Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

GANGUAN DISABILITAS & GANGGUAN BELAJAR


( Disleksia Matematika Dan Slow Learner)
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal yang
diampu oleh Devi Sekar Ayu Ningrum, M.Psi.,Psikolog.

Kelompok 8
NAMA NIM
Muhammad Irfan 17010213
Fickar Galabi 17010170
Heni Agustina 17010230
Rini Nuraeni 17010214
Ugi Sugiar 17010154
M. Agung Akbar 17010152

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


SILIWANGI BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun sebuah makalah yang
membahas tentang " Ganguan Disabilitas & Gangguan Belajar ( Disleksia
Matematika Dan Slow Learner)” meskipun bentuknya sangat jauh dari
kesempurnaan, selanjutnya salawat dan salam kami kirimkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW sebagaimana beliau telah mengangkat derajat manusia dari
alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Dalam penulisan makalah, kami memberikan sejumlah materi yang terkait


dengan materi yang disusun secara langkah demi langkah, agar mudah dan cepat
dipahami oleh pembaca.

Dan kami juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
yang membimbing mata kuliah Pengantar Bimbingan dan Konseling atas
bimbingannya pada semester ini meskipun baru memasuki awal perkuliahan.
Kami juga mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan pedoman apabila,
pembaca melakukan hal yang berkaitan dengan makalah ini, karena apalah
gunanya kami membuat makalah ini apabila tidak dimanfaatkan dengan baik.

Sebagai manusia biasa tentu kami tidak dapat langsung menyempurnakan


makalah ini dengan baik, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun dari dosen pembimbing mau pun pembaca.

Bandung, 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 1

C. Tujuan ................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 2

A. Gangguan Disabilitas ......................................................................... 2

B. Disabilitas Belajar .............................................................................. 3

C. Diseleksia Matematika ...................................................................... 9

D. Slow learner ....................................................................................... 12

BAB III PENUTUP.............................................................................................


18

A. Kesimpulan ........................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Ketika penyandang disabilitas menghadapi sebuah hambatan maka hal itu
akan menyulitkan mereka dalam berpartisipasi penuh dan efektif dalam
kehidupan bermasyarakat berdasarkan kesamaan hak.
Sebagian besar orang awam memahami disleksia sebagai kondisi dimana
anak sulit belajar baca, malas menulis, jika menulis banyak huruf yang
hilang, sulit menghitung, dan sebagainya. Namun sejatinya disleksia sama
sekali tidak sesederhana itu.
Istilah disabilitas belajar tidak di gunakan dalam DSM-IV-TR, namun
digunakan oleh sebagian besar professional kesehatan untuk menggabungkan
tiga gangguan yang tercantum dalam DSM: Gangguan perkembangan belajar,
gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motorik.
Anak slow learner banyak memerlukan bimbingan dan pendampingan yang
lebih, agar dapat mengikuti pelajaran dengan optimal sesuai dengan tingkat
kemampuannya. Oleh sebab itu, anak slow learner perlu diberikan
pendampingan atau penanganan khusus agar dapat mengikuti pelajaran
seperti anak lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengnertian dari gangguan disabilitas
2. Apa pengertian dari gangguan belajar
3. Apa pengertian dari disleksia matematika
4. Apa pengertian dari slow learner
C. Tujuan
1. Untuk menngetahui pengertian dari gangguang disabilitas
2. Untuk menetahui pengertian dari gangguan belajar
3. Untuk mengetahui pengertian dari disleksia
4. Untuk mengetahui pengertian dari slow learner
BAB II
1
PEMBAHASAN

A. Gangguan Disabilitas
a) Pengertian Disabilitas
Disabilitas merupakan suatu ketidakmampuan tubuh melakukan
aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana orang normal pada umumnya
yang disebabkan oleh kondisi ketidakmampuan dalam hal fsiologis,
psikologis, dan kelainan dalam struktur atau fungsi anatomi. Dahulu
disabilitas lebih dikenal dengan sebutan penyandang cacat.
Disabillitas sekarang ini sudah tidak lagi menggunakan istilah
penyandang cacat, namun sudah diganti dengan istilah penyandang
disabilitas. Penyandang disabilitas merupakan orang yang mempunyai
keterbatasan mental, fisik, intelektual maupun sensorik yang dialami dalam
waktu lama. Ketika penyandang disabilitas menghadapi dengan sebuah
hambatan maka hal itu akan menyullitkan mereka dalam berpartisipasi penuh
dan efektif dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan kesamaan hak.

b) Jenis- Jenis Disabilitas


1. Disabilitas fisik
Merupakan gangguan pada tubuh yang membatasi fungsi fisik salah satu
anggota badan bahkan lebih atau kemampuan motoric seseorang. Disabilitas
fisik lainnya termasuk sebuah gangguan yang membatasi sisi lain dari
kehidupan sehari-hari. Misalnya gangguan pernapasan dan epilepsy.
2. Disabilitas mental
Biasanya disebutkan kepada anak-anak yang memiliki kemampuan di bawah
rata-rata. Akan tetapi tidak hanya itu saja, disabilitas mental juga merupakan
istilah yang menggambarkan berbagai kondisi emosional dan mental.
Gangguan kejiwaan merupakan istilah yang digunakan pada saat disabilitas
mental yang sangat signifikan mengganggu kinerja aktivitas hidup yang
besar. Missal saja seperti mengganggu belajar, berkomunikasi dan bekerja,
dan lain sebagainya.
3. Disabilitas intelektual
Merupakan suatu pengertian yang sangat luas mencakup berbagai kekurangan
intelektual, diantaranya juga keterbelakangan mental. Sebagai contohnya
adalah seorang anak yang mengalami ketidakmampuan belajar. Dan
disabilitas intelektual ini bisa muncul pada usia berapapun.
4. Disabilitas sensorik 2
Gangguan yang terjadi pada salah satu indra, istilah ini biasanya digunakan
terutama pada gangguan pendengaran, penglihatan dan indra lainnya.
5. Disabilitas perkembangan
Disabilitas yang menyebabkan suatu masalah dengan pertumbuhan dan juga
perkembangan tubuh. Meskipun istilah disabilitas perkembangan sering
digunakan sebagai ungkapan halus untuk disabilitas intelektual, istilah ini
mencakup juga berbagai kondisi kesehatan bawaan yang tidak mempunyai
komponen intelektual atau mental, contohnya spina bifida.

