Anda di halaman 1dari 17

DIVERSITAS SOSIOKULTURAL

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu :

Dra. Hj. Siti Azizah Rahayu, M.Si

Disusun Oleh :

Kelompok 6

1. Abdullah Rasyid (J71217103)


2. Nazlatur Rodhiyah (J71217083)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Psikologi
Pendidikan dengan judul “Diversitas Sosiokultural” ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Dra. Hj. Siti Azizah
Rahayu, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Psikofarmakologi yang
telah membimbing kami, serta kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa tugas yang telah kami buat ini belum
sempurna. Oleh karena itu, kami meminta maaf jika makalah ini masih
banyak kekurangan. Saran dan kritik sangat kami harapkan demi
memperbaiki pembahasan makalah ini. Akhirnya, semoga amal baik
semua pihak diterima oleh Allah SWT. Dan mendapat balasan yang
setimpal serta semoga makalah ini bermanfaat bagi diri penyusun dan
pembaca, Aamiin.

Surabaya, 7 November 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2


DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................. 4
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
1.3. Tujuan Pembahasan ................................................................................... 4
BAB II.................................................................................................................... 6
ISI .......................................................................................................................... 6
2.1. Kultur dan Etnis ......................................................................................... 6
2.1.1. Kultur ......................................................................................................... 6
2.1.2. Status Sosioekonomi .................................................................................. 7
2.1.3. Etnis ........................................................................................................... 8
2.1.4. Prasangka ................................................................................................... 9
2.2. Diversitas dan perbedaan ........................................................................... 9
2.3. Pendidikan Multikultural ......................................................................... 12
BAB III ................................................................................................................ 15
PENUTUP ........................................................................................................... 15
1.4. Kesimpulan ............................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berdasarkan arti kata, diversitas mempunyai arti perbedaan,
kelainan dan keragaman. Sementara itu sosiokultural berarti segi social
dan budaya masyarakat. Jadi diversitas sosiokultural secara makna
kata dapat diartikan dengan perbedaan-perbedaan yang terdapat
didalam masyarakat, khususnya mengenai social dan budaya
masyarakat. Dalam perspektif pendidikan, diversitas sosiokultural
sangat menarik dikaji. Karena, kebhinekaan dalam masyarakat
merupakan potensi yang luar biasa untuk pembangunan yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Namun, pada kenyataannya kondisi demikian tidak pula diiringi
dengan keadaan social yang membaik. Bahkan banyak terjadi ketidak
teraturan dalam kehidupan social di Indonesia. Melalui pendidikan
multikultural, diharapkan dapat mewujudkan keteraturan dalam
kehidupan social-budaya di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Kultur dan Etnis?

2. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Multikultural?

1.3. Tujuan Pembahasan


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kultur dan Etnis.

4
2. Untruk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pendidikan
Multikultural.

5
BAB II

ISI

2.1. Kultur dan Etnis


Tujuan utama dari pendidikan adalah mendidik anak menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Dalam hal budaya, tujuan penting dari
pendidikan yakni membantu murid untuk mengembangkan rasa
hormat kepada orang yang berbeda kultur dan eynic (Bank, 2003;
Valsiner, 2000).

2.1.1. Kultur
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari
kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi lainnya. Produk itu berasal dari interaksi antarkelompok
orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun (Chun,
Organizta, & Marin, 2002; Thomas, 2000).

Dalam hal budaya, terdapat perbedaan yang dikenal dengan


individualisme dan kolektivisme. Individualisme adalah nilai
menekankan pada kepentingan diri sendiri, sedangkan kolektivisme
menekankan pada kepentingan kelompok. Budaya individualis dapat
dilihat pada negara-negara Eropa dan Amerika, sedangkan budaya
kolektivisme terdapat pada negara-negara Arab dan Asia.

Metode dalam belajar mengajar tidak bisa disama ratakan pada


setiap budaya. Para pendidik seharusnya tau akan perbedaan budaya
tersebut. Misalnya dalam budaya individualisme yang menekankan

6
kepentingan pribadi, Seorang murid dapat termotivasi dalam belajar
apabila diberikan pujian dari seorang guru dan tidak jarang juga
murid dari budaya individualis sering kali berkompetitif. Berbeda
dengan budaya kolektivisme, seorang guru hendaknya memberikan
metode belajar berkelompok yang sesuai dengan budaya tersebut.
Metode belajar berkelompok sangat disukai oleh murid dalam
budaya kolektivisme. Menciptakan kelompok untuk mencapai tujuan
bersama, dengan demikian motivasi belajar akan tercipta. Seperti
yang kita tahu, belajar akan jauh lebih efektif jika dimulai dari
kebahagiaan.

