadian
Barat yang hanya menerjemahkan roh dengan spirit yang accident (‘aradh). Pendapat para ahli
tentang hakikat roh dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Materialisme. Roh tidak bersifat rohani, sebab roh adalah ‘aradh (sifat yang baru
datang). Jika badan hancur maka roh pun ikut lenyap. Roh menjalar ke seluruh tubuh
manusia yang menjadikan kehidupan, gerak, merasa, dan berkehendak.
2. Spiritualisme (roh merupakan substansi yang bersifat rûhani dan tidak bersifat
jasmani). Mazhab ini menyatakan bahwa roh itu adalah jawhar rûhani (substansi yang
bersifat rohani).
3. Gabungan (materialisme-spiritualisme). Roh merupakan kesatuan jiwa (al-nafs) dan
badan.
Kematian jasad bukan berarti kematian roh. Roh masuk pada tubuh manusia ketika tubuh
tersebut siap menerimanya. Menurut hadis Nabi, kesiapan itu ketika manusia berusia empat
bulan dalam kandungan (HR Al-Bukhari dan Ahmad ibn Hambal). Pada saat inilah roh berubah
sifat dan bernama al-nafs. Roh hidup sebelum tubuh manusia ada (Q.S. Al-A’raf: 172, Al-
Ahzab: 72). Sayid Husen Naser menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan asrâr alast
(rahasia alastu) yang mana Allah SWT telah memberikan perjanjian ketuhanan kepada roh
manusia.

3
Secara teoritis, roh manusia terbagi atas dua bagian:
1. Roh yang masih murni berhubungan dengan zatnya sendiri, disebut dengan roh al-
munazzalah. Roh ini merupakan potensi rohaniah yang diturunkan secara langsung dari
Allah kepada diri manusia. Potensi ini diciptakan di alam imateri (‘alam al-arwâh) atau di
alam perjanjian (‘alam al-mitsâq aw ‘alam al-‘ahd)
2. Roh yang berhubungan dengan jasmani, disebut dengan al-ghârizah, atau nafsaniah.
Apabila rohani al-ghârizah lupa akan dirinya, maka roh al-munazzalah dalam memberi
peringatan.
2.1.3. Struktur Nafs
Istilah nafs dalam Al-Qur’an memiliki banyak makna. Achmad Mubarak dengan metode
tematiknya, menyebutkan tujuh makna nafs, yaitu:
1. Nafs berarti diri atau seseorang (Q.S. Ali Imran: 61, Yusuf: 54, Al-Dzariyat: 21).
2. Nafs berarti diri Tuhan (Q.S. Al-An’am: 12, 54).
3. Nafs berarti person sesuatu (Q.S. Al-Furqan: 3, Al-An’am: 130).
4. Nafs sebagai roh (Q.S. Al-An’am: 93)
5. Nafs sebagai jiwa (Q.S. Al-Syams: 7, Al-Fajr: 27).
6. Nafs sebagai totalitas manusia, yang memiliki dimensi jiwa dan raga (Q.S. Al-Maidah:
32, Al-Qashash: 19, 33).
7. Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku (Q.S. Al-Ra’du: 11, Al-
Anfal: 53).
Dalam konteks ini, nafs memiliki arti psikofisik manusia, yang mana komponen jasad
dan roh telah bersinergi. Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Ahmad ibn Hambal,
sinergi dua komponen itu terjadi ketika janin usia empat bulan dalam kandungan:
“Sesungguhnya salah satu diantara kuliah diciptakan dalam perut ibunya selama empat
puluh hari dalam bentuk nuthfah, lalu empat puluh hari lagi menjadi ‘alaqah (segumpal
darah),dan empat puluh hari menjadi mudhgah. Kemudian Allah menyuruh malaikat untuk
menulis empat perkara, yaitu amal, rizki, ajar, celaka-bahagianya, kemudian roh ditiupkan
ke dalamnya.” (HR al-Bukhari dari ‘Abd Allah).
Al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan proses penciptaan daya nafsaniah. Penjelasan itu
berdasarkan ayat berikut ini:
‫ص َر َو ْٱْل َ ْفـِدَة َ ۚ قَل ا‬
َ‫ِيًل َّما ت َ ْش ُك ُرون‬ َ ٰ ‫س ْم َع َو ْٱْل َ ْب‬ َ ‫ث ُ َّم‬
َّ ‫س َّو ٰىهُ َونَفَ َخ فِي ِه مِ ن ُّروحِ ِۦه ۖ َو َج َع َل لَ ُك ُم ٱل‬

