Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN INKLUSI BAGI ANAK DENGAN GANGGUAN

PENDENGARAN DAN GANGGUAN BAHASA KOMUNIKASI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi

Dosen Pengampu : Sunanih, M.Pd

Oleh :

Ismi Wahyuni C1986206061

Rysma Rismaya C1986206021

Tetin Suartini C1986206032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas berkat
rahmat, dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tesusun hingga selesai. Tidak lupa kami
juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkonstribusi
dengan mencari beberapa isi materi.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang pendidikan inklusi bagi anak dengan
gangguan pendengaran dan gangguan bahasa komunikasi.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, 3 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan...................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................ 2

A. Pengertian Pendidikan Inklusi ................................................................................................. 2

B. Anak Dengan Gangguan Pendengaran Dan Bahasa Komunikasi .......................................... 3

C. Pendidikan Inklusi Bagi Anak Dengan Gangguan Pendengaran Dan Bahasa Komunikasi .... 10

BAB III PENUTUP .................................................................................................................... 12

A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penanganan anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak dengan gangguan


pendengaran dan bahasa komunikasi itu memerlukan keberpihakan kultural dan struktural
dari berbagai pihak baik orangtua, masyarakat dan pemerintah. Hal ini karena masih adanya
pemahaman yang keliru dan sikap diskriminatif terhadap anak berkebutuhan khusus di
lingkungan keluarga dan masyarakat, baik dalam bentuk verbal maupun non verbal. Selain itu
anak berkebutuhan khusus rentan mendapatkan kekerasan dan perlakuan salah.

Dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus, para pendamping memerlukan


pengetahuan tentang anak-anak tersebut, keterampilan mengasuh dan melayaninya. Anak
berkebutuhan khusus perlu mendapat dorongan, tuntunan, dan praktek langsung secara
bertahap. Potensi yang dimiliki anak-anak berkebutuhan khusus akan tumbuh berkembang
seiring dengan keberhasilan peran pendamping dalam memahami dan memupuk potensi anak-
anak tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, dapat ditarik
beberapa pokok permasalahan untuk dianalisis dan dikaji di dalam makalah ini. Pokok
permasalahannya adalah :

1. Apakah yang dimaksud dengan pendidikan inklusi?


2. Apa yang dimaksud anak dengan gangguan pendengaran dan gangguan bahasa
komunikasi?
3. Bagaimana pendidikan inklusi bagi anak dengan gangguan pendengaran dan gangguan
bahasa komunikasi?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah tertera seperti diatas, dapat disimpulkan
bahwa tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi.


2. Menjelaskan anak dengan gangguan pendengaran dan gangguan bahasa komunikasi.
3. Menjelaskan bagaimana pendidikn inklusi bagi anak dengan gangguan pendengaran
dan gangguan bahasa komunikasi.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Inklusi

Pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan


kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga
berhak mendapatkan pendidikan”; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (2) yang
menegaskan “setiap warga ank a wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Undang-undang inilah yang menjadi
bukti kuat hadirnya pendidikan inklusi ditengah masyarakat.

Pada pendidikan dasar, kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat perhatian lebih.
Pendidikan inklusif sebagai layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus (ABK) belajar bersama anak normal (non-ABK) usia sebayanya di
kelas ank ar/biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Menerima ABK di Sekolah
Dasar terdekat merupakan mimpi yang indah yang dirasakan orang tua yang memiliki
anak dengan kebutuhan khusus.

Sayangnya, SD Inklusi yang sudah “terlanjur” menerima tidak langsung dengan


mudahnya menangani anak-anak yang sekolah dengan kebutuhan khusus itu. Kurikulum
harus dapat disesuaikan dengan kelas yang heterogen dengan karakteristik ABK dan
regular. Guru belum siap untuk menangani anak-anak dikelasnya dengan karakteristik
yang berbeda. Akhirnya, guru-guru yang berhadapan langsung dengan ABK di kelas
mengeluh dan sulit untuk mengajar satu metode yang sama dan dengan perlakuakuan
yang sama sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai seperti yang diharapkan.
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan sebagai upaya menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan dan tujuan pembelajaran dapat tercapai dalam pendidikan inklusi.

Pendidikan inklusi di SD belum beriiringan dengan visi pendidikan belum berdasarkan


inklusi ethos yang mengedepankan keragaman dan kesamaan hak dalam memperoleh
pedidikan. Kurikulum dan metode pengajaran yang kaku dan sulit diakses oleh ABK

2
masih ditemukan pada kelas inklusi. Pengintergrasian kurikulum belum dapat dilakukan
oleh guru Karena kemampuan guru yang terbatas. Guru-guru belum mendapatkan
training yang praktikal dan kebanyakan yang diberikan sifatnya hanya sebatas sosialisasi
saja. Wali kelas dan atau guru bidang studi yang kedapatan dikelasnya ada ABK masih
menunjukkan sikap “terpaksa” dalam mendampingi ABK memahami materi.