2.1.2. Status Sosioekonomi


Status sosioekonomi (socioeconimic status-SES) adalah
kelompok orang berdasarkan karakteristik ekonomi, individual, dan
pekerjaannya (Santrock, 2017). Anak-anak yang berada dalam
keluarga bertaraf ekonomi rendah sering kali memilikiproblem di
sekolah dan dirumahnya.

Dalam (Santrock, 2017), terdapat dua studi mengenai dampak


negatif kemiskinan terhadap pembelajaran dan perkembangan:

a. Satu studi membandingkan lingkungan bahasa rumah anak-anak


usia 3 tahun dari keluarga profesional dan keluarga yang
berpendapatan rendah (Hert & Risley, 1995). Semua anak itu
berkembang normal dalam belajar bicara dan belajar menguasai
kosakata dasar. Namun, ada perbedaan besar dalam hal jumlah
bahasa yang dikenal anak dan levelperkembangan bahasa yang
dicapai anak. Orang tua dari kalangan profesional lebih banyak

7
bicara dengan anaknya ketimbang orang tua yang berpendapatan
rendah.

Hal ini mengingatkan saya pada setahun yang lalu. Ketika saya
pergi ke bazar buku di EXPO, seorang anak kecil sekitar kelas 2 SD
secara tak sengaja menyenggol buku yang ditata dan dengan fasih ia
berkata kepada ibunya, “I don’t know why it fell?!”. Dari apa yang
mereka beli dan cara mereka berbicara dalam dua bahasa. Saya yakin
bahwa mereka dari keluarga kaya dan terdidik.

b. Studi lain atas 1200 remaja usia 12 sampai 14 tahun dimaksudkan


untuk mengetahui dampak kemiskinan dalam kemampuan mereka
dalam belajar membaca dan berhitung (Eamon, 2002). Kemiskinan
berhubungan dengan nilai pelajaran membaca dan matematika yang
rendah. Studi ini juga menemukan bahwa kemiskina berhunungan
dengan problem perilaku di sekolah.

Jika kita lihat di Indonesia, sungguh sangat miris ketika melihat


sekolah-sekolah di daerah terpencil dan terbelakang yang menderita
kemiskinan sangat uzur dan kekurangan fasilitas. Dengan sekolah
yang kadang tak layak dan kurangnya fasilitas dan ditambah lagi
dengan kurangnya tenaga pendidik profesional tentu pendidikan
yang dijalankan tidak akan maksimal.

2.1.3. Etnis
Kata ethnic berasal dari kata Yunani yang berarti “bangsa”.
Etnisitas (etnicity) adalah pola umum karakteristik seperti warisan
kultural, nasionalitas, ras, agama, dan bahasa (Santrock, 2017).

8
Dalam (Santrock, 2017), Seorang Psikolog sosial, James Jones
(1994, 1997) menunjukkan bahwa pemikiran dari segi ras telah
melekat di setiap kultur. Dia mengatakan bahwa orang sering
“menstereotipkan” orang lain berdasarkan alasan ras, dan secara
keliru mengklasifikasikan mereka sebagai ras yang kurang atau lebih
cerdas, kompeten, bertanggung jawab, atau kurang bisa diterima
secara sosial.

Kita tahu bahwa stereotip telah digunakan oleh manusia sejak


zaman dahulu untuk memberikan suatu “cap” baik atau buruk pada
suatu budaya dan ras. Misalnya saja kita mengenggap bahwa ras
bangsa Yahudi lebih cerdas dari pada ras dunia lain, atau orang
berkulit hitam lebih bodoh dari pada orang berkulit putih, dan atau
pada zaman hitler dimana pembataian besar-besaran terjadi hanya
karena stereotip bahwa ras Arya lebih unggul dari pada ras lainnya
sehingga ras nonArya harus dimusnahkan.

2.1.4. Prasangka
Prasangka adalah sikap negatif yang tak adil terhadap orang
lain karena keanggotaan individu itu dalam satu kelompok.
Kelompok yang menjadi sasaran prasangkamungkin didefinisikan
berdasarkan etnis, jenis kelamin, atau perbedaan lain yang terlihat
(Moneith, 2000).

2.2. Diversitas dan perbedaan


Pengalaman historis, ekonomi dan sosial telah melahirkan
prasangka dan perbedaan antar kelompok etnis (Santrock, 2017).
Misalnya saja suatu kisah yang pernah saya lihat, dimana ada

9
seorang ibu-ibu di Amerika membeli suatu barang, ia tidak begitu
fasih dalam berbahasa Inggris sehingga ia menggunakan bahasa
Spanyol. Kemudian, seorang pelanggan lain marah dan berkata,
“Kami hanya ingin mendengar bahasa Inggris! Kami tidak mau
kembalinya Hitler!”. Disini kita tahu bahwa pengalaman historis
kadang kala melekat dalam hati dan menciptakan prasangka.