4
Artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh
(ciptaan) Nya. Dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (Q.S. Al-Sajdah: 9).
Menurut Al-Ghazali, ayat tersebut memiliki tiga proses penciptaan manusia, yaitu:
1. Taswiyyah, aktivitas yang dilakukan pada tempat penerimaan roh, yaitu tanah (al-thîn)
bagi Adam dan air mani (al-nuthfah) bagi anak cucunya.
2. Nafkh,
3. Rûh, substansi abadi yang bukan baru datang (‘aradh), sebab ia mampu mengenal
dirinya sendiri dan Penciptanya, serta memahami hal-hal yang masuk akal.
Nafs adalah potensi yang terikat dengan hukum yang bersifat jasad-rohani (psikofisik)
manusia dan secara inherent telah ada sejak manusia siap menerimanya, yaitu usia empat bulan
dalam kandungan. Semua potensi yang terdapat pada daya ini bersifat potensial, tetapi ia dapat
mengaktual jika manusia mengupayakan. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten
yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualitas nafs ini merupakan citra
kepribadian manusia dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor usia, pengalaman,
pendidikan, pengetahuan, lingkungan dan sebagainya.
Nafs memiliki potensi gharizah. Gharizah dalam arti etimologi berarti insting, naluri,
tabiat, perangai, kejadian, laten, ciptaan, dan sifat bawaan. Sedangkan menurut terminologi
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, pengertian untuk semua spesies
biotik, seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Menurut J.P. Chaplin, insting adalah suatu
reaksi yang kompleks dan tidak dipelajari (terlebih dahulu) yang menjadi sifat khas suatu
spesies.
Kedua, pengertian khusus untuk spesies manusia, tetapi orientasinya pada gejala somatik
(jasmaniah). Menurut Freud, insting merupakan bagian dari struktur Id. Insting adalah
perwujudan psikologis dari sumber rangsangan somatik yang dibawa sejak lahir. Perwujudan
psikologisnya disebut dengan hasrat (wish), sedangkan rangsangan jasmaniahnya darimana
hasrat itu muncul disebut kebutuhan (need). Ketiga, orientasinya pada gejala kejiwaan.
Menurut F. Khan, insting adalah nafsu asli yang menjadi tenaga pendorong bagi kepribadian
manusia. Sedang Mac Dougall menyebut insting dengan keadaan pembawaan yang menjadi
pendorong/sebab (motif) bagi timbulnya perbuatan, sikap, dan ucapan bagi manusia.

5
Nafs memiliki beberapa daya dan natur. Tetens dan Kant menyatakan trichotomi
kejiwaan manusia, yaitu (1) kognisi yang berhubungan pengenalan, (2) emosi yang
berhubungan dengan perasaan, dan (3) konasi yang berhubungan dengan kemauan. Senada
dengan pendapat tersebut, Ki Hajar Dewantara mengemukakan daya kejiwaan manusia dengan
istilah cipta (kognisi), rasa (emosi), dan karsa (konasi).
Pembagian nafsani manusia adalah :
1. Qalbu
Qalbu (al-qalb) merupakan salah satu daya nafsani. Dalam psikologi kontemporer, kata
qalbu sering digunakan untuk makna al-syu’ur (emosi), yaitu perasaan uang disadari atau
diketahui. Al-Ghazali melihat qalbu dari dua aspek, yaitu:
a. Qalbu Jasmaniah merupakan segumpal daging yang berbentuk seperti jantung pisang
yang terletak di dalam dada sebelah kiri tubuh manusia
b. Qalbu Rohani merupakan sesuatu yang bersifat lathif (halus), rabbani, berhubungan
dengan qalbu jasmani, dan merupakan esensi dari manusia.
Setiap nafsani memiliki komponen fisik dan psikis. Komponen fisik tercermin di dalam
qalbu jasmani sedangkan komponen psikis tercermin di dalam qalbu rohani. Qalbu jasmani
merupakan jantung (heart) yang menjadi pusat jasmaninya manusia dan berfungsi sebagai
pusat peredaran serta pengaturan aliran darah. Apabila fungsi ini berhenti, maka ajal (batas)
kehidupan manusia selesai dan terjadi apa yang disebut dengan kematian. Selain itu, qalbu
jasmani tidak hanya dimiliki oleh manusia tetapi dimiliki oleh makhluk bernyawa lainnya
seperti binatang. Sedangkan qalbu rohani hanya dimiliki oleh manusia saja, yang menjadi pusat
kepribadiannya. Meskipun jantung bersifat fisik, namun berkaitan erat dengan kondisi
psikologisnya. Apabila kondisi psikologis seseorang normal, maka ia berdetak secara teratur.
Namun apabila kondisi psikologisnya terlalu senang atau terlalu sedih maka frekuensi
denyutnya akan lebih cepat bahkan dapat menghambat pernafasan manusia.
Qalbu rohani memiliki dua karakteristik khusus, diantaranya :
a. Memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahi (cahaya ketuhanan) dan al-
bashirah al-bathinah (mata batin) yang memancarkan keyakinan dan keimanan
b. Diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah asalnya dan memiliki kecenderungan
menerima kebenaran dari Allah SWT

6
Dari kedua karakteristik ini, maka qalbu rohani berfungsi sebagai pemandu, pengontrol,
dan pengendali semua tingkah laku yang dilakukan manusia. Apabila qalbu rohani ini berfungsi
secara baik, maka kehidupan manusiapun akan menjadi baik dan sesuai dengan fitrah aslinya
karena qalbu rohani memiliki natur ilahiyyah atau rabbaniyah. Dengan natur ini, maka manusia
tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya saja, melainkan mampu mengenal
lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan. Sabda Nabi Muhammad SAW, yang artinya
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka semua
tubuhakan menjadi baik. Tetapi, apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Dan
itu merupakan qalbu” (HR.al-Bukhori dari Nu’man ibn Basyir). Sedangkan Al-Ghazali
berpendapat bahwa qalbu diciptakan untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Tanpa qalbu
maka indra manusia tidak akan memperoleh puncak persepsi, teutama persepsi spiritual.
Qalbu memiliki dua daya insani yaitu daya indrawi seperti pendengaran dan penglihatan,
serta daya psikologis seperti kognisi, emosi, dan konasi. Daya indrawi qalbu berbeda dengan
daya indrawi biologis. Qalbu mampu mendengar dengan suara hati, melihat dengan mata hati
dan berbicara dengan kata hati. Daya psikologis emosi (al-infi’ali) qalbu sebagai daya yang
paling dominan diantara yang lain karena menimbulkan daya rasa.
Daya emosi qalbu dalam Al-qur’an maupun Al-Sunnah ada yang positif seperti percaya
(iman), tulus (ikhlas), dan senang) serta ada juga yang negatif seperti benci, sedih, ingkar (kufr),
dan mendua (nifaq). Daya psikologis qalbu lainnya adalah konasi yang dapat membuat manusia
beraksi, berusaha, dan berbuat. Sumber konasi qalbu adalah sinergi pikiran hati, kemauan, dan
kemampuan. Oleh karenanya, sebagai pusat kepribadian manusia maka qalbu harus sehat,
sebab apabila qalbu sakit maka seluruh kepribadian manusiapun mengalami kesakitan.
2. Aqal
Secara etimologi, aqal memiliki arti al-ribath (ikatan), al-imsak (menahan), al-nahi
(melarang), dan ma’nu (mencegah). Orang yang disebut berakal (al-‘aqil) adalah mereka yang
mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Aqal juga merupakan bagian dari daya nafsani
manusia yang memiliki dua makna, yaitu :
a. Aqal jasmani, merupakan salah satu organ anggota tubuh yang terletak di kepala dan
sering disebut otak.
b. Aqal rohani, merupakan cahaya rohani dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk
memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat).