B. Anak Dengan Gangguan Pendengaran dan Gangguan Bahasa


1. Anak Dengan Gangguan Pendengaran
a. Pengertian Anak Gangguan Pendengaran/Tunarungu

Anak dengan gangguan pendengaran adalah masalah kesehatan yang berkaitan


dengan gangguan pada fungsi pendengaran, ketika telinga tidak dapat menangkap
atau mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran
bisa terjadi semenjak lahir, bayi, balita, dan dewasa. Jika gangguan pendengaran ini
telah terjadi sejak atau balita, perkembangan kemampuan anak dalam hal berbicara,
sosial, dan emosional bisa ikut terganggu. Hal ini dikarenakan indera pendengaran
menjadi salah satu sumber anak memelajari banyak hal dari mendengar.

Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang dan
rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu
mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak
tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat
berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak tersebut mengalami tunarungu.

Menurut Delphie (2006:103) Anak dengan gangguan pendengaran/Anak


Tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen
maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga
mereka biasa disebut tunawicara. Anak Tunarungu mengalami gangguan
komunikasi secara verbal karena kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya, sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dalam
berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan dengan orang normal mengalami
hambatan. Selain itu mereka memiliki sifat ego-sentris yang melebihi anak normal,
cepat marah dan mudah tersinggung. Kesehatan fisik pada umumnya sama dengan
anak normal lainnya.

b. Karakteristik Anak Tunarungu

3
Karakteristik anak tunarungu dari segi fisik tidak memiliki karakteristik yang
khas, karena secara fisik anak tunarungu tidak mengalami gangguan yang terlihat.
Sebagai dampak ketunarunguannya, anak tunarungu memiliki karakteristik yang
khas dari segi yang berbeda. Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995: 35-39)
mendeskripsikan karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi: intelegensi, bahasa
dan bicara, emosi, dan sosial.

1) Karakteristik dari segi intelegensi

Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi,
rata-rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal
dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi
anak normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti
pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak
tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal.
Prestasi anak tunarungu yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya
rendah namun karena anak tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang
dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah, namun
aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang
dengan cepat.

2) Karakteristik dari segi bahasa dan bicara

Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan anak
normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan
kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa,
maka anak tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa
merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat
komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan berbicara, sehingga anak tunarungu
akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak tunarungu memerlukan
penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan
kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak tunarungu juga
dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu.
Kemampuan berbicara pada anak tunarungu akan berkembang dengan sendirinya
namun memerlukan upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan secara
profesional. Dengan cara yang demikian pun banyak dari mereka yang belum bisa

4
berbicara seperti anak normal baik suara, irama dan tekanan suara terdengar
monoton berbeda dengan anak normal.

3) Karakteristik dari segi emosi dan sosial

Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan lingkungan.


Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti:
egosentrisme yang melebihi anak normal, mempunyai perasaan takut akan
lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian mereka
lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki sifat yang polos dan tanpa banyak
masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung.

a) Egosentrisme yang melebihi anak normal

Sifat ini disebabkan oleh anak tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat
interaksi dengan lingkungan sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan
dalam pendengaran, anak tunarungu hanya melihat dunia sekitar dengan
penglihatan. Penglihatan hanya melihat apa yang di depannya saja, sedangkan
pendengaran dapat mendengar sekeliling lingkungan. Karena anak tunarungu
mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya, maka akan
timbul sifat ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan
hal itu semakin membesarkan egosentrismenya.

b) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas

Perasaan takut yang menghinggapi anak tunarungu seringkali disebabkan


oleh kurangnya penguasaan terhadap lingkungan yang berhubungan dengan
kemampuan berbahasanya yang rendah. Keadaan menjadi tidak jelas karena
anak tunarungu tidak mampu menyatukan dan menguasai situasi yang baik.

c) Ketergantungan terhadap orang lain

Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah
dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa
dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain.

d) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan

Sempitnya kemampuan berbahasa pada anak tunarungu menyebabkan


sempitnya alam fikirannya. Alam fikirannya selamanya terpaku pada hal-hal
5
yang konkret. Jika sudah berkonsentrasi kepada suatu hal, maka anak
tunarungu akan sulit dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum
dimengerti atau belum dialaminya. Anak tunarungu lebih miskin akan fantasi.

e) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah

Anak tunarungu tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik.