B. Disabilitas Belajar
a) Pengertian Disabilitas Belajar
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya
perkembangan dalam suatu bidang akademik tertentu, Bahasa, berbicara, atau
keterampilan motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental, autism,
gangguan fisikyang dapat terihat, atau kurangnya kesempatan Pendidikan.
Anak-anak yang mengalami ganguan ini biasanya memiliki intelegensi rata-
rata atau di atas rata-rata. Namun mengalami kesulitan mempelajari beberapa
keterampilan tertentu (aritmatika atau membaca) sehingga kemajuan mereka
di sekolah menjadi terhambat.
Istilah disabilitas belajar tidak di gunakan dalam DSM-IV-TR, namun
digunakan oleh sebagian besar professional kesehatan untuk menggabungkan
tiga gangguan yang tercantum dalam DSM: Gangguan perkembangan belajar,
gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motoric. Masing-
masing gangguan tersebut dapat di tegakkan pada seorang anak yang tidak
dapat berkembang sesuai dengan tingkat intlektualitasnya dalam bidang
akademik spesifik, Bahasa, atau keterampilan motoric. Disabilitas belajar
sering kali teridentifikasi dan ditangani dalam system sekolah dan bukan di
berbagai klinik kesehatan mental. Meskipun di yakini jauh lebih umum
terjadi pada anak laki-laki di banding pada anak perempuan, bukti-bukti yang
diperoleh dari berbagai studi berbasis populasi (yang menghindari masalah
bias-bias rujukan) (Shaywitz dkk;1990). Meskipun para individu dengan
disabilitas belajar biasanya dapat menemukan cara untuk mengatasi masalah
mereka, bagaimanapun hal ini mempengaruhi perkembangan akademik dan
sosial mereka, dan terkadang cukup parah.
b) Gangguan Perkembangan Belajar
DSM-IV-TR membagi gangguan perkembangan belajar menjadi tiga
kategori: gangguan membaca, gangguan menulis ekspresif, dan gangguan
berhitung. Tidak satupun dari diagnosis tersebut tepat jika disabilitas tersebut
dapat disebabkan oleh deficit sensori, seperti masalah visual atau
pendengaran.
 Anak-anak dengan gangguan membaca, yang lebih dikenal sebagai
disleksia, mengalami kesulitan besar untuk mengenali kata, memahami
bacaan serta umumnya juga menulis ejaan. Bila membaca dengan
keras mereka melewatkan, menambah, atau menyimpangkan ucapan
kalimat hingga ketingkat yang tidak umum pada usia mereka. Di masa
dewasa, masalah membaca, pemahaman dan menulis ejaan tetap di
alami (Bruck, 1987). Gangguan ini terjadi pada 5 hingga 10 persen
anak-anak usia sekolah, tidak menghambat penderitaannya untuk
berprestasi. Contohnya, telah diketahui secara luas bahwa Tom Cruise,
seorang aktor terkenal dan sukses, menderita disleksia.
 Gangguan menulis ekspresif menggambarkan hendaya dalam
kemampuan untuk menyusun kata tertulis (termasuk kesalahan ejaan,
kesalahan tata Bahasa atau tanda baca, atau tulisan tangan yang sangat
buruk) yang cukup parah sehingga dapat sangat terhambat prestasi
akademik atau aktivitas sehari-hari yang memerlukan keterampilan
menulis. Hingga saat ini hanya sedikit atau sistematis yang terkumpul
mengenai prevalensi gangguan ini, yang dialami oleh mahasiswa.
 Anak-anak dengan gangguan berhitung dapat mengalami kesulitan
dalam mengingat fakta-fakta secara cepat dan akurat, menghitung
objek dengan benar dan cepat, atau mengurutkan angka-angka dalam
kolom-kolam.
c) Gangguan Komunikasi

Terdapat bebrapa katagori gangguan berkomunikasi, yaitu sebagai berikut:

 Dalam gangguan berbahasa ekspresif, anak mengalami kesulitan


mengekspresikan dirinya dalam berbicara. Si anak tampak sangat ingin
berkomunikasi. Namun mengalami kesulitan luar biasa untuk
menemukan kata-kata yang tepat; contohnya, ia tidak mampu
mengucapkan kata mobil ketika menunjukan sebuah mobil yang
melintas di jalan. Diusia empat tahun, anak tersebut hanya mampu
berbicara dengan kalimat pendek. Kata-kata yang sudah dikuasai, dan
penggunaan struktur tata Bahasa sangat di bawah tingkat usianya.
 Tidak seperti anak-anak yang mengalami kesulitan untuk menemukan
kata yang tepat, anak-anak mengalami gangguan fonetik menguasai
dan mampu menggunakan perbendaharaan kata dalam jumlah besar,
namun mengucapkan tidak jelas; contohnya biru diucapakn sebagai
biu, dan kelinci terdengar seperti kinci. Mereka tidak menguasai
artikkulasi suara dari huruf-huruf yang dikuasai sepertir, s, t, f,z, l, dan
c. melaui terapi bicara dapat dicapai kesembuhan dalam semua kasus,
dan kasus ringan dapat disembuhkan dengan sendirinya di usia 8
tahun.
 Gagap, merupakan gangguan komunikasi yang ketiga. Yaitu gangguan
kepasihan verbal yang ditandai dengan satu atau lebih pola bicara
berikut ini: seringnya pengulangan atau pemanjangan pengucapan
konsonan atau vokal, jeda yang lama antara pengucapan satu kata
dengan kata berikkutnya, mengganti kata-kata yang sullit diucapkan
(kata-kata dengan konsonan tertentu), dan mengulang kata
(mengatakan ke-ke-ke-ke). Kadang ketidakfasihan verbal tersebut
disertai dengan tic (kerrang) pada tubuh dan mata berkedip-kedip.
Kegagapan dapat menghambat fungsi akademik, social, Dan pekerjaan
serta aktualisasi potensi orang-orang yang pada dasarnya memiliki
kemampuan. Kegagapan sering kali menjadi lebih buruk bila orang
yang bersangkutan merasa gugup dan sering kali membaik atau bahkan
hilang bila ia bermain dalam drama panggung, meskipun berada di atas
panggung cukup memancing kecemasan baginya. Ia mengatan bahwa
jauh lebih mudah mengucapkan kata-kata yang tertulis pada naskah
daripada berbicara dengan kata-kata sendiri, konsisten dengan
membaiknya kondisi yang sering kali dialami oleh orang-orang gagap
ketika mereka membaca dengan keras. Jumlah laki-laki yang
mengalami masalah ini sekitar 3 kali lebih banyak dari perempuan,
yang biasanya muncul disekitar usia 5 tahun dan hamper selalu
sebelum usia 10 tahun. DSM memperkirakan bahwa hingga 80 persen
individu yang mengalami kegagapan dapat sembuh, sebagian besar
tanpa intervensi professional, sebelum penderita mencapai usia 16
tahun.
d) Gangguan Keterampilan Motorik

Pada gangguan keterampialan motorik, yang juga disebut sebagai


gangguan koordinasi perkembnagan, seorang anak mengalami handaya
parah dalam perkembangan koordinasi motoric yang tidak disebabkan oleh
retardasi mental atau gangguan fisik lain yang telah dikenal seperti
serebral palsi anak tresebuut dapat mengalami kesulitan mengikat tali
septaunya dan mengnancingkan baju dan, bila berusia lebih besar,
membuat suatu bangun, bermain bola, dan menggambar atau menulis.
Diagnosis hanya ditegakkan bila handaya tersebut sangat mennghambat
prestasi akademik atau berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari.

e) Etilogi Disabilitas Belajar

Sebagaian besar penelitian mengenai disabilitas belajar terfokus


pada disleksia mungkin karena disleksia merupakan gangguan yang paling
banyak terjadi dalam kelompok gangguan ini. Meskipun berbagai studi
mengenai gangguan berhitung mulai dilakukan, literature dalam bidang ini
berkembang lebih lambat.

Etilog Disleksia. Berbagai teori psikologi di masalalu


memfokuskan pada kelemahan perseptual sebagai basis disleksia. Sebuah
hipotesis popular menyatakan bahwa anak-anak yang mengalami masalah
membaca melihat huruf-huruf dalam posisi sebaliknya atau dalam citra
cermin, melihatnya sebagai huruf lain, contohnya, melihat huruf b sebagai
huruf d. meskipun demikian, berbagai temuan yang lebih mutakhir tidak
mendukung hipotesis ini (Wolff & Melngailis, 1996): sebagian besar anak
membaca huruf secara terbalik ketika pertama kali belajar membaca,
namun para individu disleksik sekalipun sangat jarang melihat huruf
secara terbalik setelah berusia 9 atau 10 tahun. Tidak ditemukan hubungan
antara kesalahan membaca huruf pada usia 5 atau 6 tahun dan kemampuan
membaca setelahnya (Calfee, Fisk, dan Piontkowski, 1985) juga tidak
hanya orang yang mampu melihat saja yang dapat mengalami masalah
membaca, orang-orang tunanetra dapat mengalami kesulitan belajar
membaca huruf braille (McGuinesst, 1981).

Terdapat konsensus yang cukup baik di kalangan para peneliti


dewasa ini bahwa berbagai kelemahan inti yang membentuk disleksia
mencakup berbagai masalah dalam proses-proses visual/pendengaran dan
Bahasa. Bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai studi psikologis,
neuropsikologis, dan pencitraan neuro mendukung pendapat ini,
contohnya anak-anak yang mengalami disleksia dalam tugas-tugas visual
yang membutuhkan pemrosesan cepat, seperti menentukan beberapa
banyak titik yang ditampilkan di layar dalam serangkaian presentasi (Eden
dkk, 1995). Selain itu , penelitian menunjukan adanya satu masalah atau
lebih dalam pemrosesan Bahasa yang dapat mendasari disleksia, termasuk
persepsi bicara dan analisis bunyi Bahasa ucapan dan hubungannya
dengan kata-kata tertullis (Mann & Brady, 1988).

