Anda di halaman 1dari 26

A.

   Pengertian Filsafat Secara Umum


Kata filsafat atau falsafat, berasal dar bahasa Yunani. Kalimat ini berasal dari kata
Philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari kata philos yang berarti cinta,
senang, suka, dan kata sophia berarti pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan (Ali, 1986 :
7). Hasan Shadily (1984 : 9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya adalah cinta
akan kebenaran. Dengan demikian dapat ditarik suatu pengertian bahwa filsafat adalah
cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan.
Jadi orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan,
ahli hikmah dan bijaksana.
Orang yang ahli dalam berfilsafat disebut philosopher (Inggris), dan orang arab
menyebutnya Failasuf, kemudian dalam bahasa Indonesia manjadi filosof. Pemikiran secara
filsafat sering diistilakan dengan pemikiran filosofis.
Dalam pengertian yang lebih luas Harol Titus, mengemukakan pengertian filsafat
sebagai berikut:
1.        Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara kritis.
2.       Filsafat ialah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
3.       Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.

4.      
5

 
filsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti konsep.
5.       Filsafat oalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian
manusia dan dicarikan jawabannya oleh ahli filsafat (Jalaluddin dan Said, 1994: 9).  
Dalam kaitan itu Muhammad Noor Syam, menjelaskan bahwa filsafat adalah suatu
lapangan pemikiran dan penyelidikan manusia yang amat luas. Filsafat menjangkau semua
persoalan dalam daya kemampuan pikiran manusia, filsafat mencoba mengerti,
menganalisa, menilai dan menyimpulkkan semua persoalan-persoalan secara mendalam.
Meskipun kesimpulan-kesimpulan filsafat bersifat hakiki namun masih relatif dan
subyektif. Kedua sifat ini tak mungkin dapat dihindarkan karena adanya sifat-sifat alamiah
(kodrat) pada subyek yang melakukan aktivitas filsafat itu sendiri, yaitu manusia sebagai
subyek selalu dalam proses perkembangan baik jasmani dan rohani terutama pada subyek
yang selalu cenderung memiliki watak subyektivitas, akan melahirkan kesimpulan-
kesimpulan yang subyektivitas pula. Faktor-faktor inilah yang melahirkan aliran-aliran
filsafat dan perbedaan-perbedaan dalam filsafat.
Dengan demikian kebenaran filsafat adalah kebenaran yang relatif. Artinya
kebenaran itu sendiri selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan zaman
dan peradaban manusia. Bagaimanapun penilaian tentang sesuatu kebenaran yang
dianggap benar itu masih sangat tergantung oleh ruang dan waktu. Apa yang dianggap
benar oleh suatu masyarakat atau bangsa lain, belumlah tentu akan dinilai sebagai suatu
kebenaran oleh masyarakat atau bangsa lain, meskipun dalam kurun waktu yang sama.
Sebaliknya sesuatu yang dianggap benar oleh sesuatu masyarakat atau bangsa tertentu
dalam suatu zaman, akan berbeda pada zaman bertikutnya. Maka  wajar jika pengertian
filsafat itu selalu mangalami perubahan.
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu pengertian bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang amat luas yang berusaha memahami persoalan-persoalan yang timbul di
dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian, diharapkan agar
dapat mengerti dan memiliki pandangan yang menyeluruh dan sistematis mengenai alam
semesta dan tempat manusia didalamnya.
Plato (427 – 347), Filsuf Yunani yang merupakan murid langsung dari Socrates
mengemukakan bahwa Filsafat adalah “Pengetahuan tentang segala yang ada” menurut
Plato filsafat berkenaan dengan upaya penemuan kenyataan atau kebenaran mutlak
melalui dialektika.
Aristoteles (384 – 322) berpendapat bahwa “filsafat itu menyelidiki sebab dan
prinsip segala sesuatu. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang
didalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika. Logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika. Aristoteles memandang filsafat sebagai totalitas pengetahuan manusia.
Kattsoff (1963) di dalam bukunya Elements of Philosophy untuk melengkapi
pengertian kita tentang "filsafat":
·         Filsafat adalah berpikir secara kritis.
·         Filsafat adalah berpikir dalam bentuk sistematis.
·         Filsafat harus menghasilkan sesuatu yang runtut.
·         Filsafat adalah berpikir secara rasional.
·         Filsafat harus bersifat komprehensif.
Kemudian Windelband, seperti dikutip Hatta dalam pendahuluan Alam Pikiran
Yunani, "Filsafat sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan
atau hal yang nyata." Demikian kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang
dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya
diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau
menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain.