Anak tunarungu akan jujur dan apa adanya dalam mengungkapkan
perasaannya. Perasaan anak tunarungu biasanya dalam keadaan ekstrim tanpa
banyak nuansa.

f) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung

Karena banyak merasakan kekecewaan akibat tidak bisa dengan mudah


mengekspresikan perasaannya, anak tunarungu akan mengungkapkannya
dengan kemarahan. Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah
mereka mengerti perkataan orang lain, namun semakin sempit bahasa yang
mereka miliki akan semakin sulit untuk mengerti perkataan orang lain
sehingga anak tunarungu mengungkapkannya dengan kejengkelan dan
kemarahan.

c. Klasiifikasi Anak Tunarungu

Uden (dalam Murni Winarsih, 2007:26) membagi klasifikasi ketunarunguan


menjadi tiga, yakni berdasar saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan
tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar pada taraf
penguasaan bahasa.

1) Berdasarkan sifat terjadinya


a) Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah
mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah
tidak berfungsi lagi.
b) Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak
lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.

2) Berdasarkan tempat kerusakan

6
a) Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat
bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli
Konduktif.
b) Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar
bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris.

3) Berdasarkan taraf penguasaan bahasa

Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli
sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan
tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya
namun belum membentuk sistem lambang.

d. Cara Penanganan

Tanggapan dan opini umum berpendapat bahwasannya komunikasi secara


lisan adalah media utama dan cara termudah untuk mempelajari dan menguasai
bahasa. Berkomunikasi melalui berbicara adalah cara yang terbaik. Namun
bagi anak-anak yang memiliki masalah pendengaran (karena kerusakan
pendengaran), cara komunikasi lain dapat menggantikan fungsi berbicara
tersebut, terdapat berbagai cara untuk anak-anak yang memiliki masalah
pendengaran, yaitu metode Auditory oral, membaca bibir, bahas isyarat dan
komunikasi universal (Muhammad, 2008: 70) yang meliputi:

1) Metode Auditory oral: Metode ini menekankan pada proses mendengar


serta bertutur kata dengan menggunakan alat bantu yang lebih baik, seperti
alat bantu pendengaran, penglihatan dan sentuhan. Metode ini,
menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan
mendengar dan bertutur kata.
2) Metode membaca bibir: Komunikasi dengan metode ini baik untuk mereka
yang mampu berkonsentrasi tinggi pada bibir penutur bahasa. Metode ini
mengharuskan anak-anak untuk selalu melihat gerakan bibir penutur
bahasa dengan tepat dan dalam situasi ini, penutur bahasa harus berada di
tempat yang terang dan dapat terlihat dengan jelas.
3) Metode bahasa isyarat: Pada umumnya, bahasa isyarat digunakan secara
mudah dengan menggabungkan perkataan dengan makna dasar. Bahasa
isyarat yang digunakan pada umumnya adalah isyarat abjad satu jari.

7
4) Metode Komunikasi universal Metode komunikasi adalah salah satu
metode yang menggabungkan antara gerakan jari isyarat, pembacaan bibir
dan penuturan atau auditory oral. Elemen penting dalam metode ini adalah
penggunaan isyarat dan penuturan secara bersamaan.
2. Anak Dengan Ganggun Bahasa Komunikasi
a. Pengertian Anak Dengan Gangguan Bahasa Komunikasi

Anak dengan gangguan bahasa komunikasi adalah anak yang mengalami


penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara, suara, irama, dan
kelancaran dari usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor fisik, psikologis dan
lingkungan, baik reseptif maupun ekspresif. Yang dimaksud dengan gangguan
komunikasi meliputi berbagai lingkup masalah yaitu gangguan bicara, bahasa, dan
mendengar. Gangguan bahasa dan bicara melingkupi gangguan artikulasi,
gangguan mengeluarkan suara, afasia (kesulitan menggunakan kata-kata, biasanya
karena memar atau luka pada otak), dan keterlambatan di dalam berbicara atau
berbahasa. Keterlambatan bicara dan bahasa tergantung dari beberapa penyebab,
termasuk di dalamnya adalah faktor lingkungan atau gangguan pendengaran.

b. Karakteristik Anak Dengan Gangguan Bahasa Komunikasi


1) Hanya dapat mengulang kata atau suara tanpa mampu menghasilkan kata
atau kalimat sendiri
2) Hanya mengucapkan beberapa kata atau suara berulang-ulang
3) Tidak dapat mengikuti petunjuk sederhana
4) Memiliki suara yang tidak biasa (suara hidung)
c. Bentuk Gangguan Bahasa

Gangguan bahasa merupakan salah satu bentuk kelainan atau gangguan dalam
komunikasi dengan indikasi klien mengalami kesulitan atau kehilangan dalam
proses simbolisasi. Kesulitan simbolisasi ini mengakibatkan seseorang tidak
mampu memberikan simbol yang diterima dan sebaliknya tidak mampu mengubah
konsep pengertiannya menjadi simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh orang
lain dalam lingkungannya.

