Anda di halaman 1dari 6

.

      Sifat Ilmu Pendidikan

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Sedangkan
secara luas, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan hidup dan sepanjang hidup.[1] Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan yaitu
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksutnya menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Pendidikan menurut UU No.20 th 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak yang mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Jadi pendidikan adalah usaha yang sadar, teratur dan sisitematis di dalam
memberi bimbingan atau bantuan kepada orang lain yang sedang berproses menuju
kedewasaan.

Ilmu pendidikan adalah ilmu yang membahas tentang masalah-masalah yang bersifat ilmu,
bersifat teori, ataupun bersifat praktis. Ilmu pendidikan juga berbicara tentang masalah-
masalah yang menyangkut segi pelaksanaan baik menyangkut teori, pedoman-pedoman
maupun prinsip-prinsip tentang pelaksanaan pendidikan.[2]

Ilmu pendidikan sebagai suatu ilmu juga memiliki beberapa sifat diantaranya sebagai berikut:

1.             Ilmu Pendidikan Bersifat Empiris

Ilmu pendidikan bersifat empiris artinya ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada
observasi kenyataan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif. Atau dengan kata lain
berdasarkan sumber yang dapat dilihat langsung secara materi atau wujud fisik. Empiris
dalam sejarah yaitu sejarah yang memiliki sumber sejarah yang merupakan kenyataan dalam
ilmu sejarah.

Misalnya kalau kita bercerita tentang terjadinya perang, apakah perang itu benar-benar terjadi
atau tidak, kita bisa mencari tahu berdasarkan bukti-bukti atau peninggalan yang
ditemukannya, masih adanya saksi yang masih hidup, adanya laporan tertulis, adanya tempat
yang dijadikan pertempuran dan bukti-bukti lainnya. Dengan demikian cerita sejarah
merupakan cerita yang memang empiris, artinya benar-benar tejadi karena berdasarkan bukti
yang ditemukan. Kalau cerita tidak berdasarkan bukti, bukan sejarah namanya, tetapi
dongeng yang bersifat fiktif. [3]

Sementara artinya kebenaran ilmu pengetahuan itu tidak mutlak seperti halnya kebenaran
dalam agama. Kemutlakan kebenaran agama misalkan dikatakan bahwa Tuhan itu ada dan
memiliki sifat yang berbeda dengan makhluknya. Ungkapan ini tidak dapat dibantah harus
diyakini atau diimani oleh manusia.

2.      Ilmu Pendidikan Bersifat Normatif

Ilmu pendidikan itu selalu berhubungan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan
mengenai siapakah manusia  biasanya termasuk bidang filsafat yaitu filsafat antropologi.
Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktek-
raktek pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung
tinggi oeh seorang pendidik yang melaksanakan pendidikan. Nilai yang dijunjung tinggi ini
dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktek dan
pengalaman mendidik, tetapi secara normatif bersumber dari norma masyarakat, juga dari
keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang.

Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam pandangan manusia seseorang atau sesuatu bangsa
itulah yang dijadikan norma atau kriteria untuk mendidik. Dan norma ini biasanya tergambar
dalam rumusan tujuan pendidikannya. Dengan demikian, ilmu pendidikan diarahkan kepada
perbuatan mendidik yang bertujuan. Dan tujuan itu di tentukan oleh nilai yang dijunjung
tinggi oleh seseorang. Sedangkan nilai itu sendiri merupakan ukuran yang bersifat normatif,
maka dapat kita tegaskan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu yang bersifat normatif.[4]

3.      Ilmu Pendidikan Bersifat Historisitas

Ilmu pendidikan bersifat historis karena menguraikan teori sistem sepanjang zaman dan
kebudayaan serta makna filosofis yang berpengaruh pada zaman tertentu.