7
Aqal diartikan sebagai energi yang mampu memperoleh, menyimpan, dan mengeluarkan
pengetahuan dan merupakan kesehatan fitrah yang memiliki daya-daya pembeda antara hal
baik dan buruk. Dapat dikatakan juga bahwa aqal merupakan daya berpikir manusia untuk
memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional serta dapat menentukan hakikatnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa aqal memiliki beberapa fungsi dan aktivitas, diantaranya :
a. Al-Nazhar, secara bahasa memiliki arti mempertimbangkan, memperhatikan, dan
melihat. Secara istilah berarti daya aqal yang mencapai penglihatan reflektif untuk
mencapai berbagai kesimpulan yang konkret. Al-Nazhar biasanya menggunakan alat
bantu indra mata yang berhubungan dengan fenomena empris.
b. Al-Tadabbur, daya aqal yang dapat memperhatikan sesuatu secara teratur dan seksama
dan mengikuti logika sebab akibat. Wilayahnya mencakup pemikiran yang konkret
maupun abstrak
c. Al-Ta’amul, daya aqal mampu merenungkn sesuatu secara abstrak dan tidak harus
terkait dengan fakta empiris. Al-Ta’amul mulai bersentuhan dengan aspek-aspek
filosofis dan religius serta menjelaskan sesuatu dibalik yang tampak.
d. Al-Istibshar, daya aqal mencapai wawasan, pengetahuan, dan pengertian yang
mendalam.
e. Al-I’tibar, daya aqal yang mampu mengaitkan suatu peristiwa atau tanda dengan
peristiwa lainnya.
f. Al-Tafkir, secara bahasa artinya memikirkan. Secara istilah yaitu daya aqal yang
mampu memproses sesuatu secara simbolis, pemecahan masalah yang mencakup
kegiatan ideasional yang didasarkan atas pendekatan argumentatif dan logika.
Kegiatannya meliputi al-hifzh (menghafal atau menyimpan sesuatu yang diketahui
secara baik), al-fahm (memahami secara benar), al-dhin (mencerna sesuatu secara
seksama dengan logika), al-ta’rif (mendefinisikan atau menyederhanakan sesuatu yang
terurai dan menghilangkan yang berbeda), dan al-tafsir (menjelaskan sesuatu secara
panjang lebar sehingga membutuhkan daya analisis yang baik).
g. Al-Tadakkur, daya aqal yang dapat mengumpulkan dan mengingat kembali memori
yang ada di pikiran.

8
3. Hawa Nafsu
Nafsu sebagai daya nafsani memiliki beberapa pengertian, diantaranya :
a. Nafsu merupakan nyawa manusia yang wujudnya berupa nafas (angin) yang keluar
masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut dan kerongkongan
b. Nafsu merupakan sinergi jasmani rohani manusia dan totalitas struktur kepribadian
manusia
c. Nafsu merupakan bagian dari daya nafsani yang memiliki dua kekuatan yaitu kekuatan
al-ghadhabiyyah dan al-syahwaniyyah.
Hawa nafsu memiliki dua daya yang pokok yaitu :
a. Al-Ghadhab, merupakan daya yang berpotensi untuk menghindari dari segala yang
membahayakan. Ghadhab ini merupakan potensi hawa nafsu yang memiliki natur
seperti binatang buas (subu’iyyah) dan memiliki naluri dasar menyerang, membunuh,
merusak, dan menyakiti. Dalam terminologi Psikoanalisa, Ghadhab disebut dengan
“defense” yaitu suatu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego
terhadap kesalahan, kecemasan, rasa malu, perbuatan melindungi diri sendiri, dan
memanfaatkan serta merasionalisasikan perbuatannya sendiri.
b. Al-Syahwat, merupakan daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang
menyenangkan. Syahwat ini memiliki natur binatang jinak (bahimiyyah) yang memiliki
naluri dasar seks bebas, narsisme, dan segala tindakan untuk pemuasan birahi
seseorang.
Prinsip kerja hawa nafsu mengikuti prinsip kenikmatan dan berusaha mengumbar impuls
agresif serta seksualnya. Apabila impuls ini tidak terpenuhi maka timbullah ketegangan dalam
diri. Jika qalbu lebih berorientasi pada roh, maka hawa nafsu berorientasi pada jasad dan
kaitannya dengan psikologi, kekuatan jasad yang utama adalah indra. Oleh karenanya, potensi
hawa nafsu manusia bersifat indrawi (hissiyah). Ibnu Sina mengatakan bahwa daya indrawi
hawa nafsu ada dua macam, yaitu yang pertama ada indra lahir (external senses) yang dapat
dimiliki hewan dan manusia. Indra ini berupa pancaindra seperti pendengaran, penglihatan, dan
rasa sentuhan. Dan yang kedua ada indra batin (internal senses) yang hanya dimiliki oleh
manusia, jika hewan memiliki itupun hanya sedikit.