Menurut Tarmansyah yang dikutip Nurhidayati, dkk (2013:5—10) “ada bentuk


gangguan bahasa diantaranya keterlambatan dalam perkembangan bahasa dan
afasia”.

8
1) Keterlambatan dalam Perkembangan Bahasa
Adalah suatu bentuk kelainan bahasa yang ditandai dengan kegagalan klien
dalam mencapai tahapan perkembangan bahasanya sesuai dengan
perkembangan bahasa anak normal seusianya. Kelambatan perkembangan
bahasa di antaranya disebabkan keterlambatan mental intelektual,
ketunarunguan, congenital aphasia, nutisme, disfungsi minimal otak dan
kesulitan belajar.
2) Afasia
Afasia adalah satu jenis kelainan bahasa yang disebabkan oleh adanya
kerusakan pada pusat-pusat bahasa di Cortex Cerebri. Adanya lesi di pusat-
pusat bahasa di Cortex cerebri menyebabkan klien mengalami kesulitan dan
atau kehilangan kemampaun dalam simbolisasi baik secara aktif maupun pasif.
d. Penanganan Dalam Gangguan Berbahasa

Penanganan gangguan bicara diawali dengan identifikasi pasien (Sastra,


2011:30) seperti, riwayat kesehatan, kemampuan berbicara, kemampuan
mendengar, kemampuan kognitif, dan kemampuan berkomunikasi. Kemudian
penanganan dilanjutkan dengan diagnosis gangguan yang dialami pasien. Setelah
hasil diagnosis didapat, barulah diterapkan terapi yang tepat untuk pasien.

1) Terapi Bicara. Terapi bicara biasanya menggunakan audio atau video dan
cermin. Terapi bicara anak-anak biasanya menggunakan pendekatan bermain,
boneka, bermain peran, memasangkan gambar atau atau kartu. Terapi bicara
orang dewasa biasanya menggunakan metode langsung, yaitu melalui latihan
dan praktik. Terapi artikulasi pada orang dewasa berfokus untuk membantu
pasien agar dapat memproduksi bunyi dengan tepat, meliputi bagaimana
menempatkan posisi lidah dengan tepat, bentuk rahang, dan mengontrol nafas
agar dapat memproduksi bunyi dengan tepat.
2) Terapi Oral Motorik. Terapi ini menggunakan latihan yang tidak melibatkan
proses bicara, seperti minum melalui sedotan, meniup balon, atau meniup
terompet. Latihan ini bertujuan untuk melatih dan memperkuat otot yang
digunakan untuk berbicara.
3) Terapi Intonasi Melodi. Dalam Terapi intonasi melodi kita dapat diterapkan
pada penderita stroke yang mengalami gangguan berbahasa. Musik atau
melodi yang digunakan biasanya yang bertempo lambat, bersifat lirik, dan
mempunyai tekanan yang berbeda.
9
C. Pendidikan Inklusi Bagi Anak Gangguan Pendengaran Dan Gangguan Bahasa
Komunikasi

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia yang membuat manusia dapat saling
berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari di mana saja berada. Proses
komunikasi terjadi melalui bahasa, bentuk bahasa dapat berupa isyarat, gestur, tulisan,
gambar, dan wicara. Komunikasi akan berjalan dengan lancar dan berhasil apabila proses
itu berjalan dengan baik. Fungsi komunikasi adalah berusaha meningkatkan hubungan
insani, menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu,
serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2006:56).

