Anda di halaman 1dari 8

PSIKOLOGI KLINIS

NORMAL & ABNORMAL

Dosen Pengampu : Nindia Pratitis, S.Psi., M.Psi., Psikolog.


Nama Kelompok : Lusy Ayu Ira Y. 1511800071
Wulan Safira Maskori 1511800099
Abrar Wanadhi Robet 1511800100
Adinda Nur A . 1511800116
Arinda Hermadita A. 1511800120

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
A. Definisi Normal – Abnormal
1. Normal menurut stern
Stern mengusulkan untuk memperhatikan 4 aspek untuk menilai normal atau
tidaknya seseorang, yaitu daya interaksi, ada tidaknya simtom gangguan, criteria
psikoanalisis, dan deteminan sosio-kultural.
Sudut pandang perilaku normal VS abnormal
Perilaku yang memenuhi standar dalam suatu kurva normal dan melalui
perhitungan yang teliti sehingga didapatkan rata-rata orang berperilaku yang
sama adalah perilaku normal berdasarkan sudut pandang pendekatan kuantitatif.
Namun beda hal menyadari sudut pandang kualitatif. Pendekatan ini tidak
didasarkan pada perhitungan atau pemikiran awam, tetapi atas dasar observasi
pengamatan yang melibatkan penelitian secara langsung dan empirik dilapangan
mengenai tipe – tipe ideal.Tipe-tipe ideal yang dimaksud sangat terkait dengan
keadaan sosial budaya dimana observasi dilakukan. Sebagai contoh, keluarga
yang sedang berduka mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam untuk mengenang
dapatdikatakan sebagai perilaku abnormal di wilayah lain, karena mereka tidak
menganut budaya tersebut.
Stern (1964) mengusulkan perhatian pada empat aspek untuk menilai normal
dan abnormalitas seseorang, yaitu:
1. Daya integrasi; Fungsi ego dalam mempersatukan, mengkoordinasi kegiatan
ego kedalam maupun keluar diri.
2. Ada atau tidaknya simtom gangguan; Ditinjau dari segi praktis, merupakan
pegangan yang paling jelas dalam mengevaluasi kesehatan jiwa secara
kualitatif. Ini dinamakan juga pendekatan medis.
3. Kriteria psikoanalisis; Memperhatikan dua hal untuk dipakai sebagai
patokan dari kesehatan jiwa, yaitu tingkat kesadaran dan jalannya
perkembangan psikoseksual. Makin tinggi tingkat kesadaran seseorang,
makin baik atau sehat jiwanya.
4. Determinan sosio-kultural; Lingkungan seringkali memegang peranan besar
dalam penilaian suatu gejala sebagai normal atau tidak
2. Normal menurut Ulmann& Krasner (1980)
Tidak dapat dilihat secara dikotomis sebagai normal atau abnormal, tetapi
harus dilihat sebagai hasil dari keadaan masa lalu dan masa kini, statistik, dan
legal (hukum) tentang abnormalitas. Dengan kata lain hal tersebut merupakan
simtom simtom psikopatologi yang sama terjadi pada orang sakit, tetapi ada pada
orang normal simtom ini terjadi dalam derajat jauh lebih ringan. Menurut ulmann
dan Krasner selain definisi statistic, medis, dan psikoanalistis serta sosio kultural
terhadap abnormalitas. Definisi ini menghubungkan tingkah laku manusia dengan
kompetensi, tanggung jawab atas perbuatan criminal serta komitmen. Definisi ini
digunakan untuk menentukan apakah seseorang sudah harus dimasukan kerumah
sakit jiwa, penjara, institusi khusus atau tidak.
 Menghubungkan tingkahlaku manusia dengan kompetensi, tangguang jawab
atas perbuatan kriminal serta komitmen
 Commitment :mengacup ada penentuan kapan seseorang harus diamankan
kedalam rumah sakit jiwa atau ketempat perawatan khusus.
William Gladstone (1978), membuat kriteria normal berdasarkan 7 aspek
tingkah laku penyesuaian diri yaitu;
 Ketegangan  Organisasidiri
 Suasanahati  Hubunganantarmanusia
 Pemikiran  Keadaanfisik
 Kegiatan (Aktivitas)
Dari masing – masing aspek memliki kriteria tingkah laku yang dijadikan
pegangan penilaian normalnya penyesuaian. Gladstone membaginya kedalam 5
tingkatan yaitu
 Normal
 Darurat
 Neurotik (Neurotik Coping Style)
 Kepribadianataukarakterneurotik
 Gangguanberat
Dari penjelasan singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang
dikatakan normal atau sehat adalah ketika ia memiliki keadaan yang positif yang
ditandai dengan dapat menyesuaikan diri baik terhadap fisik, mental, serta