9
Adapun perbedaan struktur nafsani manusia yaitu :

NO Qalbu Aqal Hawa Nafsu


1. Secara jasmaniah Secara jasmaniah Secara jasmaniah
berkedudukan di jantung berkedudukan di otak berkedudukan di perut
dan alat kelamin
2. Daya yang dominan Daya yang dominan adalah Daya yang dominan
emosi (rasa) yang pada kognisi (cipta) yang pada adalah konasi atau
akhirnya menjadikan akhirnya menjadikan psikomotorik dan pada
kecerdasan emosional kecerdasan intelektual akhirnya menjadikan
kecerdasan kinestetik
3. Mengikuti natur roh yang Mengikuti antara natur roh Mengikuti natur jasad
ilahiyyah dan jasad yang insaniah yang hawaniah
(bahimiyyah dan
subu’iyyah)
4. Potensinya bersifat Potensinya bersifat Potensinya bersifat
dzawqiyyah (cita-cita) istidhalaliah (argumentatif) hissiah (indrawi) yang
dan hadsiah (intuitif) dan aqliah (logis) yang sifatnya empiris
yang sifatnya spiritual sifatnya rasional
5. Berkedudukan pada alam Berkedudukan pada alam Berkedudukan pada
suprasadar/atas sadar kesadaran manusia alam pra/bawah sadar
manusia
6. Intinya religiusitas, Intinya humanisme dan Intinya produktivitas,
spiritualitas, dan sosialisme kreativitas, dan
transendensi konsumtif
7. Jika mendominasi jiwa Jika mendominasi jiwa Jika mendominasi jiwa
manusia maka manusia maka menimbulkan manusia maka
menimbulkan kepribadian yang labil menimbulkan
kepribadian yang tenang kepribadian yang jahat

10
2.2 Perbandingan Struktur Jiwa dalam Psikologi Islam dan Psikologi Barat
Kontemporer

Jiwa merupakan kajian utama dalam psikologi karena mencakup perilaku, pikiran, dan
perasaan manusia. Dalam menentukan struktur jiwa yang ada pada manusia tidak hanya dilihat
dari pandangan psikologi islam namun terdapat psikologi barat kontemporer yang memandang
struktur jiwa. Pemahaman tentang hal ini sangat beragam tergantung latar belakang dari
padangan tersebut. Berikut ini terdapat aliran aliran psikologi barat yang mengkaji mengenai
struktur jiwa, (Mujib & Mudzakir, 2001)
2.2.1 Psikoanalisis
Aliran ini dipelopori oleh Sigmund Freud yang menekankan analisis struktur kejiwaan
manusia yang relatif stabil dan menetap. Freud memaparkan bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh insting bawaan yang sebagian besar tidak disadari (unconciousness). Dalam
pendekatannya, Freud memandang struktur jiwa secara depth psychology (vertikal ke bawah)
yang terdiri dari tiga aspek yakni (Arif, 2005) : (1) id berkaitan dengan prinsip kenikmatan,
yang mempunyai makna yaitu dorongan dari dalam organisme untuk selalu memenuhi
kebutuhan dengan serta merta; (2) ego berkaitan dengan prinsip realitas, artinya pemenuhan
kebutuhan dari organisme didasarkan pada objek-objek yang sesuai dan dapat ditemukan dalam
kenyataan; (3) superego berkaitan dengan kesadaran normatif yang mencakup moralitas dan
standar sosial dengan mengguakan prinsip idealitas sebagai pengontrol agar id tidak
sepenuhnya keluar karena harus diimbangi dengan kebudayaan yang ada dan prinsip realitis
dari ego. Dari uraian tersebut dapat digambarkan bahwa aspek yang paling tinggi dalam
struktur ini merupakan moralitas dan sosialitas sebagai tingkah laku rasional yang
mengutamakan nilai nilai luas bukan nilai nilai yang berada dalam kesadaran manusia.
Penggerak utama struktur jiwa manusia ini adalah libido, terutama libido seksual karena hampir
seluruh manusia teraktual oleh motivasi libido seksual ini. Selain itu, Freud membagi tingkat
kesadaran manusia menjadi tiga alam yakni alam sadar (the conscious), alam prasadar (the
preconcious), dan alam tidak sadar (the unconcious).
2.2.2 Behaviourisme
Aliran ini dipelopori oleh John Dollard, B.F Skinner, Ivan Pavlov dan Neal E. Miller
yang menekanan pada perubahan tingkah laku manusia melalui stimulus – respon dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya. Dalam pandangannya, jiwa manusia seperti mesin otomatis yang
kompleks, jiwa ini lahir dengan kosong tidak memiliki potensi bawaan apapun dan diisi oleh
pengalaman secara sedikit demi sedikit. Berasal pengalaman ini membentuk struktur jiwa