Berikut merupakan sedikit contoh historis sebagai ilmu pendidikan yakni pada masa
Rasulullah SAW:

v Pendidikan islam di Makkah

Pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad di angkat menjadi Rasul Allah di Makkah
dan beliau sendiri sebagai gurunya. Nabi Muhammad menerima wahyu yan petama di Gua
Hiro di Makkah pada tahun 610 M, dalam wahyu itu termaktub ayat al-Qur’an yang artinya:
“Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menjadikan (semesta alam).
Dia menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang
mengajarkan dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum di ketahuinya.[5]

Dalam masa pembinaan pendidikan agama islam di Makkah, Nabi Muhammad juga
mengajarkan al-Qur’an karena al-Qur’an merupakan inti sari dan sumber pokok ajaran Islam.
Disamping itu, Nabi Muhammad SAW mengajarkan tauhid kepada umatnya.

Intinya pendidikan dan pengajaran yang diberikan Nabi Muhammad selama di Makkah ialah
pendidikan keagamaan dan akhlak serta menganjurkan kpada manusia, supaya
mempergunakan akal pikirannya memperhatikan kejadian manusia, hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan alam semesta sesuai anjuran pendidikan ‘aqliyah dan ilmiyah.

Pembinaan pendidikan Islam pada masa Makkah meliputi:

a.    Pendidikan keagamaan

b.    Pendidikan ‘aqliyah dan ilmiyah

c.    Pendidikan akhlak dan budi pekerti

d.   Pendidikan jasmani atau kesehatan.[6]

Sedangkan pembinaan dan pengajaran pendidikan Nabi di Madinah adalah sebagai berikut:

a.    Pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju satu kesatuan sosial dan politik.

b.    Pendidikan sosial politik dan kewarganegaraan

c.    Pendidikan Anak.[7]

4.      Ilmu Pendidikan Bersifat Teoritis-Praktis

Karena pada umumnya ilmu mendidik tidak hanya mencari pengetahuan deskriptif tentang
objek pendidikan, melainkan ingin juga mengetahui bagaimana sebaiknya untuk berfaedah
terhadap objek didiknya. Jadi dilihat dari maksud dan tujuannya, ilmu mendidik boleh disebut
“ilmu yang praktis”, sebab ditujukan kepada praktik dan perbuatan-perbuatan yang
mempengaruhi anak didiknya. Jadi, dari praktik-praktik pendidikan disusun pemikiran-
pemikiran secara teoritis. Pemikiran teoritis ini disusun dalam satu sistem pendidikan yang
biasanya disebut ilmu mendidik teoritis. Ilmu mendidik teoritis ini disebut juga ilmu
mendidik sistematis. Jadi sebenarnya kedua istilah itu mempunyai arti yang sama, yaitu
teoritis sama saja dengan sistematis.

Dalam rangka membicarakan ilmu mendidik teoritis, perlu di  perhatikan sejarah pendidikan.
Dengan mempelajari sejarah pendidikan ituterlihat telah tersusun pandangan-pandangan
teoritis yag dapat dipakai sebagai peringatan untuk menyusun teori pendidikan selanjutnya.
Dapat di simpulkan bahwa mendidik sistematis mendahului ilmu mendidik historis. Akan
tetapi ilmu mendidik historis memberikan bantuan dan memperkaya ilmu mendidik
sistematis. Kedua-duanya membantu para pendidik agar berhati-hati dalam praktik-praktik
pendidikan.[8]

5.      Ilmu Pendidikan yang Berdimensi Rohani/Lahiriyah dan Batiniyah

Ilmu pendidikan bersifat rohaniyah karena selalu memandang peserta didik sebagai makhluk
yang bersusila dan ingin menjadikannya sebagai makhluk yang beradab. Selain itu juga
situasi pendidikan yang berdasar atas tujuan manusia tidak membiarkan peserta didik kepada
keadaan alamnya.

Sedangkan ilmu pendidikan yang bersifat batiniyah yakni ilmu pendidikan yang dalam hal ini
lebih tertuju pada pemahaman batin atau kondisi jiwa seseorang.