2.2.1. Pendidikan Bilingual

Pendidikan bilingual bertujuan untuk mengajar para murid


untuk meguasai bahasa lain selain bahasa asal mereka.
Sepertihalnya di Indonesia, kita tahu bahwa bahasa Inggris di
ajarkan sejak dari SD. Kita menganggap bahwa dengan
mempelajari bahasa Inggris hal tersebut dapat berguna bagi masa
depan murid, terutama dalam hal hubungan interpersonal dengan
warga dunia. Hal ini cukup bermanfaat mengingat banyak orang
luar yang mengatakan bahwa, “Kebanyakan orang Indonesia
bahasa Inggrisnya lancar”. Kita telah mempelajari bahasa Inggris
sejak dari kecil dan lebih dari itu, juga dialeknya.

Para peneliti menemukan bahwa bilingualisme memberikan


dampak positif para perkembangan kognitif anak. Anak yang
lancar dalam dua bahasa bisa lebih baik dalam mengerjakan tes
kontrol atensional, formasi konsep, penalaran analitis, fleksibilitas
kognitif, dan kompleksitas kognitif ketimbang anak yang hanya
bisa satu bahasa (Bialy-stok, 1999, 2001).

Kenji Hakuta dan rekannya (2000) mengumpulkan data anak


di empat sekolah yang berbeda untuk mengetahui berapa lama
waktu yang dibutuhkan murid untuk mengembangkan kemampuan

10
berbahasa Inggris lisan dan tulisan secara lancar dalam konteks
akademik, seperti membaca buku pelajaran. Kefasihan lisan
membutuhkan waktu tiga sampai lima tahun, dan kefasihan Inggris
akademik membutuhkan waktu empat sampai tujuh tahun. Temuan
ini menunjukkan bahwa kebijakan yang mengasumsikan
penguasaan bahasa Inggris bisa dilakukan secara cepat, seperti
dalam waktu setahun, adalah yang tidak realistis (Santrock, 2017).

Kita dapat mengambil contoh kasus ini pada pendidikan


bilingual di UIN Surabaya. Di UIN Surabaya terdapat pendidikan
bilingual bahasa Inggris dan bahasa Arab. Hasil dari pendidikan itu
diharapkan mampu untuk lulus ujian TOEFL dan TOAFL yang
mana sebagai syarat skripsi. Untuk berbahasa Inggris mungkin
bukanlah suatu masalah mengingat sebagian besar mayoritas
pernah belajar bahasa Inggris sejak mereka kecil, namun untuk
bahasa Arab sama sekali tidak. Intensif dilakukan selama dua
semester atau sekitar delapan bulan. Dan pertanyaannya, apakah
sebagian besar mahasiswa mampu lulus dalam TOAFL? Saya rasa
tidak. Kefasihan dalam bilingual hanya bisa didapatkan dalam
beberapa tahun, bukan beberapa bulan. Kecuali, terdapat praktikal
berbahasa bilingual setiap harinya atau yang kedua jika anda orang
yang jenius dalam hal bahasa.

2.2.2. Konsiderasi Bahasa Kedia Lainnya

Kapan kita sebaiknya mempelajari bahasa kedua? Saat kita


mempelajari bahasa kedua di waktu anak-anak mungkin akan
lama, tetapi hasilnya sangat baik. Sedangkan saat dewasa,
mempelajari bahasa kedua akan lebih cepat tetapi secara hasil tidak

11
lebih baik dari pada saat mempelajarinya waktu kanak-kanak. Di
indonesia hal ini digambarkan dengan pepatah, “Belajar di waktu
kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar di waktu tua
bagaikan mengukir di atas air”.

2.3. Pendidikan Multikultural


Pendidikan multikultural adakah pendidikan yang menghargai
perbedaan dan mewadahi beragam perspektif dari berbagai kelompok
kultural. Tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah
pemerataan kesempatan bagi semua murid (Santrock, 2017).

2.3.1. Memberdayakan Murid

Istilah pemberdayaan (empowerment) berarti memberi orang


kemampuan intelektual dan keterampilan memecahkan masalah agar
berhasil dan menciptakan dunia yang lebih adil (Santrock, 2017).
Menurut pandangan ini, sekolah harus memberi murid kesempatan
untuk belajar tentang pengalaman, perjuangan, dan visi berbagai
kelompok kultural dan etnis yang berbeda-beda (Banks, 2001, 2002,
2003). Dalam pembelajaran disekolah hendaknya murid diajarkan
tentang antirasisme dan anti diskriminasi serta memahami budaya
murid lain sehingga dapat saling menghormati.