11
secara horizontal, yakni dimensi kognisi, afeksi, konasi, dan psikomotor. Selain itu, jiwa
manusia dipandang bersifat netral dan pasif, netral dalam arti jiwa tidak memiliki pembawaan
yang baik atau buruk, sedangkan pasif dalam arti jiwa sebagai benda mati yang tidak memilki
kemauan dan kebebasan dalam menentukan perilaku dan sangat terikat dengan lingkungannya.
Beberapa penelitian dalam aliran ini dihasilkan dari penelitian hewan yang diaplikasikan
untuk menelaah konsep manusia. Jiwa manusia juga banyak dipengaruhi oleh prinsip
hedonisme, yaitu keinginan untuk memperoleh kesenangan dan menghindari hal hal yang
bersifat mengancam. Hal ini sesuai dengan konsep operant conditioning (pembiasaan
terkondisi) dan reinforcement (penguatan perilaku), sehingga dapat digambarkan bahwa
perilaku manusia dipandang secara kenikmatan dan kesenangan tidak mempertimbangkan
etika, moral, nilai dan agama (Hasibuan, 2004).
2.2.3 Humanisme
Aliran ini dipelopori oleh G. Stanly Hall, Carl Rogers, Abraham Malow, dan Victor
Frankl yang menekankan bahwa manusia mempunyai potensi baik dan otoritas dalam
kehidupan. Aliran ini muncul atas ketidakpuasan terhadap aliran sebelumnya yang sering
mengeksperimentasikan perilaku hewan untuk memahami fenomena psikologi manusia. Salah
satu tokoh alam aliran ini Max Scheler mengusulkan pandangan bahwa struktur jiwa
merupakan suatu unitas yang terdiri dari tiga dimensi secara height psychology (vertikal ke
atas) yakni, somatis, psikis, dan spiritual. Pandangan ini diperkuat oleh Viktor Frankl, yang
menamakan dimensi spiritaual sebagai dimesi neotik yakni kemampuan transendensi dan
pengayaan luhur yang khas manusiawi, tidak memandang agama. Namun, dimensi ini diyakini
sebagai inti kemanusiaan dan sumber makna serta potensi hidup (Purwanto, 2007).
Selain itu, dalam pandangannya jiwa manusia memilki peraasaan, pikiran dan kehendak
yang melahirkan karakteristik jiwa berupa gagasan, kreatifitas, nilai, pengalaman transeden,
cinta, semangat dan lain-lain. Di sisi lain ketiga aspek ini memunculkan kemauan, kebebasan,
dan potensi dalam memecahkan masalah. Serta, mendorong untuk mengedepankan keyakinan
akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang berlaku umum dan untuk seluruh umat manusia.
Bedasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa, aliran ini terkesan menganggap diri
manusia berperan sebagai Tuhan (play God), karena manusia dianggap mampu menentukan
segalanya dalam kehidupannya.

12
2.3 Pengertian Kepribadian dalam Islam
2.3.1 Makna Etimologi Kepribadian Islam
Personality berasal dari kata person yang secara bahasa memiliki arti: (1) an individual
human being (sosok manusia sebagai individu); (2) a common individual (individu secara
umum); (3) a living human body (orang yang hidup); (4) self (pribadi); (5) personal existance
or identity (eksistensi atau identitas pribadi); dan (6) distinctive personal character
(kekhususan karakter individu). Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian etimologis
kepribadian dapat dilihat dari pengertian term-term padanannya seperti huwiyyah, inniyyah,
dzatiyyah,, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah.
Secara etimologis, kata kepribadian lebih dikenal dengan term al-Syakhshiyah yang
berasal dari kata syakhsh yang berarti pribadi. Kata itu kemudian diberi ya nisbah, sehingga
menjadi kata benda buatan syakhshiyyah yang berarti kepribadian. Dalam kamus Arab modern,
istilah syakhshiyyah digunakan untuk maksud personality (kepribadian). Namun, dalam
literatur keislaman pada khazanah klasik abad pertengahan, kata syakhshiyyah kurang begitu
dikenal. Karena pada saat itu para folosof maupun sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlaq.
Term syakhshiyyah yang lazim digunakan psikologi kepribadian barat aksentuasinya lebih
pada deskripsi karakter, sifat, atau perilaku unik individu, sedangkan akhlaq lebih menekankan
pada sifat baik-buruk suatu tingkah laku.
Dalam literatur keislaman modern, term syakhsiyyah telah banyak digunakan untuk
menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan syakhshiyyat al-Muslim memiliki
arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyyah
telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality.
2.3.2 Makna Terminologi Kepribadian Islam
Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak definisi, karena hal itu
berkaitan dengan konsep-konsep empirik dan filosofis tertentu yang merupakan bagian dari
teori kepribadian. Namun, dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana
dirumuskan dengan definisi “what a man really is” yakni manusia sebagaimana adanya.
Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau kodratnya, yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur kepribadian, yaitu integrasi sistem qalbu, akal,
dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.

13
2.3.3 Makna Psikologi Kepribadian Islam
Yang dimaksud dengan psikologi kepribadian islam adalah studi islam yang
berhubungan dengan tingkah laku manusia berdasarkan pendekatan psikologis dalam relasinya
dengan alam, sesamanya, dan kepada Sang Khalik agar dapat meningkatkan kualitas hidup di
dunia dan akhirat. Rumusan tersebut memiliki lima komponen dasar.
Pertama, studi Islam. Psikologi kepribadian Islam merupakan salah satu kajian dalam
studi keislaman. Studi Islam di sini juga memiliki arti bahwa bangunan kepribadian didasarkan
atas Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan khazanah Islam sendiri, bukan dari bangunan kepribadian
barat. Kedua, yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Tingkah laku di sini bisa berupa
tingkah laku lahir maupun tingkah laku batinnya. Baik mencerminkan atau tidak semuanya
disebut dengan tingkah laku. Ketiga, berdasarkan pendekatan psikologis. Studi ini setidak-
tidaknya menggambakan apa dan bagaimana tingkah laku manusia menurut pandangan Islam
yang ditimbulkan dari jiwanya. Keempat, relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada Sang
Khalik. Setiap relasi tingkah laku manusia merupakan cerminan ibadah, baik berkaitan dengan
Tuhan, diri sendiri, sesamanya, serta pada alam semesta. Kelima, untuk meningkatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang dimaksud tidak terbatas pada
kebahagiaan ukhrawi yang sifatnya temporer dan semu, tetapi juga kebahagiaan ukhrawi yang
sifatnya abadi dan hakiki. Pada aspek ini, psikologi kepribadian Islam bukan sekadar memotret
dan mengidentifikasi tingkah laku, melainkan juga mengungkap bagaimana seharusnya
tingkah laku itu. Tentunya dalam hal ini tidak terlepas norma-norma baik-buruk yang telah
ditetapkan oleh Sang Khalik.