Memang, serangkaian studi longitudinal menunjukan bahwa


beberapa masalah Bahasa di usia dini dapat memprediksi terjadinya
disleksia di kemudian hari. Beberapa anak tertentu lebih mungkin
mengalami disleksia: yaitu mereka yang mengalami kesulitan mengalami
kesulitan mengenali puisi dan sajak pada usia 4 tahun (Bradley & Bryant,
1985); mereka yang mengalami kesulitan menyebutkan nama objek
familiar dengan cepat pada usia 5 tahun (Scarborough, 1990; Wolf, Billy,
& Morris, 1986); dan mereka yang terlambat menguasai berbagai aturan
bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun (Scarborough, 1990).

Berbagai studi yang menggunakan berbagai macam Teknik


pencitraan otak selama melakukan tugas-tugas visual, pendengaran, dan
Bahasa mengungkap adanya perbedaan dalam aktivitasi beerbagai bagian
tertentu dalam otak antara para individu disleksia dan yang tidak dislek.
Contohnya, sebuah studi dengan pemindaian PET menunjukkan bahwa
selama melakukan sebuah tes yang menghendaki anak-anak untuk
mengenali puisi, korteks tetmporoparietal pada belahan kiri menjadi aktif
pada anak-anak non dislesik, namun tidak demikian pada anak-anak
disleksik. Temuan ini penting karena korteks temporoparietal berhubungan
dengan suatu aspek dalam pemrosesan Bahasa yang disebut kesadaran
fonologis, yang diyakkini penting bagi perkembangan keterampilan
membaca (Rusmey dkk, 1992, 1994; Shaywitz & Shaywitz, 1999). Sebuah
studi belum lama berselang menggunakan Fmri juga menemukan bahwa
bila dibandingkan dengan anak-anak nodisleksik, anak-anak disleksik
tidak mampu mengaktifkan daerah temporoparietal ketika melakkukan
tugas pemrosesan fonologis (Temple dkk., 2001). Temuan sejenis dengan
menggunakan Fmri jjuga dihasilkan pada orang-orang dewasa yang
menderita disleksia (Horwitz, Rumsey, & Donahue, 1998; Klingberg dkk.,
2000).

Bukti lain juga menunjukan bahwa abnormalitas otak, yang


kemungkinan bersifat keturunan, kemungkinan bertanggung jawab atas
disleksia. Contohnya, otopsi otak pada beberapa individu yang mengalami
disleksia di masa kanak-kanak mengungkap adanya abnormalitas
mikroskopik pada lokasi, jumlah, dan pengaturan neoron di daerah yang
disebut daerah Bahasa posterior pada korteks (Galaburda, 1989, 1993).
Berbagai studi keluarga dan orang kembar menegaskan bahwa terdapat
komponen keturunan dalam disleksia (Pennington, 1195; Raskind, 2001),
kemungkinan dikendalikan oleh kromosom 6 (Cardon dkk., 1994; Fisher
dkk., 1999; Gayan dkk., 1999; Grigorenko dkk., 1997).

Etiologi Gangguan Berhitung. Terdapat 3 subtipe gangguan berhitung


yang diajukan oleh para ahli (Geaty, 1993).

 Subtipe pertama menyangkut kelemahan memori verbal semantik


(memori mengenai arti kata-kata) dan memicu timbulnya masalah
dalam mengingat fakta-fakta aritmetik, bahkan setelah melalui latihan
ekstensif. Tipe gangguan berhitung ini tampak berhubungan dengan
beberapa disfungsi pada belahan kiri otak dan sering kali terjadi
bersamaan dengan gangguan membaca.
 Tipe kedua subtipe gangguan berhitung menyangkut gangguan strategi
yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan dalam menyelesaikan
soal-soal ssedrehana. Contohnya, bila anak kelas 1 yang mengalami
gangguan dalam subtipe ini diminta untuk menjumlahkan 3 dan 4,
pertama-tama mereka berhitung sampai 3 dengan jari mereka,
kemudian menghitung lagi ssejumlah 4. Secara kontras, anak-anak
seusia menunjukan 4 jari (Geary & Brown, 1991; Geary & Brown, &
Samaranayake, 1991). Belum ada bukti-bukti yang diperoleh mengenai
etiologic tipe disabilitas ini, yang tampaknya menyangkut
keterlambatan perkembangan dan umumnya membaik seiring
pertambahan usia.
 Subtipe ketiga yang jarang terjadi dalam gangguan berhitung
tampaknya menyangkut hendaya keterampilan visuospasial, yang
mengakibatkan kesalahan dalam mengurutkan angka-angka dalam
kolom atau melakukan kesalahan penempatan angka (meletakkan poin
decimal di tempat yang salah). Tipe gangguan ini memiliki
kemungkkinan kecil berhubungan dengan gangguan membaca
daripada subtipe memori sematik.

Meskipun belum dilakukan studi mengenai factor keturunan dalam


gangguan berhitung, terdapat bukti-bukti mengenai beberapa komponen
genetic dalam variasi individual dalam keterampilan berhitung. Secara
khusus, tipe disabilitas berhitung yang menyangkur hendaya memori
sematik merupakan tipe yang paling mungkin diturunkan. Sebuah studi
terhadap lebih dari 250 orang kembar yang dilakukan melalui Colorado
Learning Disabilitas Research Center menunjukan bahwa faktor-faktor
genetik yang sama mendasari kelemahan membaca dan berhitung pada
anak-anak yang mengalami kedua gangguan tersebut (Cillis & DeFries,
1991).

