Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ketunaan adalah salah satu dari bagian dari konsep keluarbiasaan,


penggunaannya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami penyimpangan ke
arah negatif. Ketunaan mengacu pada terdapatnya kehilangan, kekurangan,
kelemahan, hambatan, kesulitan,atau gangguan yang sedemikian rupa baik
dalam karakteristik perkembangan mental intelegensi, fisik, penginderaan,
emosi,sosial belajar, atau gabungan dari hal-hal tersebut sehingga berakibat
pada tidak atau kurag berfungsinyakemampuan-kemampuan tersebut secara
wajar, sehingga untuk mengembangkan berfungsinya kemampuan-kemampuan
tersebut secara maksimal diperlukan program atau layanan pendidikan khusus.

Dalam konsep yang luas dan terpadu, keberbakatan meliputi pengertian


tentang gifted dan talented. Berdasarkan konsep tersebut, kebebakatan adalah
pemilikan cirri-ciri universal khusus dan luar biasa (unggul) yang dibawa sejak
lahir atupun pengaruh interaksi lingkungan yang memungkunkan seseorang
mampu berprestasi tinggi dalam satu atau lebih bidang kehidupan, baik yang
secara nyata telah terwujud maupun yang belum terwujud (potensial), yang
meliputi bidang kemampuan ntelektual umum, akademik khusus, kreativitas,
kepemimpinan, seni, dan atau psikomotor. Keberbakatan juga mengisyratkan
perlunya program pelayanan pendidikan khusus di luar jangkauan pendidikan
pada umumnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep dasar dari keberbakatan ?
2. Bagaimana knsep dasar dari ketunaan ?
3. Apa pengertian dari anak berbakat yang menyandang ketunaan ?
4. Sebutkan klasifikasi dari anak berbakatpenyandang ketunaan?

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 1


BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR KEBERBAKATAN

Pengertian keberbakatan dalam perkembangannya telah mengalami


berbagai perubahan, dari pengertian yang berdasar pada pendekatan yang
bersifat unidimensional atau faktor tunggal ke pendekatan yang bersifat multi-
dimensional atau faktor jamak.

Pengertian yang berdasar pada pendekatan uni-dimensional ialah suatu


pengertian yang menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal dalam
menentukan keberbakatan.

Sedangkan pengertian yang berdasar pada pendekatan multi-dimensional


tidak hanya menggunakan inteligensi sebagai kriteria tunggal untuk menentukan
keberbakatan, tetapi menggunakan kriteria jamak, yaitu kriteria-kriteria lain di
luar inteligensi. Misalnya: kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, dan
sebagainya. dalam konsep dan kriteria keberbakatan, sehingga diperlukan
berbagai cara dan alat yang berbeda pula dalam menentukan atau identifikasi
keberbakatan.

Pendekatan uni-dimensional dalam menentukan keberbakatan diawali


dengan pengkajian dari Terman yang meneliti keberbakatan terhadap 1528
orang dengan menggunakan alat ukur inteligensi. Menurutnya keberbakatan
ditentukan oleh kemampuan inteligensi yang tinggi, yang ditunjukkan dengan
pemilikan Intelligence Quotient (IQ) 140 ke atas berdasar Stanford-Binet Test.
Menurut Terman inteligensi dipandang sebagai konsep umum (global construct)
dengan IQ sebagai kuantitas tertentu dari inteligensi (Sisk, 1987). Sebagai
konsep umum maka inteligensi dapat diukur sesuai dengan definisinya sehingga
inteligensi adalah hal atau apa yang dites oleh tes inteligensi dengan IQ sebagai
skor umum tunggalnya. Hasil studi Terman yang berlangsung selama 34 tahun
(dari tahun 1925 sampai 1959) telah mengundang berbagai kritik, di antaranya:
inteligensi diasumsikan sebagai faktor tunggal, tidak dimasukkannya faktor status
sosial ekonomi dan pengaruh lingkungan dalam pengukuran kemampuan anak

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 2


berbakat, serta tidak adanya usaha-usaha ke arah pengukuran dan pemahaman
kemampuan kreativitas (Gowan, 1938 dalam Sisk, 1987).

Dalam perkembangannya ternyata IQ sebagai skor umum tunggal


memiliki berbagai keterbatasan. Dari pandangan tertentu tentang inteligensi
tersebut, Spearman (1904) kemudian berhasil mengembangkan konsep bahwa
inteligensi dapat didefinisikan dalam istilah-istilah faktor, yang kemudian lebih
dikenal sebagai teori faktor.

Menurut Spearman intelegensi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor g


(general; umum) dan faktor s (specific: khusus). Faktor g mencakup semua
kegiatan intelektual dan dimiliki semua orang dalam berbagai derajat tertentu,
berfungsinya mendasari setiap tingkah laku seseorang, dan tergantung pada
keturunan. Adapun faktor s mencakup berbagai faktor khusus tertentu yang
relevan dengan tugas tertentu. Artinya faktor ini hanya berfungsi pada tingkah
laku-tingkah laku tertentu saja, yaitu tingkah laku yang bersifat khusus. Menurut
Spearman faktor ini lebih banyak dipengaruhi oleh latihan dan pendidikan.
Misalnya, setiap orang dilahirkan dengan kecakapan umum (faktor g), tetapi
belum tentu cakap dalam menulis tanpa belajar (faktor s).

Perubahan pendekatan konsep intelegensi dari faktor tunggal dengan IQ


sebagai skor tunggal umum intelegensi, seperti yang dinyatakan Terman, ke
faktor jamak telah memberikan pengaruh yang mencakup besar dalam
pendekatan konsep keberbakatan. Dalam pendekatan faktor tuggal, maka
keberbakatan sama artinya dengan pemilikan intelegesi tingggi, yang sifatnya
keturunan. Sedangkan dalam pendekatan faktor jamak berdasar teori Spearman,
keberbakatan tidak semata-mata ditentukan oleh faktor keturunan tetapi juga
interaksi dengan lingkungan atau hasil belajar.

Inteligensi dan kreativitas merupakan dua hal yang dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan, keduanya saling terkait. Dijelaskan oleh Utami Munandar
(1995) bahwa tes kreativitas sebagai dimensi fungsi kognitif yang relatif bersatu
dapat dibedakan dari tes inteligensi, tetapi berpikir divergen (kreativitas) juga
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan berpikir konvergen(inteligensi).
Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hasil-hasil pengukuran kreativitas

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 3


tidak selalu berkorelasi dengan IQ. Hal ini berarti bahwa IQ tinggi tidak menjamin
kreativitas yang tinggi pula.