2.4 Ruang Lingkup Pembahasan Psikologi Kepribadian Islam


Terdapat dua kedudukan dalam ruang lingkup pembahasan psikologi kepribadian islam,
yaitu psikologi kepribadian Islam sebagai bagian dari teori kepribadian dan sebagai bagian dari
psikologi khusus. Menurut Pervin dalam Mujib (2019) suatu teori kepribadian dianggap
sempurna apabila memiliki lima dimensi pokok, yaitu: (1) struktur kepribadian; (2) proses dan
motivasi kepribadian; (3) pertumbuhan dan perkembangan kepribadian; (4) psikopatologi; dan
(5) psikoterapi. Kelima dimensi tersebut merupakan ruang lingkup teori kepribadian.
Namun, dari lima dimensi tersebut nyatanya belum sepenuhnya sempurna karena ada
beberapa dimensi penting yang tidak terlibat, yaitu dimensi kesehatan mental dan dimensi nilai.
Menurut Mujib (2019) konstruksi teori kesehatan mental berbeda dengan konstruksi teori
psipatologi. Teori kesehatan mental berfokus pada sisi positif manusia seperti asumsi
bahwasannya manusia itu sehat, sadar, dan juga tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.

14
Berbeda dengan teori kesehatan mental, teori psikopatologi justru lebih fokus pada sisi negatif
manusia seperti asumsi bahwa manusia itu sakit, lumpuh, dan kerdil. Dimensi lainnya yaitu
dimensi nilai-nilai keyakinan atau dimensi agama. Dalam Mujib (2019) disebutkan bahwa
kerangka dasar memasukkan dimensi nilai adalah bahwa setiap individu tidak luput dari
keterikatan nilai-nilai keyakinan. Nilai-nilai disini berupa nilai ketuhanan (ilahiyyah) atau nilai
kemanusiaan (insaniyyah). Selain itu, terminologi Formm menyebutnya dengan agama autoriti
dan agama humaniti.
Psikologi kepribadian Islam haruslah terintegrasi dengan dimensi nilai yang mana
menggambarkan nilai-nilai yang terdapat dalam perilaku seseorang. Menurut Mujib (2019)
penggambaran ini meliputi kategorisasi nilai, penentuan standar nilai, penentuan nilai mana
yang lebih dominan mempengaruhi dan memotivasi kepribadian, dan pada akhirnya
melakukan penilaian terhadap kepribadian tersebut. Oleh karena itu, ruang lingkup psikologi
kepribadian Islam meliputi: (1) struktur kepribadian; (2) proses dan motivasi kepribadian; (3)
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian; (4) kesehatan mental; (5) psikopatologi; (6)
psikoterapi; dan (7) nilai-nilai yang melekat dalam kepribadian seseorang.
Kartini Kartono menjelaskan dalam Mujib (2019) bahwa sistem kepribadian memiliki
lima unsur pokok, yaitu vitalitas, tempramen, karakter, bakat, dan sifat-sifat laten. Kelima
unsur pokok kepribadian ini berasal dari sudut pandang bahwa kepribadian bagian dari
Psikologi Khusus.
Apabila psikologi kepribadian Islam diadaptasi dari pola tersebut maka ada dua pola yang
dapat ditempuh, yaitu ruang lingkup psikologi kepribadian Islam hanya berkaitan dengan
karakter dan psikologi kepribadian Islam mencakup kelima komponen kepribadian tersebut
yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam khazanah Islam terdapat beberapa istilah yang dapat
dijadikan ruang lingkup pembahasan psikologi kepribadian Islam, antara lain:
1. Al-Fitrah (citra asli): Menurut Mujib (2019) fitrah adalah citra asli yang dinamis, yang
terdapat pada sistem-sistem psikofisik manusia, dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk
tingkah laku. Fitrah memiliki dua potensi, yaitu baik dan buruk yang mana aktualisasinya
bergantung pada pilihan masing-masing individu. Fitrah manusia yang paling mendasar ialah
manusia diberi amanah oleh Allah sebagai khalifah dan hamba Allah di muka bumi ini.

