Anda di halaman 1dari 13

REMAJA BERMASALAH: MENINJAU HARAPAN ORANGTUA DALAM

PENGASUHAN REMAJA
Haerani Nur
Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar
haerani.nur@unm.ac.id

Pendahuluan

Belakangan ini, kasus remaja bermasalah sangat sering menghiasi


pemberitaan di media massa dan juga mewarnai linimasa. Mulai dari masalah yang
kadang dianggap sepele, seperti perilaku tidak patuh, suka bolos, membangkang,
hingga yang menimbulkan dampak besar, seperti tawuran, balapan liar, gang motor,
penyalahgunaan narkotika, pergaulan bebas dan seks pranikah, dan masih banyak
lagi. Hal ini tentu saja menimbulkan kerisauan bagi orangtua, dan seluruh pihak
terkait. Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah mengapa hal ini terjadi?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu kita pahami


bersama tentang apa itu masa remaja, bagaimana karakteristik perkembangan yang
berlangsung pada masa ini. Masa remaja adalah periode kritis dalam rentang
kehidupan manusia karena merupakan masa peralihan dari anak menjadi dewasa.
Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik fisik, hormonal, dan psikologis,
yang menyebabkan anak siap dengan fungsi fertilitasnya, Di samping itu, remaja
juga mengalami perubahan psikososial baik dalam tingkah maupun sosial.
Perubahan ini terjadi dengan sangat cepat, bahkan terkadang tidak disadari
(Batubara, 2016).

Perubahan psikososial yang terjadi pada masa remaja ini dapat ditandai
dengan adanya keinginan untuk mencoba berbagai peran dan mengeksplorasi
berbagai nilai, minat, dan ideologi. Proses pencarian identitas diri membuat mereka
selalu ingin tahu, senang mencoba melakukan sesuatu (bahkan yang mengandung
risiko), di sisi lain kemampuan berfikir dan emosi yang belum matang sehingga
cenderung berontak dan mengukur segalanya dengan ukurannya sendiri. Dalam
situasi ini, remaja berpeluang menunjukkan perilaku bermasalah (Santrock, 2012).
Hal inilah yang sering menimbulkan terjadinya konflik antara remaja dengan
orangtua, guru maupun figur otoritas yang lain.

Memahami Perilaku Bermasalah pada Remaja dan Fenomenanya di


Indonesia
Mengacu pada karakteristik perkembangannya, remaja adalah masa yang
rentan dengan konflik. Konflik yang dialami remaja seharunya menjadi perhatian
orangtua, dan harus segera ditangani. Apabila kondisi pada remaja ini dibiarkan
maka, perilaku bermasalah dapat meningkat menjadi kenakalan remaja yang serius
seperti kriminalitas dan depresi yang dapat berlanjut pada masa berikutnya
(Ekowarni 1993, dalam Sumargi dan Kristi, 2017). Perilaku bermasalah pada
remaja ini dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu: externalizing dan
internalizing problems. Hiperaktivitas dan masalah perilaku, seperti: berkelahi dan
berbohong digolongkan sebagai externalizing problems. Sementara itu, masalah
emosi seperti gelisah dan takut, digolongkan sebagai internalizing problems
(Goodman, 1997 dalam Sumargi dan Kristi, 2017).

Apa yang dimaksud dengan externalizing dan internalizing problems?


Georgiou, & Symeou, M. (2018) mendefinisikan bahwa externalizing problems
adalah perilaku yang negatif dan merusak bagi lingkungan sekitarnya, termasuk
perilaku melanggar aturan, agresi, dan kenakalan remaja. Sementara, internalizing
problems adalah masalah perilaku yang diarahkan pada diri sendiri, hanya
memengaruhi kondisi psikologis individu yang mengalaminya, yang dapat berupa
menarik diri, cemas, dan depresi. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa
masalah perilaku pada remaja ada yang berdampak negatif bagi lingkungan
(externalizing problems) dan perilaku negatif remaja yang mengganggu kondisi
psikologisnya (internalizing problems). Baik externalizing problems maupun
internalizing problems, keduanya menimbulkan sangat besar bagi kehidupan
remaja.

Jika kita menelusur berita dan informasi di berbagai media massa,


externalizing problems dan internalizing problems marak terjadi pada remaja di
Indonesia. Tawuran adalah salah satu bentuk externalizing problems yang paling
banyak dilaporkan. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI), angka tawuran di Indonesia kian meningkat. Pada 2017, angka tawuran
sebanyak 12,9 persen, dan di sepanjang 2018 lalu, naik menjadi 14 persen. Remaja
yang tawuran ini pun terkadang tidak lagi mengenal waktu, bahkan di tengah
kewaspadaan masyarakat terhadap pandemi virus COVID-19 sejumlah pelajar di
Palmerah, Jakarta Barat terlibat aksi tawuran, pada Jumat dini hari, 27 Maret 2020
(TEMPO.CO, 27/03/2020).

Tawuran remaja memang kerap terjadi, dan juga sering menjatuhkan korban
jiwa. Okezone.com (01/02/2019) merilis beberapa aksi tawuran berdarah, antara
lain: Tawuran berdarah menewaskan satu siswa SMK Ma’arif Salam diakibatkan
luka senjata tajam. Tak hanya itu, seorang lainnya juga mengalami luka-luka.
Tawuran ini terjadi sekira pukul 18.30 WIB, tepatnya setelah uji coba UNBK 2019.
Aksi ini terjadi di wilayah Desa Blabak, Kecamatan Mungkid, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah, Kamis (31/1/2019). Tawuran berdarah juga tumpah di
Jalan Tanah Sereal Raya, Tambora, Jakarta Barat, memunculkan 13 pelaku
tawuran. Tawuran yang terjadi pada Minggu, 20 Januari 2019, dan menewaskan
seorang remaja pelaku tawuran. Korban tewas dengan luka bacok di bagian bahu
belakang sebelah kanan, lengan sebelah kiri, punggung belakang dan leher sebelah
kiri. Selain itu, tawuran berdarah yang melibatkan antarpelajar SMP dan sederajat
terjadi di bukit Barisan Kelurahan Limo, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa
Barat, pada Selasa, 22 Januari 2019 sekira pukul 17.30 WIB. Tawuran ini
melibatkan empat sekolah, dan menjatuhkan tiga korban karena luka sabetan
senjata tajam di bagian kepala dan lengan.

Uraian tentang aksi tawuran remaja di atas sungguh memprihatinkan. Bisa


dipastikan betapa besar dampak yang ditimbulkannya, bukan hanya bagi dirinya,
tetapi juga keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya korban jiwa,
tetapi juga korban materi dan timbulnya suasana yang mencekam bagi masyarakat
di sekitarnya. Tawuran adalah salah satu perilaku bermasalah (externalizing
problem), dan masih banyak bentuk perilaku yang lain yang sering terjadi, seperti:
gang motor, seks bebas, merokok, mabuk-mabukan, dan penyalahgunaan narkotika.
Selain itu, maraknya internalizing problems di kalangan remaja, juga
tergambar dari sejumlah pemberitaan di berbagai media massa. Depresi dan
kecemasan adalah masalah remaja yang paling sering dilaporkan (KOMPAS.com,
26/02/2019). Begitu juga fenomena bunuh diri pada remaja. Kasus remaja bunuh
diri yang dirilis pada beberapa media masa dan banyak menyita perhatian adalah
kasus SN (14 tahun), siswi sekolah menengah pertama di Jakarta yang terjun dari
lantai empat sekolahnya pada Selasa 14 Januari 2020 (KOMPAS.id, 20/01/2020;
galamedianews.com, 13/02/2020; bbc.com, 12/02/2020). Kejadian ini tentu saja
menimbulkan kekhawatiran mengenai aksi percobaan bunuh diri di antara kalangan
remaja, khusunya yang berstatus pelajar.

Retno Listyarti, selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)


Bidang Pendidikan, mengutip data Global School-Based Student Health Survey (2015) di
Indonesia, bahwa remaja perempuan yang memiliki ide bunuh diri mencapai 5,9%,
sedangkan remaja pria 4,3%. Adapun percobaan bunuh diri yang dilakukan remaja pria
mencapai 4,4%, sedangkan remaja perempuan 3,4% (galamedianews.com, 13/02/2020).

Berdasarkan uraian di atas, harus disadari bahwa remaja bermasalah, dengan


externalizing problem maupun internalizing problems, insidensinya semakin
meningkat, dan menimbulkan dampak yang sangat besar. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah “mengapa hal ini terjadi?”. Apa yang menyebabkan
remaja dengan karakteristik perkembangannya yang khas itu, dapat
menjerumuskannya hingga menjadi remaja bermasalah? Siapakah yang harus
dicurigai sebagai pihak yang memicu terjadinya perilaku bermasalah ini? Apakah
remaja, orangtua, teman sebaya, atau guru dan pihak sekolah?

Menelusuri Penyebab Timbulnya Perilaku Bermasalah pada Remaja

Fenomena remaja dan perilakunya yang bermasalah ini semakin


memprihatinkan, sehingga menjadi salah satu topik yang menjadi perhatian para
peneliti. Jika kita menelusur, penelitian perilaku bermasalah pada remaja di
Indonesia paling banyak dikaitkan dengan topik keluarga dan pengasuhan (Fahiroh,
2019; Aziz, 2019; Sumargi, & Kristi, 2017; Novitasari, 2017; Sedanayasa, 2015;
Dhatu, 2013, Rahmania, & Suminar, 2012), dan juga beberapa topik yang lain
antara lain: teman sebaya (Hidayati, 2016; Saputro, & Soeharto, 2012) dan faktor
psikologis remaja, seperti kemampuan penyesuaian sosial (Setianingsih, &
Yuwono, 2006), sikap religiusitas (Nuandri, & Widayat, 2014), kecerdasan emosi
(Aprilia, & Indrijati, 2014), strategi coping (Ningrum, 2012), dan kontrol diri
(Aroma, & Suminar, 2012).

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan penulis terkait topik keluarga


dan pengasuhan dalam kaitannya dengan perilaku bermasalah pada remaja, dapat
disimpulkan bahwa terdapat dua tema besar yang banyak ditemukan pada sejumlah
penelitian, yaitu keharmonisan dan ketahanan keluarga serta model dan gaya
pengasuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa, peran orangtua dalam membangun
keluarga yang harmonis dan selanjutnya menerapkan model dan gaya pengasuhan
yang tepat, memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap munculnya perilaku
bermasalah pada remaja. Ibarat rumah, pondasi yang kuat pada diri anak dibangun
oleh orangtua dalam keluarga. Jika pondasinya lemah, maka muncullah berbagai
kelemahan seperti ketidakmampuan dalam penyesuaian sosial, kecerdasan emosi,
kontrol diri, serta penalaran moral dan spiritual. Hal ini pun akan bertambah parah
dengan kehadiran pengaruh lain, seperti lingkungan pergaulan dan teman sebaya.

Masalah Pengasuhan Orangtua dan Perilaku Bermasalah pada Remaja

Peran orangtua sangat penting bagi anak, namun menjadi orangtua bukanlah
hal yang mudah untuk diperankan. Baik dalam membangun keluarga harmonis,
terlebih lagi dalam menjalankan peran pengasuhan terhadap anaknya. Mengapa
pengasuhan begitu berperan? Bagaimanakah esensi pengasuhan terhadap
perkembangan anak dan bagaimana seharusnya orangtua menjalankan peran ini?
Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab dan dipahami oleh orangtua, dan
selanjutnya perlu ikhtiar untuk diaplikasikan.
Secara harfiah, kata asuh – mengasuh berarti menjaga (merawat dan
mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih) supaya dapat berdiri
sendiri. Pengasuhan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan mengasuh
(http://kbbi.web.id). Pengasuhan itu sejatinya adalah suatu proses yang yang
menyebabkan terjalinnya interaksi orangtua dan anak, dengan memberikan
dukungan serta pengontrolan terhadap kondisi psikologis dan perilaku anak
(Bigner, 1994) dan Barber, dkk dalam Halpenny & Nixon, 2010). Pengasuhan
adalah serangkaian perilaku orangtua atau pengasuh. Hangat, sensitif, penuh
penerimaan, bersifat resiprokal, ada pengertian, dan respon yang tepat pada
kebutuhan anak merupakan sejumlah kata kunci yang mewakili perilaku
pengasuhan (Garbarino & Benn, 1992; Benn & Garbarino, 1992 dalam Andayani,
2004).

Dari pengertian yang sudah diuraikan di atas, kita bisa memahami bahwa
pengasuhan itu adalah suatu proses, berupa serangkaian perilaku yang harus
diperankan orangtua. Pengasuhan meliputi fungsi pemberian dukungan dan
pengontrolan, yang menimbulkan terjalinnya interaksi resiprokal yang hangat,
saling pengertian, dan disesuaikan dengan kebutuhan anak, sehingga anak dapat
bertumbuh dengan segala potensinya. Dalam hal ini pengasuhan itu pada dasarnya
adalah dari orangtua untuk anak, fokusnya pada anak, bukan pada orangtua.
Kesimpulan ini sekiranya dapat membuat kita memahami seberapa penting
pengasuhan orangtua bagi anak, khususnya dalam menumbuhkan segala
potensinga. Selain itu juga memberikan gambaran bagaimana seharusnya
pengasuhan itu diperankan oleh orangtua. Kesimpulan ini juga dapat menjawab
pertanyaan “Siapakah yang harus dicurigai sebagai pihak yang memicu terjadinya
perilaku bermasalah pada remaja?”

Dalam menjalankan peran pengasuhannya, orangtua terkadang menggunakan


gaya pengasuhan tertentu ataupun penggabungan dari beberapa gaya pengasuhan.
Baumrind (Santrock 2007) telah mengidentifikasi empat macam gaya pengasuhan,
yaitu otoritarian, otoritatif, pengabaian dan menuruti. Masing-masing gaya
pengasuhan ini memiliki ciri tersendiri. Orangtua yang menerapkan pengasuhan
otoritarian cenderung membatasi dan memaksakan, disertai kendali yang ketat,
tanpa tawar-menawar, agar anak mengikuti arahan orangtua. Orangtua yang
bersikap hangat dan penyayang, mendorong anak untuk mandiri dengan memberi
kebebasan namun tetap membatasi dan mengontrol perilaku anak, memberi dan
juga menerima saran dari anak untuk memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan anak,
mencirikan pengasuhan otoritatif. Sebaliknya, orangtua yang kurang terlibat dalam
kehidupan anak, tidak mengontrol namun juga tidak memberi dorongan dan
perhatian pada anak, mencirikan pengasuhan yang mengabaikan (neglectful). Yang
terakhir adalah pengasuhan menuruti (Indulgent), yang dicirikan dengan
keterlibatan orangtua yang sangat dominan, tidak mendukung anak untuk mandiri
dan juga tidak ada kontrol pada perilaku anak.

Jika kita memperhatikan empat gaya pengasuhan tersebut, kita bisa


berkesimpulan bahwa tidak semua gaya pengasuhan orangtua memenuhi fungsi
pengasuhan. Dalam hal ini, gaya pengasuhan yang memenuhi fungsi pemberian
dukungan dan pengontrolan, interaksi resiprokal yang hangat, saling pengertian,
dan disesuaikan dengan kebutuhan anak, sehingga anak dapat bertumbuh dengan
segala potensinya, hanya diwakili oleh gaya pengasuhan otoritatif. Meskipun
begitu, praktik pengasuhan orangtua cenderung memadukan beberapa gaya
pengasuhan, sesuai dengan pengalaman, kebiasaan dan pengetahuan yang dimiliki.

Pengasuhan pada dasarnya merupakan suatu keterampilan. Oleh karena itu


gaya pengasuhan oleh orangtua menjadi sangat bervariasi pada setiap individu.
Variasi ini juga mungkin muncul pada orangtua sendiri, gaya pengasuhan ibu
berbeda dengan ayah (Andayani, 2004). Setiap gaya pengasuhan orangtua dengan
cirinya masing-masing tentu berdampak pada anak. Apakah anak berkembang
menjadi pribadi yang mandiri dengan segala potensinya, ataukah anak menjadi
pribadi yang tidak memiliki kompetensi sosial, kontrol diri rendah dan cenderung
bergantung pada orang lain.

Harapan dan Pengasuhan Orangtua


Pengasuhan orangtua yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak tentu saja
berdampak pada pengembangan diri anak, yang memengaruhi perkembangan anak,
dan jika orangtua tidak menyadarinya, maka dapat menjerumuskan anak dalam
perilaku bermasalah. Mengapa orangtua terkadang menerapkan pengasuhan yang
tidak sesuai untuk anaknya? Salah satu hal yang perlu kita tinjau adalah harapan
orangtua terhadap anak.

Harapan adalah suatu keyakinan dan perasaan seseorang bahwa dapat


mewujudkan sesuatu yang diinginkan (Tuton & Langstaff, 2009). Harapan
merupakan suatu konstrak kognitif-motivasional, menekankan pada kekuatan
psikologis (psychological strength) yang dimiliki oleh seseorang, didefinisikan
sebagai proses berpikir tentang pencapaian tujuan, yang meliputi: motivasi untuk
mencapai tujuan (agency thinking), dan proses berpikir (pathway tinking) yang
berlangsung untuk menemukan cara atau strategi agar dapat mencapai tujuan
(Snyder, dkk, 2002). Harapan dapat meliputi harapan tentang diri sendiri, atau
harapan pada orang lain (Herth, 1993 dalam Benzein & Saveman,1998). Hal ini
berarti bahwa ketika orangtua memiliki harapan tertentu terhadap anaknya, maka
orangtua selalu memiliki keyakinan dan energi untuk berusaha mewujudkannya.
Harapan orangtua terhadap anak, umumnya menggambarkan ideal child yang
ditentukan oleh nilai anak bagi orangtua, misalnya orangtua berharap memiliki anak
yang cerdas dan berprestasi, memeroleh peringkat pertama di sekolah. Harapan
yang terbentuk ini selanjutnya memengaruhi perilaku pengasuhan terhadap anak
sebagai upaya mewujudkan harapan. Hanya saja, harapan orangtua ini belum tentu
sesuai dengan keadaan anak. Harapan yang tidak sesuai ini selanjutnya disebut
dengan istilah harapan tidak realistis (Nur, Tairas, & Hendriani 2018). Di sisi lain,
harapan seharusnya meliputi suatu ekspektasi untuk mencapai tujuan yang realistis
(Stotland, 1969 dalam Benzein & Saveman,1998 ). Hal ini berarti bahwa orangtua
seharusnya memiliki harapan yang realistis terhadap anaknya, karena harapan dapat
memengaruhi perilaku pengasuhan orangtua terhadap anak.

Apa yang akan terjadi jika orangtua memiliki harapan tidak realistis terhadap
anak? Ketika hal ini terjadi, orangtua akan selalu berusaha, mencari berbagai cara
untuk mencapai tujuan yang diharapkannya. Di sisi lain anak akan merasa tertekan
dengan tuntutan tersebut dan peluang kegagalan dalam mencapai tujuan menjadi
sangat besar. Akibatnya, anak tidak bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Bukan hanya itu, anak juga berpeluang mengalami konflik dengan dirinya sendiri,
orangtuanya, atau bahkan dengan orang lain yang terkait.

Harapan tidak reaslistis terhadap anak dapat menimbulkan kesalahan


pengasuhan yang selanjutnya dapat berujung pada masalah. Di sisi orangtua yang
telah berusaha keras mewujudkan harapannya dapat merasa kecewa ketika gagal.
Di sisi lain, anak dapat merasa tertekan dengan tuntutan dan perilaku pengasuhan
orangtua, bahkan dapat berkonflik dengan orangtua, yang berujung pada timbulnya
perilaku bermasalah. Dalam kondisi ini, siapakah yang bermasalah? Anak atau
orangtuanya? Pertanyaan ini dapat menjadi suatu pertanda bahwa orangtua perlu
melakukan introspeksi ketika remaja mulai menunjukkan perilaku bermasalah.

Menyesuaikan harapan

Apa yang bisa dilakukan

Simpulan

Perilaku bermasalah pada remaja menunjukkan trend yang semakin


meningkat, dan semakin mengkhawatirkan. Hal ini memunculkan suatu pertanyaan
besar, mengapa hal ini bisa terjadi? Berdasarkan pemaparan dalam tulisan ini,
ditemukan bahwa faktor keluarga dan pengasuhan orangtua menjadi salah satu
penyebab utama terjadinya perilaku bermasalah pada remaja.

Oleh karena itu, ketika anak mulai menunjukkan perilaku bermasalah,


orangtua sebagai pihak yang paling dekat dengan anak, seharusnya segera
menyadarinya dan melakukan introspeksi, karena mungkin saja penyebab
utamanya ada pada orangtua, khususnya terkait dengan peran pengasuhan.
Kesalahan pengasuhan dapat terjadi karena harapan orangtua yang tidak sesuai
dengan keadaan anak. oleh karena itu, penulis merumuskan kesimpulan ini berupa
tips yang dapat dilakukan orangtua dalam dalam mencegah dan mengatasi
timbulnya perilaku bermasalah pada anak:

1. Pahami bahwa pengasuhan sejatinya adalah untuk anak, fokusnya pada anak,
bukan pada orangtua, sehingga pengasuhan seharusnya disesuaikan dengan
kebutuhan anak
2. Kenali anak, apa saja potensi dan kekurangannya, apa saja yang dibutuhkannya
untuk dapat mengembangkan potensinya. Ketika anak beranjak remaja, kenali
perubahan yang dialaminya, gunakan komunikasi efektif dengannya, dan
jadilah teman terbaik untuknya.
3. Jika anak dirasa mulai menunjukkan perilaku bermasalah, berusahalah untuk
tenang, dan cobalah melakukan introspeksi, tinjau pengasuhan Anda,
sesuaikanlah dengan perubahan keremajaan yang dialaminya. Tinjau harapan
anda apakah sesuai dengan keadaan anak yang sudah beranjak remaja.
4. Fasilitasi anak untuk menemukan dan mengembangkan potensinya
5. Seiring sejalanlah dengan anak, jadilah tim yang kompak, yang saling
memahami, saling mendukung, dan bertumbuh bersama.

Mengasuh anak yang beranjak remaja adalah tantangan tersendiri bagi


orangtua. Masa remasa adalah masa kritis dalam perkembangan anak, peran
orangtua pun menjadi lebih krusial. Keenam tips di atas sebaiknya dilengkapi
dengan memperkuat doa untuk anak, agar terhindar dari marabahaya dan godaan
yang tersebar di sekeliling anak. Meninjau harapan, menjalankan fungsi
pengasuhan yang sesuai untuk anak diharapkan dapat memfasilitasi perkembangan
anak hingga menjadi pribadi yang matang memasuki masa dewasa.

Referensi

Andayani, B. (2004). Tinjauan pendekatan ekologi tentang perilaku pengasuhan


orangtua. Buletin Psikologi, 12(1).
Aroma, I. S., & Suminar, D. R. (2012). Hubungan antara tingkat kontrol diri dengan
kecenderungan perilaku kenakalan remaja. Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 1(2), 1-6.

Aziz, M. (2019). Perilaku Sosial Anak Remaja Korban Broken Home dalam
Berbagai Perspektif (Suatu Penelitian di SMPN 18 Kota Banda Aceh). Jurnal
AL-IJTIMAIYYAH: Media Kajian Pengembangan Masyarakat Islam, 1(1).

Batubara, J. R. (2016). Adolescent development (perkembangan remaja). Sari


pediatri, 12(1), 21-9.

bbc.com. (12 Februari 2020). Penuturan remaja yang mencoba bunuh diri saat SMP:
'Stigma kurang iman salah besar. Mereka tidak tahu betapa orang itu sudah
berjuang', diperoleh tanggal 21 April 2020, dari https://www.bbc.com.

Benzein, E & Savema, E.I. (1998). One Step Towards the Understanding of Hope.
International Journal of Nursing Studies 35, 322 – 329.

Bigner, J.J. (1994). Parent-Child Relation: An Introduction to Parenting. Prentice


Hall: New Jersey.

Dhatu A.P. (2013). Status identitas remaja akhir: hubungannya dengan gaya
pengasuhan orangtua dan tingkat kenakalan remaja. Character: Jurnal
Penelitian Psikologi., 1(2).

Fahiroh, S. A. (2019, July). Resiliensi Keluarga Mencegah Perilaku Bermasalah


Pada Anak Dan Remaja. In Proceeding National Conference Psikologi UMG
2018 (Vol. 1, No. 1, pp. 19-26).

galamedianews.com. (20 Januari 2020). Trend Bunuh Diri di Kalangan Remaja:


Jangan Desepelekan!, diperoleh tanggal 21 April 2020, dari
https://www.galamedianews.com

Georgiou, S. N., & Symeou, M. (2018). Parenting practices and the development of
internalizing/externalizing problems in adolescence. Parenting—empirical
advances and intervention resources

Halpenny, A.N & Nixon, E. (2010). Parent Perspective on Parenting Style and
Diciplining Children. Office of the Minister for Children and Youth Affairs
Department of Health: The Stationery Office.

Hidayati, N. W. (2016). Hubungan harga diri dan konformitas teman sebaya dengan
kenakalan remaja. Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, 1(2).

KOMPAS.com. (26 Februari 2019"Depresi dan Kecemasan, Masalah Remaja Masa


Kini", diperoleh tanggal 21 April 2020, dari https://lifestyle.kompas.com.
KOMPAS.id. (20 Januari 2020). Kasus Bunuh Diri di Sekolah Menjadi Pelajaran
Penting Pengelola, diperoleh tanggal 21 April 2020, dari https://kompas.id.

Ningrum, N. A. (2012). Hubungan antara coping strategy dengan kenakalan pada


remaja awal. Jurnal Psikologi Tabularasa, 7(1).

Novitasari, L. D. (2017). Hubungan antara strength-based parenting dengan


perilaku bermasalah pada remaja awal di SMP X Surabaya (Doctoral
dissertation, Widya Mandala Catholic University Surabaya).

Nuandri, V. T., & Widayat, I. W. (2014). Hubungan antara sikap terhadap


religiusitas dengan sikap terhadap kecenderungan perilaku seks pranikah pada
remaja akhir yang sedang berpacaran di universitas Airlangga Surabaya.
Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, 3(2), 60-69.

Nur, H., Tairas, M. M., & Hendriani, W. (2018). The Experience of Hope for
Mothers with Speech-Language Delay Children. Journal of Educational,
Health, and Community Psychology, 7, 104-117.

Okezone.com. (1 Februari 2019). 5 Aksi Tawuran “Berdarah”, diperoleh tanggal


21 April 2020, dari https://nasional.okezone.com.

Rahmania, A. M., & Suminar, D. R. (2012). Hubungan antara persepsi terhadap


kontrol orangtua dengan kecenderungan perilaku delinkuensi pada remaja
yang pernah terlibat tawuran. Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 1(3), 1-7

TEMPO.CO. (27 Maret 2020). Pelajar Terlibat Tawuran saat Pandemi Covid-19,
diperoleh tanggal 21 April 2020, dari https://metro.tempo.co

Saputro, B. M., & Soeharto, T. N. E. D. (2012). Hubungan antara konformitas


terhadap teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan pada remaja.
Insight, 10(1), 1-15.

Santrock, J. W. (2007) Perkembangan Anak. Alih Bahasa: M. Rachmawati & A.


Kuswati, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2012) Life span development. Alih bahasa: B. Widyasinta & N. I.


Sallama. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sedanayasa, G. (2015). Model Pengasuhan Analisis Transaksional (At) untuk


Menanggulangi Penyimpangan Perilaku Seksual di Kalangan Remaja
Kabupaten Buleleng (Studi pada Sekolah SMP/SMA yang Memiliki Siswa
Terindikasi). Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 4(1).
Sumargi, A., & Kristi, A. N. (2017). Well-Being Orang Tua, Pengasuhan Otoritatif,
dan Perilaku Bermasalah pada Remaja. Jurnal Psikologi UGM, 44(3), 185-
197.

Tuton, E., Seers, K., Langstaff, D. (2009). An Exploration Of Hope as A Concept


for Nursing. Journal of Orthopaedic Nursing, 13, 119-127.

Snyder, dkk,. (2002). Hope and Academic Succes in College. Journal of


Educational Psychology. 94, 820-826.

Identitas Penulis:
Nama : Dr. Haerani Nur, S.Psi., M.Si.
Institusi : Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar
Riwayat pendidikan : 1. S1 Psikologi Universitas Negeri Makassar
2. S2 Psikologi Universitas Gadjah Mada
3. S3 Psikologi Universitas Airlangga
Fokus bidang kajian : 1. Psikologi Perkembangan
2. Dinamika Harapan
3. Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus
Email : haerani.nur@unm.ac.id

Anda mungkin juga menyukai