Diakomodasikannya dimensi kreatif sebagai kemampuan intelektual oleh


Guilford, yang dikuatkan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa
antara kreativitas dan inteligensi dapat dibedakan dan tidak selalu menunjukkan
korelasi yang positif, sekalipun keduanya memiliki hubungan yang bermakna,
telah memberikan arah baru dalam studi keberbakatan. Berdasarkan konsep ini.
Makakeberbakatan tidak Saja mengacu pada kemampuan intelektual yang tinggi
tetapi juga perlunya dimasukkan dimensi kreativitas sebagai tolok ukur atau
kriteria dalam menentukan keberbakatan.

Berkaitan dengan masalah kreativitas, Renzulli merupakan salah seorang


pakar yang berhasil memantapkan masalah tersebut sebagai salah satu ciri
keberbakatan. Renzulli (1981) menyatakan bahwa tiga ciri yang menentukan
keberbakatan ialah (a) kemampuan intelektual umum di atas rata-rata, (b)
kreativitas, dan (c) peningkatan diri terhadap tugas. Karena itu dalam idenifikasi
keberbakatan harus mewakili ketiga kawasan tersebut, sekalipun kawasan
kreativitas dan peningkatan terhadap tugas bukan merupakan kawasan
intelektual. Kretivitas dan peningkatan terhadap tugas merupakan kawasan non
intelektual yang bekerjanya sangat menentukan kinerja intelektual seseorang.

Keterkaitan di antara ketiga kawasan tersebut, yaitu intelegensi di atas


rata-rata, krativitas, dan peningkatan terhadap tugas, sebagai wiujud
keberbaktan dinyatakan oleh Renzulli dengan konsep interaksi tiga lingkaran (
three ring interaction) yang masing-masing memiliki peran yang sama-sama
menentukan. Berdasarkan konsep ini, maka seseorang yang memiliki intelegensi
tinggi atau di atas rata-rata dapat di katakan memiliki bakat intelektual, tetapi hal
ini belum menjamin keberbakatan seseorang keberbaktan hanya akan terwujud
bila disamping ia memiliki kemampuan elektual di atas rata-rata, ia juga harus
memiliki kreativitas dan peningaktan diri terhadap tugas.

Dalam seminar Nasional mengenai Alternatif Program Pendidikan Anak


Berbakat yang diselenggarakan di Jakarta tahun1982 telah disepakati bahawa:

Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang professional telah


didefinisi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena
PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 4
mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak-anak tersebut
memerlukan program pendidikan yang berdiferansiasi dan atau pelayanan diluar
jangkauan program sekolah biasa agar dapt merealisasikan sumbangan mereka
terhadap masyarakat maupun pengembangan diri sendiri.

Kemampuan-kemampuan tersebut, baik secara potensial maupun yang


telah nyata, meliputi:

1. Kemampuan intelektual umum


2. Kemampuan akademik khusus
3. Kemampuan berpikir kreatif-produktif
4. Kemampuan memimpin
5. Kemampuan dalam salah satu bidang seni
6. Kemampuan psiko-motor (seperti dalam olah raga)

(Utami Munandar, 1995:41)

Dengan merujuk pada definisi yang sudah disepakati bersama dalam


Seminar Nasional mengenai Alternatif Program Pendidikan Anak Berbakat di
atas, dalam tulisan ini yang dimaksud anak berbakat adalah individu-individu
yang berdasarkan pengamatan dan penilaian yang cermat dan teliti oleh orang-
orang yang ahli dan terlatih dapat diklasifikasikan sebagai individu yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa, baik yang sifatnya masih potensial,
sehingga diramalkan mampu mencapai prestasi tinggi, ataupun yang sudah
nyata-nyata menunjukkan prestasi tinggi, dalam satu atau lebih bidang
kehidupan manusia, baik dalam bidang kemampuan intelektual umum, akademik
khusus, berpikir kreatif-produktif, kepemimpinan, seni, dan atau ketrampilan
psikomotor. Mereka memerlukan program pendidikan yang mampu menjamin
terjadinya kemudahan akselerasi kemampuan berpikir tingkat tinggi atau mampu
mengakomodasikan kebutuhan intelektualnya. yaitu melalui program pendidikan
yang berdiferensiasi atau layanan pendidikan di luar jangkauan pendidikan pada
umumnya. Dengan demikian mereka dapat merealisasikan sumbangan yang
berarti pada pengembangan dirinya maupun pada kepentingan masyarakat luas.

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 5


B. KONSEP DASAR KETUNAAN

Dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam berbagai kajian ilmiah sering


kita temukan berbagai istilah yang berkaitan dengan ketunaan. Beberapa istilah
tersebut ialah luar biasa, berkelainan, cacat, dan abnormal. Dalam bahasa asing
pun sering kita temukan bermacam-macam istilah seperti exceptional, handicap,
impairment, disorder, deviant, disability, defect, abnormal, dan sebagainya.
Istilah-istilah tersebut pada hakekatnya digunakan untuk membedakan anak
dalam kelompok istilah tersebut dengan anak normal pada umumnya.

Istilah luar biasa, berkelainan, dan abnormal pada umumnya dipahami


sebagai suatu kondisi dimana terdapat penyimpangan-penyimpangan, baik ke
arah negatif maupun positif, dari kondisi rata-rata atau pada umumnya. Hal ini
identik dengan penggunaan istilah-istilah exceptional. Sedangkan penggunaan
istilah tuna, cacat, atau istilah-istilah dalam bahasa asing handicap, impairment,
disorder, disability, deviant, dan defect lebih merujuk pada kondisi
penyimpangan ke arah negatif. Dalam kajian bahasa asing pengertian istilah
handicap biasanya sudah mencakup pengertian istilah impairment, disorder,
disability, maupun defect.

Dalam konteks pendidikan, istilah pendidikan luar biasa (special


education) mengacu pada perlunya layanan layanan pendidikan khusus yang
berbeda dengan layanan pendidikan pada umumnya, dengan tujuan agar
peserta didik dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal. Karena itu
subjek didik atau bidang garapan dalam pendidikan luar biasa tidak terbatas
pada anak-anak yang tuna, tetapi lebih luas lagi yaitu anak-anak yang luar biasa
atau berkelainan (exceptional children), termasuk didalamnya adalah anak-anak
berbakat. Dikarenakan baik anak-anak yang mengalami ketunaan maupun anak
yang termasuk kategori berbakat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya,
mereka memerlukan layanan pendidikan khusus, yang berbeda dengan layanan
pendidikan pada umumnya.

Istilah pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus juga merujuk pada
adanya modifikasi-modifikasi dalam penempatan kelas, kurikulum, dan
pengajaran yang memungkinkan anak-anak luar biasa dapat belajar seefektif
mungkin sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya (Schwartz, 1984).