2.3.2. Pendidikan yang Berpusat pada Isu

Pendidikan yang berpusat pada isu adalah pendidikan yang


mengajarkan tentang kesetaraan dan keadilan. Pada hakikatnya
pendidikan ini adalah pendidikan moral dimana murid diharuskan
untuk saling memahami satu sama lain dan bermoral-memandang

12
orang lain tidak seperti musuh tetapi sama dengan dirinya-sebagai
manusia.

2.3.3. Meningkatkan Hubungan di Antara dari Kelompok Etnis


yang Berbeda

Meningkatkan hubungan antar murid dengan etnis yang berbeda


dalam metode pembelajaran dapat dilakukan dengan metode Kelas
Jigsaw yang dikemukakan oleh psikolog sosial Eliot Aronson
dimana kelas dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing-masing
kelompok terdapat etnis yang berbeda-beda. Kemudian materi
dibagi sehingga dalam satu kelompok para murid akan bekerja sama
dalam menyelsesaikan masalah sebagai tujuan bersama.

2.3.4. Meningkatkan Kontak Personal dengan Orang Latar


Kultur yang Berbeda

Dalam psikologi sosial kita mengenal istilah repeated exposure.


Repested exposure adalah cara menciptakan kedekatan dengan
melakukan kontak seperti bertemu, berbicara, dan berbagi cerita. Hal
ini menciptakan rasa aman sehingga kedekatan dapat tercipta. Jika
hal ini diterapkan pada pendidikan, misalnya saja dengan
mememasangkan murid yang berbeda kultur dalam satu bangku,
mungkin saja akan tercipta kedekatan dan rasa aman sehingga
memungkinkan mereka untuk saling memahami perbedaan budaya
masing-masing.

2.3.5. Pemikiran Kritis dan Inteligensi Emosional

Murid yang belajar berpikir secara mendalam dan kritis tentang


relasi antar-etnis kemungkinan akan berkirang prasangkanya dan tak
lagi menstereotipkan orang lain. Murid yang berpikir dangkal sering

13
kali lebih banyak berprasangka. Akan tetapi, jika murid belajar
mengajukan pertanyaan, memikirkan dulu isunya ketimbang
jawabannya, dan menunda dahulu penilaian sampai informasi yang
lengkap sudah tersedia, maka prasangkanya akan berkurang
(Santrock, 2017).

2.3.6. Meningkatkan Toleransi

Kita tahu bahwa toleransi merupakan bagian dari moral. Dalam


pendidikan hendaknya ditekankan tidak hanya pelajaran sains tetapi
juga pelajaran moral. Murid yang memiliki toleransi tidak akan
menciptakan rasis dan diskriminasi terhadap temannya.

14
BAB III

PENUTUP

1.4. Kesimpulan
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan
dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan system social.
Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dan kelompok.
Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan pendirian dan
kepribadian seseorang.

Sedangkan berbagai pengertian multikulturaslisme dapat


disimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai
penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan sendiri
maupun kebudayaan orang lain. setiap orang ditekankan untuk
menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di
masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima
oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan
dengan kebudayaan lainnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Banks, J. A. (2001). Multicultural education. In J. A. Banks & C. A. M.


Banks (Eds.), Multicultural Education: Issues and Perspectives. New
York: Wiley

Banks, J. A. (2002). Introduction to Multicultural Education (3rd ed.).


Boston: Allyn & Bacon

Banks, J. A. (2003). Teaching Strategies for Ethnic Studies (7th ed.).


Boston: Allyn & Bacon

Bialystok, E. (1999). Cognitive complexity and attentional control in the


bilingual mind. Child Development

Bialystok, E. (2001). Bilingualism in Development: Language, Literacy,


and Cognition. New York: Cambridge University Press

Chun, K. M., Organista, P. B. & Marin, G. (Eds). (2002). Acculturation.


Washington, DC: American Psychological Association

Eamon, M. K. (2002). Effects of poverty on mathematics and reading


achievement of young adolecscents. Journal f Early Adolescence

Hert, B. & Risley, T. R. (1995). Meaningful Differences. Baltimore: Paul


H. Brookes

Moneith, M. (2000). Prejudice. In A. Kazdin (Ed.), Encyclopedia of


Psychology. Washington, DC. And New York. American
Psychologycal Association and Oxford University Press

Santrock, J. W. (2017). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana

16
Thomas, J. R. (2000). Human Development Theories: Windows on
Culture. Thousand Oaks, CA: Sage

Valsiner, J. (2000). Culture and Human Development. Thousand Oaks,


CA: Sage

17

Anda mungkin juga menyukai