15
2. Al-Hayah (vitalitas): Hayah adalah tenaga, energi, atau vitalitas hidup manusia yang
karenanya manusia dapat bertahan hidup. Al-Hayah ada dua macam yaitu:
a. Jasmani: Inti dari jasmani berupa nyawa (al-hayah) atau energi fisik (al-thaqat al-
jismiyyah) atau disebut juga roh jasmani. Bagian ini sangat tergantung pada susunan
sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf pusat, dan sebagainya yang dapat
ditampilkan dengan yanda-tanda fisiologis pembawaan dan karakteristik yang sifatnya
kurang lebih konstan.
b. Rohani: Inti dari rohani berupa amanat Tuhan (al-amanah al-ilahiyyah) yang disebut juga
roh-rohani. Amanah merupakan energi psikis (al-thaqat al-ruhaniyyah) yang
membedakan manusia dengan makhluk lain.
Melalui dua bagian ini maka vitalitas manusia menjadi sempurna. Tanpa nyawa maka
jasmani manusia tidak dapat hidup, dan tanpa amanah maka rohani manusia tidak bermakna.
Al-Hayah tidak sekadar dapat menghidupkan manusia, tetapi juga menjadi esensi (al-
haqiqah) bagi kehidupannya. Dalam konteks psikologi kepribadian, ruang lingkup yang
dibahas hanya berkenaan dengan vitalitas rohani, bukan vitalitas jasmani, sebab vitalitas
jasmani dibahas dalam disiplin ilmu biologi.
3. Al-Khuluq (karakter): akhlak, yang merupakan bentuk tunggal dari khuluq, adalah kondisi
batiniah (dalam), bukan kondisi lahiriyah (luar) diri individu yang mencakup al-thab’u dan al-
sajiyah. Orang yang ber-khuluq dermawan lazimnya gampang memberi kecuali pada hal-hal
yang mengarah pada kemaksiatan .
Sebaliknya, orang yang ber-khuluq pelit lazimnya sulit mengeluarkan uang tetapi boleh
jadi ia mudah menghambur-hamburkan uang untuk keburukan. Khuluq adalah kondisi
(hay’ah) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhah), dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas
yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.
Khuluq dapat disamakan dengan karakter dimana masing-masing individu memiliki
keunikan sendiri. Dalam terminologi psikologi, karakter adalah watak. perangai, atau sifat
dasar yang khas; satu sifat atau kualitas yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat
dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seseorang secara pribadi. Sebagian dari karakter
dipengaruhi oleh bakat bawaan dan sifat hereditas sejak lahir sementara sebagian lainnya
disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Ia berkemungkinan untuk dapat dididik. Elemen
karakter terdiri atas dorongan-dorongan, insting, refleks-refleks, kebiasaan-kebiasaan,
kecenderungan-kecenderungan, perasaan, emosi, sentimen, minat, kebajikan dan dosa, serta
kemauan.

16
4. Al-Thab’u (tabiat): Tabiat yaitu citra batin individu yang menetap (al-sukun). Citra ini
terdapat pada konstitusi (al-jibillah) individu yang diciptakan oleh Allah SWT sejak lahir.
Menurut Ikhwan Al Shafa, tabiat adalah daya dari daya nafs kulliyah yang menggerakkan jasad
manusia. Berdasarkan pengertian tersebut, al-thab’u serupa dengan temperamen yang tidak
dapat diubah. Namun, di dalam Al-Quran tabiat manusia mengarah pada perilaku baik atau
buruk, sebab Al-Quran merupakan buku pedoman yang menuntun manusia berperilaku baik
dan menghindarinya dari perilaku buruk.
Dalam psikologi, tempramen adalah disposisi reaksi seseorang. Ia juga konstitusi psikis
atau akunya psikis yang erat kaitannya dengan konstitusi fisik yang dibawa semenjak lahir
sehingga hereditas sifatnya. Misalnya, temperamen sanguinikus yang mempunyai sifat
dominan darah sehingga menimbulkan sifat gembira, suka berubah-ubah. Tempramen
flegmatikus yang mempunyai sifat dominan lendir sehingga menimbulkan sifat tenang serta
tidak suka bergerak. Tempramen kolerikus yang mempunyai sifat dominan empedu kuning
sehingga memiliki sifat mudah marah dan mudah tersinggung. Terakhir, temperamen
melankholikus yang mempunyai sifat dominan empedu hitam sehingga menimbulkan sifat
pesimis dan suka bersedih hati.
5. Al-Sajiyah (bakat): Sajiyah adalah kebiasaan (‘adah) individu yang berasal dari hasil
integrasi antara karakter individu (fardiyah) dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan (al-
muktasab). Dalam terminologi psikologi sajian diterjemahkan dengan bakat (aptitude) yaitu
kapasitas atau kemampuan yang bersifat potensial. Al-Sajiyah ada pada faktor yang ada pada
individu sejak awal dari kehidupan yang kemudian menimbulkan perkembangan keahlian,
kecakapan, keterampilan, dan spesialis tertentu.
Bakat ini bersifat laten atau tersembunyi, dapat berkembang sepanjang hidup manusia,
dan dapat diaktualisasikan potensinya. Potensi yang terpendam dan masih lelap itu dapat dibuat
aktif dan aktual. Bakat asli yang merupakan hasil dari faktor individu akan sulit berkembang
jika tanpa dibarengi oleh upaya-upaya lingkungan yang baik seperti pendidikan pengajaran
pelatihan dan dakwah amar ma'ruf atau nahi munkar.
6. Al-Sifat (sifat-sifat): Sifat ialah satu ciri khas individu yang relatif menetap secara terus-
menerus dan konsekuen yang diungkapkan dalam satu deretan keadaan. Sifat-sifat totalitas
dalam diri individu dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu diferensiasi, regulasi, dan integrasi.
Diferensiasi adalah perbedaan mengenai tugas tugas dan pekerjaan dari masing-masing bagian
tubuh. Misalnya fungsi jasmani seperti jantung, lambung, darah, dan sebagainya, serta fungsi
kejiwaan seperti intelegensi, kemauan, perasaan, dan sebagainya. Regulasi adalah dorongan

17
untuk mengadakan perbaikan setelah terjadi suatu gangguan di dalam diri manusia. Integrasi
adalah proses yang membuat keseluruhan jasmani dan rohani manusia yang menjadi satu
kesatuan yang harmonis karena telah terjadi suatu sistem pengaturan yang rapi.
7. Al-’Amal (perilaku): ‘Amal merupakan tingkah laku lahiriah individu yang tergambar dalam
bentuk perbuatan nyata. Pada tingkat ‘amal, kepribadian individu dapat diketahui sekalipun
kepribadian yang dimaksud mencakup lahir dan batin. Hukum fiqih memiliki kecenderungan
melihat aspek lahir dari kepribadian manusia sebab yang lahir itu mencerminkan yang batin.
Sementara hukum tasawuf lebih melihat pada aspek batiniah. Kepribadian islam yang ideal
mencakup aspek lahir dan batin.
Fungsi psikologi kepribadian islam selanjutnya tidak hanya mendeskripsikan masing-
masing unsur diatas melainkan juga mengemukakan bagaimana interaksi dan cara kerja
masing-masing unsur dalam pembentukan kepribadian; apa dan bagaimana motivasi
mempengaruhi dinamika nya; faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepribadian
tersebut; dan pada akhirnya melakukan penilaian baik buruknya yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan dan keselamatan hidup individu di dunia dan di akhirat.
Pembahasan dalam ruang lingkup psikologi kepribadian islam mencakup tujuh
komponen yang telah dibahas di atas yakni mencakup pembahasan: (1) struktur kepribadian
manusia yang meliputi jasmaniah dan rohaniah dan nafsaniah (qalbu, akal, nafsu) serta
dinamika yang ditimbulkan dari berbagai interaksi dan integrasi struktur tersebut; (2) dinamika
dari berbagai struktur itu yang kemudian membentuk satu tipologi kepribadian islam dan
bentuk-bentuknya; (3) penyimpangan yang terjadi pada kepribadian dan terapinya, dan
(4) perkembangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ruang lingkup pembahasan
ini mencoba mensinergikan kedudukan kepribadian islam sebagai bagian dari teori-teori
kepribadian maupun sebagai bagian dari psikologi khusus.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut al-Zarkalî, studi tentang diri manusia dapat dilihat melalui tiga sudut, yaitu:
(1) Jasad (fisik); apa dan bagaimana organisme dan sifat-sifat uniknya, (2) Jiwa (psikis); apa
dan bagaimana hakikat dan sifat-sifat uniknya, (3) Jasad dan jiwa (psikofisik); berupa akhlak,
perbuatan, gerakan, dan sebagainya.
Ketiga kondisi tersebut dalam terminologi Islam lebih dikenal dengan term al-jasad,
al-rûh, dan al-nafs. Jasad merupakan aspek biologis atau fisik manusia, roh merupakan aspek
psikologis atau psikis manusia, dan nafs merupakan aspek psikofisik manusia yang merupakan
sinergi antara jasad dan roh. Daya hidup pada diri manusia memiliki batas yang disebut sebagai
ajal. Apabila batas energi telah habis, tanpa sebab apa pun manusia akan mengalami kematian
(al-mawt).
Dalam konteks ini, nafs memiliki arti psikofisik manusia, yang mana komponen jasad
dan roh telah bersinergi. Nafs memiliki beberapa daya dan natur. Tetens dan Kant menyatakan
trichotomi kejiwaan manusia, yaitu (1) kognisi yang berhubungan pengenalan, (2) emosi yang
berhubungan dengan perasaan, dan (3) konasi yang berhubungan dengan kemauan. Pembagian
nafsani manusia adalah : (1) Qalbu, (2) Aql, dan (3) Nafsu.
Selain dari sudut pandang agama islam, pembahasan mengenai struktur jiwa juga
terdapat dalam aliran barat. Dalam psikologi barat, terdapat beberapa teori yang membahas
mengenai struktur jiwa. Pertama, psikoanalisis yang membagi struktur jiwa menjadi tiga aspek
yakni id, ego, dan superego. Kedua, behaviorisme yang menganggap jiwa lahir dengan kosong
tidak memiliki potensi bawaan apapun dan diisi oleh pengalaman secara sedikit demi sedikit.
Lalu, humanisme dimana salah satu tokohnya berpendapat bahwa struktur jiwa merupakan
suatu unitas yang terdiri dari tiga dimensi yakni, somatis, psikis, dan spiritual.
Membahas mengenai struktur jiwa tentu akan bersinggungan dengan pembahasan
mengenai kepribadian manusia khususnya dalam sudut pandang agama islam. Psikologi
kepribadian islam merupakan studi islam yang berhubungan dengan tingkah laku manusia
berdasarkan pendekatan psikologis dalam relasinya dengan alam, sesamanya, dan kepada Sang
Khalik agar dapat meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat. Ruang lingkup
pembahasan mengenai psikologi kepribadian islam melibatkan tujuh elemen, yaitu Al-Fitrah
(citra asli), Al-Hayah (vitalitas), Al-Khuluq (karakter), Al-Thab’u (tabiat), Al-Sajiyah (bakat),
Al-Sifat (sifat-sifat), dan Al-’Amal (perilaku).

19
DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin. (2004). Paradigma psikologi Islami: studi tentang elemen psikologi dari Al-
Qur'an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mujib, A. (2017). Teori kepribadian perspektif psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Mujib, A., & Mudzakir, J. (2001). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Purwanto, Y. (2007). Epistemologi Psikologi Islam. Bandung: PT. Refika Aditama.

Samad, S. A. A. (2015). Konsep Ruh dalam Perspektif Psikologi Pendidikan Barat dan
Islam. Fenomena, 7(2), 215-228.

Silahudin, A. (2018). Perbandingan Konsep Kepribadian menurut Barat dan Islam. Jurnal
Ilmiah Keislaman. 17(2): 249-278. Diakses di
https://moraref.kemenag.go.id/documents/article/98077985952814390/download pada
tanggal 09 Oktober 2020.

Anda mungkin juga menyukai