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 6


Berdasarkan alasan-alasan kepentingan pendidikan, psikologis, dan
sosiologis, penggunaan istilah cacat sudah ditinggalkan. Di samping
pengertiannya cenderung merujuk pada hal-hal yang bersifat fisik, dikhawatirkan
penggunaan istilah tersebut mempunyai konotasi atau dampak psikologis dan
sosial yang negatif, terutama bagi penyandangnya. Sebagai gantinya digunakan
istilah tuna, dengan pertimbangan di samping mencakup pengertian yang lebih
luas dan lebih manusiawi, diharapkan penggunaannya juga tidak memberikan
dampak yang negatif terutama bagi penyandangnya.

Seperti dijelaskan di atas, bahwa pemahaman istilah ketunaan pada dasarnya


berakar pada pemahaman tentang istilah normal dan tidak normal. Untuk
membedakan istilah normal dan tidak normal sebenarnya sangat sulit,
dikarenakan beragamanya pandangan tentang pengertian istilah tersebut.

Pandangan yang mutakhir saat ini adalah pandangan yang berdasarkan


pada tahapan perkembangan. Berdasar pada pandangan ini normal dan tidak
normal harus dikaitkan dengan beberapa aspek, seperti umur, jenis kelamin,
kebudayaan atau sub kebudayaan, individu itu sendiri (individualitas), fungsi-
fungsi perkembangan dalam berbagai aspek (multidimensional), dan tingkat
toleransi pencapaian tahap perkembangan. Penggunaan pandangan ini harus
tetap hati-hati, dikarenakan tetap memiliki nilai relatif. Sesuatu yang normal bagi
individu pada perkembangan tertentu belum tentu untuk tahapan perkembangan
berikutnya. Perkembangan yang normal dalam aspek tertentu juga belum tentu
untuk aspek yang lain. Di samping itu perkembangan yang normal pada individu
tertentu belum tentu untuk individu atau kelompok lain.

Dalam konteks pendidikan luar biasa istilah tidak normal tidak digunakan.
Diganti dengan istilah berkelainan atau lebih khusus lagi luar biasa. Didalamnya
mencakup pengertian istilah tuna. Sejauh mana seseorang anak dikatakan luar
biasa, penetapannya pun menggunakan kriteria yang bervariasi dan
mempertimbangkan banyak faktor,terutama berkaitan dengan jenis
keluarbiasaan serta kepentingan pendidikannya. Biasanya, selama anak
tersebut belum atau tidak memerlukan layanan pendidikan khusus, anak
tersebut tidak diklasifikasikan sebagai anak luar biasa

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 7


Untuk lebih memahami konsep ketunaan, kita pahami terlebih dahulu
siapa yang dimaksud dengan anak luar biasa.

Kirk dan Gallagher (1986) mendefinisikan anak luar biasa sebagai anak
yang berbeda dari rata-rata anak normal dalam hal (1)karakteristik mental, (2)
kemampuan pancaindera, (3) kemampuan komunikasi, (4) prilaku sosial, atau
(5)karakteristik fisik. Perbedaan tersebut harus sampai pada tingkatan tertentu
sehingga untuk mengembangkan kemampuannya secara maksimal diperlukan
suatu praktek pendidikan yang dimodifikasi, atau program layanan pendidikan
khusus.

S.A. Bratanata (1976) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak


luar biasaialah:

Anak yang berbeda dari anak yang dianggap mempunyai suatu


pertumbuhan dan perkembangan yang normal dalam inteligensi, fisik, emosi dan
ciri-ciri sosialnya, sehingga diperlukan pelayanan pendidikan khusus agar dapat
berkembang sampai pada kemampuan yang maksimal.

Berdasarkan definisi tersebut, sekalipun belum secara menyeluruh


menggambarkan dengan jelas dan cukup luas tentang makna luar biasa, namun
tersirat adanya ketegasan bahwa tidak setiap perbedaan dari rata-rata anak
normal dalam karakteristik atau kemampuan tertentu disebut anak luar biasa.
Anak diklasifikasikan sebagai luar biasa manakala akibat dari perbedaan-
perbedaan dalam karakteristik atau kemampuan tertentu tersebut sedemikian
rupa, sehingga anak memerlukan atau membutuhkan praktik modifikasi
pendidikan atau layanan pendidikan khusus, untuk mengembangkan
kemampuannya secara maksimal.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang


dimaksud dengan anak luar biasa adalah anak-anak yang dalam
perkembangannya mengalami penyimpangan dari rata-rata normal, baik dalam
(1) karakteristik mental, (2) kemampuan pancaindera, (3) karakteristik fisik, (4)
karakteristik emosi, (5) prilaku sosial, (6) karakteris-tik belajar, atau (7)
gabungan dari hal-hal tersebut, yang sedemikian "rupa sehingga memerlukan
layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan kemampuannya secara
maksimal.
PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 8
Kirk clan Gallagher (1986) selanjutnya mengklasifikasikan anak luar biasa
menjadi beberapa kelompok atau tipe, yaitu:

1. Perbedaan intelektual, termasuk anak-anak yang mempunyai intelektual


superior dan yang lambat belajar.
2. Perbedaan komunikasi, termasuk anak-anak yang dengan gangguan belajar,
gangguan bicara, dan gangguan bahasa.
3. Perbedaan pengindraan, termasuk anak-anak dengan gangguan
pendengaran dan penglihatan.
4. Perbedaan tingkah laku, tennasuk anak-anak yang mengalami gangguan
emosi dan gangguan sosial.
5. Kondisi-kondisi tuna ganda dan tuna berat, termasuk anak-anak yang
mengalami kombinasi ketunaan (CP dan tunagrahita, tunarungu dan
tunanetra).
6. Perbedaan fisik, termasuk anak-anak dengan gangguan penginderaan
sehingga mengganggu mobilitas dan vitalitas fisiknya.

Di Indonesia sendiri sampai saat ini anak luar biasa telah diklasifikasikan
menjadi beberapa kelompok, sesuai dengan kepentingan pendidikannya.
Pengelompokkan tersebut ialah: (1)Tunanetra, (2) Tunarungu, (3) Tunagrahita
atau Terbelakang Mental, (4) Tanadaksa, (5) Tunalaras, (6) Tunaganda, (7) Anak
Berbakat, dan (8) Anak Berkesulitan Belajar.

Telah dijelaskan di atas bahwa ketunaan adalah salah satu bagian dari konsep
keluarbiasaan. Artinya, ada bagian lain dari konsep keluarbiasaan yang tidak
termasuk ketunaan, yaitu mereka yang memiliki kemampuan mentalsuperior
(anak berbakat).

Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari pandangan pendidikan,


khususnya pendidikan luar biasa, maka istilah ketunaan mengandung beberapa
ciri, yaitu: (1) ditunjukkan dengan adanya peyimpangan dari rata-rata normal
dalam perkembangannya, (2) penyimpangan yang terjadi bergerak ke arah
ekstrim negatif, (3) menggambarkan suatu kondisi atau kemampuan seseorang
yang cenderung negatif, (4) kondisi yang negatif tersebut dapat berupa
kekurangan, kelemahan, kehilangan, hambatan, kesulitan, atau gangguan dalam
aspek-aspek fisik, penginderaan, mental, emosi, sosial, belajar, atau gabungan

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 9


dari hal-hal tersebut, (5) akibat dari semua itu dapat berupa tidak atau kurang
berfungsinya kemampuan seseorang secara wajar dalam melakukan aktivitas
sehari-hari atau dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya, (6) untuk
mengembangkan potensinya secara maksimal diperlukan suatu layanan
pendidikan secara khusus yang berbeda dengan layanan pendidikan pada
umumnya, dan (7) bentuk layanan pendidikan secara khusus tersebut adalah
perlunya modifikasi-modifikasi layanan pendidikan, serta layanan lain yang
diperlukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing jenis
ketunaan.

C. PENGERTIAN ANAK BERBAKAT PENYANDANG KETUNAAN

Dalam praktek-praktek pendidikan luar biasa di Amerika Serikat, siswa-


siswa berbakat sering ditemukan di antara populasi siswa penyandang ketunaan,
kecuali dalam praktek pendidikan luar biasa bagi penyandang tunagrahita.
Sejauh pengamatan penulis untuk di Indonesia sendiri penelitian-penelitian
terhadap masalah ini belum dilakukan. Clark (1986) menyatakan bahwa dalam
praktek-praktek pendidikan luar biasa untuk kelompok anak-anak tunanetra,
tunarungu, tunadaksa, tunalaras, dan berkesulitan belajar, sangat sering
ditemukan diantara mereka peserta didik yang berbakat. Hal ini berarti sangat
mungkin terjadi bahwa peserta didik yang pada awalnya telah diidentifikasi
sebagai penyandang ketunaan, tetapi ternyata di kemudian hari juga ditemukan
ciri-ciri sebagai anak berbakat.

Mengenai prevalensi anak berbakat yang sekaligus mengalami ketunaan,


beberapa penelitian telah dilakukan. Manser (1980, dalam Clark, 1986)
mendapatkan bahwa 2,3% dari siswa-siswa berkesulitan belajar yang dites
dengan Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA) termasuk kelompok anak
berbakat. U.S. Office of Gifted and Talented mempradugakan tidak kurang dari
300.000 siswa di AS yang berbakat sekaligus mengalami ketunaan. Withmore
(1981, dalam Clark, 1986) menyatakan populasinya bisa lebih, mungkin dapat
mencapai 540.000 siswa. Bahkan ditemukan kasus seorang anak yang semula
diidentifikasi tunagrahita, tetapi ternyata anak berbakat (Kirk, 1986). Sedangkan
Gearheart dan Weishahn (1976, dalam Kirk 1986) mempradugakan jumlah
mereka tidak kurang dari 180.000 siswa. Dengan menggunakan pengertian

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 10


keberbakatan dalam arti luas, Maker (1977, dalam Blackhurst dan Bordine, 1981)
memperkirakan bahwa jumlah anak-anak berbakat diantara para penyandang
ketunaan berkisar antara 3-5% dan merupakan jumlah yang sama dengan anak-
anak berbakat biasa diantara anak-anak pada umumnya. Menurut Gallagher
(Sisk, 1986) berkaitan dengan pendidikan bagi anak-anak berbakat dan anak-
anak yang menyandang ketunaan, ia melontarkan suatu dilema: “Bahwa
kegagalan dalam membantu peserta didik yang menyandang ketunaan dalam
mencapai potensinya merupakan suatu tragedi personal bagi diri dan
keluarganya, sedangkan kegagalan dalam membantu anak berbakat mencapai
potensinya merupakan tragedi sosial”. Bila kita kaitkan dengan anak-anak
berbakat yang menyandang ketunaan, maka kegagalan dalam membantu
mereka mencapai potensinya, tidak saja merupakan masalah besar bagi diri dan
keluarganya telah juga masalah besar bagi masyarakat. Karena itu sudah
saatnya untuk memberi perhatian yang serius pada anak-anak berbakat
penyandang ketunaan ini.

Anak berbakat yang menyandang ketunaan tidak dapat disebut sebagai


tuna ganda (double handicaps) sekalipun mereka mempunyai dua kombinasi
keluarbiasaan Berbeda dengan anak tunagrahita yang juga sekaligus tunanetra,
mereka dapat disebut sebagai tunaganda. Pemilikan keberbakatan bukan
merupakan indikator ketunaan Anak berbakat penyandang ketunaan memiliki
dua keluarbiasaan sekaligus, tetapi keluarbiasaan tersebut bergerak dalam
dimensi yang berlawanan.

Berdasarkan uraian di atas, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan anak
berbakat yang menyandang ketunaan ialah individu-individu yang berdasarkan
pengamatan yang cermat dan teliti oleh orang-orang yang ahli dan terlatih
(profesional) dapat diklasifikasikan sebagai individu yang memiliki kemampuan
dan kecerdasan luar biasa, baik yang sifatnya masih potensial, sehingga
diramalkan mampu mencapai prestasi tinggi, ataupun yang sudah nyata-nyata
menunjukkan prestasi tinggi, dalam satu atau lebih bidang kehidupan manusia,
baik dalam bidang kemampuan intelektual umum, akademik khusus, berpikir
kreatif-produktif, kepemimpinan, seni, dan atau ketrampilan psikomotor, tetapi
dalam perkembangannya mereka mengalami penyimpangan yang sedemikian
rupa dari rata-rata normal dalamsegi fisik, pengindraan, emosi, sosial, atau

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 11


belajarnya, sehingga diperlukan layanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan kemampuannya secara maksimal.

Bentuk layanan pendidikan khusus tersebut disamping perlunya program


pendidikan yang mampu menjamin terjadinya kemudahan akselerasi
kemampuan kognitifnya atau mampu mengakomodasi kebutuhan intelektualnya
sehingga dapat memberikan sumbangan yang berarti padapengembangan
dirinya maupun pada kepentingan masyarakat luas, juga perlunya modifikasi-
modifikasi tertentu serta layanan lain yang sesuai dengan ketunaannya.