hubungan diriny adengan lingkungan sosialnya, sehingga tercipta perasaan puas
dan bahagia.
Abnormal itu bukan suatu penyakit/kelainan keturunan dan tidak bisa
disembuhkan, tetapi abnormal adalah suatu perilaku yang menyimpang dari
normal atau tidak dapat diterima secara umum.
Lalu untuk menilai suatu perilaku itu normal atau tidak, dapat menggunakan
pendekatan kuantitatif atau kualitatif dengan beberapa aspek yang harus
diperhatikan.
B. Kriteria Perilaku Abnormal
1. Kejarangan Statistik
Salah satu aspek perilaku abnormal adalah perilaku tersebut jarang ditemukan.
Abnormal merupakan sesuatu yang tidak lazim atau secara harfiah yang
menyimpang dari norma. Setiap kepribadian dapat kita gambarkan seperti kurva
normal atau kurva lonceng dimana terdapat dua arah yaitu kanan (sangat baik),
kiri (kurang), tengah (mayoritas rata-rata). Sebagai contoh sifat agresif, dimana
makin jauh dari nilai rata-rata baik ke arah kanan maupun kiri kita temukan orang-
orang dengan tingkat agresifitas ekstrem (rendah atau tinggi), yang dua-duanya
berkonotasi negatif (abnormal)
2. Pelanggaran Norma
Perilaku abnormal ditentukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dimana
perilaku tersebut terjadi. Jika perilaku sesuai dengan norma masyarakat berarti
normal. Sebaliknya jika bertentangan dengan norma, berarti abnormal. Tetapi hal
yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan abnormalitas adalah apakah
perilaku tersebut melanggar norma sosial atau mencemaskan atau mengancam bagi
mereka yang mengamatinya
3. Distress Pribadi
Perilaku akan dinilai abnormal apabila menciptakan tekanan perasaan-perasaan
cemas, depresi, sedih, atau perasaan bersalah yang mendalam. Namun ini
merupakan bukan menjadi sebuah patokan yang baik untuk membedakan perilaku
normal dari yang abnormal. Jika tekanan batin yang dirasa tidak berkesudahan
mungkin merupakan indikasi bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tetapi apabila
ada seseorang yang merasa sedih akibat terkena musibah, itu disebut normal.
Namun bila ada seseorang yang merasa gembira setelah ditinggal oleh orang yang
ia sayangi, maka sesorang tersebut dapat dikatakan abnormal sebab ia bersikap
tidak wajar
4. Disabilitas atau Disfungsi Perilaku
Disabilitas yaitu ketidakmampuan individu dalam beberapa bidang penting dalam
hidup. Individu mengalami ketidak mampuan (kesulitan) untuk mencapai tujuan
karena abnormalitas yang dideritanya. Misal : fobia parah ketakutan naik pesawat,
dapat menghambat seseorang memperoleh promisi jabatan
5. Yang Tidak Diharapkan (Unexpectedness)
Perilaku abnormal merupakan sesuatu bentuk respon yang tidak diharapkan terjadi.
Contohnya seseorang tiba-tiba menjadi cemas (misal ditunjukkan dengan
berkeringat dan gemetar) ketika berada di tengah-tengah suasana yang berbahagia.
Respon yang ditunjukkan adalah tidak diharapkan dan tidak seharusnya terjadi.
C. Klasifikasi Tingkah Laku Abnormal
Henderson dan Gillespie (1956) membagi beberapa jenis klasifikasi gangguan
jiwa, antara lain:
1. Klasifikasi Psikologis
Merupakan klasifikasi gangguan yang menitikberatkan pada gangguan
fungsi-fungsi psikologis, antara lain:
a) Gangguan-gangguan dalam ide, imajinasi dan emosi (Linneaus).
b) Gangguan “ideal” dan gangguan “notional” atau dalam fungsi persepsi dan
imajinasi sertagangguan dalam bidang konseptual atau pemikiran (Arnold).
c) Gangguan dalam pengertian, gangguan dalam kehendak dan gangguan
campuran (Heinroth).
d) Gangguan intelektual dan gangguan afeksi (emosi) yang selanjutnya dibagi
menjadi gangguanafektif moral dan gangguan afektif animal (Bucknill &
Tuke).
e) Gangguan tanpa efek atau kerusakan intelektual dan gangguan dengan efek
intelektual, baik darilahir maupun yang diperoleh kemudian (Ziehen).
2. Klasifikasi Fisiologis
Asumsinya, proses-proses mental memiliki dasar faal atau fisiologis.
Beberapa pendapat ahli antara lain:
a) Menurut Tuke gangguan fungsi sensorik (misalnya halusinasi), fungsi motorik