f) Penanganan Disabilitas Belajar

Kecemasan orang tua yang anak-anaknya mengalami keterlabatan


dalam membaca atau tidak dapat berbicara secara efektif sesuai dengan
usianya tidak dapat di remehkan berbagai upaya professional untuk
mengatasi disabilitas belajar telah menjadi subjek tren somatic,
edukasional, dan psikologis mulai dari penggunaan stimulant dan
pemenang hingga melatih anak dalam aktifitas motoric (seperti
merangkak) yang diyakini tidak dikuasai dengan baik diusia dini.
Harapannya adalah latihan motorik semacam itu akan mengorganisasikan
ulang beberapa koneksi neuron di otak.
Sebagian besar penanganan untuk disabilitas belajar dilakukan
dalam berbagai program Pendidikan khusus di sekolah-sekolah umum
(dilihat focus penemuan 15.4). berbagai pendekatan edukasional
mencakup mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan kognitif anak
seraya mennghindari kelemahannya; menargetkan keterampilan belajar
dan strategi organisasional; dan mengajarkan strategi intruksi diri secara
veebal (Cullbertson, 1998). Meskipun interpensi Pendidikan khusus
merupakan hal yang sangat umum, efekifitasnya dalam meningkatkan
kinerja akademik anak-anak yang mengalami ketidakmampuan belum
pernah dievaluasi secara teliti (Council forExceptional Children, 1993).

Bebrapa strategi saat ini digunakan untuk menangani disabilitas


belajar, baik dalam program sekolah, maupun dalam pembimbingan
privat. Pendekatan linguistic tradisonal yang pertama digunakan dalam
kasus kesulitan membaca dan menulis.

C. Disleksia Matematika
a. Pengertian Disleksia
Disleksia merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar spesifik yang
tersering diantara kedua bentuk kesulitan belajar spesifik lainnya yaitu
disgrafia dan diskalkulia. Disleksia yang berasal dari Bahasa greek secara
harafiah mengandung makna kesulitan berbahasa (dys = sulit; lexia =
Bahasa). Disleksia (seperti halnya diskalkulia dan disgrafia) terjadi pada
individu dengan potensi kecerdasan normal, bahkan banyak diantara
mereka yang mempunyai tingkat kecerdasan jauh diatas rata-rata. Itulah
sebabnya disleksia disebut sebagai kesulitan belajar SPESIFIK, karena
kesulitan belajar yang dihadapinya hanya terjadi pada satu atau beberapa
area akademis yang spesifik saja, diantranya area membaca, menulis dan
berhitung.
(sedikitnya) normal. Di usia dini, tanda-tanda disleksia tentu saja
bukan dilihat dari Disleksia adalah suatu kondisi dimana individu
menunjukan kesulitan yang bermakna diarea berbahasa termasuk
mengeja, membaca dan menulis. Kesulitan ini tidak sesuai dengan
kemampuan yang seharusnya merujuk kepada usia kronologis dan
kemampuan intelegensinya yang kemampuan bicara yang sarat dengan
artikulasi yang tidak tepat, misalnya kesulitan melapalkan ‘pemadam
kebakaran’ menjadi ‘pedadam kebaran’, ‘taksi’ menjadi ‘tasik’, dll.
usia sekolah, gejala disleksia mulai Nampak sebagai kesulitan di area
membaca, menulis, dan berhiting. Biasanya kemampuan di bidang ini
senantiasa ‘tertinggal’ dibandingkan dengan teman sebayanya. Anak sulit
mengenali bentuk huruf, bunyi huruf, kesulitan membaca dan menulis
kata-kata. Seringkalil jika menulis banyak huruf-huruf yang hilang atau
bahkan kehilangan beberapa kalimat saat menulis atau menyalin dari
papan tulis ke bukunya. Anak yang lebih besar lagi, bisa jadi sudah
mampu baca tulisan, namun membutuhkan usaha yang luar biasa untuk
mampu memahami kosa kata dan konten dari isi bacaan yang memang
bellum dituntut untuk mampu baca. Maka di usia prasekolah gejala
disleksia biasanya dilaporkan telat bicara dimana yang dimaksud adalah
anak dengan kemampuan memahami berbagai intruksi sesuai usianya,
namun memiliki kosa kata yang terbatas saat berbicara. Anak ini juga
kesulitan menjawab pertanyaan deskriptif secara tertulis sekalipun
mampu menjawabnya secara lisan. Sebagian anak ini juga mengalami
kesulitan dalam berhitung.
b. Disleksia Matematika
Ketidakmampuan dalam matematika atau dyscalculia yang sering
disebut dengan disleksia matematika, merupakan salah satu masalah
serius yang bisa timbul pada anak. Profesor neurosains perkembanngan
kognitif dan penasehat Understood.org, Daniel Ansari mengatakan,
dyscalculia sama seperti disleksia biasa namun lebih sedikit
teridentifikasi.
c. Gejala Dyscalculia
Anak dengan dyscalculia sering kali “kehilangan jejak” saat
berhitung. Mereka mungkin masih mengandalkan jari-jarinya disaat anak-
anak lain seusianya sudah tak lagi melakukannya. Merreka juga mungkin
tidak mampu secara tepat mengenali dan menyebutkan jumlah dalam
objek dalam satu kelompok kecil (sebuah kemampuan yang dinamakan
subitizing), misalnya mampu melihat angka 5 dan 3 pada dadu dilempar
tanpa menghitungnya.
Tak hanya itu, bahkan pemahaman dasar akan anngka juga terganggu.
Ini bisa menyulikan mereka, misalnya menentukan apakah angka 8 lebih
besar dari angka 6. Anak-anak dengan dyscalculia juga memilliki banyak
kecemasan terhadap angka. Misalnya, mereka panik saat memikirkan
pekerjaan rumah matematika, atau panik saat akan ujian matematika.