Dalam praktek-praktek pendidikan di luar negeri, khususnya di Amerika


serikat, sampai saat ini masih sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada
peserta didik berbakat yang menyandang ketunaan di luar lembaga remediasi
atau rehabilitasi. Anak-anak berbakat yang menyandang ketunaan sebenarnya
memerlukan kebutuhan terhadap program pendidikan khusus yang dapat
meremediasi beberapa hambatan atau kekurangan dalam belajar karena
pengaruh ketunaannya. Bagi mereka diperlukan program pendidikan yang
terpadu dan yang mampu mengakomodasikan keunggulan-keunggulan mereka
melalui pengalaman-pengalaman belajar yang merangsang dan memuaskan
serta mampu mengeliminir atau meminimalkan pengaruh-pengaruh negatif dari
ketunaannya dalammencapai suatu prestasi.

Ketunaan yang dialami oleh anak berbakat secara langsung atau tidak
langsung akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pengaruh tersebut dapat positif dan dapat pula negatif tergantung pada berbagai
faktor, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Sesuai dengan sifat
ketunaan itu sendiri, maka pengaruhnya cenderung negatif yaitu dalam bentuk
penghambatan-penghambatan terhadap upaya-upaya merealisasikan dan
mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Namun demikian, bukan tidak
mungkin dalam batas-batas tertentu ketunaan dapat berpengaruh positif.

Melalui upaya-upaya kompensatoris yang terarah, seorang anak berbakat


yang menyandang ketunaan dapat mencapai prestasi luar biasa dalam
mengembangkan kemampuan-kemampuan khusus mereka, karena secara sadar
ataupun tidak sadar termotivasi oleh ketunaannya. Melalui layanan pendidikan
dan bimbingan secara tepat, diharapkan ketunaan tersebut tidak dijadikan

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 12


sebagai hambatan, tetapi justru sebagai tantangan dan motivasi tersendiri dalam
upaya mewujudkan keberbakatannya.

Sejarah membuktikan bahwa banyak orang-orang berbakat yang


menyandang ketunaan, pada akhirnya menjadi orang terkenal dan berpengaruh
kuat dalam bidang kehidupan manusia, serta memberikan sumbangan yang
besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa
diantaranya ialah: Thomas A. Edison, AlbenEinstein, Aldous Huxley, Hellen
Keller, Elizabeth Barret Browning, Ludwig von Beethoven, Itzhak Perlman, Ray
Charles, Stephen Hopkin, dan masih banyak lagi. Suatu penelitian mutakhir
tentang pemilikan keberbakatan diantara para penyandang ketunaan telah
ditemukan di Jepang. Dilaporkan oleh Morishima (1974, dalam Blackhurst dan
Berdine, 1981) bahwa JoshihikoYamamoto, seorang pria Jepang yang dilaporkan
memiliki IQ 40 ternyata seorang yang berbakat (gifted) dan mampu
memenangkan lomba senilukis internasional.

Ketunaan dapat berakibat sangat kompleks terhadap perkembangan


anak, sehingga untuk mengatasinya melalui pendidikan relatif lebih sulit
dibandingkan dengan menangani anak berbakat pada umumnya. Karena itu,
ketika ditemukan ada peserta didik yang berbakat tetapi menyandang ketunaan,
maka yang tergambarkan adalah kesulitan-kesulitan dalam melayani mereka
sesuai dengan ketunaannya, dan bukan kemudahan-kemudahannya sebagai
akibat dari potensinya yang unggul atau keberbakatannya. Yang terjadi
kemudian ialah membiarkan atau bahkan mengarahkan peserta didik tersebut
bergelut dengan ketunaannya dan mengabaikan keunggulan potensinya. Hal ini
sejalan dengan sinyalemen Clark (1986) yang menyatakan bahwa dalam
pelaksanaan program pendidikan untuk anak berbakat, anak-anak berbakat yang
menyandang ketunaan, sering ditolak atau tidak diterima untuk mengikuti
program tersebut.

Penolakan seperti di atas, sangat mungkin terjadi dimanapun juga,


dikarenakan sampai saat ini ada semacam dikotomi dalam praktek-praktek
pendidikan. Dikotomi tersebut adalahlayanan pendidikan bagi anak yang tuna
dan yang berbakat, sekalipun keduanya termasuk dalam kerangka pendidikan

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 13


luar biasa. Dikotomi muncul dikarenakan masing-masing memiliki fokus perhatian
yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya.

Seringnya terjadi penolakan anak berbakat yang menyandang ketunaan


untuk mengikuti program pendidikan anak berbakat, mengisyaratkan bahwa ada
kecenderungan anak-anak tersebut tetap berada di sekolah-sekolah untuk anak
tuna. Sesuai wawasan pengetahuan dan ketrampilan guru dengan fokus
perhatian pada ketunaannya, maka dapat diramalkan bahwa dalam
pendidikannya anak tersebut akan kurang atau bahkan tidak mendapat
bimbingan dan kesempatan secara luas untuk mewujudkan dan
mengembangkan keberbakatannya. Sejalan dengan iniKarnes
(Clark,1986)mempercayai bahwa guru-guru pendidikan khusus (anak tuna) lebih
memfokuskan pada kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan mereka,
dikarenakan latihan-latihan mereka memang seperti itu, disamping karena
mereka sangat sedikit atau bahkan tidak pernah mendapat pengetahuan tentang
pendidikan anak berbakat.

Dalam tahun-tahun mendatang, khususnya di negara kita, kondisi


semacam itu diharapkan tidak terjadi. Karena seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuandan didukung dengan ditetapkannya sistem perundang-undangan
yang mengatur pendidikan kita secara nasional (UU No. 211989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional), serta pola penyiapan tenaga kependidikan. terutama
tenaga kependidikan luar biasa, masalah-masalah tersebut sudah mulai
diantisipasi. Hal tersebut terlihat dengan dibukanya program PGPLB di beberapa
LPTK dan universitas tertentu, yang dalam pelaksanaannya telah menggunakan
kurikulum yang cukup fleksibel, dengan materi keberbakatan sebagai
pengetahuan pilihan tambahan. Bahkan ada di antara LPTK yang membuka
program PGPLB tersebut telah menetapkan materi keberbakatan sebagai mata
kuliah wajib.

D. KLASIFIKASI ANAK BERBAKAT YANG MENYANDANG


KETUNAAN

Anak berbakat yang menyandang ketunaan dapat diklasifikasikan menjadi


bermacam-macam, tergantung dari mana kita melihatnya. Apakah berdasarkan

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 14


pada konsep keberbakatan, konsep ketunaan, atau gabungan diantara
keduanya.

Ada dua jenis ketunaan yang menurut pemahaman kita tidak mungkin
dialami oleh anak berbakat. Kedua hal tersebut ialah anak berbakat yang
menyandang tunagrahita dan anak berbakat yang menyandang tunaganda
(selama pengertian tunaganda masih terbatas pada tunagrahita plus).

Untuk lebih memahami masing-masing kelompok anak berbakat yang


meyandang ketunaan tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Anak Berbakat Penyandang Tunanetra

Kriteria utama dalam menentukan apakah seseorang tunanetra atau tidak,


pada umumnya didasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan yang
dimilikinya. Ketajaman penglihatan biasanya diukur melalui tes dengan
menggunakan kartu Snellen. Seseorang dikatakan tunanetra bila kedua belah
matanya memiliki tingkat ketajaman penglihatan (visus) lebih dari 6/21.
Artinya berdasar tes anak tersebut hanya mampu membaca huruf tertentu
pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
Jadi sekalipun anak tersebut masih memiliki kemampuan penglihatan, namun
karena sangat terbatas dan kurang dapat dimanfaatkan dalam kepentingan
hidup sehari-hari, terutama dalam belajar, maka anak tersebut diklasifikasikan
sebagai tunanetra.

Berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya, anak tunanetra


dikelompokkan menjadi dua, yaitu; (a) Buta, bila anak sudah tidak mampu
menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya: 0), dan (b) Low vision, yaitu
mereka yang memiliki ketajaman penglihatan (visus) lebih dari 6/21.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan anak berbakat


penyandang tunanetra ialah anak-anak berbakat yang memiliki ketajaman
penglihatan (visus) lebih dari 6/21. Dalam praktek pendidikan di lapangan
kemungkinan akan ditemukan dua kelompok anak berbakat penyandang
tunanetra, yaitu anak berbakat yang lowVision dan anak berbakat yang buta.

2. Anak Berbakat Penyandang Tunarungu

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 15


Istilah tunarungu berarti kekurangan pendengaran. Dalam tingkatan
tertentu kekurangan pendengaran lebih mirip dengan kehilangan.
Ketunarunguan dapat terjadi karena kerusakan, gangguan, atau tidak
berfungsinya satu atau lebih alat pendengaran, sehingga getaran suara atau
bunyi yang ditangkap oleh telinga tidak dapat diteruskan dan diubah menjadi
kesan suara atau tanggapan akustik.
Kekurangan atau kehilangan pendengaran dapat mengakibatkan
hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Berdasarkan taraf atau tingkat kehilangan pendengaran, yang
dinyatakan dengan desibel (dB),penyandang tunarungu diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu tuli (deaf) dan lemah/kurang pendengaran
(hardofhearing).Seseorang dikatakan tuli apabila mereka kehilangan
kemampuan mendengar 70 dB atau lebih, sehinggamengalami kesulitan
untuk dapat mengerti atau memahami bicara orang lain melalui telinganya,
walaupun menggunakan atau tidak menggunakan alat bantu dengar.
Sedangkan termasuk lemah pendengaran ialah mereka yang kehilangan
kemampuan pendengaran antara 35-69 dB, sehingga mereka mengalami
kesulitan untuk mendengar, tetapi tidak terhalang untuk mengerti atau
mencoba memahami bicara orang lain melalui telinganya, dengan atau tanpa
menggunakan alat bantu dengar (Mores, 1978).
Secara pedagogis anak tuli selalu memerlukan layanan pendidikan
khusus, sedangkan anak dengan lemah/kurang pendengaran mungkin dapat
memerlukan atau tidak memerlukan layanan pendidikan khusus
(Balitbangdikbud, 1982).
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan anak berbakat
penyandang tunarungu adalah anak-anak berbakat yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan pendengaran sehingga mengalami
kesulitan atau ketidakmampuan dalam memahami bicara orang lain melalaui
telinganya, dengan atau tanpa menggunakan alat bantu dengar. Dalam
praktek pendidikan di lapangan kemungkinan akan ditemukan dua jenis anak
berbakat penyandang tunarungu, yaitu anak berbakat yang tuli dan anak
berbakat yang menyandang lemah! kurang pendengaran.

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 16


3. Anak Berbakat Penyandang Tunadaksa
Pengertian tunadaksa merujuk pada adanya penyimpangan dalam hal
gerak atau ketimpangan yang mencolok sehingga kehilangan fungsi normal
dalam melakukan aktivitasnya, atau dalam memanfaatkan anggota tubuhnya
sebagaimana mestinya. Tunadaksa juga sering disebut cacat ortopedi,
penyebabnya karena poliomyelitis, kecelakaan, keturunan, bawaan sejak
lahir, kelayuhan otot, peradangan otak atau selaput otak, atau kelayuan
motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf atau otak.
Anak tunadaksa dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: (1)
CerebralPalsy (CP), yaitu mereka yang mengalami gangguan gerak karena
kerusakan pada pusat syaraf, (2) Poliomyelitis, mereka yang mengalami
gangguan gerak karena kerusakan pada syaraf tepi, dan (3) MuscularDistropi,
mereka yang mengalami gangguan gerak karena kerusakan pada otot dan
cacat yang lainnya. Pada umumnya penyandang CP disebut sebagai
tunadaksa kelompok Dl, sedangkan penyandang poliomyelitis,
musculardistropi, dan yang lainnya disebut tunadaksa kelompok D.
Dilihat dari segi kebutuhan dan kemampuan dalam mengikuti
pendidikan, anak tunadaksa dapat dibedakan menjadi dua. Pertama,
Tunadaksa Murni (OrthopedicallyHandicappedChildren) yaitu mereka yang
mengalami gangguan gerak karena kecacatan pada otot, tulang, atau
persendian, tetapi tidak disertai dengan gangguan dalam fungsi kecerdasan.
Termasuk kelompok ini ialah anak poliomnyelitis, musculardistropi, dan cacat
ortopedi lainnya. Ke dua, Tunadaksa Kombinasi
(OrthopedicallyExceptionalChildren) yaitu mereka yang disamping mengalami
gangguan gerak karena kecacatan pada otot, tulang, atau persendian, juga
disertai dengan gangguan dalam fungsi kecerdasan.Misalnya pada anak CP,
walaupun tidak semuanya (Sugiarmjn, 1995).
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud anak berbakat penyandang
tunadaksa adalah anak-anak berbakat yang dalam perkembangannya
mengalami gangguan dalam fungsi gerak karena kecacatan dalam otot,
tulang, atau persendian. sehingga menghambat aktivitasnya sehari-hari atau
mengalami hambatan dalam memanfaatkan anggota tubuhnya secara wajar.
Dalam praktek pendidikan di lapangan kemungkinan dapat ditemukan tiga
jenis anak berbakat penyandang tunadaksa, yaitu: (1)Anak berbakat
PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 17
penyandang poliomyelitis, (2) Anak berbakat penyandang CerebralPalsy, dan
(3) Anak berbakat penyandang musculardistropi dan cacatortopedi lainnya.
Pada tulisan ini lebih memfokuskan pada anak berbakat penyandang
Cerebral Palsy.

4. Anak Berbakat Penyandang Tunalaras


Dalam Lokakarya Pendidikan Luar Biasa seAsean ke II di Jakarta
tahun 1982 disepakati bahwa pengertian tunalaras merujuk pada terjadinya
penyimpangan-penyimpangan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma-
norma sosial yang berlaku di lingkungannya, yang akibatnya dapat
mengganggu kemajuan prestasi akademik, upaya-upaya pembelajaran di
kelas, dan hubungan interpersonal (Balitbangdikbud, 1982).
Di Indonesia istilah tunalaras digunakan untuk menyebut anak-anak
yang mengalami gangguan/ penyimpangan/ masalah dalam tingkah laku,
gangguan sosial, asosial, anti sosial, gangguan emosi, salah suai, nakal,
gangguan penyesuaian diri, dan sejenisnya. Menurut Kauffman (1985, dalam
Sunardi 1995) di Amerikaterdapattiga istilah resmi yang dipakai untuk
menyebut anak tunalaras, yaitu penyimpangan/gangguan tingkah laku
(behavior disorder/ impairment disability), gangguan emosi
(emotionaldisturbance/conflict), dan masalah penyesuaian sosial
(socialmaladjusment).
Dalam pendidikan luar bisa, ditinjau dari faktor penyebabnya
ketunalarasan diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, tunalaras sosial
(Sociallymaladjusted) yang dicirikan dengan ketidakmampuan atau
kekurangmampuan dalam menyesuaikan diri, yang dimanifestasikan dalam
bentuk penentangan, penolakan, permusuhan, dan pelanggaran-pelanggaran
terhadap norma-norma yang berlaku di lingkungannya yang diakibatkan oleh
ketidakmatangan atau terhambatnya perkembangan sosial. Akibat dari
perilakunya cenderung merugikan lingkungannya atau selalu menimbulkan
konflik dengan orang lain. Ketidakmatangan atau terhambatnya
perkembangan sosial ini dapat disebabkan karena secara sosial anak tidak
pernah dididik (terlantar),pendidikannya terhenti pada fase tertentu (terhenti),
dididik tetapi justru pada perilaku-perilaku yang secara sosial bersifat negatif

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 18


(lcrkondnsikan). atau karena keteguhan anak dalam memegang norma-norma
yang berlaku dalam kelompoknya ( sub budayanya).
Tunalaras sosial umumnya dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (a)
perilaku agresif yang tidak mampu menyesuaikan diri sama sekali terhadap
norma-norma dilingkungannya, (b) mampu menyesuaikan diri tetapi terbatas
pada lingkungan yang terbatas (kelompok gangnya), dan (c) mampu
menyesuaikan diri, tetapi kalau kebutuhannya atau keinginannya terhalangi
kemudian muncul perilaku-perilaku yang primitif. Ke dua, tunalaras emosi
(emotionaldisturbance)ialah terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku
dikarenakan adanya gangguan dalam perkembangan emosinya. Pada
kelompok ini, perkembangan sosialnya baik, tetapi karena emosinya
terganggu sehingga fungsi sosialnya menjadi terhambat.
Dalam Public Law 94:142 (Apter, 1992) ditegaskan bahwa tunalaras
emosi adalah suatu kondisi yang ditunjukkan dengan satu atau lebih ciri-ciri
tertentu, yang muncul dalam suatu kurun waktu yang lama, dan disertai
dengan tingkat/derajat yang tinggi, serta berpengaruh terhadap prestasi
belajarnya. Ciri-ciri tersebut adalah: (1) ketidakmampuan belajar yang tidak
bisa dijelaskan dari faktor intelektual, sensori, atau kesehatan, (2)
ketidakmampuan dalam membangun atau memelihara hubungan
interpersonal yang memuaskan dengan kelompok atau gurunya, (3) dalam
kondisi normal mereka tidak mampu menunjukkan perilaku atau perasaanya
secara tepat, (4) diliputi perasaan tidak bahagia atau depresi, dan (5)
cenderung mengembangkan simtom-simtom fisik atau takut dalam
menghadapi orang atau masalah-masalah sekolah. Selanjutnya ditegaskan
pula bahwa dalam terminologi ini tidak termasuk anak-anak tunalaras sosial,
kecuali ketunalarasannya tersebut diakibatkan oleh adanya gangguan emosi.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud anak berbakat
penyandang tunalarasialah anak-anak berbakat yang dalam
perkembangannya mengalami gangguan atau hambatan dalam segi sosial
dan atau emosinya, sehingga kurang atau tidak mampu menyesuaikan diri
secara wajar terhadap norma-norma yangberlaku di lingkungannya.
Manifestasi dari adanya gangguan atau hambatan dalam perkembangan
sosial dan atau emosinya tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap-sikap
penentangan, penolakan, atau permusuhan terhadap norma-norma yang
PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 19
berlaku di lingkungannya. Wujud perilaku yang ditampakkan adalah adanya
penyimpangan-penyimpangan tingkah laku yang berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup lama dan dengan frekuensi tinggi. yang secara sosial tidak
diterima atau tidak dibenarkan. Akibat dari tingkah lakunya tidak saja dapat
merugikan dirinya sendiri tetapi juga lingkungannya. Artinya di samping
cenderung menimbulkan konflik dengan lingkungannya, juga menghambat
kemajuan belajarnya.
Dalam praktek pendidikan di lapangan kemungkinan ditemukan dua
kelompok anak berbakat penyandang tunalaras, yaitu anak berbakat
penyandang tunalaras sosial dan anak berbakat penyandang tunalaras
emosi.

5. Anak Berbakat Penyandang Kesulitan Belajar


Pengertian kesulitan belajar dalam pendidikan luar biasa masih sering
dipahami secara salah. Kesalahan tersebut dikarenakanbervariasinya bentuk
dan faktor penyebab kesulitan belajar. Dalam istilah umum Sering dijumpai
istilah-istilah problem belajar (learning problem), kesulitan belajar
(learningdifficulties), ketidakmampuan belajar (learning disability) dan
ketidakmampuan belajar khusus (specificlearning disability). Masing-masing
istilah tersebut memiliki pengertian dan cakupan yang berbeda-beda.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa istilah problem belajar dan
kesulitan belajar tidak memiliki perbedaan yang prinsip dan mencakup
pengertian istilah ketidakmampuan belajar dan ketidakmampuan belajar
khusus. Mereka yang termasuk dalam kategori ketidakmampuan belajar atau
ketidakmampuan belajar khusus hanyalah bagian dari pengertian istilah
problem belajar atau kesulitan belajar. Dalam beberapa kajian pengertian
ketidakmampuan belajar sering disamakan dengan ketidakmampuan belajar
khusus, namun dalam beberapa kajian yang lain sering dibedakan.
Jelasnya, yang dimaksud kesulitan belajar dalam kajian pendidikan
luar biasa ialah mereka yang termasuk dalam kelompok anak yang
mengalami ketidakmampuan belajar atau ketidakmampuan belajar khusus.
Pada kelompok ini, mereka mengalami kesulitan belajar karena sebab-sebab
khusus, yaitu yang disebabkan oleh proses psikologis dasar tertentu yang
berpusat di otak. Dalam dunia pendidikan luar biasa di Indonesia, kajian
PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 20
tentang anak-anak berkesulitan belajar seperti yang dimaksudkan masih
tergolong baru dan masih dalam rintisan, karena itu masih belum berkembang
secara luas seperti penyandang ketunaan yang lainnya.
Jadi dalam konteks pendidikan luar biasa, yang dimaksud dengan
anak-anakberkesulitan belajar adalah mereka yang dalam perkembangannya
mengalami gangguan atau hambatan dalam satu atau lebih proses psikologis
dasar yang meliputi pengertian atau penggunaan bahasa, berbicara atau
menulis, yang ditunjukkan atau dimanifestasikan dengan ketidaksepurnaan
dalam kemampuan mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja, atau perhitungan matematika. Kondisi ini termasuk gangguan
persepsi, luka otak, disfungsi minimal otak, dyslexia, aphasia, dan
sebagainya. Tidak termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang
mengalami kesulitan belajar karena gangguan pendengaran, gangguan
penglihatan, gangguan gerak (motorik), tunagrahita, gangguan emosi,
gangguan sosial, faktor kebudayaan, dan faktor ekonomi (Kirk dan Gallagher,
1986; Hallahan dan Kauffman, 1985; Myers, 1986). Menurut pengertian yang
paling mutakhir, manifestasi dari adanya gangguan tersebut juga dapat
berupa kesulitan atau gangguan yang nyata dalam belajar ketrampilan sosial
dan dapat muncul bersamaan dengan kesulitan belajar yang bersumber pada
gangguan pendengaran, penglihatan, gangguan emosi, ketunagrahitaan, dan
sebagainya (James F. Kavanagh dan Tom J .Trush, Jr., 1988). Dalam
konteks pendidikan umum kelompok ini lebih sering disebut dengan istilah
kesulitan-kesulitan belajar khusus (specificlearningdisabilities).
Merujuk pada pernyataan di atas, terdapat ketegasan bahwa kesulitan
belajar yang dimaksud adalah kesulitan-kesulitan belajar yang disebabkan
karena gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar. Istilah lain
dari gangguan dalam proses psikologi dasar yang sering digunakan adalah
gangguan dalam proses neurologis atau gangguan dalam proses-proses
yang bersumber pada sistem syaraf pusat di otak, dan bukan bersumber
pada ketunaan/gangguan dalam segi fisik, inteligensi, pengindraan, emosi,
sosial, faktor ekonomi maupun budaya, walaupun munculnya dapat secara
bersamaan. Penyandang kesulitan belajar ini pada umumnya memiliki
kemampuan inteligensi normal atau di atas normal dan dicirikan dengan
adanya kesenjangan (descrepancy) yang berarti antara kemampuan
PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 21
(potentialability) dengan prestasi akademiknya. Anak-anak berbakat yang
berprestasi kurang (underachiever) yang bukan disebabkan karena gangguan
dalam fisik, penginderaan, sosial, emosi, atau faktor ekonomi dan budaya,
mungkin termasuk dalam klasifikasi anak berbakat penyandang kesulitan
belajar ini.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan anak berbakat
penyandang kesulitan belajar adalah anak-anak berbakat yang dalam
perkembangannya mengalami gangguan atau hambatan dalam satu atau
lebih proses psikologis dasar (neurologis atau sistem syaraf pusat).
Gangguan atau hambatan tersebut dapat meliputi gangguan dalam
pengertian atau bahasa, membaca atau menulis. Manifestasinya dapat
berupa ketidaksempurnaan dalam mendengar, berpikir, bicara, membaca,
menulis, mengeja, berhitung (matematika), atau ketrampilan sosial. Dalam
praktek pendidikan di lapangan ada kemungkinan ditemukan bermacam-
macam anak berbakat penyandang kesulitan belajar, di antaranya anak
berbakatpenyandang kesulitan belajar menulis, anak berbakat penyandang
kesulitan belajar membaca. anak berbakat penyandang kesulitan belajar
berhitung, dan anak berbakat penyandang kesulitan belajar ketrampilan
sosial.

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 22


BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Anak berbakat yang menyandang ketunaan adalah mereka yang telah


diidentifikasi oleh orang yang ahli dan terlatih memiliki cirri-ciri universal khusus
dan luar biasa (unggul) yang dibawa sejak lahir ataupun pengaruh interaksi
lingkungan yang mumingkinkan mereka mampu berprestasi tinggi dalam satu
atau lebih bidang kehidupan, baik yang secara nyat telah terwujud maupun yang
belum terwujud (potensi), yang meliputi bidang kemampuan intelelektual umum
akademik khusus, kreativitas, kepemimpinan, seni, dan atau psikomotor, tetapi
dalam perkembangannya juga mengalami penyimpangan yang sedemikian rupa
dari rata- rata normal dalam karakteristik fisik, penginderaan, emosi, sosial, atau
belajarnya, sehingga diperlukan layanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan kemampuan secara optimal.

B. SARAN
Kami dari penyusun sangat mmenyadari makalah ini terdapat banyak
kesaahan dalam penyusunannya, oleh karena itu kami dari penyusun sangat
membutuhkan saran dan kritik untuk menyempurnakan makalh ini.

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 23


DAFTAR PUSTAKA
Drs. Zaenal Alimin M.Ed., dan Drs. Sunardi.(1996). Pendidikan Anak Berbakat yang
Menyandang Ketunaan.Jakarta: Depdikbud

PLB/FIP/UNM | PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT 24

Anda mungkin juga menyukai