(contohnya kelumpuhan atauparalysis) dan ide (contohnya demensia).
b) Maynart membagi penyebab tingkah laku abnormal ada tiga yaitu: Perubahan
anatomis, gangguan gizi, intoksikasi atau keracunan. Gangguan gizi dapat
mengakibatkan rangsangan atau gangguan di otakyang bisa menyebabkan
gangguan, misalnya di bagian kortikal bisa mengakibatkan mania dandelusi.
Di bagian subkortikal bisa mengakibatan delusi dan halusinasi, sedangkan di
bagian subkortikalvascular bisa mengakibatkan gangguan epilepsi (Maynart).
c) Wernicke membuat asumsi bahwa tiap isi kesadaran tergantung pada
seperangkat elemen saraf tertentu. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa
mungkin mengalami interupsi atau hambatan atau ia terlalu peka pada
rangkaian asosiaso psikosensori, intrapsikis atau psikomotor. Gangguan ini
berturut-turut diberi namasebagai berikut:
- Di bidang psikosensoris, ada gangguan-gangguan anesthesia (tidak ada
rasa),hyeraesthesia (rasa berlebihan) dan parasthesia (rasa yang tidak
tepat).
- Di bidang intrapsikis, ada gangguan afunction (tidak berfungsi),
hyperfunction (fungsi berlebihan) dan parafunction (salah fungsi).
- Di bidang psikomotor, ada gangguan akinesis (tak ada gerakan),
hyperkinesis (gerakan berlebihan) dan parakinesis (gerakan salah).
3. Klasifikasi Etiologis
Klasifikasi ini didasarkan pada penyebab-penyebab yang memunculkan
sebuah gangguan. Ada pendapat yang menjelaskan bahwa penyakit fisik bisa
berpengaruh terhadap kondisi psikis sampai bisa menyebabkan gangguan jiwa.
Misalnya seseorang yang menderita sakit demam tinggi hingga otaknya
terganggu, setelah sembuh bisa menunjukan gejala kelainan perilaku atau sifat.
Contoh lain adalah seorang wanita saat menstruasi bisa mengalami perubahan
mood ke arah depresif. Contoh klasifikasinya:
a) Oligophrenia.
b) Neurosis dan Psikoneurosis.
c) Konstitusi Psikopatik.
d) Psikosis Afektif.
e) Keadaan Kacau (Confusional States).
f) Psikosis Epileptik.
g) Kelumpuhan Umum.
h) Psikosis lain yang berkaitan dengan penyakit otak.
i) Dementia.
j) Tak tergolongkan
4. Klasifikasi Simtomatologis
Klasifikasi gangguan ini didasarkan pada gejala-gejala yang muncul. Metode
klasifikasi seperti ini merupakan metode yang paling penting dalam psikiatri.
Metode ini mencakup etiologi dan menekankan observasi (pada simtom yang
muncul). Ada asumsi bahwa gejala-gejala atau symptom complex yang sifatnya
sementara disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya yang sesuai dengan innate
disposition (Kahlbaum & Bleuler).Kraeplin berpendapat bahwa ada tiga kategori
fungsi psikis manusia yaitu :
- S = Stimmung/Afeksi/Emosi
- D = Denken/Kognisi/Pikiran
- H = Handlung/Konasi/Tindakan
Jika ketiga hal tersebut semakin terintegrasi dengan baik, maka kondisi
kejiwaan seseorang semakin baik atau semakin sehat mental.Salah satu dari sistem
klasifikasi gangguan mental yang menggunakan metode ini yaitu TheDiagnostic
dan StatisticalManual of Mental Disorder (DSM) yang dipakai di kalangan
psikolog dan psikiater.
5. Klasifikasi Mutakhir
Klasifikasi gangguan jiwa yang terakhir dan terbaru adalah Diagnostic and
Stastitical Manual for Mental Disorders atau DSM III dan DSM IV yang dibuat
oleh American Psychiatric Association (APA). Berbeda dengan DSM I dan DSM
II, maka pada DSM III dan DSM IV dasar klasifikasi gangguan jiwa diperluas.
Awalnya DSM hanya memperhatikan satu dimensi yaitu dimensi simtom klinis
yang dinyatakan dalam Axis 1. Kini DSM yang telah memasuki versi IV revised,
memperhatikan lima dimensi yaitu sebagai berikut :
- Axis I simtom klinis.
- Axis II gangguan kepribadian.
- Axis III kondisi medik umum.
- Axis IV masalah psikososial dan lingkungan.
- Axis V penilaian fungsi secara global.
DAFTAR PUSTAKA

Davison, Gerald C.,dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : Rajawali.


Slamet I.S, Suprapti, Sumarmo Markam. 2015. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta : UI
Press.

Anda mungkin juga menyukai