Biasanya, anak-anak dengan dyscalculia usia sekolah merasa kesulitan


dalam;
 Memperkirakan jarak waktu atau apapun yang berhubungan
dengan perhitungan, misalnya menghitung jarak dari satu tempat
ketempat lain atau mengukur ketinggian tempat.
 Memahami soal cerita matematika.
 Mempelajari matematika dasar, seperti penambahan, pembagian,
dan perkalian.
 Mengaitkan angka dengan penulisan katanya, milalnya “1”
dengan “satu”.
 Memahami pecahan.
 Mengerti grafik atau diagram (konsep visual special).
 Menghitung uang atau jumlah kembalian.
 Mengingat nomor telepon atau kode pos.
 Menentukan waktu atau membaca jam.

Setiap aktivitas yang berbasis angka atau penghitungan_bahkan diluar


sekolah_bisa membuat anak dengan dyscalculia frustasi. Misalnya,
seorang anak dengan ketidak mampuan belajar bisa kesal ketika
memainkan permainan yang membutuhkan kemampuan berhitung atau
adanya penghitungan skor.

d. Cara Menangani Anak dengan Dyscalculia


Jika seorang anak mengalami dyscalculia, ada beberapa hal yang bisa
dilakukan. Salahsatunya berkonsultasi dengan spesialis pembelajaran,
psikolog Pendidikan, atau neuropsikolog dengan spesialis dyscalculia
untuk membantu anak memahami matematika seperti;
 Merencanakan Teknik pembelajaran khusus
 Pembelajaran lewat permainan berbasis matematika.
 Jam belajar yang lebih intens.
Sebagai orang tua, diharapkan bisa membantu anak dalam belajar
dan mengerti matematika sekaligus menurunkan rasa cemasnya
dengan cara;
 Biarkan anak menggunakan jemarinya dan kertas saat ia
berhitung.
 Pastikan ia memiliki perlengkapan yang tepat, seperti kalkulator
yang mudah dioperasikan atau penghapus.
 Gunakan buku kotak-kotak (graph paper), ini membantu menjaga
kolom dan angka.
 Mendatangkan guru matematika yang berpengalaman.
 Menggambar saat anak mencoba memecahkan soal cerita
matematika.
 Beri pujian pada anak yang sudah bekerja keras, bukan dari
hasilnya.
 Bicarakan mengenai ketidakmampuannya dalam belajar
matematika dengan anak.
 Ajari ia cara-cara untuk mengelola rasa cemas.
Jangan langsung patah semangat ketika menemukan kasus kesulitan
dalam matematika yang dialami anak adalah kondisi dyscalculia. Dengan
metode khusus, dikombinasikan dengan kreativitas pembelajaran yang
selalu aktif dan kesabaran penuh, diharapkan perkembangan anak akan
optimal seperti anak-anak lainnya.

D. Slow Learner
a. Pengertian Slow Learner
Slow learner sering digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai
kemampuan kognitif di bawah rata-rata atau lamban belajar. Anak slow
learner memiliki prestasi belajar di bawah rata-rata dari anak normal pada
umumnya. Kondisi tersebut bisa terjadi disalah satu bidang akademik.
Anak lamban belajar memiliki IQ antara 70-90. Penggolongan slow
learner didasarkan apabila anak tidak berhasil mencapai tingkat
penguasaan suatu objek belajar yang diperlukan sebagai syarat
memahami objek belajar pada tingkat berikutnya. Oleh karenanya, anak
slow learner membutuhkan waktu dan intensitas berlatih yang lebih
banyak untuk mengulang materi pembelajaran tersebut agar mendapat
hasil yang sesuai dengan standar atau lebih optimal. Hal ini seperti yang
dikatakan Borah (2013) bahwa anak slow learner memiliki kemampuan
kognitif di bawah rata-rata, namun tidak bisa disebut dengan cacat. Hal
ini dikarenakan slow learner adalah normal tetapi memiliki masalah tidak
tertarik belajar di bawah system Pendidikan yang diterima. Kecerdasan
anak slow learner berada di bawah kecerdasan rata-rata dan berada di atas
kecerdasan anak tuna grahita, dengan demikian anak lamban belajar juga
sering disebut dengan borderline atau ambang batas (Mumpuniarti,
2007).
Anak slow learner secara fisik dalam pergaulan tidak menunjukan
perbedaan dengan anak normal pada umumnya. Hal ini membuat pihak
sekolah terkadang tidak cermat bahwa di sekolahnya terdapat anak yang
membutuhkan pendampingan yang khusus, yaitu membutuhkan
membutuhkan proses yang lebih lama dan metode yang lebih sederhana
dan variatif. Anak slow learner banyak memerlukan bimbingan dan
pendampingan yang lebih, agar dapat mengikuti pelajaran dengan optimal
sesuai dengan tingkat kemampuannya. Oleh sebab itu, anak slow learner
perlu diberikan pendampingan atau penanganan khusus agar dapat
mengikuti pelajaran seperti anak lain.
Secara umum anak slow learner hampir sama dengan anak-anak
normal pada umumnya. Anak slow learner selain lamban dalam
memahami materi juga lamban dalam merespon intruksi. Anak slow
learner bahkan tidak mampu memahami perintah yang kompleks atau
multiple step intructions. Karakteristik anak slow learner dapat
dikelompokan menjadi beberapa aspek yaitu:
a. Aspek Kognitif; berkaitan dengan keterbatasan kapasitas kognitif,
memori atau daya ingat rendah, gangguan dan kurang konsentrasi,
ketidakmampuan mengungkapkan ide. Anak slow learner
mengalami kesulitan hamper pada semua pelajaran, sehingga
membutuhkan pendampingan pribadi maupun metode belajar
untuk membantu memahami materi pelajaran. Maka, anak slow
learner perlu penjelasan dengan menggunakan berbagai metode
yang menarik dan mudah dipahami, serta harus dilakukan
berulang-ulang agar materi pelajaran atau latihan dapat dipelajari
dengan baik. Tingkat kemampuan yang demikian, mempengaruhi
kemampuan anak dalam perpikir secara abstrak, sehingga mereka
lebih senang membicarakan hal yang bersifat konkrit. Anak slow
learner kesulitan untuk memcahkan masalah meskipun masalahnya
sederhana. Hal ini karena kemampuan bebrpikir anak yang rendah
dan ingatan mereka tidak mampu bertahan lama (Yusuf, 2003).
b. Bahasa atau komunikasi; keterbatasannya kognitif diatas
mengakibatkan anak slow learner mnejadi kesulitan dalam
berkomunikasi dengan oranng lain. Anak slow learner akan lebih
mudah memahami sesuatu dengan Bahasa yang sangat konkrit, hal
ini akan menjadi permasalahan dalam berkomunikasi dnegan orang
lain yang telah memasuki tahap perkembangan kognitif berfikir
secara abstrak. Keterbatasan anak dalam memahami informasi
yang bersifat abstrak, mengakibatkan anak memiliki kemampuan
berbahasa yang sangat terbatas. Kosa kata yang dimiliki dan
dipahami oleh anak slow learner sangat sederhana dan terbatas
(Borah 2013).
c. Aspek fisik; Rumini (1980) menjelaskan bahwa keadaan fisik anak
slow learner sama seperti anak-anak normal pada umumnya.
Secara fisik anak slow learner tidak menunjukan keanehan namun
bila dilihat dari perkembangan motoriknya, anak slow learner
terlihat lebih lambat. Perkembangan motorik yang lamban
menyebabkan anak lamban belajar dan memiliki keteramoilan yang
rendah. Oleh sebab itu anak slow learner seringkali mengalami
kesulitan dalam koordinasi motorik ketika menggunakan pensil
atau berolahraga.
d. Aspek emosi; Tsanley dan Guliford (1977) mengungkapkan bahwa
anak slow learner seringkali Nampak memiliki kendali emosi yang
rendah. Anak seringkali mudah merasakan emosi negatif ketika
apa yang menjadi keinginan dan egonya tidak terpenuhi dengan
segera. Anak slow learner cenderung sensitif, mudah marah dan
terkadang hingga meledak-ledak. Anak juga cepat patah semangat
apabila mereka merasa tertekan atau melakukan suatu kesalahan.
Namun, hal ini bukan semata-mata karena anak slow learner selalu
memiliki kontrol emosi yang rendah. Bisa jadi, anak dengan slow
learner hanya mengalami kesulitan dalam mengekspresikan
emosinya. Ekspresi emosi anak slow learner sangat halus namun
mereka tetap memiliki kebutuhan dasar emosi layaknya anak
normal, seperti kebutuhan rasa aman, kebutuhan memberi dan
menerima kasih sayang, kebutuhan diterima oleh orang lain,
pengakuan dan harga diri, kebutuhan kemandirian, tanggung jawab
dan membutuhkan pengalaman dari aktivitas baru.
e. Aspek moral sosial: anak slow learner mampu bergaul di
masyarakat, berperilaku seperti anak normal pada umunya apabila
mereka mendapatkan bimbingan secara tepat. Anak slow learner
yang berperilaku seperti anak normal tidak diketahui oleh
masayarakat bahwa mereka adalah slow learner. Oleh karenanya,
orang tua perlu memberikan bimbingan yang lebih dan tidak
menuntut hasil dari mereka seperti anak normal. Apabila anak
kurang siap secara mental maka anak dapat mengalami frustasi,
tertekan, bahkan histeris karena merasa tidak mampu memenuhi
tuntutan atau keinginan masyarakat (Borah, 2013).

b. Fakto- Faktor Penyebab Anak Slow Learner


Bayak ahli mengemukakan adanya multi factor penyebab terjadiny slow
learner, yaitu antara lain;
* Faktor Prenatal dan Genetik yang dapat menyebabkan anak mengalami
slow learner:
1. kelainan kromosom; 2. Ganguan biokimia dalm tubuh; 3. Kelahiran
premature.
* Faktor Biologis Non-Keturunan, yaitu; 1) ibu hamil mengonsumsi obat-
obatan yang merugikan janin atau ibu alkoholis, pengguna narkotika dan
zat aditif dengan dosis berlebih yang dapat mempengahuri memori jangka
pendek anak; 2) Ibu hamil dengan gizi buruk; 3). Radiasi sinar X; 4).
faktor Rhesus.
* Faktor Saat Proses Kelahiran, adalah kondisi kekuranagn oksigen saat
proses kelahiran karena proses persalinan yang lama atau bermasalah,
sehingga menyebabkan transfer oksigen ke otak bayi terhambat.
* Faktor Sesudah Melahirkan dan Lingkungan, meliputi; 1). kekuranagn
gizi dan nutrisi; 2). Trauma fisik akibat jatuh atau kecelakaan; 3). Bebrapa
penyakit seperti meningitis dan enchepalis. Faktor Lingkungan yang
dapat menyebabkan anak mengalami slow learner yaitu stimulasi yang
salah, sehingga anak tidak dapat berkembang.
Pendapat lain yang menyebutkan beberapa penyebab anak slow learne,
meliputi; 1) paktor keturunan; 2) perkembangan otak terbatas karena
kurangnya rangsangan; 3) motofasi yang rendah; 4) masalah perhatian; 5)
perbedaan latar belakang kebudayaan anak dengan sekolah; 6) kekacauan
masalah pribadi (Hopkins, 2008).
c. Pemanfaatan Art Therapy bagi Anak Slow Learner
Art therapy merupakan suatu perlakuan komples yang melibatkan
komunikasi verbal dan visual dengan menggunakan materi atau media
seni, serta melibatkan kemampuan dan partisipasi individu dalam proses
pendampingan. Penggunaan Art therapi merupakan Teknik kreatif yang
disukai oleh anak-anak karena menarik dan menyenangkan. Pemanfaatan
Art therapy selain menyenangkan bagi anak, juga membantu anak lebih
terstimulasi proses perkembangannya. Namun, tidak setiap anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Ada anak yang
dalam perkembngannya mengalami gangguan, sehingga menghambat
proses perkembangannya. Anak yang mengalami hal demmikianlah
merupakan kelompok anak berkebutuhan khusus termasuk anak yang
mengalami slow learner.

Untuk membantu anak slow learner, orang tua dapat menggunakan


media:
1. Kinetic Sand; media pengganti pasir atau bak pasir sebagai media
anak. Di Indonesia penggunaan pasir lambat laun dirasa kurang
efektif mengingat ketrebatasan tempat dalam ruang belajar dan
konseling.
2. Game; merupakan aktifitas yang menyenangkan dan membantu
menstimulasi perkembangan anak slow learner baik aspek fisik,
kognitif, emosional, dan social.penggunaan game dalam
mendampingi anak slow learner belajar atau berlatih, menjadi cara
yang baikuntuk menstimulasi dan mengembangkan kekuatan ego
anak. Di dalam game anak harus menghadapi masalah, seperti
kekalahan, ketidakadilan, dan tertinnggal. Selain itu game
menjadikan anak bereksperimen, merasakan, dan melatih respon
atas tugas yang mencakup penyelesaian masalah, komunikasi, dan
interaksi social. Game berbeda dengan permainan langsung tidak
ada aturan, sementara dalam game perilaku anak dibatasi oleh
aturan.
3. Clay; sering disebut tanah liat, mennjadi alternatif media yang
dapat digunakan untuk mendampingi anak slow learner. Clay dapat
digunakan untuk anak berusia Sekolah Dasar khususnya kelas atas
4-6, sedangkan anak di kelas bawah hingga Taman Kanak-Kanak
dapat menggunakan plastisin. Clay bermanfaat untuk mendapatkan
pemahaman dan pengertian atas interaksinya dengan orang lain,
meningkatkan rasa kebersamaan, dan membantu anak slow learner
tersebut menekspresikan suasana hati dan perasaan secara tepat dan
dapat diterima oleh orang lain.
4. Buku Cerita; kegiatan ini dapat menambah perbendaharaan kata
dan meningkatkan kemampuan membaca. Hal ini sangat efektif
bagi anak slow learner yang memiliki kafrekteristik dan
permasalahan berkaitan dengan komunikasi, berbahasa, dan
membaca. Elster, dalam Lane&Wright 2007 bahwa selain
membantu anak berlatih kosa kata baru dan mengingatnya, juga
melatih anak untuk lebih berkonsentrasi dalam mendengarkan.
Dengan demikian anak akan lebih mudah memahami informasi
atau intruksi yang didengarnya, sehingga anak akan mampu
mengungkapkannya kembali dalam bentuk tulisan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Disabilitas merupakan suatu ketidakmampuan tubuh melakukan
aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana orang normal pada umumnya
yang disebabkan oleh kondisi ketidakmampuan dalam hal fsiologis,
psikologis, dan kelainan dalam struktur atau fungsi anatomi. Dahulu
disabilitas lebih dikenal dengan sebutan penyandang cacat.
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya
perkembangan dalam suatu bidang akademik tertentu, Bahasa, berbicara, atau
keterampilan motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental, autism,
gangguan fisikyang dapat terihat, atau kurangnya kesempatan Pendidikan.
Disleksia (seperti halnya diskalkulia dan disgrafia) terjadi pada
individu dengan potensi kecerdasan normal, bahkan banyak diantara mereka
yang mempunyai tingkat kecerdasan jauh diatas rata-rata. Itulah sebabnya
disleksia disebut sebagai kesulitan belajar SPESIFIK, karena kesulitan belajar
yang dihadapinya hanya terjadi pada satu atau beberapa area akademis yang
spesifik saja, diantranya area membaca, menulis dan berhitung.
Anak slow learner merupakan anak yang mengalami lamban belajar,
lamban terampil, dan lamban memahami suatu informasi yang diperoleh atau
ditangkapnya. Akibat kekurangan atau kelebihan yang dimilikinya, anak
mengalami hambatan dalam belajar, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar,
maupun dalam pengelolaan emosi yang mengakibatkan dampak-dampak
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Shaywitz. S. 2003. Overcoming Dyslexia. New York: Alfred A Knopf.Borah.,


R.R (2013). Slow Learners: Role of Teachers and Guardians in Honing Hidden
Skils. International Journal of Educational Planning&Administration. ISSN
2249-3093 Volume 3, Number 2 (2011).Lane, H. B., & Wright,. T.L (2007).
Maximizing the Effectivess of Reading Aloud. Educatins, 60 (7), 668-
675Tansley, AE & Gulliford., R. (1977). The Education of Slow Learning
Children. London: Routledge Paper Back.

Anda mungkin juga menyukai