Banyak orang mengganggap bahwa berkomunikasi adalah hal yang mudah untuk
dilakukan. Namun komunikasi tidak akan berjalan mudah ketika adanya gangguan
komunikasi baik itu dari komunikan ataupun komunikatornya. Situasi tersebut
mengakibatkan proses komunikasi berjalan tidak efektif. Proses komunikasi tidak hanya
dilakukan untuk manusia normal saja tetapi orang-orang dengan kebutuhan khusus juga
memliki cara komunikasi tersendiri. Orang orang dengan kebutuhan khusus tersebut
adalah mereka yang mengalami hambatan, gangguan, keterlambatan atau faktor-faktor
lainnya, sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan khusus.
Kelompok ini yang kemudian dikenal sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Salah satu diantara anak berkebutuhan khusus yang dimaksud adalah tunarungu
begitu pun dengan anak gangguan bahasa komunikasi. anak tunarungu adalah anak yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan dalam mendengar dan berbicara baik
sebagian atau keseluruhannya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau
keseluruhan alat pendengaran, sehingga tidak dapat menggunakan alat pendengaran dan
wicaranya dalam kehidupan sehari-hari (Sadjaah, 2005: 1-2). Mereka sulit menangkap
suara-suara khususnya bunyi bahasa melalui pendengarannya, akibatnya anak tidak dapat
menirukan atau mengulang kata-kata menjadi bahasa. Dengan demikian anak tunarungu
mengalami gangguan komunikasi. Sementara itu, dalam keseharian komunikasi
merupakan hal yang sangat penting. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak
berbeda dengan anak normal pada umumnya, namun pada saat berkomunikasi barulah
dapat diketahui.

Pakar pendidikan anak tunarungu seperti Daniel Ling mengemukakan bahwa


ketunarunguan memberikan dampak berupa hambatan-hambatan perkembangan bahasa
yang nantinya memunculkan dampak lain yang sangat komplek seperti aspek pendidikan,
10
hambatan emosi-sosial, perkembangan intelegensi dan hambatan aspek kepribadian
(Sadjaah, 2005:1). Seperti halnya anak normal lain pada umumnya, anak tunarungu juga
berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu karena pendidikan
merupakan sektor yang dapat menciptakan kecerdasan manusia dalam melangsungkan
kehidupannya.

Salah satu wadah untuk menampung siswa tunarungu dan juga anak gangguan
bahasa untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu yaitu sekolah yang
menyelenggarakan program inklusi. Prinsip pendidikan inklusi pertama kali diadopsikan
pada konferensi dunia di Salamanca, tentang pendidikan kebutuhan khusus tahun 1994
(Tarmansyah, 2009:4). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi merupakan tempat
pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mendapat perlakuan secara
proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Konsekwensi dari kondisi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi menuntut adanya
penyesuaian strategi pembelajaran dalam upaya melaksanakan kurikulum yang telah
disyahkan secara nasional.

Negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan bermutu


kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan
dalam kemampuan ataupun fisik seperti hal nya anak tunarungu. Secara legalitas formal
baik dalam Undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang- undang nomor 2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap
warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Adapun
beberapa kebijakan pemerintah dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 bahwa negara
memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh
layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa. Melalui
pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh
kenyataan didalam masyarakat terdapat anak nomal dan anak berkelainan yang tidak
dapat dipisahkan sebagai satu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi
kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan disekolah.

11
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Pendidikan Inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan


kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Anak dengan gangguan pendengaran/Anak Tunarungu adalah anak yang memiliki


hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Anak
Tunarungu mengalami gangguan komunikasi secara verbal karena kehilangan seluruh
atau sebagian daya pendengarannya, sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dalam
berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan dengan orang normal mengalami hambatan.
Sedangkan Anak dengan gangguan bahasa komunikasi adalah anak yang mengalami
penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara, suara, irama, dan kelancaran
dari usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor fisik, psikologis dan lingkungan, baik
reseptif maupun ekspresif. Yang dimaksud dengan gangguan komunikasi meliputi
berbagai lingkup masalah yaitu gangguan bicara, bahasa, dan mendengar.

Salah satu wadah untuk menampung siswa tunarungu dan juga anak gangguan
bahasa untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu yaitu sekolah yang
menyelenggarakan program inklusi. Prinsip pendidikan inklusi pertama kali diadopsikan
pada konferensi dunia di Salamanca, tentang pendidikan kebutuhan khusus tahun 1994
(Tarmansyah, 2009:4). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi merupakan tempat
pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk mendapat perlakuan secara
proporsional dari semua unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Konsekwensi dari kondisi sekolah penyelenggara pendidikan inklusi menuntut adanya
penyesuaian strategi pembelajaran dalam upaya melaksanakan kurikulum yang telah
disyahkan secara nasional.

B. Saran

Diharapkan dengan selesainya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat
memahami assesmen dengan baik agar dapat melakukan penilaian yang tepat sasaran

12
DAFTAR PUSTAKA

https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/komunikasi/article/download/431/455

http://scholar.unand.ac.id/18112/2/BAB%201%20Lisa.pdf

Masitoh. Gangguan Bahasa Dalam perkembangan Bicara Anak. Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia STKIP Muhammadiyah Kotabumi

13

Anda mungkin juga menyukai