B.    Pengertian dan Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan


Berbagai pengertian tentang filsafat Pendidikan yang telah dikemukakan  oleh para
ahli, Al-Syaibany (1979 : 36) mengartikan bahwa filsafat pendidikan yaitu aktifitas pikiran
yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur,
menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa filsafat pendidikan
dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk
mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusiaan merupakan faktor
yang integral atau satu kesatuan.
Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: (1)
filsafat praktek pendidikan dan (2) filsafat ilmu pendidikan (Mudyahardjo, 2001). Filsafat
praktek pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya
pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Filsafat praktek
pendidikan dapat dibedakan menjadi: (a) filsafat proses pendidikan (biasanya hanya
disebut filsafat pendidikan) dan (b) filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan
adalah analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya kegiatan
pendidikan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Filsafat proses pendidikan biasanya membahas tiga masalah pokok, yaitu: (1) apakah
sebenarnya pendidikan itu, (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya, dan (3) dengan
cara apakah tujuan pendidikan itu dapat dicapai (Henderson, 1959 dalam Mudyahardjo,
2001). Filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis dan komprehensif tentang
bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dalam mewujudkan tatanan manusia
idaman. Filsafat sosial pendidikan, terkait dengan tiga masalah pokok, antara lain: (1)
hakekat kesamaan pendidikan dan pendidikan, (2) hakekat kemerdekaan dan pendidikan,
dan (3) hakikat demokrasi dan pendidikan.
Secara konsepsional filsafat ilmu pendidikan didefinisikan sebagai analisis kritis
komprehensif tentang pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang
dihasilkan melalui riset, baik kualitatif maupun kuantitatif. Objek filsafat ilmu pendidikan
dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
(1) Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan pola  organisasi ilmu
pendidikan.
(2) Epistemologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu
pendidikan.
(3) Metodologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun
ilmu pendidikan, dan
(4) Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis
ilmu pendidikan.
Status filsafat ilmu pendidikan dengan filsafat secara umum ditampilkan pada Gambar
1 (Mudyahardjo, 2001). Selanjutnya disebutkan bahwa, aliran-aliran filsafat pendidikan,
antara lain: aliran idealisme, realisme, scholatisisme, empirisme, pragmatisme dan aliran
neoposivitisme.
Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu  pembentukan
kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun
daya perasaan ( emosional), menuju arah tabi’at manusia. Jadi filasafat dapat pula diartikan
sebagai teori umum pendidikan.
Barnadib (1993 : 3) mempunyai versi pengertian atas filsafat pendidikan, yakni ilmu
yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam
pendidikan. Secara filosofis pendidikan merupakan aplikasi sesuatu analisa filosofis
terhadap bidang pendidikan. Menurut seorang ahli filsafat Amerika Brubachen
sebagaimana diungkapkan oleh Arifin (1993 : 3) bahwa filsafat pendidikan adalah seperti
menaruh sebuah kereta di depan seekor kuda, dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan
sebagai akar tunggal pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan
memperoleh keuntungan karena punya kaitan dengan filsafat umum.
Secara makro, (umun) apa yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu dalam ruang
lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan alam
sekitarnya adalah juga obyek pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi secara mikro (khusus)
yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
1.        Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan.
2.       Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan.
3.       Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan
kebudayaan.
4.       Merumuskan hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan dan politik pendidikan.
5.       Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
6.       Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan
pendidikan.
Dengan demikian, yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan itu ialah semua
aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat
pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan
yang baik dan bagaimana dengan tujuan pendidikan itu dapat dicapai seperti yang dicita-
citakan.
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi
mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan
antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia bernilai
tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual,
sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam praktek adalah fakta empiris yang
syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam
arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi
seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi
(higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif
antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan
hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan
jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks
sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra
orang perorang (personal).
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus
terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut
agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan
situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa
prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap
terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan
mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai
gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau
behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara
termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, sehingga ilmu pendidikan
harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan-nya khususnya ditanah air kita.
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di
sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan
berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis).
Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih
utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah
memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan
ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya
mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.

C.    Latar Belakang Munculnya Filsafat Pendidikan


Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai
mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat
sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk
mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio
filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern
dan masa berikutnya.

Di samping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga


menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa
hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya
dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan
terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu
positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat
kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.

Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal
untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab
meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.

Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani


sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut
jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa
adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan
politik secara bersamaan.

Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui
bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan,
yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu
adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan
pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional.
Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih
dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih
dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa
mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.
Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan yang pada mulanya mampu
menjawab segala pertanyaan tentang segala sesuatu dan segala macam masalah. Masalah-
masalah yang berhubungan dengan alam semesta, manusia dengan segala problematikanya
dan kehidupan, yang dibicarakan oleh filsafat. Kemudian karena perkembangan dan
keadaan masayarakat, banyak problem yang tidak bisa dijawab lagi oleh filsafat, maka
lahirlah ilmu pengetahuan yang sanggup memberi jawaban terhadap problem-problem
perkembangan metodologi ilmiah yang semakin pesat. Kemudian berkembanglah ilmu
pengetahuan dalam bentuk disiplin ilmu dengan keterkhususannya masing-masing. Setiap
disiplin ilmu memilki obyek dan sasaran yang berbeda-beda, yang terpisah satu sama lain.
Di atara banyak filsafat seperti filsafat Cina, India, juga ada filsafat Barat adalah
sesuatu yang tidak begitu jelas, karena tradisi filsafat Barat telah mulai di Asia kecil dan
memikat pikiran-pikiran dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika. Termasuk filsafat Barat,
Yunani, Helleinisme, kristiani, dan seterusnya. Sehingga dengan analisa, timbullah
bermacam-macam disiplin ilmu yang menggunakan analisa filsafat.
Dengan demikian, dengan menggunakan analisa fisafat, berbagai macam disiplin
ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukankembali relevansinya dengan hidup
dan kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi
kesejahteraan hidup masyarakat.
John Dewey, seorang filosof Amerika yang menyatakan bahwa filsafat itu adlah teori
umum dai pendidikan, landasan mengenai beberapa pemikiran mengenai pendidikan .
Tugas filsafat adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor
realita dan pengalaman yang banyak terdapat dlam lapangan pendidikan.
Filsafat mulai berkembang dan berubah fungsinya dari sebagai induk ilmu
pengetahuan menjadi semacam pendekatan dan perekat kembali berbagai macam ilmu
pengetahuan yang telah berkembang pesat yang menjadi terpisah satu sama lainnya. Jadi
jelaslah bagi kita bahwa filsafat berkembang sesuai dengan perputaran dan perubahan
zaman.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang melatar belakangi
munculnya filsafat pendidikan adalah banyaknya perubahan-perubahan dan permasalahan
yang timbul dilapangan pendidikan, yang tidak mampu dijawab sendiri oleh ilmu oleh
filsafat saja. Selain itu juga yang melatar belakangi munculnya filsafat adalah banyaknya
ide-ide yang baru dalam dunia pendidikan. Adapun datangnya ide-ide tersebut di ataranya
berasal dari tokoh-tokoh filsafat Yunani. 
D.   Beberapa Aliran Filsafat Pendidikan Modern Ditinjau dari Ontologi, Epistemologi
dan Aksiologi.
Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran
darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya,
dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi
tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat
.Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-
kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang
dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang
terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika
pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan,
maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum,
dan bersifat eksternal.

Al-Fâ râ bî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama


adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan
realitas yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama
melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari
prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan
demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain.
Tetapi, dikatakan Al-Fâ râ bî, filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual.
Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang
didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode persuasif untuk
menjelaskannya.
Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang
telah dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan
pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fâ râ bî, agama mengambil tiruan kebenaran
transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga
sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna,
seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit dilambangkan dengan benda-
benda terindra yang utama, sempuma, dan indah dipandang. Inilah sebabnya mengapa
dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan, bulan melambangkan nabi, dan bintang
melambangkan sahabat nabi.
Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya
berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman
akan hierarki wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam
semesta. Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan
gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami.
Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut Al-Fâ râ bî sebagai empat prinsip
wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni.
Secara umum, menurut Al-Fâ râ bî, agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran
filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.
Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah) dan filsafat
(falsafah) umumnya diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-
Fâ râ bî termasuk di dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti
rumusan terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam perkembangan-
perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui
perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama
di ungkapkan para Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu
berbunyi demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh
pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia
juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.
Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar
menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat,
yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang
dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini
sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Fâ râ bî tentang filsafat dan agama. Istilah yang
digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn.
Ini menunjukkan kehendak Al-Fâ râ bî membedakan filsafat secara kontras tidak dengan
tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu.
Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat
karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat
kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum moral yang didasarkan
pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan
kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini.
Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fâ râ bî tampaknya berpendapat ada dua jenis
filsafat. Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan
eksternal. Dari paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâ m, khususnya
penjelasan dalam Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fâ râ bî menganggap kalâ m
sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik yang ditujukan bagi
kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya diperkenalkan pada mereka yang telah siap
secara intelektual dan spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas
yang didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-yaqînî), suatu
metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis (istinbâ th)
yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding
agama (millah), karena millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').
Kemudian, bagi Al-Fâ râ bî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan
(al-hikmah) yang terletak pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan
philosophia perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan
dalam abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik
kebijaksanaan tradisional ini. Al-Fâ râ bî menulis:
Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan
bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan
bertahan di situ hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala
sesuatu yang terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani, kemudian
Syria, dan akhirnya Arab.
Dikatakan Al-Fâ râ bî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang kebenaran
abadi ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut
perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah
pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah tidak lain
pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fâ râ bî, orang-orang
Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan ini memasukkan setiap
jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini, filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu,
induk dari segala ilmu, kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni.
Maksud mereka sebenarnya, tutur Al-Fâ râ bî, adalah seni yang memanfaatkan segala
kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang
memanfaatkan segala kebijaksanaan.
Al-Fâ râ bî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara esensi dari
kebijaksanaan abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan
model pengungkapan yang sama pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fâ râ bî tidak
menjelaskan deskripsi cara pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia
menyebut filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi Aristoteles,
sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru dari kebijaksanaan
kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau logis. Pengetahuan tentang bentuk-
bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui orang-orang Kristen Syria.
Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fâ râ bî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi
sebagai "pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari
setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap
kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fâ râ bî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk
pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta ilmu-
ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada metode
demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu, filsafat Al-Fâ râ bî terdiri dari empat bagian:
ilmu-ilmu matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat
(politik). Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fâ râ bî dibayangkan dalam konteks satu tradisi
wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat
diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas
pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk
menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu sama lain
karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak
penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap
tradisi wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan filosofis tentang realitas
sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan masyarakat.
Pada saat yang sama, Al-Fâ râ bî menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang
religius atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra
yang dipakai dalam satu agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak
disampaikan-lebih tepat dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya.
renting dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia
berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut tak
memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran
imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya
kurang baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih
jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-
diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal
lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah
memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.
Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fâ râ bî, lagi-lagi,
menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini
diterapkan baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan
sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fâ râ bî
terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis.
Kalâ m dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya, Al-
Fâ râ bî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara
teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-
turut merupakan mitra filosofisnya.
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat
atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan objek permasalahan hidup di dunia, telah
melahirkan berbagai pandangan. Pandangan-pandangan filosof itu, adakalanya satu
dengan yang lain untuk bersifat saling kuat menguatkan, tetapi tidak jarang yang berbeda
atau berlawanan. Hal ini disebabkan terutama pendekatan yang dipakai oleh mereka
berbeda, walaupun untuk objek permasalahan sama; karena perbedaan dalam sistem
pendekatan itu, maka kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula. Selain itu, faktor
zaman dan pandangan hidup yang melatarbelakangi mereka, serta tempat di mana mereka
bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Filsafat pendidikan dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pendangan atau
aliran. Pemikiran filsafat tidak pernah mandeg, maka keputusan atau kesimpulan yang
diperoleh pun tidak pernah merupakan kesimpulan final. Oleh sebab itu, dunia percaturan
filsafat pendidikan seringkali hanya berkisar pada permasalahan yang itu-itu juga, baik
sebagai bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada.
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan.
Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman
pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan
ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu
manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui
manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri
warga yang baik. Ontologi memiliki arti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata ini dan
bagaimana keadaan yang sebenarnya. Ontologi berupaya mengetahui tentang hakikat
sesuatu. Anatara lain ingin mengetahui, bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja,
apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk
unsur yang banyak. Ontologi dibatasi adanya mutlak, keterbatasan, umum, khusus.
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan
jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah
hasil dari benda atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya diketahui (obyek), manusia juga
melakukan berbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui (mengenal)
benda atau hal yang telah diselidiki tadi (subyek). Epistemologi membahas sumber, proses,
syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan
jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya. Inti dasar
epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskaan objek
formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan
menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom yang mempunyi
objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan
pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara
koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan, apakah yang baik atau
bagus itu. Definisi lain mengatakan aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya,
membinanya di dalam kepribadian anak. (Ibid, 1986: 95). Ada 3 dasar pandangan filsafat
yang bersifat aksiologis dan berlaku universal yaitu: (1) sosialitas, (2) individualitas, dan
(3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional
didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran
nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4)
religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro
berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada
Allah swt.
Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran, yakni:
(1) Aliran Progressivisme, yaitu aliran yang mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan manusia.
(2)  Aliran essensialisme, adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Essensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak  pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
(3)  Aliran Perennialisme, yaitu suatu aliran yang memandang pendidikan itu sebagai jalan
kembali yakni sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang ini terutama
pendidikan zaman sekarang dikembalikan kemasa lampau. Perennialisme merupakan
aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, di mana susunannya itu merupakan
hasil pikiran yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas
dan lurus.

E.     Hubungan antara Filsafat, Manusia dan Pendidikan


Jika kita mendengar kata filsafat maka konotasi kita akan segera pada sesuatu yang
bersifat prinsip yang juga sering dikaitkan pada suatu pandangan hidup yang mengandung
nilai-nilai dasar. Pada hakekatnya filsafat adalah hasil usaha manusia dengankekuatan akal
budinya untuk memahami sacara radikal, integral, dan universal tntang hakikat sarwa yang
ada (hakikat Tuhan, alam, dan hakikat manusia), serta sikap manusia termasuk dari
konsekwensi dari pemahamannya tersebut (Ashari, 1984: 12), dan manusia tentu
mempersoalkan dirinya sendiri, siapakah sebenarnya “aku”  ini? (Salam. 1988: 12).
Pendidikan sangat erat hubungannya dengan filsafat. Filsafat pendidikan pada
hakikatnya merupakan suatu penerapan prinsip-prinsip filsafat ke dalam pendidikan.
Sebagaimana halnya, filsafat sebagai landasan untuk mempelajari guna memahami filsafat
pendidikan.
Menurut F.H. Sulaiman, pendidikan merupakan konsekuensi logis dari filsafat.
Sorang filosof selalu berusaha menyebarluaskan paham dan prinsip yang dianut dan untuk
mencapai maksud itu digunakan sarana pendidikan. Filsafat dan pendidikan tidak dapat
dipisahkan, keduanya saling bergantung. Pendidikan menyebarluaskan filsafat dan
mengajarkan kepada orang lain, sedangkan filsafat berperan mengarahkan tujuan sistem
pendidikan, merumuskan sarana dan metode guna mencapai tujuan tersebut.
Jika kita berbicara hubungan filsafat dengan pendidikan berarti kita berbicara
adanya pemikiran filsafat dalam pendidikan sebagai jembatan yang dapat menghubungkan
antara filsafat dengan pendidikan. Hal ini kita harus mengakui bahwa filsafat memberikan
pendangan terhadap pendidikan di satu pihak dan adanya aspek dalam pendidikan yang
memerlukan pemikiran filsafat di pihak lain.
Para filsuf berusaha mencari inti alam sehingga mereka disebut filsuf alam dan
filsafatnya dinamai filsafat alam. Filsafat mereka dapat dikatakan suatu pemikiran
pendidikan. Karena ahli pikir berusaha mencari intisari alam melalui pikiran . Adapun
filsuf-filsuf tersebut antara lain :
a.      Thales (624-548), berpendapat bahwa dasar pertama atau intisari alam ialah air.
b.      Anaximenes (590-528), mengatakan bahwa intisari alam atau dasarnya pertama ialah
udara, karena udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara pulalah yang menjadi dasar
hidup bagi manusia yang amat diperlukan untuk bernafas.
c.        Piatgoras (523), menurutnya dasar sesuatu ialah bilanga. Orang tahu dan mengerti
bilangan, tahu juga segala sesuatunya. Ia juga berpendapat bahwa manusia adalah sesuatu
yang bukan jasmani dan tak dapat mati, terus ada, jika sudah tak ada. Pitagoras seorang
ahli ilmu pasti dan ahli musik, penyelidikan alamnya memang mendalam serta besar
pengaruhnya dalam lingkungan ahli pikir zaman itu dan kemudian.
d.      Herakleitos (532-475) mengatakan bahwa di dunia ini segala sesuatu-Nya berubah.
Disimpulkan pula bahwa yang menjadi gerak, perubahan atau menjadi. Semuanya bebas
tak ada yang tetap, pendapat ini dirumuskan dengan istilah “panta rhei” sebab itu filsafat
Herakleitos disebut filsafat menjadi.
e.       Parmenides (540-475), mengatakan bahwa pengetahuan itu ada dua yaitu pengetahuan
sebenarnya dan pengetahuan semu. Maka itu pengatahuan yang tetap dan umum yang
dapat dipercaya, kalau ia benar maka sesuai realitas. Sebab yang realitas bukan yang
berubah, melainkan yang tetap.
Perkembangan filsafat amat pesat diminati orang, karena minat terhadap
kebijaksanaan tinggi dan hendak memberikan kebijaksanaan kepada orang lain, sehingga
sekarang ini ahli pikir memang mencari kebenaran bukan mencapai kebenaran. Mereka
berfilsafat demi kebanaran.
Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat dalam bidang ontologi,
epistemologi, dan aksiologi, yakni:
1.  Ontologi
Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika yang juga sering disebuty dengan
Proto-filsafat atau filsafat yang pertama (ketuhanan) yang bahasanya adalah hakikat
sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala
sifatnya.
Untuk mengetahui realita semestaini di dalam ruang lingkup ontologi secara jelas,
disini dibedakan antara metafisika dengan kosmologi:
a. Ontologi, secara etimologi yag berarti di balik atau dibelakan fisika, maka yang diselidiki
adalah hakikat realita menjangkau sesuatu dibalik realita karena metafisika ingin mengerti
sedalam-dalamnya.
b. Kosmologi tentang realita. Kosmos yakni tentang keseluruhan sistem semesta raya dan
kosmologi terbatas pada realita yang lebih nyata dalam arti alam fisika yangmaterial dalam
memperkaya kepribadian manusia di dunia tidaklah di alam raya dan isinya.
Menurut Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang
dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya
diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau
menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain.
Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data dan fakta-
fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai
latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan
yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun
masyarakat, filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya
mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya
rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-
prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah
harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia. Dan kalau pelbagai
otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada kita, filsafat dapat membantu
kita dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas mereka
untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju
bagi manusia. Atau orang yang mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang
Mahaesa, filsafat akan menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu
hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah
identik dengan suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau
membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada
seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan
bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles" (Franz Magnis-
Suseno, Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah
dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang hampir serupa dengan
ini, yakni "falsafah", "falsafi" atau "filsafati", "berpikir filosofis" dan "mempunyai filsafat
hidup" yang sering kita dengar, kita baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup
keseharian kita. "Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi" atau "filsafati" artinya:
"bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini:
berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang
muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir
benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah
tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya
itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang
filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar
dan berkehendak baik. Sedangkan, "mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian
yang lain sama sekali dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan
mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu.
Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan cara".
Sekarang kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara
filsafat, ilmu dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah
yang sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak
menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling curiga
mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan pencarian akan
kebenaran itu sendiri.
2. Epistemologi
Epistemologi pertama kali di pakai oleh J.F. Farier di abad ke 19 di dalam Istitut Of
Metaphisics (1854). Pencipta sesungguhnya adalah Plato sebab beliau telah berusaha
membahas pertanyaan dasar, seperti apakah panca indera dapat memberikan
pengetahuan. Dapatkah akal menyediakan ilmu pengetahuan. The Encylopedia of
Pholosophy memdefenisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bersangkutan
dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta
realitas umum Epistemologi ini adalah nama lain dari logika material atau logika mayor
yang membahas dari isi pikiran manusia yakni pengetahuan (Dardini, 1986:18).
Defenisi lain dari, epistemologi ialah studi tentang pengetahuan, bagaimana kita
mengetahui tentang benda-benda. Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh
dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistemologi, setiap
pengetahuan manusia itu adalah hasil dari benda atau diperiksa, diselidiki dan akhirnya
diketahui (objek). Kemudian, epistemologi  membahas sumber, proses, syarat, batas
fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kebenaran kepada murid-muridnya
(Noor Syam, 1986: 32)
Pendekaatan fenomenologis lebih bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi
dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu
penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar
yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya
pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai
kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas
internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti
penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex
post facto.
Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam
menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu
terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom
yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya
menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963).
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
3. aksiologi
Dalam pembahasan mengenai aksiologi, maka manusia diperhadapkan pada sebuah
pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu bagi manusia? Tak dapat disangkal bahwa ilmu telah
banyak merubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai
wajah kehidupan yang duka. Namun demikian, apakah ilmu selalu merupakan berkat dan
penyelamat bagi kehidupan manusia? Memang, dengan jalan mempelajari atom, manusia
bisa memanfaatkan wujud tersebut sebagai sumber energi bagi keselamatannya, tetapi
dipihak hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan
bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Untuk mengaplikasikan ilmu itu dalam kehidupan manusia dengan memperhatikan
perkembangan dan pertumbuhannya, maka dapat diketahui bahwa kecenderungan ilmu
itu selalu dikaitkan dengan sesuatu tujuan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memiliki fungsi sebagai sarana, di
samping memberikan kemudahan bagi hidup dan kehidupan umat manusia sebagai sebuah
berkah, juga sekaligus mambawa kutuk yang berupa malapetaka. Jadi, tujuan ilmu di suatu
ketika membawa dampak yang positif dan pada ketika yang lain membawa dampak yang
negatif bagi kehidupan manusia.
Dampak ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perspektif sejarah kemanusia, maka
dapat ditemukan bahwa kegunaan ilmu itu bukan saja untuk menguasaai alam
sebagaimana adanya, tetapi juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasainya.
Oleh karena itu, maka untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran ilmu itu,
diperlukan keberanian moral dan tanggung jawab sosial ilmuan agar produk keilmuan
mereka itu dapat sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. 
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi
juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai
proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak
hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik
dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui
kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat
batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi
pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang
yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan
memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus
diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan
kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
           Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada
ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu
terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
            Aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (volume). Brameld
membedakan tiga bagian dalam aksiologi, yaitu:
1.        Moral Conduct, tindakan moral; bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.
2.       Esthetic Ekspresion, ekspresi keindahan; yang melahirkan estetika.
3.       Socio-political Life, kehidupan sosio-politik, bidang ini melehirkan ilmu filsafat sosio-
politik (Syam, 1986: 34-36).
Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan
mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kegidupan manusia dan membinanya di
dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan sesuatu itu berniali baik, bukanlah
suatu yang mudah. Apalagi menilai dalam arti yang mendalam untuk membina dalam
kepribadian ideal.
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat.
Hakikat berarti adanya berbicara mengenai apa manusia itu, ada empat aliran yang
dikemukakan yaitu: aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, aliran
eksistensialisme.
Aliran serba zat mengatakan bahwa yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat
atau materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka
manusia adalah zat atau materi (ibid, 1991).
Aliran serba ruh berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini
ialah ruh, juga hakikat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada ruh
di atas dunia ini. Fiche mengemukakan bahwa segala sesuatu yang lain yang rupanya ada
dan hidup hanyalah suatu jenis perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh . Dasar
pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi.
Aliran dualisme menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua
subtansi yaitu jasmani dan rohani. Kedua subtansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain.
Aliran eksistensialisme memandang manusia dari sudut serba zat atau serba ruh
atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu
sendiri ddunia ini. Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia
merupakan kaitan antara badan dan ruh. 
Sistem adalah merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling
bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai merupakan suatu norma
tertentu yang mengatur ketertiban kehidupan sosial.
Niali adalah sesuatu yang selalu muncul apabila manusia sebagai makhluk sosial
mengadakan hubungan sosial atau dengan kata lain hidup bermasyarakat dengan manusia
lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh aliran Progressivisme “masyarakat
menjadi wadah nilai-nilai”. Secara umum, Scope menguraikan bahwa nilai adalah tak
terbatas. Maksudnya bawa segala sesuatu yang ada dalam raya ini adalah bernilai namun
kalau kita lihat kembali bahwasanya, nilai adalah bagian dari filsafat pendidikan yang
dikenal dengan aksiologi.
Filsafat sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan mempelajari objeknya dari
sudut hakikat juga mengadakan tinjauan dari segi sistemantik, artinya tinjauan dengan
memperoleh pandangan mengenai problem-problemnya yang utama dan lapangan
penyelidikannya yang saling berhubungan.
            Filsafat sebagai ilmu dalam tinjauan dari segi sitematik, maka filsafat berhadapan
dengan tiga problem utama, yakni:
1.      Realita, ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah
kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik kesimpulan bahwa
pengetahuan yang telah dimiliki ini telah nyata.
2.    Pengetahuan, ialah yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apa hak
pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis
pengetahuan.
3.    Nilai, yang dipelajari oleh oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. Pertanyaan dicari
jawabnya antara lain adalah seperti: nilai-nilai yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh
manusia dan yang dapat digunakan sebagai dasar hidupnya.  
Uraian di atas jika dipahami lebih jauh memberikan pengertian bahwa filsafat
mencakup nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan dijadikan pedoman dalam perbuatan,
terutama dalam pekerjaan mendidik. Atau dengan kata lain, mendidik tidak lain adalah
merealisasikan nilai-nilai yang dimiliki guru selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan
dengan hakikat anak didik. Nilai-nilai dalam pendidikan adalah bersumbar pada filsafat
atau ajaran filsafat yang telah berakar dalam sosio-kultural atau kepribadian suatu bangsa
yang akan tumbuh sebagai realita dan filsafat hidup. Jadi, jelaslah bahwa ide-ide filsafat
menetukan pendidikan. Dan jika masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang
berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia, berarti masalah
kependidikan juga mempunyai ruang lingkup yang luas yang di dalamnya terdapat masalah
dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak
mungkin dijawab dengan menggunakan analisa dan pemikiran yang mendalam atau
analisa secara filosofis pula.      
F.     Filsafat Pendidikan Pancasila
Dalam ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978, pancasila adalah jiwa dan seluruh
rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan Bangsa Indonesia dan dasar
negara kita. Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami manghayati
dan mengamalkan Pancasila dalam segi kegidupan. Pancasila yang dimaksud disini adalah
pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang terdiri
dari 5 sila dan penjabarannya sebanyak 36 butir-butir pancasila yang masing-masing tidak
dapat dipahami secara terpisah, akan tetapi pancasila adalah merupakan satu kesatuan.
Panacasila adalah dasar negara Indonesia yang merupakan fungsi utamanya dan
dari segi materinya Pancasila di gali dari pandangan hidup bangsa yang dijiwai kepribadian
bangsa. Filsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari
kebenaran sesuatu. Filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang
pendidikan berdasarkan filsafat. Bila duhubungkan fungsi pencasila dengan sistem
pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, maka dapat dijabarkan bahwa pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa yang menjiwai dari sila-sila pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.
Filsafat pendidikan pancasila bila ditinjau dari aspek ontologi mempunyai isi yang
abstrak umum dan universal. Maksudnya bukan pancasila sebagai filsafat secara
operasional telah diwujudkan ke dalam kehidupan keseharian, melainkan sebagai
pengertian pokok yang dipergunakan untuk merumuskan masing-masing sila. Itulah yang
mengandung isi yang abstrak umum dan universal.
Filsafat pendidikan pancasila dilaihat dari aspek epistemologi, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.        Sila Pertama Ketuhanan yang Maha Esa
Pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh melalui
akal atau panca indera dan dari ide atau Tuhan. Pancasila bukan lahir secara mendadak,
melainkan melalui proses yang panjang yang dimatangkan dengan perjuangan.
2.       Silka kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Pribadi manusia adalah subjek yang secara potensial dan aktif berkesadaran tahu atas
eksistensi diri, dunia, bahkan juga sadar dan tahu bila disuatu ruang dan waktu “tidak ada”
apa-apa kecuali ruang dan waktu itu sendiri.
3.       Sila ketiga Persatuan Indonesia
Proses terbentuknya pengetahuan manusia merupakan hasil dari kerjasama atau produk
hubungan dengan lingkungannya. Potensi dasar dengan faktor kondisi lingkungan
memadai akan membentuk pengetahuan.
4.       Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Manusia diciptakan Allah sebagai pemimpin di muka bumi ini untuk memakmurkan umat
manusia. Dalam sistem pendidikan nasional pendidikanlah mempunyai peranan yang
besar, namun tidak menutup kemungkinan peran keluarga dan masyarakat dalam
membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
5.       Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ilmu pengetahuan sebagai pembendaharaan dan prestasi individu serta sebagai karya
budaya umat manusia yang merupakan mertabat kepribadian manusia. Adil dalam arti
luas, seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama.
            Sedangkan filsafat pendidikan pancasila yang ditinjau dari aspek aksiologinya, maka
isi pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara terkandung nilai-nilai: ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan nilai keadilan. Niali ideal, material, spritual dan
nilai positif dan juga nilai logis, estetika, etis, sosial, dan religius. Jadi pancasila mempunyai
niali tersendiri.

G.   Filsafat Pendidikan Peningkatan Sumber Daya Manusia


Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk
membimbing dan menghubungkan potensi individu.  Dari sudut pandang kemasyarakatan,
pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada
generasi muda.
Transfer nilai-nilai budaya yang paling efektif adalah melalui proses pendidikan.
Dalam masyarakat modern proses pendidikan didasarkan pada sustu sistem yang sengaja
dirancang, sebagai suatu program pendidikan secara formal.
Pendangan hidup yang merupakan jati diri yang berisi nilai-nilai yang dianggap
sebagai sesuatu yang secara ideal adalah benar. Dan nilai-nilai kebenaran itu sendiri
berbeda antara masyarakat atau bangsa yang satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebenaran
yang idealis itu disebut sebagai filsafat hidup yang dijadikan dasar dalam penyusunan
sistem pendidikan.
Manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai potensi bawaan. Dari sudut
pandang potensi yang dimiliki itu, manusia dinamakn dengan berbagai sebutan. Ada tiga
aliran filsafat yang terjadi dalam potensi manusia tersebut, yaitu naturalisme, menyatakan
bahwa manusia memiliki potensi bawaan (natur) yang secara alami dapat berkembang
dengan sendirinya.
Dari aliran empirisme, manusia dipandang sebagai makhluk yang bertumbuh dan
berkembang atas bantuan atau karena adayang intervensi lingkungannya. Aliran ketiga
memiliki pandangan gabungan antara naturalisme dan empirisme. Pada aliran ini manusia
secara kodrati memang telah dianugrahkan potensi yang disebut bakat, namun selanjutnya
agar potensi itu dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, perlu adanya pengaruh
dari luar, berupa tuntunan dan bimbingan melalui pendidikan.
Kemajuan peradaban manusia ditentukan oleh budaya ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Makin tingi tingkat penguasaan IPTEK, akan makin maju pula
peradaban suatu bangsa dan tingkat kualitas sumber daya manusianya. salah satu sarana
yang paling efektif dalam pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia adalah 
pendidikan. Sehingga dengan demikian terlihat bagaimana kaitan hubungan antara filsafat
pendidikan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Anda mungkin juga menyukai