B.       Objek-objek Ilmu Pendidikan

Secara umum yang menjadi objek atau sasaran ilmu pendidikan adalah seluruh yang menjadi
sasaran dalam aktivitas pendidikan atau praktek pendidikan yang meliputi kegiatan mendidik,
mengajar, melatih peserta didik agar berkembang potensinya serta menjadi manusia dewasa
yang bertanggung jawab.

Peserta didik sebagai manusia menjadi obyek ilmu pendidikan yang bersifat material
sedangkan usaha untuk membawa peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan atau
kedewasaan disebut obyek pendidikan yang bersifat formal. Upaya mendidik, membimbing
dan melatih siswa menuju perbaikan dan tanggungjawab sebagaimana dalam praktek
pendidikan adalah menyangkut persoalan-persoalan pendidikan.

Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek. Objek ilmu pengetahuan dapat dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu: Objek material dan Objek formal.[9]

1.    Objek Material
Objek material adalah bahan atau masalah yang menjadi sasaran pembicaraan, penelitian atau
penelaahan dari ilmu pengetahuan.

Sedangkan menurut Surajiyo dkk. objek material dimaknai dengan suatu bahan yang menjadi
tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan. Objek material juga berarti hal yang
diselidiki, dipandang atau disorot oleh suatu disiplin ilmu. Objek material mencakup apa saja,
baik yang konkret maupun yang abstrak, yang materil maupun yang non-materil. Bisa pula
berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dan sebagainya.

Istilah objek material sering juga disebut pokok persoalan (subject matter). Pokok persoalan
ini dibedakan atas dua arti, yaitu:

a.       Dimaksudkan sebagai bidang khusus dari penyelidikan faktual.

Misalnya: Penyelidikan tentang atom termasuk bidang fisika, penyelidikan


tentang chlorophyl termasuk penelitian bidang botani atau bio-kimia dan sebagainya.

b.      Dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pertanyaan pokok yang saling berhubungan.

Misalnya: Anatomi dan fisiologi keduanya berkaitan dengan struktur tubuh. Anatomi
mempelajari strukturnya sedangkan fisiologi mempelajari fungsinya. Kedua ilmu tersebut
dapat dikatakan memiliki pokok persoalan yang sama, namun juga dikatakan berbeda.
Perbedaaan ini dapat diketahui apabila dikaitkan dengan corak-corak pertanyaan yang
diajukan dan aspek-aspek yang diselidiki dari tubuh tersebut. Anatomi mempelajari tubuh
dalam aspeknya yang statis, sedangkan fisiologi dalam aspeknya yang dinamis.

Sasaran dari objek material ini adalah peserta didik, yang memiliki ciri khas yang perlu di
pahami oleh pendidik:

Ø Individu yang mempunyai potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan
yang unik.

Ø Individu yang sedang berkembang, karena itu individu tersebut membutuhkan bimbingan
individual dan perlakuan manusiawi.

Ø Individu yang mempunyai kemampuan mandiri.[10]

2.    Objek Formal

Objek formal adalah bidang yan menjadi keseluruhan ruang lingkup garapan riset pendidikan.
Seperti upaya untuk mendidik, membimbing, dan melatih siswa menuju perbaikan dan
berkaitan dengan persoalan pendidikan. Objek formal juga berarti sudut tinjauan dari
penelitian atau pembicaraan yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu ilmu pengetahuan
atau bisa dikatakan sudut pandang darimana objek material itu disorot. Jika sudut pandang itu
logis, konsisten dan efisien maka dihasilkanlah sistem filsafat yang lebih kepada pembahasan
secara mendalam.

Objek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan ilmu, tetapi pada saat yang sama
membedakannya dari bidang-bidang lain. Suatu objek material dapat ditinjau dari berbagai
sudut pandang sehingga menghasilkan ilmu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, akan
tergambar lingkup suatu pengetahuan mengenai sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan
kata lain, tujuan pengetahuan sudah ditentukan.

Misalnya, Objek materialnya adalah “manusia”, kemudian, manusia ini ditinjau dari sudut
pandang yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari manusia,
diantaranya: psikologi, antropologi, sosiologi dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai