Anda di halaman 1dari 13

Accelerat ing t he world's research.

PLAY THERAPY ART EXPRESSION


MEDIA MENGGAMBAR UNTUK
MENGURANGI STRESS ANAK
JALANAN KORBAN PELECAHAN
SEKSUAL
Zakki nurul amin

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

ASESMEN & MANAJEMEN DALAM SET ING BENCANA/KRISIS


Endang Rifani

PROCEEDING KALIJAGA T ECHNOLOGY AND MEDIA


A Said Basri

MAKALAH KEL.12 ABNORMAL


Shiro Mikuni
PLAY THERAPY ART EXPRESSION MEDIA MENGGAMBAR
UNTUK MENGURANGI STRESS ANAK JALANAN KORBAN
PELECAHAN SEKSUAL

Zakki Nurul Amin dan Edwindha Prafitra Nugraheni1


Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Kampus Sekarang, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia 50229
e-mail : zakki.nurul.amin@gmail.com
edwindhaprafitra@rocketmail.com

ABSTRAK

Kehidupan anak jalanan sangat rentan terhadap berbagai permasalahan. Salah satunya yang
saat ini sering menjadi sorotan adalah kasus kekerasan, eksploitasi, dan pelecahan seksual.
Secara psikologis anak jalanan belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh.
Sementara itu dengan kompleksitas permasalahan yang ada, seringkali tidak dapat dihindari
stress yang dialami oleh anak jalanan, dalam hal ini stress akibat pelecahan seksual. Artikel
ini ditulis sebagai salah satu upaya untuk menjawab isu permasalahan sosial tersebut. Play
therapy art expression media menggambar dengan lima R tahap terapi ini yakni : Relating
(Berhubungan), Releasing (Melegakan) perasaan, Re-Creating (menciptakan kembali),
Reexperience (Mengalami kembali), dan Resolving (Memecahkan) harapannya dapay
digunakan sebagai salah satu intervensi dalam membantu mengurangi stress pada anak
jalanan korban pelecahan seksual.

Kata kunci: play therapy art expression media menggambar, stress, anak jalanan korban
pelecahan seksual

PENDAHULUAN
Anak jalanan adalah fenomena nyata penyebab munculnya permasalahan sosial yang
kompleks dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Keberadaan anak jalanan
diabaikan dan tidak dianggap ada oleh sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat
awam. Anak jalanan, dipercaya semakin tahun semakin meningkat jumlahnya. Menurut
data Badan Pusat Statistik jumlah anak jalanan saat ini kurang lebih 154.861 jiwa (data
Badan Pusat Statistik, dalam http://www.bps.go.id). Sebagian besar terdapat di Ibu Kota
Jakarta, dan sebagain lainnya tersebar dalam kota-kota besar lainnya di wiliayah Indonesia
seperti Surabaya, Makassar, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Batam.
Di wilayah Semarang khususnya, pekerjaan yang dilakukan anak jalanan bermacam-
macam. Di tengah-tengah derita dan penyiksaan yang mereka alami, mereka tetap harus

Zakki Nurul Amin, Edwindha Prafitra Nugraheni, Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Korespondensi terkait artikel ini dapat ditujukan kepada Zakki
Nurul Amin, e-mail zakki.nurul.amin@gmail.com, dan Edwindha Prafitra Nugraheni, e-mail
edwindhaprafitra@rocketmail.com.
berjuang mendapatkan sejumlah uang agar mereka bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan.
Pekerjaan yang dilakukan seperti pengamen, tukang semir, penjual koran, ciblek, pedagang
asongan dan sisanya bekerja apa saja, termasuk menjadi mayeng (pemungut barang
sampah). Anak jalanan tersebut menyebar di berbagai titik kota Semarang, di antaranya
kawasan Tugu Muda, Simpang Lima, pasar Johar, Bundaran Kalibanteng, Perempatan
Metro, Pasar Karangayu, dan Swalayan ADA Banyumanik (Jawa Pos, 21 Juli 2008, dalam
Wijayanti, 2010).
Kehidupan anak jalanan sangat rentan terhadap berbagai permasalahan. Beberapa
permasalahan yang mengancam anak jalanan misalnya kekerasan yang dilakukan oleh anak
jalanan lain, komunitas dewasa, Satpol PP, bahkan kekerasan seksual; penggunaan pil,
alkohol dan rokok; dan penyakit-penyakit menular seperti HIV/AIDS (Wijayanti, 2010).
Dalam penelitian Widyatwati, dkk (2005), menyebutkan pula bahwa anak jalanan sangat
rentan terhadap berbagai jenis dan bentuk kekerasan baik fisik maupun seksual, namun
mereka umumnya tidak berdaya menghadapi kekerasan tersebut. Anak jalanan berada
dalam kondisi yang tidak memiliki masa depan jelas dan tidak jarang menjadi masalah bagi
banyak pihak seperti keluarga, masyarakat, dan negara.
Kondisi nyata di lapangan, permasalahan yang saat ini sering menjadi sorotan adalah
kasus kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak jalanan. Yayasan Setara
(Shalahuddin, 2000) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan
mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan
oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau Jepang baris. Di kawasan
Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok
orang tertentu. Kemudian, belum lama ini ada pemberitaan melalui media massa mengenai
dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh
pendampingnya sendiri (Radar Semarang dan Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4
September 2000 dalam Shalahuddin, 2010).
Secara psikologis anak jalanan adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum
mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama
mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan sering menimbulkan berbagai
konflik dan benturan dalam diri anak jalanan. Oleh karena itu secara psikologis, anak
jalanan sangat rentan mengalami stress, kecemasan, dan depresi.
Stress secara khsuus megacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena
adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperature,
dan sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang di nilai mengancam atau
membahayakan. Hal-hal yang menimbulkan stess disebut dengan stessor, dimana stessor-
stressor yang ada akan memicu terjadinya kecemasan dan depresi, yang dampak lebih jauh
lagi akan mengarahkan perilaku akan pada sikap-sikap negative dan melanggar norma.
Beberap bentik dari akibat stress anak jalanan akan mudah berperilaku antisosial: berkelahi,
mencuri, merampas, dan memeras.
Sedangkan Play therapy digunakan untuk memunculkan kekuatan terapeutik dari
bermain yang digunakan untuk menolong konseli mencegah dan memecahkan masalah dan
mencapai perkembangan yang optimal. Play Therapy digunakan sebagai alat diagnosis dan
penyembuhan. Sedangkan menggambaar sebagai wujud dari art expresiion merupakan
salah satu bentuk permainan yang dapat digunakan untuk mengenali simbol non verbal dan
metafora yang dikomuniksikan dengan proses kreatif, yang mungkin sukar diekspresikan
dengan kata-kata atau dengan modalitas lainnya (Lobby Loekmono, 2012). Therapy ini
selain dapat mengungkap stressor anak, tindakan melukis itu sendiri dapat bersifat
menyembuhkan karena memulai proses menguasai suatu kejadian dan keadaan sehingga
membuat anak lebih berdaya, sehingga harapnnya dapat membantu anak jalanan yang
mengalam stress untuk mengurangi bahkan mengatasi stressnya.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengajukan artikel program
intervensi komunitas anak jalan dengan menggunakan Play Therapy Art Expression
Menggunakan Media Menggambar Untuk Mengurangi Stress Anak Jalanan.
Harapannya dengan progam intervensi ini dapat digunakan untuk membantu anak-anak
jalanan khususnya, terkait permasalahan dan stress yang dialami.

DEFENISI
a. Anak Jalanan
Konvensi Regional I tentang Anak Jalanan di Asia pada tahun 1989 (dalam Pugara,
2010) disebutkan bahwa anak jalanan adalah anak yang hidup dijalanan dan anak yang
menghabiskan waktunya untuk bekerja dijalanan guna membiayai hidupnya, baik yang
masih memiliki rumah dan keluarga maupun mereka yang sudah tidak memiliki keluarga
lagi. Menurut Shalahuddin (2000), yang dimaksudkan anak jalanan adalah individu yang
berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan
dengan melakukan kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan
hidupnya. Jalanan yang dimaksudkan tidak hanya menunjuk pada “jalanan” saja, melainkan
juga tempat tempat lain seperti pasar, pusat pertokoan, taman kota, alun-alun, terminal, dan
stasiun.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak jalanan
adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau
berkeliaran di jalanan maupun di tempat umum.
b. Stress pada Anak Jalanan
Sebenarnya stres merupakan hal yang senantiasa dialami oleh manusia dalam
kesehariannya dan merupakan suatu bagian yang tidak terelakkan dari proses perjalanan
kehidupannya. Hampir setiap saat manusia berada dalam situasi stres, baik dalam keluarga,
sekolah, maupun dalam berhubungan dengan masyarakat. Proses perjalanan tersebut pada
akhirnya dapat memunculkan stres.
Clifford T. Morgan, dkk., 1986, dalam Tanti (2007) berpendapat bahwa terminology
stress megacu pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu
yang secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperature, dan
sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang di nilai mengancam atau
membahayakan. Keadaan fisik, lingkungan social dan situasi sosial yang mengakibatkan
stress di sebut stressor. Stressor tertentu mengakibatkan keadaan stress kemudian
mengarahkan pada munculnya respon-respon tertentu baik berupa respon fisik pada tubuh
(sakit perut, pusing, jantung berdebar, dan sebagainya), atau respon psikologis seperti
kecemasan dan depresi.
Sedangkan yang terkait beberapa masalah yang sering dijumpai dan menjadi stessor
oleh anak jalanan Depertemen Kesehatan juga menyebutkan permasalahnnya yakni (1)
Lingkungan kumuh, udara tercemar, segatan matahari, dan gas kendaraan bermotor, (2)
Perilaku berisiko pelanggaran hukum, (3) Pengaruh dan tekanan kelompok sosial, (4) Stres,
dan (5) Rawan terhdap kekerasan. Lebih jauh lagi sebagai dampak dari permasalahan-
persamalahan tersebut antara lain :
a. Rentan terkena penyakit infeksi, seperti ISPA, diare, tifus, hepatitis, dan kulit maupun
rawan masalah gizi.
b. Sulit memperoleh akses pelayanan kesehatan di lingkungan tempat tinggal anak
jalanan.
c. Perilaku berisiko di antara anak jalanan yang dapat menyebabkan penyakit menular
seksual, seperti GO, sifilis, dan HIV/AIDS sebagai akibat perilaku seks bebas.
d. Pengaruh dan tekanan kelompok yang mengakibatkan anak jalanan minum alkohol,
merokok, dan menyalahgunakan NAPZA yang berdampak bagi kesehatan.
e. Akibat stres, anak jalanan mudah berperilaku antisosial: berkelahi, mencuri, merampas,
dan memeras.
f. Banyak terjadi kasus perkosaan, sodomi, dan pelecehan seksual lain.
c. Pelecahan Seksual
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan banyak aduan kekerasan
pada anak di tahun 2010. Menurut Sutrisno (2010) Dari 171 kasus pengaduan yang masuk,
sebanyak 67,8 persen terkait dengan kasus kekerasan. Jenis kekerasan yang paling banyak
terjadi kepada anak adalah kekerasan seksual sebanyak 45,7 persen (53 kasus), kekerasan
fisik sebanyak 25 persen (29 kasus), penelantaran sebanyak 20,7 persen (24 kasus), dan
kekerasan psikis 8,6 persen (10 kasus). Kekerasan seksual yang biasa dilakukan adalah
pelecehan seksual.
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran
hingga menimbulkan reaksi negatif seperti rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainya
pada diri orang yang menjadi korban pelecehan (Annisa, 2007). Triwijati (dalam
journal.unair.ac.id), mengemukakan bahwa pelecehan seksual adalah perilaku atau
perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki dan berakibat
mengganggu diri penerima pelecehan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan
seksual merupakan suatu bentuk perilaku berkonotasi seksual yang dilakukan secara
sepihak atau tidak dikehendaki oleh korban karena dapat menimbulkan reaksi negatif pada
diri korban. Pelecehan seksual sebenarnya bukan soal seks. Intinya adalah penyalahgunaan
kekuasaan atau otoritas, sekalipun pelaku mencoba meyakinkan korban dan dirinya sendiri
bahwa ia melakukannya karena seks atau romantisme. Dengan kata lain, pelaku baru merasa
“berarti” ketika ia bisa dan berhasil merendahkan orang lain secara seksual.
Lebih jauh lagi Annisa (2007), menyebutkan bahwa bentuk pelecehan seksual ini
sangat luas seperti main mata, siulan nakal, komentar yang berkonotasi seks, humor porno,
cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau
isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan
melakukan hubungan seksual sampai perkosaan. Pelecehan juga dapat berupa komentar
atau perlakuan negatif yang berdasar pada gender, karena pada dasarnya pelecehan seksual
merupakan pelecehan gender, yaitu pelecehan yang didasarkan atas gender seseorang.
d. Play Therapy Art Expression (Terapi Bermain Ekspresi Seni)
Bila diamati, pendekatan play therapy (terapi bermain), tampaknya lebih menyentuh
dengan aspek-aspek perkembangan pada anak dan sesuai dengan karakteristik hubungan
sosial anak-anak jalanan yang cenderung tidak menyukai suatu yang serius. Terapi bermain,
sebagai salah satu intervensi kesehatan mental, dirancang untuk membantu anak-anak
tumbuh gembira dalam dunianya. Untuk itu, konseling dengan pendekatan bermain menjadi
suatu pendekatan yang layak untuk dipergunakan dalam rangka membantu anak yang
mengalami stres dengan alasan, pertama, masa anak adalah masa bermain. Dengan
meberikan konseling dengan cara bermain, berarti telah menempatkan anak dalam
habitatnya. Kedua, kecenderungan anak belum seluruhnya mampu mengungkapkan
perasaan, ketakutan, kecemasan, dan kegelisahannya melalui bahasa verbal. Maka, melaui
terapi bermain, segala bentuk ekspresi perasaan anak yang ditekan akan terungkap. Dan
yang ketiga, masa anak disebut juga masa operasional konkret. Dengan media permainan,
anak akan lebih leluasa mengungkapkan suasana perasaanya melalui benda atau alat-alat
permainan yang konkret. Dengan demikian, suasana konseling dapat terbangun dengan
hangat, antara konselor dengan anak (klien).
Menurut Freud dan Erikson (dalam Santrock, 1999) bermain sangat berguna dalam
suatu proses penyesuaian diri dan dapat membantu anak dalam mengatasi kecemasan dan
masalah yang terjadi. Berbagai tekanan yang mereka alami akan menurun ketika mereka
melakukan suatu permainan sehingga anak dapat melakukan pola coping terhadap masalah
yang mereka alami.
Lebih lanjut, Goleman (2001) menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada dua
penyembuhan sekaligus yang dapat terjadi dalam proses permainan. Pertama, ingatan
(traumatik) yang terwujud dalam bentuk permainan akan berada dalam konteks kecemasan
tingkat rendah sehingga dapat mengumpulkan ingatan tentang trauma. Kedua, dalam
permainan, anak-anak dapat memegang kendali, ke mana arah akhir cerita akan dibawa.
Oleh karena itu anakanak merasa berada dalam posisi pihak yang menang dan mereka dapat
mengendalikan keadaan serta menjadi lebih berdaya. Dengan demikian, berarti anak telah
memiliki kunci menuju penyembuhan akan stressnya.
Terapi bermain mampu menciptakan suatu hubungan yang harmonis dan dinamis
antara konselor dengan anak (klien). Dengan terapi ini, sangat memungkinkan tercipta suatu
relasi yang aman bagi anak untuk mengekspresikan dan melakukan eksplorasi ke dalam
dirinya yang berupa pikiran, perasaan, pengalaman, dan tingkah lakunya.
Disebut terapi bermain karena dalam pelaksanaannya menggunakan alat-alat
permainan. Setiap permainan memiliki makna simbolis yang dapat membantu konselor
untuk dapat mendeteksi sumber-sumber permasalahan anak. Sukmanigrum (2001)
menyebutkan, sekurangnya ada lima bentuk alat permainan. Pertama, alat permainan
ekspresi seni, seperti: pensil, cat air, lilin, krayon. Kedua, alat permainan khayal, seperti:
boneka, pedang-pedangan, atau pistol-pistolan, Ketiga, alat bermain konstruksi seperti:
balok susun, lego. Keempat, bentuk games, seperti: congklak, domino, ular tangga, kartu,
dan yang kelima, alat permainan lempar, seperti: bola, dan papan dart.
Menurut Sukmanigrum (2001), terapi bermain berdampak positif bagi pertumbuhan
kesehatan mental anak. Terapi bermain tidak hanya memfasilitasi anak dalam
mengungkapkan emosinya, tetapi juga membantu terapis (konselor) untuk mendeteksi apa
yang menjadi sumber ketakutan. mereka. Ketakutan yang dibawa ke alam bawah sadar akan
terbawa melalui jenis dan pilihan permainan yang mereka lakukan.
Salah satu teknik dalam terapi bermain yang dapat digunakan untuk membantu anak
yang mengalami trauma akibat kekerasan adalah dengan menggunakan teknik menggambar.
Teknik ini berkembang karena adanya kecendrungan anak belum mampu mengekspresikan
diri, pikiran dan peresaan mereka secara tepat untuk disampaikan kepada orang lain dengan
menggunakan kata-kata.
Menurut Sujanto (1980) yang digambar anak adalah yang penting-penting saja Anak
menggambar apa yang diketahui, bukan yang dilihat. Selain dapat mengungkap ekspresi
stress, media seni melukis atau menggambar cenderung mampu mereduksi serta
mengeliminasi sumbersumber keteganggan, sehingga lambat laun akan berpengaruh kepada
pemulihan anak. Pandangan ini berdasarkan temuan yang disampaikan Goleman (2001)
bahwa salah satu cara untuk memperoleh gambar yang melekat dalam pikiran anak adalah
melalui seni karena seni itu sendiri merupakan medium alam tak sadar. Jalur ini seringkali
digunakan untuk mengobati anak-anak yang mengalami trauma. Terkadang, seni dapat
membuka jalan bagi anak untuk membicarakan saat mengerikan yang tidak akan berani
mereka bicarakan dengan cara lain.
Mengambar dapat menjadi solusi bagi anak dalam mengekspresikan pikiran dan
perasaan baik yang positif maupun yang negatif tentang diri, orang tua, keluarga, dan
dunianya. Menurut Djiwandono (2005) gambar memberikan arti kepada konselor jika
dihubungkan dengan anak-anak yang terluka, mengasingkan diri, kecewa, dan tidak dapat
mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka kepada orang dewasa. Konselor dapat
menangkap sekilas perasaan dan pikiran yang tidak disadari dalam gambar anak yang tidak
dapat diobservasi dalam model terapeutik yang lain.
Gambar dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan katarsis
dengan membebaskan perasaan dan memecahkan konflik secara aman. Proses mengambar
dan hasilnya sebagai cara untuk membebaskan konflik, mengalami kembali suatu kejadian,
menyalurkan kembali melalui sublimasi, dan memecahkannya. Djiwandono (2005)
berpendapat melalui proses yang artistik, media menggambar dan hasil akhir memberikan
arti (1) membangun hubungan dengan anak, (2) mengukur kebutuhan anak, (3) meminta
informasi diagnostik, (4) membebaskan emosi melalui katarsis, dan (5) memudahkan
pertumbuhan. Jadi, seni melukis atau menggambar, selain dapat mengungkap stesor anak,
tindakan melukis itu sendiri dapat bersifat menyembuhkan karena memulai proses
menguasai suatu kejadian dan keadaan sehingga membuat anak lebih berdaya.

PROSEDUR PELAKSANAAN
a. Penjelasan Umum
Pendekatan play therapy art expression, akan lebih menyentuh dengan aspek-aspek
perkembangan pada anak dan sesuai dengan karakteristik hubungan sosial anak-anak
jalanan yang cenderung tidak menyukai suatu yang serius. Terapi ini dengan menggunakan
media menggambar, sebagai salah satu intervensi kesehatan mental, dirancang untuk
membantu anak-anak tumbuh gembira dalam dunianya. Terapi ini menjadi suatu
pendekatan yang layak untuk dipergunakan dalam rangka membantu anak mengungkap
ekspresi stress, mereduksi serta mengeliminasi sumbersumber keteganggan, sehingga
lambat laun akan berpengaruh kepada pemulihan anak.
Gambar memberikan arti kepada konselor jika dihubungkan dengan dinamika
psikologis anak-anak, msalnya anak yang terluka, mengasingkan diri, kecewa, dan tidak
dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka kepada orang dewasa. Konselor dapat
menangkap sekilas perasaan dan pikiran yang tidak disadari dalam gambar anak yang tidak
dapat diobservasi dalam model terapeutik yang lain. Selain itu gambar dapat memberikan
kesempatan kepada anak untuk melakukan katarsis dengan membebaskan perasaan,
stressor, dan memecahkan konflik secara aman.
Prinsip-prinsip dalam terapi bermain sebagaimana dijelaskan oleh Axline (dalam
Christiana, 2008) adalah sebagai berikut : (1) Terapis harus menciptakan suasana yang
hangat, hubungan yang bersahabat dengan anak; (2) Terapis menerima anak sebagaimana
adanya; (3) Terapis harus mengembangkan perasaan permisif dalam hubungan anak; (4)
Terapis harus waspada terhadap perasaan anak yang diekspresikan dan direfeksikan kembali
dalam bentuk tingkah laku; (5) Terapis diharpkan mengahargai kemampuan anak dalam
memcehkan masalahnya sendiri jika diberi kesempatan untuk melakukannya; (6) Terapis
tidak diperkenankan langsung menegur perbuatan anak, atau intervensi nilai ; (7) Terapis
jangan cepat-cepat melakukan terapi; (8) Terapis hanya mengembangkan keterbatasasn-
keterbatasan yang diperlukan dalam menarik anak untuk terapi, dan pada kenyaatannya
akan membuat anak sadar akan tanggung jawabnya dalam hubungan terapis.
Ketika konselor siap untuk memulai terapi bermain, hal yang dibutuhkan adalah
beberapa mainan dan materi mainan untuk memudahkan komunikasi dengan anak. Materi
atau bahan mainan harus dipilih atau diseleksi untuk memudahkan pelaksanaan terapi
kepada anak. Mainan harus sederhana, mempunyai konstruksi yang kuat dans ehat, mudah
bagia bak memanipulasi dan inajinasi. Seperti yang diungkapkan Ginott (dalam Christiana,
2008) memilih mainan secara rasional harus (1) memudahkan dalam mengembangkan
kontak dengan anak; (2) membangkitkan dan mendorong katarsis; (3) membantu
mengembangkan insight; (4) melengkapi dalam mengetes realita; (5) sebagai media untuk
terjadinya perubahan. Sebagain besar terapis Axline, Ginott, Landreth (dalam Christiana
Elisabeth, 2008) setuju bahwa mainan dan materi peramainan harus memudahkan
timbulnya ekspresi anak, mendorong kreativitas, membantu anak-anak menyalurkan
emosinya dan memberikan jalan keluar bagi ekspresi agresif. Mainan dan meteri permainan
diberakan untuk masing-masing tujuan terapi dan bagaimana menggunakannya. Bentuk-
bentuk terapi bermain dapat dilakukan memalui berbagai media, dalam hal ini akan lebih
dikhusukan play therapy art expression menggunakan media menggambar.
b. Tahap-Tahap Pelaksanaan
Lima tahap dalam proses bermain meliputi 5 terapi R: Relating (Berhubungan),
Releasing (Melegakan) perasaan, Re-Creating (menciptakan kembali) kejadian-kejadian
pengalaman-pengalaman, hubungan-hubungan, Reexperience (Mengalami kembali)
perasaan dan pikiran yang kacau dengan suatu cara yang memudahkan penegrtian baru, dan
Resolving (Memecahkan) masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru
dalam bermain.
c. Contoh Aplikasi
Dalam penerapan play teraphy art expression menggunakan media menggambar
dibutuhkan alat-alat dan bahan-bahan untuk menunjang penerapan terapi oleh konselor.
Adapun bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah alat tulis pensil, crayon warna dan buku
gambar A4. Adapun contoh aplikasinya akan dijelaskan berdasarkan penjabaran dari tahap-
tahap pelaksanaan Terapi Bermain:
1. Relating (berhubungan), dalam tahap ini konselor mencoba membina dan membangun
rappot dengan anak, menciptakan hubungan yang dekat, hangat, nayaman, percaya,
rileks, dan bebas berekspresi dengan tidak kaku dan canggung. Tahap awal ini menjadi
sangat penting karena menjadi awal dibentuknya therapeutic alliance antara konselor
dan konseli. Pada tahap ini untuk membangun rapport yang baik dapat dilakukan
dengan perkenalan, melakukan game-game ice breaking, menyanpaikan maksud dan
tujuan, dan mengenali kondisi dinamika hubungan untuk memberikan terapi.
2. Releasing (melegakan) perasaan. Dalam tahap ini konselor melakukan penerimaan
(acceptance) kepada konseli, memahami kondisi dengan empathic understanding,
memberikan reassurance, serta menegaskan bahwa kehadirannya menerima apapun
kondisi konseli.
3. Re-Creating (menciptakan kembali) kejadian-kejadian pengalaman-pengalaman,
hubungan-hubungan. Dalam tahap ini konselor mencoba mengungkapkan kembali
kejadian-kejadian dan pengalaman yang dialami konseli yang belum dapat
terselesaikan (unfinishing business) atau masih menggangu dalam benak konseli,
terkadang pengalaman yang dialami konselilah sebagai faktor penyebab stress yang
dialaminya. Oleh karena itu dalam tahap ini konselor mencoba memunculkan kembali
untuk menciptakan kesadaran konseli terkait stress yang dialaminya.
4. Reexperience (mengalami kembali) perasaan dan pikiran yang kacau dengan suatu cara
yang memudahkan pengertian baru. Setelah konseli memahami pengalaman dan
hubungan-hubungan yang menyebabkan stress, konseli mulai merasakan kembali
pengalaman-pengalaman stress yang ia alami. Pada tahap ini konselor mengembangkan
harapan-harapan, kebutuhan, serta pemahaman baru yang lebih positif dari diri konseli
terkait pengalaman stess yang dialaminya.
5. Resolving (memecahkan) masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru
dalam bermain. Setelah konseli memahami pengalaman-pengalaman stressnya, serta
mampu mengembangkan harapan dan pemahaman baru yang lebih positif, pada tahap
ini konseli diminta mengekspresikan pengalaman, stress, masalah, dan juga harapan-
harapannya ke dalam media yang telah disediakan dengan cara menggambar.
d. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Dalam terapi ini, evaluasi dilakukan ketika proses terapi berlangsung dan melalui
hasil/gambar yang dibuat oleh anak-anak. Ketika proses berlangsung, konselor memahami
dinamika psikologis anak yang ditujukan baik secara verbal maupun non verbal. Sedangkan
evaluasi hasil dilakukan dengan mengintrepetasi makna dan pesan yang tertera dalam
gambar anak, jika diperlukan konselor dapat pula meminta anak menceritakan dan
menjelaskan maksud dan arti gambar yang dibuatnya. Gambar yang dibuat anak akan
memiliki beberapa pemaknaan, antara bermakna positif dan negative, ataupun bermakna
biasa saja terkait dinamika psikologis anak.
Sedangkan sebagai tindak lanjut dalam terapi ini adalah dengan melihat hasil evaluasi,
dimana apabila dirasa dalam proses terapai ini ditemukan pengalaman-pengalaman atau
stressor yang masih belum dapat ditemukan pemecahannya sendiri oleh konseli, maka dapat
dilanjutkan dengan melakukan pelayanan konseling secara individual untuk lebih
mengintenskan terapi bentuan.

SIMPULAN
Pendekatan play therapy art expression menggunakan media menggambar, digunakan
sebagai salah satu intervensi dalam membantu untuk mengurangi stress pada anak jalanan
korban pelecahan seksual. Terapi ini menjadi suatu pendekatan yang layak untuk
dipergunakan dalam rangka membantu anak mengungkap ekspresi stress, mereduksi serta
mengeliminasi sumber-sumber keteganggan, sehingga lambat laun akan berpengaruh
kepada pemulihan anak.
Dalam terapi ini pula konselor membantu konseli untuk menemukan pikiran dan
perasaan yang terdalam melalui karya seni dan yang bermakna, dan membantu mereka
untuk memperoleh insight dan pertimbangan, sehingga berkembang lebih baik pemahaman
dari diri sendiri dan menghubungkan orang-orang disekitarnya.
Lima tahap dalam proses bermain meliputi 5 terapi R: Relating (Berhubungan),
Releasing (Melegakan) perasaan, Re-Creating (menciptakan kembali) kejadian-kejadian
pengalaman-pengalaman, hubungan-hubungan, Reexperience (Mengalami kembali)
perasaan dan pikiran yang kacau dengan suatu cara yang memudahkan penegrtian baru, dan
Resolving (Memecahkan) masalah dan konflik dengan mempraktikan tingkah laku baru
dalam bermain.

DAFTAR PUSTAKA
Annisa, Rifka. 2007. Pelecehan Seksual. Available at http://www.kesrepro.info [accessed
2012/02/11]

Christiana, Elisabeth. 2008. Teknik Terapi Bermain pada Anak Usia Sekolah. Jurnal
Pendidikan Dasar Universitas Negeri Surabaya.
Djiwandono, Sri Esti. W. 2005. Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Goleman, D. 2000. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Lobby Loekmono, 2012. Indonesia Butuh Konselor. Disampaikan dalam diskusi panel
nasional UKSW Salatiga 25 Februari 2012.
Pugara, Miqdad Azizta. 2010. Program Kreativitas Mahasiswa Konsep “Zona Sejahtera”
Sebagai Upaya Preventif Terhadap Kriminalisasi Penanganan Anak Jalanan.
Available at http://pugara.blogspot.com [accessed 2011/04/01]
Santrock, J.W. 1999. Life Span Development. New York: Mc Graw Hill (Edisi Terjemahan
Bahasa Indonesia).
Shalahudin, Odi. 2000. Anak Jalanan (Studi Kasus atas Persoalan Sosial). Available at
http://odishalahuddin.wordpress.com [accessed 2011/11/23]
Sujanto, Agus. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru.
Sukmaningrum, E. 2001. Terapi Bermain Sebagai Salah Satu Alternativ Penanganan Pasca
Trauma Pada Anak. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Unpad.
Tanti, Rias. 2007. Stres dan Kehidupan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal
Penelitian Sosial
Wijayanti, Pratiwi. 2010. Aspirasi Hidup Anak Jalanan Semarang. Intisari Skripsi Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai