Anda di halaman 1dari 72

1

Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap


Kelompok Teman Sebaya dengan
Kecenderungan Kenakalan Remaja
Wisnubroto, A. P.

Heksaloga
Jl. Imogiri Timur Km. 10, No. 27, Jejeran 1,
Wonokromo, Pleret, Bantul,
Yogyakarta, 55791
(62)881 2740625
2009
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun belum

dapat dikategorikan dewasa. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-

kanak menuju dewasa, sehingga penyesuaian diri terhadap tugas-tugas perkembangan

perlu dilakukan remaja. Dengan terlaksana tugas-tugas perkembangan tersebut secara

baik, maka remaja lebih siap memasuki tahap perkembangan selanjutnya (Hurlock,

1980).

Jika dilihat dari segi usia, masa remaja berlangsung mulai usia 13 sampai 16

tahun (Hurlock, 1980), namun, juga dapat berlangsung mulai usia 12 sampai 21 tahun,

yang terbagi menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18

tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun) (Mönks dkk, 1998).

Para ahli berpendapat bahwa masa remaja merupakan tahap perkembangan yang

rawan, dengan disertainya berbagai gejolak serta benturan, Mönks dkk (1998)

menyebutnya sebagai storm and distress. Benturan-benturan tersebut, menurut Hurlock

(1980) terjadi antara remaja dengan lingkungan keluarga (orangtua) dan dengan

lingkungan sosial (masyarakat). Penyebab utamanya adalah keinginan kuat remaja

mencari jati diri serta identitas pribadinya. Selama proses pencarian tersebut, remaja

cenderung menentang norma yang telah berlaku, tidak ingin sama dengan lingkungan,

dan ingin menampilkan dirinya sebagai pribadi berbeda dengan karakteristik khas yang

tidak dimiliki oleh individu lainnya, disebut sebagai orisinalitas remaja.


3

Ketidakkonsistenan dan perlawanan remaja dalam mencari identitas serta

menentukan pilihan memunculkan anggapan beragam dari lingkungan. Memang tidak

dapat dielakkan bahwa remaja berada pada periode transisi dengan tingkah laku anti

sosial potensial disertai banyaknya pergolakan batin. Namun, kecenderungan remaja

melakukan kenakalan sebenarnya merupakan akibat dari proses dan perkembangan

pribadi remaja yang mengandung unsur dan usaha berkaitan dengan kedewasaan seksual,

serta pencarian suatu identitas kedewasaan, meski dibarengi dengan ambisi materiil yang

tidak terkendali, dan kurang atau tidak adanya disiplin diri (Kartono, 2006).

Kecenderungan kenakalan remaja merupakan ketidakmampuan remaja

mengontrol diri, atau menyalahgunakan kontrol diri tersebut, meremehkan keberadaan

orang lain, menegakkan standar tingkah laku sendiri, disertai unsur-unsur mental dengan

motif-motif subjektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dengan cara kekerasan

dan agresi. Remaja seperti ini sangat egois, dan suka menyalahgunakan atau melebih-

lebihkan harga dirinya. Motif yang mendorong terjadinya kenakalan remaja antara lain:

untuk memuaskan kecenderungan keserakahan, meningkatnya agresivitas dan dorongan

seksual, salah asuh dan salah didik orangtua sehingga anak menjadi manja dan lemah

mental, hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib atau sebaya dan kesukaan meniru-

niru, kecenderungan pembawaan patologis atau abnormal, serta konflik batin sendiri yang

kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri dan pembelaan irasional (Kartono,

2006).

Menurut Azwar (2005), kecenderungan adalah kesiapan potensial untuk bereaksi

dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan suatu stimulus yang menghendaki

adanya respons. Dengan demikian, sebagai sebuah kecenderungan, maka kenakalan


4

remaja sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku-perilaku

destruktif yang merugikan lingkungan.

Kecenderungan kenakalan remaja yang keluar dalam bentuk kenakalan remaja

(juvenile delinquent) seperti dikatakan Hurlock (1980), tampak dalam perilaku-perilaku

negatif seperti mencuri, menipu, berbohong, menggunakan kata-kata kasar dan kotor,

merusak sarana umum, berkelahi, minum-minuman keras, dan menggunakan obat-obatan

terlarang. Sementara itu, menurut Santrock (1997), bentuk kenakalan remaja berupa

kabur dari rumah, membawa senjata tajam, kebut-kebutan di jalan, bahkan sampai

menjurus pada perbuatan-perbuatan kriminal, seperti pembunuhan, perampokan,

pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kriminal lainnya.

Kartono (2006) dalam penjelasannya mengatakan bahwa, meskipun masih bersifat

kecenderungan, potensi tersebut (kecenderungan kenakalan) dapat keluar begitu saja

ketika mendapatkan stimulus tepat dan berubah menjadi tindak kejahatan. Sayangnya,

tindak kejahatan yang dilakukan remaja sulit diketahui dengan tepat jumlahnya, karena

kasus yang dilaporkan kepada polisi dan diajukan ke pengadilan sangat terbatas. Hanya

proporsi sangat kecil dapat diketahui atau dilaporkan, yang biasanya berupa tindak

kriminal bengis dan sangat mencolok di mata umum. Sementara kejahatan yang tidak

dilaporkan, lebih disebabkan keengganan berurusan dengan pihak berwajib, atau merasa

malu jika peristiwa tersebut sampai terungkap.

Berdasarkan laporan Bimmas Polri Metro Jaya, tindak kejahatan remaja lebih

banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, yang sebagian

besar berupa perkelahian (tawuran) remaja antar sekolah. Data di Jakarta tahun 1992

tercatat 157 kasus perkelahian, kemudian tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus yang
5

menewaskan 10 pelajar. Tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13

pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 sebanyak 230 kasus, yang

menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya meningkat dengan 37

korban tewas. Dari data tersebut terlihat, bahwa dari tahun ke tahun jumlah perkelahian

dan korban cenderung meningkat, bahkan tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga

perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001).

Kenakalan remaja sebenarnya tidak saja tampak dalam perkelahian antar pelajar.

Menurut PKBI (2006), kenakalan remaja yang berhubungan dengan penyalahgunaan

narkotika lebih marak terjadi, dengan perkiraan dari sekitar tiga juta orang pengguna

narkoba sebagian besarnya adalah remaja. Disadari atau tidak oleh remaja, penggunaan

narkotika tersebut merupakan dampak dari perubahan fisik, psikis, dan sosial, sehingga

mendorongnya melakukan coba-coba, mencari tantangan, atau sekedar mencari sensasi.

Blaine (PKBI, 2006), mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan kenapa remaja

menggunakan narkoba. Pertama, remaja ingin melakukan eksperimen atau coba-coba,

yang didorong oleh rasa ingin tahu yang besar. Kedua, solidaritas teman sebaya atau

tekanan teman sebaya (takut dikatakan tidak gaul, kuper, sok alim, tidak funky, dan lain

sebagainya). Ketiga, menghilangkan stres frustrasi. Keempat, menentang otoritas guru,

orangtua, dan hukum, dan yang ke lima, ingin membuktikan keberanian dalam hal yang

berbahaya.

Tingginya penggunaan narkoba di kalangan remaja ditunjukkan hasil riset yang

dilakukan oleh Universitas Indonesia. Berdasarkan hasil riset, angka penyalahgunaan

narkoba pada pelajar dan mahasiswa sejak tahun 2003 sampai dengan 2006 meningkat

dari 3,9% menjadi 5,3% atau jumlah totalnya 1.037.682 siswa (Koran Pendidikan, 2009).
6

Hal yang sama dikatakan Rahardjo selaku Ketua Harian Badan Narkoba D.I. Yogyakarta

(dalam Suara Merdeka, 2008), bahwa penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat

adiktif lainnya (napza) di Indonesia terus mengalami peningkatan. Data dari Badan

Narkotika Nasional, menunjukkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,2

juta jiwa atau sekitar 1,5 persen dari penduduk Indonesia, dan terus mengalami

peningkatan setiap tahunnya. Dari jumlah itu, menurut Raharjo, tercatat sekitar 8.000

orang di antaranya menggunakan narkoba dengan alat bantu yang berupa alat suntik.

Akibatnya, 60 persen di antara pengguna yang menggunakan alat bantu suntik terjangkit

HIV/AIDS. Tingginya penyalahgunaan narkoba tersebut, di dunia rata-rata 15 ribu jiwa

setiap tahun melayang karena narkoba.

Sihite (2007), mengatakan bahwa penggunaan narkoba yang dilakukan remaja

sering kali berawal dari keinginan coba-coba, untuk memperoleh pengalaman baru, atau

untuk mencapai dunia khayal yang semu sebagai pelarian berbagai tekanan dan

kegagalan hidup. Begitu seseorang menjadi pencandu, biasanya diikuti kriminalitas

narkoba, seperti menjadi pengedar, dan perantara. Masih menurut Sihite, kejahatan

narkoba merupakan fenomena gunung es, sebab apa yang sesungguhnya terjadi jauh

melampaui angka-angka statistik yang tercatat. Berikut data kriminalitas di DKI Jakarta

tahun 2002-2004 yang menunjukkan bahwa narkoba menduduki angka kriminalitas

tertinggi setelah pencurian dengan pemberatan dan pencurian kendaraan bermotor.


7

Tabel 1
Kriminalitas di DKI Jakarta Tahun 2002-2004
Jenis Peristiwa 2002 2003 2004
Pembunuhan 65 65 64
Penganiayaan berat 1.372 1.134 2.277
Pencurian dengan pemberatan 4.567 5.542 8.100
Pencurian dengan kekerasan 2.546 1.822 2.426
Pencurian kendaraan bermotor 6.180 5.788 9.996
Kebakaran 489 441 413
Perjudian 400 538 693
Pemerasan 594 547 767
Pemerkosaan 107 134 172
Narkotika 2.642 2.973 3.541
Kenakalan remaja 49 35 66
Jumlah 19.011 19.001 28.515

Peningkatan kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi akhir-akhir ini memang

sangat mengkhawatirkan, demikian pula halnya di kota Yogyakarta. Penyalahgunaan

Narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba) di kalangan mahasiswa dan pelajar masih

menjadi permasalahan serius yang dihadapi jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Daerah

Istimewa Yogyakarta. Penuturan Kombes Edy Purwanto, bahwa menurut catatan Polda

DIY hingga bulan Mei 2008, terdapat 130 kasus penyalahgunaan narkoba terjadi dengan

tersangka sejumlah 164 orang. Dari 130 kasus narkoba yang terjadi hingga Mei tersebut,

sebanyak 57 kasus di antaranya melibatkan mahasiswa dan pelajar, bahkan untuk

mahasiswa menempati posisi kedua terbanyak. Edy menambahkan, penyalahgunaan

narkoba di kalangan mahasiswa dan pelajar, kebanyakan penyalahgunaan narkoba jenis

ganja, sabu-sabu dan putaw (Joglosemar, 2008).

Lebih lanjut Edy mengungkapkan, kasus penyalahgunaan narkoba di DIY terus

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurutnya, pada tahun 2006 kasus narkoba

di Propinsi DIY mencapai 250 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 325 orang.

Sedangkan untuk tahun 2007 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai 312 kasus dengan
8

jumlah tersangka sebanyak 420 orang. Selama dua tahun tersebut, kalangan pelajar dan

mahasiswa masih cukup banyak walaupun tidak dominan. Kebanyakan dari mereka

(mahasiswa dan pelajar) mengonsumsi narkoba jenis ganja, sabu-sabu dan putaw.

Mengenai daerah rawan penyebaran dan penyalahgunaan narkoba di DIY, Edy

mengungkapkan, terdapat tiga daerah utama di DIY yang menjadi daerah peredaran dan

penyalahgunaan narkoba. Ketiga daerah tersebut yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten

Sleman dan Kabupaten Bantul. Sedangkan dua kabupaten lain, Kabupaten Kulonprogo

dan Kabupaten Gunungkidul relatif tidak terdapat kasus penyalahgunaan narkoba

(Joglosemar, 2008).

Mencermati data di atas, kenakalan remaja kian marak terjadi dari tahun ke

tahunnya. Khusus di Kota Yogyakarta, pada bulan Mei 2008, terdapat 130 kasus

penyalahgunaan narkoba terjadi dengan tersangka sejumlah 164 orang, dan 57 kasus di

antaranya melibatkan mahasiswa dan pelajar. Bahkan untuk mahasiswa menempati posisi

kedua terbanyak. Berdasarkan wawancara penulis dengan salah seorang warga Kelurahan

Purwokinanti pada tanggal 14 Juni 2009, kenakalan remaja yang terjadi masih relatif

tinggi. Kenakalan yang sering dilakukan umumnya adalah perkelahian antar kampung,

seperti dituturkan:

......“pernah terjadi tawuran mas, dengan kampung Juminahan. Ketika itu, kami sedang
duduk-duduk di warung angkringan dekat rumah. Tiba-tiba anak-anak dari kampung
Juminahan melempar botol kaca kepada kami. Langsung kami balas dengan melempar
gelas angkringkan, dan perkelahian pun terjadi”. Dituturkan lebih lanjut oleh responden,
“biasanya perkelahian paling sering terjadi ketika acara tujuh belasan. Meski satu
kelurahan, biasanya RT sana membuat panggung sendiri. Pas ketemu biasanya nyok
gontok-gontokan gitu mas. Pokoknya sulit banget untuk diakurkan”.
9

Sementara itu, ketika ditanya tentang kenakalan remaja seperti minum-minuman

keras (alkohol) dan penggunaan narkoba di kalangan remaja Kelurahan Purwokinanti,

responden menuturkan bahwa:

......“untuk saat ini sebenarnya mungkin masih banyak mas, tapi tidak bisa seperti dulu
pas jaman saya. Sekarang banyak operasi, jadi biasanya sembunyi-sembunyi. Baik itu
dalam menggunakan narkoba atau minum-minum. Kalau jaman saya dulu (2 tahun lalu),
biasanya kalo kumpul-kumpul sering dibarengi dengan acara minum-minum. Sekarang
polisi sering berkeliweran mas, jadinya mungkin tidak pada berani”.....

Hal ini menunjukkan kecenderungan kenakalan remaja di wilayah Purwokinanti

relatif masih tinggi, dan dimungkinkan dapat terjadi, mengingat perselisihan belum

terselesaikan.

Menurut Kartono (2006), tingginya jumlah kenakalan remaja (dalam bentuk

perilaku-perilaku patologis) pertanda tingginya kecenderungan kenakalan remaja.

Dampak dari perkembangan zaman yang semakin modern menjadikan segalanya semakin

cepat. Perkembangan teknologi yang serba cepat, menuntut remaja segera mampu

menguasai dan mengikuti perubahan jika tidak mau tertinggal dengan remaja lainnya.

Tuntutan tersebut adalah tugas berat yang harus diemban remaja dewasa ini. Remaja yang

memiliki kemampuan dapat terhindar dari kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan

konflik-konflik (konflik internal maupun eksternal), sementara remaja yang tidak

memiliki keahlian tidak dapat ikut berkompetisi dengan remaja lainnya dan tersisihkan

dari pergaulan.

Sudah seharusnya remaja terpacu mengejar ketertinggalannya, yaitu

mengembangkan pola-pola tingkah laku sesuai serta membekali diri dengan keahlian-

keahlian sesuai tuntutan terhadap dirinya sebagai remaja. Namun, dalam kondisi emosi

yang labil, kerap kali remaja yang berusia di bawah 18 tahun lebih sulit melakukan
10

penyesuaian terhadap tuntutan-tuntutan tersebut. Keinginan mendapatkan perhatian,

status sosial, dan penghargaan dari lingkungan adalah alasan kuat remaja cenderung

menjadi nakal (Kartono, 2006).

Kenakalan remaja seperti dikatakan oleh Soekanto (2001), termasuk ke dalam

perilaku-perilaku yang menyimpang, sebab, bertentangan dengan norma-norma atau

aturan-aturan yang ada yang dapat mengganggu kelanggengan kehidupan masyarakat.

Menurut Becker (Soekanto, 2001), kenakalan remaja dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu

disengaja atau tidak disengaja. Tidak disengaja apabila remaja bersangkutan tidak

mengetahui jika perilaku tersebut menyimpang, sementara disengaja apabila remaja tahu

bahwa perilaku tersebut menyimpang namun tetap melakukannya. Apapun itu, baik

disengaja maupun tidak, kenakalan remaja muncul karena adanya dorongan-dorongan

untuk melakukan penyimpangan pada situasi-situasi tertentu, namun yang menjadi

catatan, kenapa pada sebagian remaja dorongan-dorongan tersebut tidak muncul dalam

perilaku nyata. Hal itu dikarenakan remaja yang normal mampu menahan diri dari

dorongan-dorongan untuk menyimpang.

Menurut Santrock (1997), tingginya rasio kenakalan remaja dipengaruhi oleh 1)

konsep diri, 2) kontrol diri, 3) usia, 4) jenis kelamin, 5) harapan terhadap pendidikan dan

nilai-nilai di sekolah, 6) proses keluarga, 7) pengaruh kelompok teman sebaya, 8) kelas

sosial ekonomi, dan 9) kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal. Di antara sekian faktor

tersebut, menurut Ahmadi (2004), kelompok teman sebaya merupakan faktor penting

yang mempengaruhi kenakalan remaja, mengingat semakin dominannya peran kelompok

sebaya daripada orangtua pada usia-usia remaja atau menjelang dewasa, dibandingkan

masa-masa sebelumnya.
11

Kelompok teman sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu dunia tempat

remaja dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang

ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat dalam rangka

remaja menemukan jati dirinya. Namun, apabila nilai yang dikembangkan dalam

kelompok sebaya adalah nilai yang negatif, maka akan menimbulkan bahaya bagi

perkembangan jiwa remaja (Kartono, 2006).

Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya juga merupakan akibat melemahnya

ikatan remaja dengan orangtua, sekolah dan norma-norma konvensional (Sihite, 2007).

Selain itu, banyaknya waktu yang diluangkan remaja di luar rumah bersama dengan

teman-teman sebayanya daripada dengan orangtuanya adalah salah satu alasan pokok

pentingnya peran teman sebaya bagi remaja. Peranan penting kelompok teman sebaya

terhadap remaja terutama berkaitan dengan sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan

perilaku. Remaja sering kali menilai bahwa bila dirinya memakai model pakaian yang

sama dengan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima

oleh kelompok menjadi besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum

alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa

memedulikan perasaannya sendiri dan akibatnya. Hal ini berarti bahwa di antara

menunjukkan kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya terhadap kecenderungan

kenakalan remaja (Hurlock, 1980).

Kelompok teman sebaya adalah lingkungan kedua setelah keluarga, yang

berpengaruh bagi kehidupan remaja. Terpengaruh atau tidaknya remaja dengan kelompok

teman sebaya tergantung pada persepsi remaja terhadap kelompoknya, sebab persepsi

remaja terhadap kelompok teman sebaya akan menentukan keputusan yang diambil oleh
12

remaja, yang nantinya akan mengarahkan pada tinggi atau rendahnya kecenderungan

kenakalan remaja (Kartono, 2006).

Menurut Gerungan (1986), kenakalan remaja muncul akibat terjadinya interaksi

sosial antara individu (remaja) dengan kelompoknya teman sebaya. Peran interaksi

dengan kelompok teman sebaya tersebut dapat berupa imitasi, identifikasi, sugesti dan

simpati. Remaja dapat meniru (imitasi) kenakalan yang dilakukan teman sebayanya,

sementara itu sugesti bahwa kebut-kebutan dan penggunaan narkotika adalah remaja

ideal, dapat mengakibatkan remaja yang mulanya baik menjadi nakal. Kuatnya pengaruh

kelompok teman sebaya yang mengarahkan remaja menjadi nakal atau tidak juga

ditentukan bagaimana persepsi remaja terhadap kelompok teman sebayanya tersebut.

Persepsi memegang peran penting bagi tinggi atau rendahnya kecenderungan kenakalan

remaja, yang dalam tahapan selanjutnya dapat menjadi aksi nyata berupa perilaku nakal

yang merugikan lingkungan dan dapat dikenai sangsi pidana. Dengan kata lain, jika

remaja melihat bahwa kelompok teman sebayanya adalah media yang tepat untuk

menyalurkan keinginan negatif atau tujuan-tujuan negatif lainnya, maka tinggi pulalah

kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal. Penilaian seperti itu tentu saja penilaian

negatif remaja terhadap teman sebayanya.

Persepsi merupakan proses pemahaman terhadap suatu objek yang merangsang

panca indera dan memungkinkan individu untuk membuat konstruksi dan prediksi

tentang keseluruhan dari stimulus tersebut. Kemudian dari persepsi tersebut, individu

dapat menilai kejadian yang ada di luar dirinya (Branca dalam Sari, 2003). Persepsi

remaja terhadap kelompok teman sebaya melibatkan pengalaman masa lalu yang telah

dimiliki oleh remaja. Dalam mempersepsi, remaja menyeleksi informasi baru yang
13

didapatkannya, yaitu tentang kelompok teman sebayanya, lalu membandingkan dengan

informasi yang telah dimiliki sebelumnya. Cara ini dinamakan strategi memilih. Pada

akhirnya remaja mendapatkan sebuah informasi baru berdasarkan informasi-informasi

secara keseluruhan (Sakharov, Davydov & Pavlygina, 2005).

Remaja yang mempersepsi positif kelompok teman sebayanya, memandang

kelompok teman sebaya sebagai tempat memperoleh informasi yang tidak didapatkan di

dalam keluarga, tempat menambah kemampuan dan menjadi tempat kedua setelah

keluarga untuk mengarahkan dirinya (menuju kepada perilaku yang baik) serta

memberikan masukan (koreksi) terhadap kekurangan yang dimilikinya, yang tentu saja

akan membawa dampak baik bagi remaja bersangkutan (Santrock, 1997). Sebaliknya,

remaja yang mempersepsi negatif terhadap kelompok teman sebayanya, maka remaja

melihat bahwa kelompok teman sebaya adalah sebagai kompensasi penebusan atas

kekurangan yang dimilikinya atau sebagai ajang balas dendam terhadap lingkungan yang

menolak atau memusuhi dirinya. Remaja yang merasa frustrasi (karena

ketidakmampuannya menghadapi kekurangan dan penolakan dari lingkungan/merasa

dikucilkan) secara spontan saling bersimpati dan tarik menarik, dan kemudian

menggerombol untuk mendapatkan dukungan moril, dan untuk memuaskan segenap

kebutuhannya (Kartono,2006).

Kecenderungan kenakalan remaja akan rendah ketika remaja mampu

mempersepsi bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk belajar bebas dari

orang-orang dewasa (mandiri), belajar kepada kelompok, belajar menyesuaikan diri

dengan standar kelompok, belajar bermain dan olah raga, belajar berbagi rasa, belajar

bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab, belajar bersaing
14

dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, dan belajar bekerja sama (Hurlock,

1980).

Berdasarkan keseluruhan uraian di atas maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara

persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan

remaja.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi remaja

terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi

khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial terutama berkaitan dengan

kenakalan remaja.

2. Manfaat Praktis

Bagi remaja yang membaca penelitian ini diharapkan mendapatkan informasi tentang

pentingnya peran persepsi terhadap kelompok teman sebaya dalam kaitannya dengan

kecenderungan kenakalan remaja. Sementara itu, bagi orangtua yang membaca

penelitian ini diharapkan memiliki tambahan pengetahuan tentang hubungan antara

persepsi remaja terhadap kelompok teman sebayanya dengan kecenderungan

kenakalan remaja.
15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecenderungan Kenakalan Remaja

1. Pengertian Kecenderungan Kenakalan Remaja

Sarwono (2002), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku remaja

yang melanggar norma-norma pidana. Kenakalan remaja oleh Fuhrmann (1990)

diartikan sebagai tindakan anak muda yang merusak dan mengganggu diri sendiri

ataupun orang lain.

Sementara itu, Hurlock (1980), dalam penuturannya mengatakan bahwa

kenakalan remaja merupakan tindakan pelanggaran hukum oleh remaja yang dapat

dikenakan sangsi hukum terhadap perbuatannya tersebut. Senada dengan pernyataan

tersebut, Mussen dkk (1994), mengatakan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku

melanggar hukum yang dilakukan remaja, dan dapat dikenakan sangsi.

Santrock (1997), mengartikan kenakalan remaja sebagai kumpulan perilaku

dari berbagai macam perilaku yang tidak dapat diterima norma sosial maupun hukum.

Kartono (2006), dalam penjelasannya mengatakan bahwa kenakalan remaja

merupakan perilaku jahat, atau kejahatan anak-anak muda; merupakan gejala sakit

(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja disebabkan bentuk pengabaian

sosial, sehingga remaja tersebut mengembangkan bentuk tingkah laku yang

menyimpang. Lebih lanjut, kenakalan remaja merupakan konstitusi defektif dari

mental dan emosi remaja, yang menunjukkan kegagalan dari sistem pengontrolan diri

terhadap aksi-aksi instrintif, dan tidak mampunya remaja mengendalikan emosi


16

primitif untuk menyalurkannya pada perbuatan yang berguna. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kenakalan remaja adalah perilaku

menyimpang dari norma sosial maupun pidana, yang disebabkan kegagalan dari

sistem pengontrolan diri terhadap aksi-aksi instrintif, dan emosi primitif untuk

menyalurkannya pada perbuatan yang berguna.

Dalam penelitian ini, yang diukur adalah kecenderungan remaja untuk

melakukan kenakalan. Kecenderungan sendiri merupakan kemungkinan, atau

seberapa jauh individu akan melakukan atau tidak suatu perilaku. Dikatakan oleh

Azwar (2005), kecenderungan merupakan kesiapan potensial untuk bereaksi dengan

cara tertentu apabila individu dihadapkan suatu stimulus yang menghendaki adanya

respons. Mengacu pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan

kenakalan remaja adalah kesiapan potensial remaja untuk bereaksi yaitu berperilaku

menyimpang dari norma sosial maupun pidana, yang disebabkan kegagalan dari

sistem pengontrolan diri terhadap aksi-aksi instrintif, dan emosi primitif untuk

menyalurkannya pada perbuatan yang berguna serta keinginan-keinginan untuk

mendapatkan perhatian, status sosial, dan penghargaan dari lingkungan.

2. Aspek-aspek Kecenderungan Kenakalan Remaja

Menurut Kartono (2006), aspek-aspek kecenderungan kenakalan remaja

adalah:

a. Orientasi

Pada umumnya remaja yang nakal tidak memiliki orientasi ke depan atas

kehidupannya. Remaja lebih cenderung lebih berorientasi sekarang, bersenang-


17

senang dan puas akan hari ini, sehingga sering kali remaja yang nakal

menceburkan diri ke dalam suatu kegiatan tanpa terlebih dahulu memikirkan

risikonya.

b. Emosi

Remaja yang nakal memiliki emosi yang belum matang. Emosi yang

belum matang ditandai adanya depresi mental, yaitu perasaan kesunyian,

kekecewaan, kepedihan-kepedihan yang tidak dapat disalurkan yang akhirnya

meletus dalam bentuk reaksi-reaksi balas dendam dan kompensatoris lainnya.

Menurut Hurlock (1980) tidak matangnya emosi ditandai kurangnya

kontrol emosi. Semakin tinggi kecenderungan kenakalan remaja, maka semakin

rendah kontrol emosinya. Remaja bersangkutan mudah meledakkan emosinya

(misalnya amarah) di depan umum, daripada menunggu saat yang tepat untuk

mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang dapat diterima oleh

lingkungannya

c. Interaksi sosial

Remaja yang nakal pada umumnya kurang mampu bersosialisasi dengan

lingkungannya, kurang mengenal norma-norma sosial, dan tidak memiliki

tanggung jawab secara sosial (terhadap lingkungannya). Remaja yang nakal pada

umumnya cenderung menentang lingkungannya, serta tidak menaati norma-norma

sosial yang berlaku, dan merugikan lingkungannya. Misalnya menjadi tukang

onar di kampungnya, sering membuat huru-hara di daerah tempat tinggalnya.


18

d. Aktivitas

Remaja delinquent juga menginginkan pengakuan dari lingkungan. Jika

pada umumnya hal itu ditempuh dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang

positif, namun pada remaja delinquent justru sebaliknya. Keputusan untuk

mengambil kegiatan-kegiatan negatif didasarkan pada ketidakmampuan dalam

berkompetisi dengan remaja lainnya, sehingga dikembangkanlah reaksi-reaksi

kompensatoris dan inferioritas dalam usaha mendapatkan pengakuan diri.

Aktivitas-aktivitas yang dilakukan pun cenderung menantang dan berbahaya serta

lebih bersifat negatif/cenderung menjurus kepada perilaku kriminal.

Sementara itu, menurut Loeber, Farrington & Petechuk (2003), aspek-aspek

kenakalan remaja yaitu:

a. Suka melawan otoritas (pemimpin)

Remaja yang memiliki kecenderungan kenakalan sering kali tidak mau

patuh pada pemimpin atau aturan yang telah ditetapkan. Misalnya dalam lingkup

sekolah, remaja yang memiliki kecenderungan kenakalan tidak mau patuh pada

perintah guru, dan melanggar peraturan yang telah dibuat.

b. Tingkah lakunya agresif

Remaja yang memiliki kecenderungan kenakalan tingkah lakunya agresif

dan cenderung tertutup. Pada sisi yang lain, sering kali remaja yang memiliki

kecenderungan kenakalan, melakukan perilaku-perilaku yang melanggar norma,

seperti mencuri dan berbohong.


19

c. Impulsif

Remaja yang nakal memiliki temperamen yang buruk, sehingga lebih

sering memiliki perasaan negatif, seperti marah, sulit mengontrol perilaku dan

emosinya. Hal ini mengakibatkan remaja terjebak pada perilaku-perilaku

antisosial dan perilaku yang bermasalah dalam masyarakat.

Mencermati aspek-aspek di atas, dapat dilihat bahwa aspek-aspek yang

dikemukakan oleh Kartono lebih komprehensif, sehingga kecenderungan kenakalan

remaja dapat dilihat dari berbagai bagian. Seperti orientasi yang digunakan untuk

mengetahui dinamika kognitif remaja yang memiliki kecenderungan kenakalan,

kemudian aspek emosi yang ingin mengetahui gambaran kondisi afektif remaja, serta

aspek interaksi sosial dan aktivitas untuk mengetahui konatif remaja yang memiliki

kecenderungan kenakalan. Sementara aspek yang dikemukakan oleh Loeber,

Farrington & Petechuk, lebih mengarah pada konatif remaja yang memiliki

kecenderungan kenakalan, yaitu suka melawan otoritas (pemimpin), tingkah lakunya

agresif, dan impulsif. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka aspek-aspek yang

dikemukakan Kartono lebih tepat digunakan untuk mengukur kecenderungan

kenakalan remaja dalam penelitian ini, karena lebih relevan dalam melihat dan

mengungkap kecenderungan kenakalan remaja. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa aspek-aspek kecenderungan kenakalan remaja adalah orientasi, emosi,

interaksi sosial, dan aktivitas.


20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Kenakalan Remaja

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja yaitu:

a. Konsep diri

Selama proses perkembangan, remaja mengalami krisis identitas, yang

disebabkan perubahan biologis (fisik) dan sosial. Permasalahan yang timbul

dalam proses integrasi pada kepribadian remaja meliputi: 1) terbentuknya

perasaan konsistensi atas kehidupannya, 2) pencapaian identitas peran melalui

penggabungan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya dimiliki yang

disesuaikan dengan peran yang dituntut (Erikson dalam Santrock, 1997).

Kenakalan remaja disebabkan kegagalan remaja mengintegrasikan

perasaan konsistensi atas kehidupan dengan pencapaian identitas peran. Remaja

yang dibatasi oleh lingkungan terhadap peran sosial (yang semestinya dapat

diterima remaja), membuat remaja merasa tidak mampu menerima tuntutan sosial

yang dibebankan kepadanya (Erikson dalam Santrock, 1997).

Remaja yang memiliki konsep diri positif mampu mengatasi dirinya,

memperhatikan dunia luar, dan mempunyai kemampuan untuk berinteraksi sosial

(Beane & Lipka, 1986). Dengan memiliki konsep diri yang positif, maka remaja

mampu melaksanakan tuntutan yang diberikan oleh lingkungan, sebaliknya,

remaja yang memiliki konsep diri negatif (rendah) sering kali melanggar aturan

dan norma yang ada dalam masyarakat yang mengarah pada kenakalan remaja

(Maria, 2007).

Menurut Mandel (2009), konsep diri yang negatif juga merupakan salah

satu faktor kontribusi bagi kenakalan remaja. Ketika remaja memiliki konsep diri
21

yang negatif, maka dalam perkembangannya remaja melihat lingkungan,

orangtua, dan kehidupan secara negatif.

b. Kontrol diri

Remaja dengan kemampuan kontrol diri yang baik dapat membedakan

perilaku yang sesuai atau bertentangan dengan norma sosial yang berlaku dalam

kehidupan masyarakat. Sebaliknya, remaja yang nakal tidak mampu memahami

perbedaan tingkah laku yang dapat diterima atau ditolak oleh lingkungan. Dapat

jadi remaja mampu mengenali perilaku-perilaku yang tidak diterima lingkungan,

namun remaja gagal dalam mengembangkan kontrol diri untuk mengatur tingkah

lakunya, sehingga mengakibatkan kenakalan (Erikson dalam Santrock, 1997).

c. Usia

Kenakalan remaja lebih banyak dilakukan anak-anak muda di bawah usia

22 tahun, yang tertinggi pada usia 15-19 tahun, dan sesudah usia 22 tahun

biasanya mulai menurun (Kartono, 2006). Penelitian yang dilakukan McCord

(dalam Kartono, 2006), menunjukkan bahwa pada usia dewasa, sebagian besar

remaja nakal tersebut meninggalkan perilaku kriminalnya, dan setidaknya 60%

dari jumlah tersebut menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai dengan 23

tahun. United Nation (2003) dalam laporannya mengatakan bahwa kekerasan

pada remaja lebih sering terjadi pada usia 16 sampai dengan 19 tahun, dengan

kemungkinan terjadi 91 di antara 1000 remaja.

Sementara itu, berdasarkan laporan FBI, kenakalan yang dilakukan oleh

remaja, lebih banyak ditemui pada usia 10 – 18 tahun, dan mengarah pada
22

perilaku kriminal. Kejahatan yang umumnya dilakukan yaitu perampokan,

perjudian, perampokan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan (Cox, 2007).

d. Jenis kelamin

Berdasarkan catatan kepolisian, jumlah remaja laki-laki yang melakukan

kejahatan diperkirakan 50 kali lipat lebih banyak daripada remaja putri. Hal

tersebut disebabkan anak perempuan umumnya lebih banyak jatuh ke lembah

pelacuran, promiskuitas (bergaul bebas dan seks bebas dengan banyak pria) dan

menderita gangguan mental, serta perbuatan minggat atau kabur dari rumah

(Kartono, 2006).

Menurut Loeber, Farrington, & Petechuk (2003), tidak ada perbedaan

yang signifikan antara kenakalan yang dilakukan oleh remaja laki-laki dengan

remaja perempuan, dan pada usia yang sama, peningkatan jumlah kenakalan

cenderung sama. Namun, terdapat perbedaan jenis kenakalan yang dilakukan oleh

remaja laki-laki dengan remaja perempuan. Kenakalan yang menjerumus pada

kejahatan yang dilakukan oleh kedua jenis kelamin seperti membawa senjata

(senjata tajam dan senapan), dan berjudi. Sementara itu, prostitusi lebih banyak

dilakukan oleh remaja perempuan.

e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

Remaja yang nakal memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di

sekolah. Remaja ini merasa bahwa sekolah tidak bermanfaat untuk kehidupannya,

motivasi untuk sekolah pun rendah, sehingga nilai-nilai sekolahnya cenderung

rendah. Dituturkan pula oleh Chang & Thao (dalam Maria, 2007), penelitiannya

mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah


23

terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos dan remaja Vietnam,

bahwa faktor berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung prestasi

akademik siswa, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan

antara kenakalan teman sebaya dengan prestasi akademik.

Menurut Loeber, Farrington, & Petechuk (2003), nilai-nilai sekolah sering

kali menurunkan kemungkinan remaja untuk melakukan perilaku antisosial. Studi

yang dilakukan terhadap nilai-nilai sekolah dalam perilaku anti sosial secara

konsisten menunjukkan bahwa rendahnya performa akademis merupakan relatif

bagi tingkah laku bermasalah anak dan kenakalan yang serius. Keinginan yang

lemah untuk bersekolah, rendahnya aspirasi terhadap pendidikan, dan rendahnya

motivasi tempat anak adalah risiko untuk melanggar

Lebih lanjut menurut Loeber, Farrington, & Petechuk (2003), organisasi

sekolah dan proses belajar juga memainkan peran penting sebagai salah satu

faktor yang mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja. Penelitian yang

dilakukan Herrenkohl (Loeber, Farrington, & Petechuk, 2003), menunjukkan

bahwa karakteristik sekolah mempengaruhi perilaku antisosial remaja. Hal itu

disebabkan rendahnya kepuasan guru, hubungan yang tidak harmonis antar guru,

minimnya hubungan antara murid dengan guru, aturan-aturan dan nilai-nilai

tentang kekerasan (misalnya senioritas) yang mendukung perilaku antisosial, dan

aturan yang tidak jelas.

Sekolah, dan pendidikan merupakan faktor penting yang berperan bagi

masa depan remaja. Dalam kehidupan sosial, pendidikan diasosiasikan sebagai

salah satu bagian menuju kesuksesan dalam hidup. Tingginya pendidikan


24

memberikan posisi penting dalam pekerjaan dan merupakan landasan bagi pola

asuh yang akan digunakan nantinya dalam keluarga (Cox, 2007).

f. Proses keluarga

Menurut Santrock (1997), latar belakang keluarga memiliki pengaruh

penting dalam kaitannya dengan kenakalan remaja. Kurangnya perhatian dan

pengawasan orangtua yang kurang terhadap keberadaan remaja, penerapan

disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai serta perselisihan dalam keluarga

adalah faktor keluarga yang penting dalam memunculkan kenakalan remaja.

Sementara itu, menurut Kartono (1997), remaja yang melakukan tindakan

kriminal pada umumnya dibesarkan oleh orangtua yang juga memiliki riwayat

serupa. Tingkah laku kriminal orangtua atau salah satu anggota keluarga akan

memberikan pengaruh yang sangat menular kepada anggota keluarga lainnya,

khususnya kepada remaja.

Pengawasan yang kurang, ketidakkonsistenan dan perilaku kasar

(memukul) orangtua dalam menerapkan disiplin, menjadi contoh bagi anak

tentang model yang juga akan digunakannya dalam menyelesaikan permasalahan

yang dihadapinya kelak (Weatherburn & Lind, 1998). Sementara itu, remaja yang

dibesarkan dengan orangtua alkoholik, miskin, memiliki hubungan tidak harmonis

dengan anggota keluarga lainnya, kekerasan di dalam rumah, lebih rentan untuk

menjadi remaja yang nakal (United Nation, 2003).

Keluarga yang tidak dapat berfungsi secara optimal, dapat menyebabkan

remaja memiliki kecenderungan kenakalan di masa mendatang. Remaja yang

dibesarkan dalam keluarga yang broken home atau dengan orangtua tunggal, atau
25

setelah orangtuanya bercerai kemudian menikah lagi, dikarenakan

ketidakmampuan orangtua dalam memonitor dan mengarahkan remaja, membawa

remaja untuk lebih banyak berada bersama dengan kelompok teman sebayanya

(Murry, Williams, Salekin, 2006). Penelitian yang dilakukan Demuth and Brown

(Murry, Williams, Salekin, 2006), menunjukkan bahwa remaja yang dibesarkan

oleh orangtua tunggal (ayah) lebih tinggi memiliki kecenderungan menjadi nakal,

daripada remaja yang dibesarkan orangtua yang lengkap.

Menurut Cox (2007), kehilangan kontak dan kurangnya pengawasan oleh

orangtua tunggal (terutama ayah) adalah penyebab remaja menjadi nakal. Seting

dalam keluarga memegang peran penting yang mempengaruhi tingginya

kecenderungan kenakalan remaja. Dalam seting ini meliputi dasar-dasar

kepercayaan, nilai, sikap, dan aturan-aturan umum mengenai perilaku yang

dianggap sesuai. Keluarga mentransmisikan budaya (melalui proses sosialisasi)

dan nantinya akan menjadi salah satu bagian dari karakteristik remaja, maka

struktur, fungsi dan proses keluarga merupakan bagian penting yang harus

diperhatikan. Dapat dimungkinkan bahwa tingginya kenakalan remaja karena

gagal struktur, fungsi, dan proses yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

g. Kelompok teman sebaya

Menurut Santrock (1997), kelompok teman sebaya memiliki pengaruh

kuat terhadap kenakalan remaja. Menurut Ahmadi (2004), ketika usia-usia remaja,

peranan kelompok teman sebaya menjadi makin dominan, bahkan daripada

orangtua bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.


26

Menurut Hurlock (1980), besarnya pengaruh kelompok teman sebaya

terhadap kecenderungan kenakalan remaja sering kali disebabkan remaja lebih

banyak meluangkan waktunya di luar rumah bersama dengan teman-teman

sebayanya daripada dengan orangtuanya. Kuantitas dan kualitas waktu yang lebih

memungkinkan remaja untuk saling bertukar sikap, pembicaraan, minat,

penampilan, dan perilaku.

Menurut Gerungan (1986), interaksi sosial antara individu (remaja)

dengan kelompok sebaya akan berpengaruh terhadap kenakalan remaja, melalui

proses imitasi, identifikasi, sugesti dan simpati, sehingga remaja dapat meniru

(imitasi) kenakalan yang dilakukan teman sebayanya. Sementara itu, sugesti

bahwa kebut-kebutan dan penggunaan narkotika sebagai gambaran remaja ideal,

mengakibatkan remaja yang mulanya baik menjadi nakal. Jika remaja melihat

bahwa kelompok teman sebayanya adalah media yang tepat untuk menyalurkan

keinginan negatif atau tujuan-tujuan negatif lainnya, maka semakin tinggi

kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal.

Menurut Kartono (2006), jika remaja memiliki persepsi yang negatif

terhadap kelompok teman sebayanya, maka remaja melihat bahwa teman sebaya

adalah tempat yang sesuai untuk penebusan atas kekurangan yang dimilikinya

atau sebagai ajang balas dendam yang merupakan tindakan kompensatoris

terhadap lingkungan yang menolak atau memusuhi dirinya.

h. Kelas sosial ekonomi

Menurut Santrock (1997) kenakalan remaja lebih banyak terjadi pada

golongan sosial ekonomi yang lebih rendah, serta perkampungan kumuh padat
27

penduduk. Tuntutan kehidupan yang keras menjadikan remaja-remaja kelas sosial

ekonomi rendah menjadi agresif. Sementara itu, orangtua yang sibuk mencari

nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi tidak sempat memberikan bimbingan

dan melakukan pengawasan terhadap perilaku putra-putrinya, sehingga remaja

cenderung dibiarkan menemukan dan belajar sendiri serta mencari pengalaman

sendiri.

Orangtua dengan kelas sosial ekonomi rendah cenderung tidak konsisten

dan melakukan kekerasan terhadap anaknya. Tekanan ekonomi yang begitu berat

membuat orangtua dari golongan sosial ekonomi bawah rentan stres dan tidak

memperhatikan kehidupan anaknya. Apapun akan dilakukan demi memenuhi

kebutuhan hidup, termasuk melakukan tindak kejahatan, dan kondisi semacam ini

lebih memungkinkan remaja juga melakukan tindak kejahatan guna memenuhi

kebutuhan ekonomi yang tidak dapat disediakan oleh orangtuanya (United Nation,

2003).

i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Menurut Santrock (1997) kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

memiliki peran dalam membentuk perilaku remaja. Ketika berada dalam

lingkungan, maka remaja akan mengamati beragam model perilaku-perilaku

kriminal yang mendatangkan hasil atas aktivitas tersebut, dan akhirnya meniru

perilaku tersebut.

Kenakalan remaja sering kali dibentuk oleh norma sosial yang berlaku

dalam masyarakat tempat remaja berada. Ketika remaja berada dalam lingkungan

yang tidak kondusif, seperti tempat perjudian, pelacuran, perkampungan kumuh,


28

atau kumpulan masyarakat yang dicap negatif (perampok, pencuri), maka remaja

harus mengikuti aturan yang berlaku. Remaja yang mencoba melawan dan

menentang aturan yang berlaku, karena mungkin masih memiliki idealisme, akan

dikucilkan oleh lingkungan. Remaja dijauhkan dan tidak diterima dalam

komunitas anggota masyarakat. Pada akhirnya remaja akan mengikuti perilaku

dan aturan yang berlaku tersebut, sehingga perilaku nakal diturunkan oleh

lingkungan kepada remaja tersebut (United Nation, 2003).

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi kenakalan remaja yaitu konsep diri, kontrol diri, usia, jenis

kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, proses keluarga,

kelompok teman sebaya, kelas sosial ekonomi, dan kualitas lingkungan sekitar tempat

tinggal.

B. Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya

1. Pengertian

Menurut Walgito (2001), persepsi adalah suatu proses yang berwujud

diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Proses tersebut langsung

diteruskan ke pusat susunan syaraf otak dan terjadilah proses psikologis, sehingga

individu menyadari yang dilihat dan didengarnya. Terdapat dua faktor yang

mempengaruhi terjadinya persepsi, yaitu (1) keadaan individu sebagai penerima

stimulus, yang merupakan faktor dari dalam individu seperti pikiran, perasaan, sudut

pandang, pengalaman masa lalu, daya tangkap, taraf kecerdasan, serta harapan dan

dugaan, (2) keadaan objek yang dipersepsi, yang merupakan karakteristik-


29

karakteristik yang ditampilkan oleh objek yang bersifat psikis, fisik, maupun suasana.

Selain itu, proses terbentuknya persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman,

sosialisasi, cakrawala, dan pengetahuan.

Persepsi oleh Riggio (1990), diartikan sebagai proses kognitif melalui

penginderaan, pandangan, penciuman, dan perasaan yang kemudian ditafsirkan.

Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang

disimpan dalam ingatan) untuk mendeteksi atau memperoleh dan menginterpretasi

stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung

(Matlin dalam Suharnan, 2005). Secara singkat dapat dikatakan bahwa persepsi

merupakan suatu proses menginterpretasi atau menafsirkan informasi yang diperoleh

melalui sistem alat indera manusia. misalnya, pada waktu seseorang melihat sebuah

gambar, membaca tulisan, atau mendengarkan suara tertentu, ia akan melakukan

interpretasi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dan yang relevan dengan hal-

hal itu (Suharnan, 2005).

Branca (dalam Sari, 2003) berpendapat bahwa persepsi merupakan proses

pemahaman terhadap suatu objek yang merangsang panca indera dan memungkinkan

individu untuk membuat konstruksi dan prediksi tentang keseluruhan dari stimulus

tersebut. Kemudian, dari persepsi tersebut, individu dapat menilai kejadian yang ada

di luar dirinya. Robbins (2004), mengartikan persepsi sebagai sebuah proses individu

dalam mengorganisasikan, menginterpretasikan dan memberikan arti atas stimulus

yang diterima inderanya dari lingkungan. Individu yang mempersepsi mengambil

penilaian tentang objek yang dipersepsinya melalui observasi, dan kemudian


30

mencoba menyeleksinya. Dalam proses penyeleksian tersebut, dipengaruhi oleh

minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap individu.

Persepsi merupakan proses yang melibatkan pengalaman masa lalu yang telah

dimiliki dan pengalaman individu saat ini. Dalam mempersepsi, individu menyeleksi

informasi yang didapatkan, lalu membandingkan dengan informasi yang telah

dimiliki sebelumnya (Sakharov, Davydov & Pavlygina, dalam Vickhoff, 2008). Cara

ini dinamakan strategi memilih (Bertholz dalam Vickhoff, 2008).

Dalam memilih, terdapat peran pengalaman-pengalaman dan informasi

terdahulu yang telah dimiliki individu, berupa norma (budaya) yang telah meresap

sebagai frame of references. Selama proses interaksi antara individu dengan

lingkungannya, individu membandingkan kedua informasi tersebut, yaitu informasi

baru dan gudang informasi (disebut sebagai kode informasi) yang telah dimiliki

sebelumnya, sehingga memunculkan kesimpulan atau pemahaman baru tentang objek

yang dipersepsinya (Vickhoff, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

persepsi adalah proses pemahaman terhadap suatu objek yang merangsang panca

indera dan memungkinkan individu untuk mengorganisasikan, menginterpretasikan,

membuat konstruksi dan prediksi, dan memberikan arti atas stimulus yang diterima

inderanya dari lingkungan berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap

individu.

Persepsi memiliki peran penting bagi setiap individu, karena respons yang

akan diberikan atas stimulus bergantung pada persepsi individu terhadap stimulus

yang mengenainya tersebut. Demikian pula halnya dengan persepsi remaja terhadap
31

kelompok teman sebaya, juga berpengaruh pada perilakunya bersama dengan teman-

teman sebayanya (Walgito, 2001).

Kelompok teman sebaya adalah sekumpulan individu yang memiliki tingkatan

usia yang relatif sama, yang memiliki aturan yang berbeda dengan aturan pada

masyarakat. Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya merupakan pemberian

arti atas kelompok teman sebayanya yang terdiri dari sekumpulan individu dengan

tingkatan usia yang relatif sama, yang memiliki aturan berbeda dengan aturan pada

masyarakat, dan proses tersebut dipengaruhi faktor dari dalam dan luar individu,

sehingga remaja menyadari apa yang dirasakan atas teman sebayanya tersebut

(Santrock, 1997).

Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah cara pandang atau

penilaian remaja terhadap kelompok teman sebayanya. Persepsi yang positif berarti

remaja menilai bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat yang sesuai untuk

memperbaiki kekurangan yang dimiliki. Bersama dengan teman sebaya remaja

mendapatkan nilai-nilai positif yang tidak didapatkannya dari orangtuanya. Persepsi

negatif berarti remaja menganggap bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat

kompensasi terhadap kekurangan yang dimiliki atau sebagai ajang balas dendam

terhadap lingkungan yang menolak atau memusuhinya (Kartono, 2006).

Menurut Hurlock (1980), persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya

merupakan pandangan atau proses pemberian arti (makna) atas sekumpulan individu

dengan usia yang relatif sama yang dapat memberikan kegembiraan bagi dirinya dan

memungkinkan untuk melakukan aktivitas bersama-sama, seperti misalnya olah raga.

Menurut Mönks dkk (1998), persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah
32

pandangan atau proses pemberian arti (makna) atas sekumpulan individu (remaja)

yang merasa senasib. Hal itu mengandung maksud bahwa individu-individu tersebut

sama-sama memiliki keinginan untuk memisahkan diri dari orangtua dan berkumpul

dengan teman-teman sebaya. Selain itu, teman sebaya memiliki kesamaan untuk

mencari kebebasan, dan saling mengisi satu sama lain dalam kelompok. Hal itu

mengakibatkan para remaja rela mengorbankan hubungan emosi dengan orangtuanya

dalam usaha untuk menjadi wakil kelompok teman sebayanya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah proses pemahaman terhadap

kelompok teman sebaya yang memungkinkan remaja mengorganisasikan,

menginterpretasikan, membuat konstruksi dan prediksi, dan memberikan arti atas

kelompok teman sebaya berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap

yang sebelumnya telah dimiliki remaja.

2. Aspek-aspek Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya

Proses persepsi diawali adanya penginderaan terhadap stimulus yang

mengenai atau diterima oleh individu. Stimulus tersebut diteruskan indera menuju

otak yang untuk selanjutnya dilakukan proses pengorganisasian. Selama proses

pengorganisasian, pengalaman yang dimiliki oleh individu juga turut dilibatkan,

sehingga individu dapat menyadari apa yang diterimanya. Pada akhirnya individu

memberikan respons atau menginterpretasi yang menurutnya paling sesuai dengan

stimulus yang diterimanya.


33

Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya dapat dilihat dari bagaimana

remaja melihat aspek-aspek yang terkandung dalam kelompok teman sebaya itu

sendiri, sehingga remaja dapat memberikan respons paling sesuai menurutnya.

Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah kesatuan antara persepsi itu

sendiri dengan komponen-komponen teman sebaya. Adapun komponen-komponen

tersebut seperti diuraikan oleh Hurlock (1980) adalah sebagai berikut:

a. Tujuan

Melihat bagaimana remaja memandang kelompok teman sebayanya. Awal

proses persepsi terjadi ketika remaja melakukan penginderaan yaitu diterimanya

stimulus berupa tujuan kelompok teman sebaya. Setelah mengindera, remaja

melakukan pengorganisasian informasi tersebut. Langkah selanjutnya adalah

melakukan penilaian terhadap tujuan kelompok teman sebaya. Dalam menilai dan

melakukan konstruksi, individu melibatkan pengalaman masa lalu, dan informasi-

informasi yang telah didapat sebelumnya, sehingga, remaja yang mempersepsi

positif, menilai bahwa banyak aktivitas positif dan bermanfaat dilakukan oleh

teman-teman sebayanya. Aktivitas tersebut di antaranya remaja dapat melatih

kemandirian dengan tidak bergantung pada orang dewasa, belajar berorganisasi

yaitu dengan cara menyesuaikan diri dengan standar kelompok, melatih kepekaan

emosional melalui berbagi perasaan dengan anggota lainnya, melatih sportivitas

remaja ketika bersaing dengan anggota lainnya di dalam kelompok, belajar

berperilaku sosial yang baik, menerima dan melaksanakan tanggung jawab, dan

belajar bekerja sama. Sebaliknya, remaja yang memandang negatif teman

sebayanya melihat bahwa teman-teman sebayanya memiliki tujuan membalas


34

dendam atas kekecewaan yang dirasakannya terhadap lingkungan. Biasanya

kelompok teman sebaya seperti ini terdiri dari remaja-remaja yang menganggap

bahwa lingkungan tidak menerima dirinya, lingkungan menolak dirinya, sehingga

remaja-remaja tersebut melakukan tindakan-tindakan kompensatoris yang dapat

menimbulkan kesulitan bagi orang lain.

b. Anggota kelompok

Ketika melihat anggota kelompok, maka remaja melakukan tahapan

pertama dalam proses persepsi. Setelah mendapatkan informasi dan gambaran

tentang anggota di dalam kelompok teman sebayanya, remaja melakukan

interpretasi dan menilai bagaimana anggota kelompok menurutnya. Remaja yang

mempersepsi positif kelompok teman sebayanya menilai bahwa anggota dalam

kelompoknya atau teman-teman dekatnya tersebut adalah remaja-remaja yang

populer/terkenal di kalangan teman-teman lainnya, pandai dan berprestasi (baik

prestasi akademis ataupun di kegiatan ekstrakurikuler sekolah), dan memiliki

motivasi tinggi untuk bersekolah. Sementara itu, remaja yang mempersepsi

negatif memandang bahwa teman-temannya adalah kumpulan dari remaja-remaja

yang tidak berhasil memperoleh dukungan teman-teman atau lingkungannya,

terkenal sebagai tukang onar di sekolah atau mencari gara-gara, dan tidak

memikirkan urusan sekolah, misalnya dengan sering bolos.

c. Minat

Ketika berada dalam kelompok, remaja dapat melihat minat dari kelompok

teman sebayanya tersebut. Ketika mengetahui dan menerima informasi tentang

minat anggota kelompoknya, remaja menyimpan informasi tersebut. Selanjutnya


35

remaja membandingkannya dengan referensi yang telah dimiliki sebelumnya.

Informasi tentang minat kelompok teman sebayanya tersebut dikoreksi dengan

pengetahuan yang ada padanya, maka remaja yang mempersepsi positif kelompok

teman sebayanya memandang bahwa teman-teman sebayanya berminat atau

tertarik terhadap hal-hal yang dapat mengasah atau mengembangkan kemampuan

yang dimiliki oleh setiap anggotanya. Misalnya minat terhadap olah raga, musik,

atau komputer. Sementara itu, remaja yang mempersepsi negatif menganggap

bahwa teman-teman sebayanya lebih tertarik untuk melakukan hal-hal yang

negatif dan cenderung mengejar kesenangan sesaat, misalnya menggunakan obat-

obatan terlarang (narkotika), minum-minuman alkohol (mabuk-mabukan), dan

perilaku-perilaku merusak lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan aspek-aspek persepsi terhadap

kelompok teman sebaya adalah tujuan, anggota kelompok, dan minat, yang masing-

masing melibatkan proses penginderaan, pengorganisasian, sampai akhirnya remaja

dapat melakukan interpretasi atas tujuan, anggota kelompok, dan minat.

3. Persepsi Positif dan Persepsi Negatif Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya

Hampir setiap individu pernah memiliki kelompok teman sebaya. Menurut

Santrock (1997) yang dimaksud dengan kelompok teman sebaya adalah sekumpulan

individu yang memiliki tingkatan usia yang sama, yang pada umumnya memiliki

norma atau aturan yang berbeda dengan aturan yang ada dalam masyarakat. Tidak

dapat dipungkiri bahwa kelompok teman sebaya memiliki peran penting bagi remaja,

namun sejauhmana kelompok teman sebaya berpengaruh terhadap remaja tergantung


36

pada persepsi remaja terhadap kelompok teman sebayanya tersebut, apakah positif

atau negatif.

Menurut Riggio (1990), persepsi merupakan proses kognitif melalui

penginderaan, pandangan, penciuman, dan perasaan yang kemudian ditafsirkan.

Dengan demikian, persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya berarti proses

kognitif yang dipengaruhi faktor dari dalam dan luar individu yaitu berupa pemberian

arti (pemaknaan) atas kelompok teman sebayanya yang terdiri dari para remaja

dengan tingkatan usia, tujuan dan minat yang relatif sama, yang di dalamnya terdapat

aturan (norma) yang berbeda dengan aturan pada masyarakat, sehingga remaja

menyadari apa yang dirasakan atas teman sebayanya tersebut.

Menurut Hurlock (1980), persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya

tidak terlepas dari penilaian remaja terhadap komponen-komponen yang ada dalam

kelompok teman sebaya. Lebih lanjut, komponen-komponen tersebut yaitu tujuan,

anggota kelompok, dan minat. Masih menurut Hurlock (1980), persepsi negatif

terhadap teman sebaya berarti remaja menilai bahwa kelompok teman sebayanya

memiliki tujuan untuk membalas dendam atas kekecewaan yang dirasakan terhadap

lingkungan. Lebih lanjut, remaja melihat bahwa teman-temannya menganggap

lingkungan tidak menerima atau menolak dirinya, sehingga remaja-remaja tersebut

melakukan tindakan-tindakan kompensatoris yang dapat menimbulkan kesulitan bagi

orang lain.

Menurut Kartono (2006), persepsi negatif remaja terhadap kelompok teman

sebaya berarti remaja menganggap bahwa kelompok teman sebaya seperti tempat

mencari kompensasi atas kekurangan yang dimiliki atau sebagai ajang balas dendam
37

terhadap lingkungan yang menolak atau memusuhi dirinya. Persepsi negatif

menggiring remaja pada penilaian bahwa kelompok teman sebaya adalah media untuk

memuaskan diri dari kekurangan-kekurangan yang disebabkan ketidakmampuan

remaja dalam berkompetisi dengan remaja lain seusianya.

Masih menurut Kartono (2006), remaja yang mempersepsi negatif kelompok

teman sebayanya merasa frustrasi (yang sekali lagi karena ketidakmampuan

menghadapi kekurangan dan penolakan dari lingkungan terhadap dirinya, atau merasa

dikucilkan oleh lingkungan), dan secara spontan saling bersimpati dan tarik menarik,

kemudian menggerombol untuk mendapatkan dukungan moril untuk memuaskan

segenap kebutuhannya.

Sebaliknya, menurut Santrock (1997), remaja yang mempersepsi positif

kelompok teman sebayanya, memandang kelompok teman sebaya sebagai tempat

memperoleh informasi yang tidak didapatkan di dalam keluarga, tempat menambah

kemampuan, dan menjadi tempat ke dua setelah keluarga untuk mengarahkan dirinya

(menuju kepada perilaku yang baik) serta memberikan masukan (koreksi) yang akan

membawa dampak positif. Senada dengan itu, menurut Mönks dkk (1998) persepsi

positif terhadap kelompok teman sebaya berarti remaja mampu memahami bahwa

kelompok teman sebaya dapat menjadi tempat untuk mengembangkan identitas

pribadinya.

Menurut Hurlock (1980), persepsi positif terhadap kelompok teman sebaya

ada ketika remaja mampu memandang bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat

untuk belajar bebas dari orang-orang dewasa (mandiri), belajar kepada kelompok,

belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok, belajar bermain dan olah raga,
38

belajar berbagi rasa, belajar bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan

tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik,

dan belajar bekerja sama. Sebaliknya, persepsi negatif terhadap kelompok teman

sebaya ada ketika remaja memandang kelompok teman sebaya sebagai tempat untuk

membalas kelalaian kelompok sosial yang benar-benar ada atau yang dikhayalkan;

tempat untuk memperoleh dukungan teman-temannya dan bersatu untuk membalas

dendam kepada setiap orang yang tidak menerimanya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa persepsi positif atau

negatif remaja terhadap kelompok teman sebaya terletak pada seberapa positif atau

negatif komponen-komponen yang ada dalam kelompok teman sebaya dipahami oleh

remaja. Persepsi yang positif terjadi apabila kelompok teman sebaya memiliki aspek-

aspek yang positif, dan sebaliknya, negatif jika kelompok teman sebaya memiliki

aspek-aspek yang negatif. Berkaitan dengan positif atau negatif aspek-aspek

kelompok teman sebaya seperti telah dijelaskan di atas, maka persepsi positif atau

negatif bukan pada sesuai atau tidak kelompok teman sebaya dengan keinginan

remaja, melainkan pada seberapa positif atau negatif aspek-aspek dalam kelompok

teman sebaya yang teraplikasi dalam perilaku nyata dilihat oleh remaja secara

objektif.

C. Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya

dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja

Kehidupan remaja yang penuh dengan dinamika menarik untuk disimak, yang

menempatkan kelompok teman sebaya pada posisi penting. Kelompok teman sebaya bagi
39

remaja adalah tempat kedua setelah keluarga, bahkan dapat menjadi tempat pertama

sebelum keluarga. Perasaan nyaman dapat didapatkan remaja ketika bersama dengan

kelompok teman sebaya, daripada bersama dengan keluarganya. Banyaknya waktu

diluangkan remaja bersama dengan kelompok teman sebaya di luar rumah daripada

dengan orangtua adalah salah satu alasan pentingnya peran teman sebaya bagi remaja,

terutama pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku (Hurlock, 1980).

Penelitian yang dilakukan Santrock (1997), terhadap 500 pelaku kenakalan dan

500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, menemukan tingginya persentase

kenakalan pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang

melakukan kenakalan. Sejalan dengan penelitian tersebut, menurut Walgito (2001),

persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya berperan penting dalam menentukan

tinggi atau rendahnya kecenderungan kenakalan remaja. Komponen persepsi sendiri

meliputi penginderaan, pengorganisasian, dan interpretasi. Ketiga komponen tersebut

menghantarkan remaja pada kemampuan untuk menyadari apa yang dilihat dan

didengarnya, sehingga dapat membuat konstruksi baru dalam memberikan arti (makna)

atau pandangan tentang kelompok teman sebayanya.

Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya merupakan suatu proses

penginderaan, pengorganisasian, dan interpretasi terhadap komponen-komponen dalam

kelompok teman sebaya. Komponen-komponen tersebut menurut Hurlock (1980), terdiri

atas tujuan, anggota kelompok, dan minat, sehingga, baik atau buruk persepsi remaja atas

ketiga komponen tersebut akan menentukan tinggi atau rendahnya kecenderungan

kenakalan remaja. Dengan kata lain, terdapatnya hubungan antara persepsi remaja

terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja dibarengi


40

korelasi aspek-aspek atau komponen-komponen di antara keduanya. Penginderaan,

pengorganisasian, dan interpretasi remaja terhadap tujuan, anggota kelompok, dan minat

berkorelasi dengan orientasi, emosi, interaksi sosial, dan aktivitas, sebagai komponen dari

kecenderungan kenakalan remaja.

Kartono (2006), dalam penjelasannya menyebutkan bahwa sebagai salah satu

komponen penting dalam kelompok teman sebaya, maka bagaimana cara remaja

mempersepsi tujuan, yaitu bagaimana remaja mengindera, mengorganisasi, dan

menginterpretasi, kelompok teman sebayanya turut berpengaruh pada orientasinya.

Remaja yang mempersepsi positif tujuan kelompoknya, menilai bahwa kelompok

merupakan tempat untuk belajar berinteraksi dengan orang lain, dalam hal ini adalah

teman sebaya.

Hal yang sama dikatakan oleh Hurlock (1980), bahwa remaja yang mempersepsi

positif kelompok teman sebayanya, memandang bahwa kelompok teman sebaya

merupakan tempat untuk melatih kemandirian, belajar berinteraksi dengan orang lain,

belajar bertanggung jawab, dan belajar memainkan peran sosial. Dikatakan pula oleh

Santrock (1997), persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman sebaya, akan

membawa remaja kepada penilaian bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk

mendapatkan banyak hal positif yang tidak didapatkan dalam keluarga, yaitu oleh

orangtuanya. Lebih lanjut, persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman

sebaya akan berpengaruh pada orientasi remaja atas kehidupannya. Tujuan yang positif

akan membuat remaja memiliki orientasi ke depan dan kemampuan untuk mengelola

waktu yang dimilikinya, yang menghindarkan remaja pada kecenderungan kenakalan

remaja atau perilaku-perilaku destruktif lainnya.


41

Berdasarkan pendapat Santrock di atas, maka menurut penulis, remaja yang

mempersepsi positif tujuan kelompok teman sebayanya menilai bahwa di dalam

kelompok teman sebaya remaja dapat belajar mandiri dan bertanggung jawab atas

perbuatan dan pilihannya, belajar menyesuaikan diri dengan aturan, dalam hal ini adalah

standar kelompok, belajar berbagi perasaan, belajar bersikap sportif, belajar perilaku

sosial yang baik, dan belajar bekerja sama. Tujuan-tujuan yang sifatnya positif tersebut

membawa remaja untuk lebih optimis dalam memandang masa depannya. Remaja belajar

untuk dapat mengatur aktivitas, merancang, dan mempersiapkan masa depan yang kelak

akan dijalaninya. Tentu saja, dalam mempersiapkan masa depan yang baik, perilaku-

perilaku positif dan membangun harus dijalani oleh remaja. Kemauan untuk

mempersiapkan masa depan yang lebih baik, otomatis menjauhkan remaja

kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal atau anti sosial. Wujud dari orientasi yang

baik atas masa depannya maka perilaku-perilaku positif yang coba dibangun remaja,

bukan perilaku-perilaku kompensatoris dan lebih pada orientasi kekinian.

Aspek lain dari persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya yang juga

memiliki peran penting terhadap kecenderungan kenakalan remaja yaitu anggota

kelompok. Menurut Mönks dkk (1998), persepsi positif atau negatif remaja atas anggota

kelompoknya akan membawa pengaruh pada dirinya yang akan menentukan tinggi atau

rendahnya kecenderungan kenakalan remaja bersangkutan. Remaja yang mempersepsi

positif anggota kelompoknya memandang bahwa kelompok teman sebayanya terdiri dari

teman-teman yang populer (memiliki prestasi akademik yang bagus, memiliki prestasi

yang bagus dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau prestasi-prestasi positif lainnya yang

membanggakan) dibandingkan dengan remaja lainnya.


42

Kedekatan remaja dengan kelompoknya dan konformitas kelompok mampu

memotivasi remaja untuk menjadi seperti teman-temannya. Jika sebelumnya prestasi

akademiknya buruk, maka dengan konformitas remaja akan berusaha untuk dapat seperti

teman-temannya. Keinginan tersebut diwujudkan dalam langkah nyata yaitu dengan

mengubah perilaku-perilakunya yang buruk. Jika sebelumnya dirinya tidak memiliki

orientasi ke depan atas kehidupannya, lebih bersifat emosional, kurang berinteraksi, dan

melakukan aktivitas-aktivitas non produktif, maka semenjak berada dalam komunitas

yang mayoritas memiliki latar belakang prestasi yang membanggakan, otomatis remaja

akan memiliki gairah untuk dapat meraih harapan-harapan yang sama dengan teman-

temannya tersebut. Perilaku-perilaku kompensatoris yang dilandasi oleh ketidakmampuan

untuk bersaing kini tergantikan dengan semangat untuk maju dan meraih yang terbaik

bagi dirinya, dan itu berarti pula bahwa gambaran menjadi remaja yang nakal semakin

jauh tidak terlihat (Mönks dkk, 1998).

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka tampak bahwa persepsi remaja yang

positif atas tujuan kelompok teman sebayanya akan sangat berpengaruh terhadap

rendahnya kecenderungan kenakalan yang dilakukannya. Lebih lanjut, dapat dijelaskan

bahwa dengan memiliki pandangan mengenai kelompok teman sebaya sebagai tempat

untuk melatih kemandirian, belajar hidup berkelompok, belajar menaati peraturan, belajar

berbagi rasa, belajar bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggung

jawab, belajar bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, dan belajar

bekerja sama, merupakan pertanda bahwa remaja memiliki orientasi atas masa depannya.

Remaja lebih memilih masuk kelompok teman sebaya yang sekiranya dapat

mengembangkan potensi dan memberikan pengetahuan yang sebelumnya tidak


43

diperolehnya yang membawa pada perubahan yang bersifat baik. Dapat disimpulkan

bahwa terdapat kaitan antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebayanya

dengan kecenderungan kenakalan remaja. Tingginya kecenderungan remaja untuk

melakukan kenakalan remaja dapat dilihat dari adanya korelasi antara aspek-aspek

persepsi terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja.

D. Hipotesis

Ada hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya

dengan kecenderungan kenakalan remaja; Semakin positif persepsi remaja terhadap

kelompok teman sebaya maka semakin rendah kecenderungan kenakalan remaja,

sebaliknya semakin negatif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka

semakin tinggi kecenderungan kenakalan remaja.


44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel-variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung : Kecenderungan Kenakalan Remaja

Kecenderungan kenakalan remaja adalah kesiapan potensial remaja untuk

bereaksi, yaitu berperilaku menyimpang dari norma sosial maupun pidana, yang

disebabkan kegagalan dari sistem pengontrolan diri terhadap aksi-aksi instrintif, dan

emosi primitif untuk menyalurkannya pada perbuatan yang berguna serta keinginan-

keinginan untuk mendapatkan perhatian, status sosial, dan penghargaan dari

lingkungan. Aspek-aspek Kecenderungan Kenakalan Remaja dalam penelitian ini

mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Kartono (2006) yaitu orientasi, emosi,

interaksi sosial, dan aktivitas.

2. Variabel Bebas : Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya

Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah proses pemahaman

terhadap kelompok teman sebaya yang memungkinkan remaja mengorganisasikan,

menginterpretasikan, membuat konstruksi dan prediksi, dan memberikan arti atas

kelompok teman sebaya berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap

yang sebelumnya telah dimiliki remaja. Aspek-aspek persepsi remaja terhadap

kelompok teman sebaya dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan

oleh Hurlock (1980) yaitu tujuan, anggota kelompok, dan minat.


45

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang tergabung dalam beberapa

kelompok teman sebaya, yang berdomisili di Kelurahan Purwokinanti, yang berjumlah 50

orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling. Adapun

karakteristik sampel adalah sebagai berikut:

1. Jenis Kelamin Laki-laki dan Perempuan

Terdapat kecenderungan yang sama antara remaja laki-laki dan perempuan

dalam melakukan kenakalan remaja. Hanya saja, antara laki-laki dan perempuan

melakukannya dalam jenis yang berbeda. Jika remaja laki-laki lebih banyak

melakukan tindakan kriminalitas seperti mencuri, merampok, dan sampai melakukan

pembunuhan, pada remaja perempuan kenakalan yang dilakukan sering kali berupa

pelacuran, promiskuitas (bergaul bebas dan seks bebas dengan banyak pria),

perbuatan minggat atau kabur dari rumah. Keduanya memiliki risiko yang sama dan

kecenderungan yang sama dalam melakukan tindak kenakalan, selama keduanya

berada dalam rentang usia sama, yaitu 15-19 tahun. Karena pada usia tersebut, emosi

remaja (laki-laki dan perempuan) masih labil (Kartono, 2006).

2. Berusia 15-19 tahun

Jika dilihat dari segi usia, masa remaja berlangsung mulai usia 13 sampai 16

tahun (Hurlock, 1980), namun, juga dapat berlangsung mulai usia 12 sampai 21

tahun, yang terbagi menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja

pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun) (Mönks dkk, 1998).

Di antara rentang usia tersebut, menurut Kartono (2006), kenakalan remaja paling

banyak dilakukan remaja di bawah usia 22 tahun, dengan jumlah tertinggi pada usia
46

15-19 tahun. Sesudah usia tersebut, biasanya kenakalan yang dilakukan mulai

menurun.

3. Tinggal bersama orangtua

Menurut Santrock (1997), remaja yang berasal dari keluarga berantakan lebih

mudah terpengaruh dan melakukan kenakalan serta tindakan-tindakan kriminal

lainnya. Menurut Kartono (2006) anak yang dibesarkan dalam keluarga broken home

atau terpisah dari orangtua lebih mudah terjerumus dalam perilaku-perilaku sosial

yang menyimpang. Karena kurang adanya pengawasan dari orangtua dan figur contoh

yang bisa ditiru oleh remaja.

Selanjutnya deskripsi identitas subjek dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Frekuensi Jenis Kelamin Persentase (%)
Usia
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
15 6 4 24 16
16 2 3 8 12
17 4 6 16 24
18 1 2 4 8
19 12 10 48 40
Jumlah 25 25 100 100

Tabel 3
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Frekuensi %
Pendidikan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
SMP kelas 1 0 0 0 0
SMP kelas 2 0 0 0 0
SMP kelas 3 6 4 24 16
SMA kelas 1 2 3 8 12
SMA kelas 2 4 6 16 24
SMA kelas 3 1 2 4 8
Lulus SMA 12 10 48 40
Jumlah 25 25 100 100
47

C. Metode Pengumpulan Data

Variabel-variabel dalam penelitian ini diungkap dengan menggunakan Skala

Kecenderungan Kenakalan Remaja dan Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok

Teman Sebaya yang dibuat oleh penulis dengan mengacu kepada metode rating yang

dijumlahkan dari Likert. Alasan digunakannya skala berpegang kepada anggapan yang

dikemukakan oleh Azwar (2004) yaitu:

1. Alat pengumpul data yang paling tepat untuk mengungkap aspek-aspek afektif dan

berbagai variabel kepribadian lainnya.

2. Berisi banyak aitem yang merupakan terjemahan dari indikator-indikator perilaku

yang mengungkap atribut psikologis yang dimaksud, sehingga meskipun subjek

memahami pertanyaannya akan tetapi tidak mengetahui arah jawaban yang dimaksud.

3. Jawaban yang diberikan oleh subjek merupakan proyeksi dari keadaan subjek yang

sebenarnya sesuai dengan perasaan atau kepribadian terhadap situasi-situasi tertentu

yang sedang dihadapi

Skala dalam penelitian ini memiliki dua arah aitem, yaitu aitem favorabel dan

aitem tak favorabel, yang berbentuk pernyataan dengan pilihan empat respons jawaban,

yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS),

dengan skor yang bergerak dari 1-4. Pada aitem favorabel, respons Sangat Sesuai (SS)

mendapatkan skor 4, jawaban Sesuai (S) mendapatkan skor 3, Tidak Sesuai (TS)

mendapatkan skor 2, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapatkan skor 1. Sementara

untuk aitem tak-favorabel jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapatkan skor 4,

Tidak Sesuai (TS) mendapatkan skor 3, Sangat Sesuai (SS) mendapatkan skor 2, dan

Sesuai (S) mendapatkan skor 1.


48

1. Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja

Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja dibuat oleh penulis dengan mengacu

pada aspek-aspek kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Kartono (2006). Aspek-

aspek tersebut adalah sebagai berikut:

a. Orientasi

Pada umumnya remaja yang nakal tidak memiliki orientasi ke depan atas

kehidupannya. Remaja lebih cenderung lebih berorientasi sekarang, bersenang-

senang dan puas akan hari ini. Sering kali remaja menceburkan diri ke dalam

suatu kegiatan tanpa terlebih dahulu memikirkan risikonya, selama kegiatan

tersebut mampu menunjukkan kejantanannya (dianggap jagoan). Remaja yang

nakal cenderung memiliki keinginan untuk mendapatkan pengakuan diri, diakui

keberadaannya, diperhatikan, dan dihargai.

b. Emosi

Remaja yang nakal memiliki emosi yang belum matang, emosi yang

belum matang tersebut ditandai oleh adanya depresi mental, yaitu perasaan

kesunyian, kekecewaan, kepedihan-kepedihan yang tidak dapat disalurkan yang

akhirnya meletus dalam bentuk reaksi-reaksi balas dendam dan kompensatoris

lainnya. Kekecewaan tatkala ditolak seorang gadis dapat muncul dalam bentuk

kejahatan seksual dan perkosaan.

c. Interaksi sosial

Remaja yang nakal pada umumnya kurang mampu bersosialisasi dengan

lingkungannya, sehingga kurang mengenal norma-norma dan tidak bertanggung


49

jawab secara sosial. Remaja yang nakal juga cenderung menentang

lingkungannya, dan merugikan lingkungannya.

d. Aktivitas

Remaja yang nakal cenderung menyukai kegiatan-kegiatan yang

menantang dan berbahaya. Pada remaja cenderung nakal, maka aktivitas

kelompoknya adalah untuk mendapatkan pengakuan diri dari lingkungannya,

sehingga banyak aktivitas-aktivitasnya yang bersifat negatif dan cenderung

menjurus kepada perilaku kriminal. Pada dasarnya perilaku-perilaku tersebut

merupakan reaksi-reaksi kompensatoris dari inferioritas remaja dalam usahanya

mendapatkan pengakuan diri.

Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja memiliki dua jenis aitem, yaitu

aitem favorabel dan aitem tak-favorabel, yang masing-masing aitemnya memiliki

empat kategori jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan

Sangat Tidak Sesuai (STS), yang bergerak dari 1-4. Untuk aitem favorabel, jawaban

Sangat Sesuai (SS) diberi skor 4, kemudian Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Sesuai

(TS) diberi skor 2, dan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 1. Sementara

itu, pada aitem-aitem tak-favorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) diberi skor 1,

jawaban Sesuai (S) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 2, dan jawaban

Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 4.

Jumlah aitem Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja adalah 40 aitem.

Aitem-aitem tersebut tersebar ke dalam keempat aspeknya secara merata, baik aitem

favorabel maupun aitem tak-favorabel. Untuk distribusi aitemnya dapat dilihat pada

Tabel 4.
50

Tabel 4
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
(Uji Coba)
No Aspek Nomor aitem Jumlah
Favorabel Tak-favorabel
1 Orientasi 1,3,5,7,14 9,28,30,37,39 10
2 Emosi 20,24,27,33,34 10,11,31,32,40 10
3 Interaksi sosial 2,6,12,21,23 16,17,18,22,38 10
4 Aktivitas 4,8,13,15,19 25,26,29,35,36 10
Jumlah 20 20 40

Uji coba dilakukan di Kelurahan Mantijeron, tanggal 7 – 9 Oktober 2008

kepada subjek yang berjumlah 50 orang, terdiri dari 25 remaja putra dan 25 remaja

putri yang berusia 15 – 19 tahun. Setelah selesai dilakukan pengambilan data, maka

selanjutnya dilakukan uji validitas. Oleh Azwar (2003) validitas diartikan sebagai

sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dapat melakukan fungsi

ukurnya. Besarnya koefisien validitas aitem dalam penelitian ini adalah 0,200.

Berdasarkan hasil uji validitas, dari 40 aitem pada Skala Kecenderungan

Kenakalan Remaja terdapat 6 aitem yang gugur, dan 34 aitem yang valid. Aitem yang

gugur yaitu aitem nomor 14,21,28,29,31,33, dengan koefisien validitas bergerak dari

0,208 sampai 0,645. Untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
(Setelah Uji Coba)
No Aspek Nomor aitem Jumlah
Favorabel Tak-favorabel
1 Orientasi 1,3,5,7,14 9,28,30,37,39 10
2 Emosi 20,24,27,33,34 10,11,31,32,40 10
3 Interaksi sosial 2,6,12,21,23 16,17,18,22,38 10
4 Aktivitas 4,8,13,15,19 25,26,29,35,36 10
Jumlah 20 20 40
Ket: aitem yang dicetak miring dan bergaris adalah aitem yang gugur.
51

Setelah uji validitas dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan

uji reliabilitas. Menurut Azwar2 (2004) yang dimaksud dengan reliabilitas adalah

sejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya (konsisten), dan bila dilakukan

pengujian kembali pada sekelompok subjek yang mempunyai karakteristik hampir

sama, maka hasilnya tidak akan berbeda jauh. Pada penelitian ini, reliabilitas alat ukur

diuji dengan menggunakan teknik formula Alpha-Croncbach. Berdasarkan analisis

terhadap aitem-aitem yang valid, diperoleh koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,915,

yang berarti bahwa variasi yang tampak dalam skor tes tersebut diasumsikan 92%

merupakan skor murni subjek yang bersangkutan. Untuk hasil selengkapnya dapat

dilihat pada lampiran halaman 71, sedangkan untuk sebaran aitem Skala

Kecenderungan Kenakalan Remaja setelah uji coba yang telah disusun ulang dapat

dilihat pada Tabel 6

Tabel 6
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
(Penelitian)
No Aspek Nomor aitem Jumlah
Favorabel Tak-favorabel
1 Orientasi 1,3,5,7 9,28,29,30 8
2 Emosi 20,24,27,34 10,11,14,32 8
3 Interaksi sosial 2,6,12,23 16,17,18,21,22 9
4 Aktivitas 4,8,13,15,19 25,26,31,33 9
Jumlah 17 17 34

2. Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya

Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya disusun penulis

berdasarkan teori yang dikemukakan Hurlock (1980), yang menjabarkan aspek-

aspeknya sebagai berikut:


52

a. Tujuan

Melihat bagaimana remaja memandang kelompok teman sebayanya.

Remaja yang mempersepsi positif memandang bahwa kesenangan dan

kegembiraan, belajar bebas dari orang-orang dewasa (mandiri), belajar kepada

kelompok, belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok, belajar bermain

dan olah raga, belajar berbagi rasa, belajar bersikap sportif, belajar menerima dan

melaksanakan tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain, belajar

perilaku sosial yang baik, dan belajar bekerja sama, dapat didapatkan dari

kelompok teman sebaya. Sebaliknya, remaja yang memandang negatif kelompok

teman sebaya melihat bahwa tujuan dari kelompok teman sebaya tersebut adalah

membalas dendam atas kekecewaan yang dirasakan terhadap lingkungan.

Biasanya kelompok teman sebaya seperti ini terdiri dari remaja-remaja yang

menganggap bahwa lingkungan tidak menerima dirinya, lingkungan menolak

dirinya, sehingga remaja-remaja tersebut melakukan tindakan-tindakan

kompensatoris yang dapat menimbulkan kesulitan bagi orang lain.

b. Anggota kelompok

Mengetahui bagaimana penilaian remaja terhadap anggota di dalam

kelompoknya. Remaja yang mempersepsi positif kelompok teman sebayanya

menilai bahwa anggota dalam kelompoknya atau teman-temannya tersebut adalah

remaja-remaja yang populer di kalangan teman-teman lainnya, dapat juga terdiri

dari remaja-remaja yang ingin mendapatkan manfaat dari pertemanan yang

dijalinnya tersebut. Misalnya bertukar pengetahuan dan pengalaman tentang

musik, teknologi, dan otomotif. Kemudian, remaja yang mempersepsi negatif


53

memandang bahwa teman-temannya adalah kumpulan dari remaja-remaja yang

tidak berhasil memperoleh dukungan teman-teman atau lingkungannya.

c. Minat

Mengetahui kesamaan minat antara satu anggota dengan anggota lainnya,

seperti minat terhadap jenis olah raga, jenis musik, dan lain sebagainya. Remaja

yang mempersepsi positif menganggap bahwa kelompok teman sebaya dapat

menyalurkan bakat dan minat-minat positif yang dimilikinya, seperti misalnya

minat terhadap musik, terhadap olahraga. Sebaliknya remaja yang mempersepsi

positif akan menganggap bahwa kelompok teman sebaya sebagai tempat untuk

menyalurkan minatnya untuk melakukan hal-hal yang negatif, misalnya

menggunakan obat-obatan terlarang (narkotika), minum-minuman alkohol

(mabuk-mabukan).

Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya terdiri dari aitem-

aitem favorabel yang disusun sesuai dengan blue print-nya. Skala Persepsi Remaja

terhadap Kelompok Teman Sebaya memiliki empat kategori jawaban, yaitu Sangat

Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS), yang

bergerak dari 1-4. Jumlah aitem favorabel dan tak-favorabel Skala Persepsi Remaja

terhadap Kelompok Teman Sebaya adalah 90 aitem, dengan sebaran aitem sebagai

berikut seperti tertera dalam Tabel 7.


54

Tabel 7
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
(Uji Coba)
Aitem
No Aspek Jumlah
Favorabel Tak favorabel
1,3,18,32,54,5,23,34,41,81,45, 2,16,17,21,26,46,47,48,50
1 Tujuan 49,61,62,64 ,65,10,76,79,86,90
30
Anggota 6,7,9,11,78,13,37,38,39,84,58, 12,20,24,33,43,4,51,52,55
2 66,67,70,72 ,82,35,40,53,83,85
30
kelompok
8,14,15,22,36,25,31,42,44,63, 19,27,28,29,71,56,57,60,6
3 Minat 30,59,68,73,75 9,74,77,80,87,88,89
30
Jumlah 45 45 90

Hasil uji validitas menunjukkan dari 90 aitem, terdapat 26 aitem yang gugur,

dan 64 aitem yang valid. Aitem yang gugur tersebut adalah nomor

1,7,8,15,16,24,27,29,30,31,32,34,35,37,39,46,48,51,56,60,62,63,67,87,89,90. Untuk

hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
(Setelah Uji Coba)
Aitem
No Aspek Jumlah
Favorabel Tak favorabel
1,3,18,32,54,5,23,34,41 2,16,17,21,26,46,47,48,50,65,
1 Tujuan 30
,81,45,49,61,62,64 10,76,79,86,90
Anggota 6,7,9,11,78,13,37,38,39 12,20,24,33,43,4,51,52,55,82,
2 30
kelompok ,84,58,66,67,70,72 35,40,53,83,85
8,14,15,22,36,25,31,42, 19,27,28,29,71,56,57,60,69,74
3 Minat 30
44,63,30,59,68,73,75 ,77,80,87,88,89
Jumlah 45 45 90
Ket: aitem yang dicetak miring dan bergaris adalah aitem yang gugur.

Sementara itu, koefisien reliabilitas Skala Persepsi Remaja terhadap

Kelompok Teman Sebaya adalah 0,935, yang berarti bahwa skor tampak murni

subjek adalah 94%. Selanjutnya dilakukan kembali pengaturan aitem secara acak

terhadap aitem yang valid, yang dapat dilihat pada Tabel 9.


55

Tabel 9
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
(Penelitian)
Aitem
No Aspek Jumlah
Favorabel Tak favorabel
3,18,54, 5,23,41,46,
1 Tujuan 2,17,21,26, 1,47,50, 10,32,37,62 30
45,49,61,64
Anggota 6,9,11,35, 13,38,56, 12,20,33,43,4,48,52,55,40,51,53,6
2 30
kelompok 7,16,27,58 0
14,22,36, 25,42,44,
3 Minat 19,24,28, 15,30,57, 34,39,63 30
8,29,31,59
Jumlah 45 45 90

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan Product Moment dari

Pearson. Digunakannya Product Moment karena menurut Hadi (2000) Product Moment

dapat digunakan dengan mudah untuk mengetahui besarnya korelasi antara dua variabel,

karena perhitungannya mendasarkan pada angka-angka kasar. Variabel yang akan

dikorelasikan dalam penelitian ini adalah Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman

Sebaya sebagai variabel bebas, dengan Kecenderungan Kenakalan Remaja sebagai

variabel tergantung. Olah data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 12.

E. Pelaksanaan Penelitian

Setelah persiapan penyusunan skala selesai dilakukan, maka pada tanggal 24

November 2008 penulis mendatangi Kantor Kelurahan Purwokinanti untuk meminta izin

melakukan penelitian di wilayah tersebut, dan pada hari itu juga surat izin untuk

melakukan penelitian dapat diperoleh. Kemudian pada tanggal 25 – 27 November 2008

dilakukan pembagian skala.

Pembagian skala dilakukan dengan cara mendatangi satu persatu rumah subjek

yang dimaksud, dan di beberapa tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul remaja di
56

tempat tersebut. Penulis meminta bantuan salah seorang warga mengingat individu

tersebut memahami seluk beluk lokasi penelitian, karakteristik subjek penelitian,

sehingga lebih mudah melakukan pendekatan terhadap subjek penelitian, serta

pertimbangan penghematan waktu dan tenaga.

Setelah bertemu subjek dan mengatakan maksud serta tujuan, kemudian skala

diberikan. Skala langsung dikerjakan oleh subjek, sementara penulis menunggu sambil

memberikan penjelasan mengenai kemungkinan kesulitan-kesulitan yang ditemui subjek

selama melakukan pengisian.

Sementara penulis menunggu subjek selesai mengerjakan skala, rekan penulis

(asisten) lainnya bersama dengan warga lokal tersebut membagikan skala pada subjek

lainnya. Hal ini dilakukan mengingat waktu yang terbatas, dan mobilitas remaja yang

tinggi, sehingga sedapat mungkin penulis mendapatkan data dari sejumlah subjek yang

telah ditentukan sebelumnya.

Selama tiga hari penulis melakukan pembagian skala, dan akhirnya skala yang

berjumlah 50 buah telah dibagikan semuanya dan setelah dilakukan pengecekan tidak ada

aitem yang terlewat. Hal itu berarti bahwa tidak ada skala yang gugur.
57

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Penelitian

Data yang diperoleh dari Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja dan Skala

Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya merupakan landasan bagi

peneliti dalam melakukan pengujian hipotesis. Berdasarkan perhitungan pada Skala

Kecenderungan Kenakalan Remaja, diperoleh skor minimal hipotetik sebesar 1 x 34 =

34 , kemudian skor maksimal hipotetik 4 x 34 = 136. Jarak sebaran hipotetiknya

adalah 136 – 34 = 102, sementara standar deviasinya 102 : 6 = 17, dan rerata

hipotetiknya (34 + 102) : 2 = 68. Selanjutnya pada Skala Persepsi Remaja terhadap

Kelompok Teman Sebaya, diperoleh skor minimal hipotetik 1 x 64 = 64, dan skor

maksimal hipotetik 4 x 64 = 256. Jarak sebaran hipotetiknya adalah 256 – 64 = 192,

standar deviasinya 192 : 6 = 32, dan rerata hipotetiknya (64 + 256) : 2 = 160. Untuk

ringkasan data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10
Deskripsi Data Penelitian
Data Hipotetik Data Empirik
Variabel
Rerata SD Min Maks Rerata SD Min Maks
Kecenderungan
Kenakalan 68 17 34 136 63,24 12,455 45 97
Remaja
Persepsi Remaja
terhadap
160 32 64 256 155,36 31,896 80 230
Kelompok Teman
Sebaya
Keterangan:
SD : Standar Deviasi.
Rerata : Jumlah skor rata-rata (hipotetik/empirik) yang diperoleh subjek dalam penelitian ini.
Min : Jumlah skor terendah (hipotetik/empirik) yang diperoleh subjek dalam penelitian.
Maks : Jumlah skor tertinggi (hipotetik/empirik) yang diperoleh subjek dalam penelitian.
58

Selanjutnya, klasifikasi skor subjek dalam penelitian ini menggunakan tiga

kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kriteria kategorisasi tersebut didasarkan

pada standar deviasi dan rerata hipotetiknya. Menurut Azwar (2003) kategorisasi

merupakan cara untuk mengetahui variabel-variabel penelitian pada subjek penelitian

mana yang termasuk tinggi, sedang, atau rendah. Hasil selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 11 dan Tabel 12.

Tabel 11
Kategorisasi Skor Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
Persentase
No Pedoman Kategorisasi Skor Frekuensi
(%)
1. µ+1σ≤X<µ+3σ Tinggi 85≤X<119 4 8
2. µ-1σ≤X<µ+1σ Sedang 51≤X<85 38 76
3. µ-3σ≤X<µ-1σ Rendah 17≤X<51 8 16
Jumlah 50 100
Keterangan:
µ = Rerata hipotetik
σ = Standar deviasi hipotetik

Berdasarkan Tabel 11 di atas, dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada

kategori rendah berjumlah 8 orang, sedang 38 orang, dan tinggi 4 orang. Subjek

paling banyak berada pada kategori sedang yaitu 76% dari jumlah sampel.

Tabel 12
Kategorisasi Skor Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
Persentase
No Pedoman Kategorisasi Skor Frekuensi
(%)
1. µ+1σ≤X<µ+3σ Tinggi 192≤X<256 5 10
2. µ-1σ≤X<µ+1σ Sedang 128≤X<192 40 80
3. µ-3σ≤X<µ-1σ Rendah 64≤X<128 5 10
Jumlah 50 100
Keterangan:
µ = Rerata hipotetik
σ = Standar deviasi hipotetik

Berdasarkan Tabel 12 di atas, dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada

kategori rendah berjumlah 5 orang, sedang 40 orang, dan tinggi 5 orang. Subjek

paling banyak berada pada kategori sedang yaitu 80% dari jumlah sampel.
59

2. Hasil Analisis Data

a. Uji Prasyarat

Sebelum analisis korelasi Product Moment dilakukan guna menguji

hipotesis, maka terlebih dahulu harus dilakukan uji prasyarat berupa uji

normalitas dan uji linieritas.

1) Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui distribusi sebaran variabel

tergantung. Berdasarkan hasil uji normalitas pada variabel Kecenderungan

Kenakalan Remaja, maka diperoleh KS-Z sebesar 0,114 dengan taraf

signifikansi 0,123 (p>0,05).

2) Uji Linieritas

Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah kedua variabel

mempunyai hubungan yang linier atau tidak. Hasil uji linieritas

memperlihatkan koefisien F sebesar 51,111 dengan taraf signifikansi 0,000

(p<0,05), sehingga dengan demikian berarti bahwa variabel Persepsi Remaja

terhadap Kelompok Teman Sebaya dengan Kecenderungan Kenakalan

Remaja mempunyai hubungan yang linier.

b. Uji Hipotesis

Setelah dilakukan uji normalitas dan uji linieritas, maka selanjutnya

dilakukan analisis uji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi Product

Moment.

Hasil analisis data penelitian menunjukkan koefisien korelasi (rxy) sebesar

- 0,694 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,01). Hal tersebut menunjukkan


60

bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara persepsi remaja

terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja;

semakin positif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka semakin

rendah kecenderungan kenakalan remaja, sebaliknya semakin negatif persepsi

remaja terhadap kelompok teman sebaya maka semakin tinggi kecenderungan

kenakalan remaja. Koefisien determinasinya adalah 0,482, yang berarti bahwa

sumbangan persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya terhadap

kecenderungan kenakalan remaja sebesar 48,2%, sedangkan 51,8% sisanya

diasumsikan berasal dari faktor-faktor lain yang tidak ikut dilibatkan dalam

penelitian ini.

B. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan telah dilakukan, terbukti ada hubungan

negatif antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan

kenakalan remaja. Semakin positif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya

maka semakin rendah kecenderungan kenakalan remaja, sebaliknya semakin negatif

persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka semakin tinggi kecenderungan

kenakalan remaja. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan

Patacchini & Zenou (2008), yang menunjukkan adanya hubungan antara kelompok teman

sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa

pengaruh kelompok teman sebaya terjadi melalui proses konformitas remaja terhadap

kelompoknya. Proses konformitas ini merupakan upaya remaja dalam rangka

menyesuaikan diri dengan aturan dalam kelompok. Ketika remaja berada dalam
61

kelompok dan berstatus sebagai anggota kelompok, maka remaja harus menyesuaikan

diri dengan aturan yang berlaku dalam kelompok, yang juga diikuti oleh anggota lainnya.

Konformitas ini merupakan modal penting bagi keseimbangan di dalam kelompok teman

sebaya, yang mengarah pada kekompakan antar anggota sebagai bentuk kuatnya

hubungan remaja di dalam kelompok secara emosional. Konformitas mencegah keretakan

dalam kelompok teman sebaya, meski kadang hal ini merugikan remaja, sebab tidak

semua norma yang ada dalam kelompok sejalan dengan norma yang berlaku di

masyarakat. Ibarat aturan adat, maka demikian pula halnya dengan aturan yang ada dalam

kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya memiliki aturan yang berbeda sesuai

dengan tempat kelompok teman sebaya tersebut berada. Ketika norma kelompok

bertentangan dengan norma masyarakat, maka anggota dalam kelompok teman sebaya

juga akan menentang aturan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian McCord, Widom, & Crowell

(2001), juga menemukan hubungan yang kuat antara kelompok teman sebaya dengan

kenakalan remaja, dalam hal ini berupa perilaku antisosial. Penelitian ini melaporkan

bahwa kelompok teman sebaya yang bersifat antisosial akan berdampak langsung pada

perilaku remaja di dalam kelompok. Kuatnya pengaruh kelompok teman sebaya

dikarenakan beberapa hal, yaitu kedekatan (ibarat sahabat karib) remaja dengan

kelompok teman sebayanya, intensitas waktu yang dilewatkan bersama dengan

kelompoknya, serta tekanan dari kelompok teman sebaya itu sendiri. Lebih lanjut,

penelitian ini menyebutkan bahwa sering kali remaja menjadi anggota dalam kelompok

teman sebaya ketika remaja kehilangan atau miskin perhatian dari orangtuanya, dan

kelompok teman sebaya mampu memberikan kompensasi atas kekurangan tersebut


62

kepada remaja, sehingga dalam kelompok, remaja menemukan perhatian yang tidak

didapatkan dari orangtuanya. Sementara itu, kurangnya pengawasan serta waktu yang

diluangkan orangtua bersama dengan remaja (anaknya), mengakibatkan remaja lebih

banyak memberikan perhatian pada kelompoknya. Pada giliran selanjutnya, nilai-nilai

dalam kelompok menjadi bagian dari diri remaja, karena bagi remaja, kelompok teman

sebaya merupakan anggota keluarganya, dan yang paling penting bahwa dari kelompok

teman sebaya, remaja mendapatkan apa yang tidak didapatkan dari orangtuanya.

Teman sebaya memang dapat memberikan pengaruh pada remaja terhadap

perilaku dalam interaksinya dengan kehidupan sosial masyarakat. Kelompok teman

sebaya merupakan media bagi remaja dalam rangka melatih interaksi sosial kelak sebagai

bagian dari anggota masyarakat. Dalam kelompok teman sebaya juga terdapat hierarki

yang kurang lebih sama dengan hierarki yang ada dalam kelompok sosial dewasa, meski

dengan norma (aturan) yang dibuat dan cenderung berbeda dengan norma yang umumnya

berlaku dalam masyarakat. Kelompok teman sebaya ini memberikan remaja perasaan

nyaman dan aman, serta kompensasi atas ketidaksempurnaan (ketidakharmonisan)

hubungan yang dijalin dengan keluarga dan sekolah. Kelompok teman sebaya

memberikan kesempatan kepada remaja berpartisipasi guna mengembangkan

pengetahuan tentang interaksi sosial, dan loyalitas terhadap kelompok. Ikatan ini

dipertahankan secara menyeluruh sebagai kekuatan inti, melalui disiplin yang diterapkan

kepada para anggota. Kuatnya ikatan antara anggota kelompok dalam kelompok teman

sebaya merupakan pemersatu atas perbedaan yang ada, sehingga kerap kali remaja

merasa bahwa kelompok sudah seperti keluarga, dan karena itu pulalah kelompok teman

sebaya sangat berpengaruh terhadap remaja (United Nation, 2003).


63

Hal yang sama dikatakan oleh Hurlock (1980), bahwa remaja yang mempersepsi

positif kelompok teman sebayanya, memandang bahwa kelompok teman sebaya

merupakan tempat untuk melatih kemandirian, belajar berinteraksi dengan orang lain,

belajar bertanggung jawab, dan belajar memainkan peran sosial. Dikatakan pula oleh

Santrock (1997), persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman sebaya, akan

membawa remaja kepada penilaian bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk

mendapatkan banyak hal positif yang tidak didapatkan dalam keluarga, yaitu oleh

orangtuanya. Lebih lanjut, persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman

sebaya akan berpengaruh pada orientasi remaja atas kehidupannya. Tujuan yang positif

akan membuat remaja memiliki orientasi ke depan dan kemampuan untuk mengelola

waktu yang dimilikinya, yang menghindarkan remaja pada kecenderungan kenakalan

remaja atau perilaku-perilaku destruktif lainnya.

Berdasarkan pendapat Santrock (1997) di atas, maka dapat dikatakan bahwa

remaja yang mempersepsi positif tujuan kelompok teman sebayanya menilai bahwa

kelompok teman sebayanya di dalam kelompok teman sebaya remaja dapat belajar

mandiri dan bertanggung jawab atas perbuatan dan pilihannya, belajar menyesuaikan diri

dengan aturan dalam hal ini adalah standar kelompok, belajar berbagi perasaan, belajar

bersikap sportif, belajar perilaku sosial yang baik, dan belajar bekerja sama. Lebih lanjut,

tujuan-tujuan yang sifatnya positif tersebut membawa remaja untuk lebih optimis dalam

memandang masa depannya. Remaja belajar untuk dapat mengatur aktivitas, merancang,

dan mempersiapkan masa depan yang kelak akan dijalaninya. Tentu saja, dalam

mempersiapkan masa depan yang baik, perilaku-perilaku positif dan membangun harus

dijalani oleh remaja. Kemauan untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik,
64

otomatis menjauhkan remaja kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal atau anti

sosial. Perilaku-perilaku positif yang coba dibangun remaja sebagai wujud dari orientasi

yang baik atas masa depannya, bukan perilaku-perilaku kompensatoris dan lebih pada

orientasi kekinian.

Menurut Mönks dkk (1998), persepsi positif atau negatif remaja atas anggota

kelompoknya akan membawa pengaruh pada dirinya yang akan menentukan tinggi atau

rendahnya kecenderungan kenakalan remaja bersangkutan. Remaja yang mempersepsi

positif anggota kelompoknya memandang bahwa kelompok teman sebayanya terdiri dari

teman-teman yang populer (memiliki prestasi akademik yang bagus, memiliki prestasi

yang bagus dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau prestasi-prestasi positif lainnya yang

membanggakan) dibandingkan dengan remaja lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa

sebagai salah satu aspek, anggota kelompok memiliki peran penting terhadap

kecenderungan kenakalan remaja yaitu.

Kedekatan remaja dengan kelompoknya mampu memotivasi remaja untuk

menjadi seperti teman-temannya. Jika sebelumnya prestasi akademiknya buruk, maka

dengan konformitas remaja akan berusaha untuk dapat seperti teman-temannya.

Keinginan tersebut diwujudkan dalam langkah nyata yaitu dengan mengubah perilaku-

perilakunya yang buruk. Jika sebelumnya dirinya tidak memiliki orientasi ke depan atas

kehidupannya, lebih bersifat emosional, kurang berinteraksi, dan melakukan aktivitas-

aktivitas non produktif, maka semenjak berada dalam komunitas yang mayoritas

memiliki latar belakang prestasi yang membanggakan, otomatis remaja akan memiliki

gairah untuk dapat meraih harapan-harapan yang sama dengan teman-temannya tersebut.

Perilaku-perilaku kompensatoris yang dilandasi oleh ketidakmampuan untuk bersaing


65

kini tergantikan dengan semangat untuk maju dan meraih yang terbaik bagi dirinya, dan

itu berarti pula bahwa gambaran menjadi remaja yang nakal semakin jauh tidak terlihat.

Menurut Mönks dkk (1998), remaja yang memiliki kecenderungan kenakalan

remaja yang rendah mampu memahami bahwa kelompok teman sebaya dapat menjadi

tempat untuk mengembangkan identitas pribadinya, sehingga akan berdampak baik bagi

perilakunya. Hal itu berarti bahwa dengan memiliki persepsi yang positif atas kelompok

teman sebayanya, maka remaja memiliki konsep yang jelas tentang apa yang akan

dilakukan di dalam kelompoknya, serta apa yang akan didapatkan dari kelompoknya.

Sebaliknya, menurut Kartono (2006), remaja yang memiliki kecenderungan kenakalan

remaja yang tinggi, memiliki persepsi yang negatif terhadap kelompok teman sebayanya.

Remaja menganggap bahwa kelompok teman sebaya merupakan tempat untuk mencari

kompensasi atas kekurangan yang dimilikinya atau sebagai ajang balas dendam terhadap

lingkungan yang menolak atau memusuhi dirinya. Remaja yang merasa frustrasi (karena

ketidakmampuannya menghadapi kekurangan dan penolakan dari lingkungan/merasa

dikucilkan) secara spontan saling bersimpati dan tarik menarik, dan kemudian

menggerombol untuk mendapatkan dukungan moril, dan untuk memuaskan segenap

kebutuhannya.

Hasil kategorisasi pada variabel kecenderungan kenakalan remaja yang

menunjukkan bahwa 16% sampel dalam penelitian ini memiliki tingkat kecenderungan

kenakalan remaja yang rendah, 76% memiliki tingkat kecenderungan kenakalan remaja

yang sedang, dan sisanya 8% memiliki tingkat kecenderungan kenakalan remaja yang

tinggi. Hal itu berarti bahwa remaja dalam penelitian ini memiliki kecenderungan

kenakalan remaja yang sedang. Sementara itu, hasil kategorisasi variabel persepsi remaja
66

terhadap kelompok teman sebaya menunjukkan bahwa 10% sampel dalam penelitian ini

memiliki persepsi terhadap kelompok teman sebaya yang tinggi, 80% berada pada

kategori sedang, dan sisanya 10% berada pada kategori rendah.

Koefisien determinasinya adalah 0,482, yang berarti bahwa sumbangan persepsi

remaja terhadap kelompok teman sebaya terhadap kecenderungan kenakalan remaja

sebesar 48,2%, sedangkan 51,8% sisanya diasumsikan berasal dari faktor-faktor lain yang

tidak ikut dilibatkan dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain yang diasumsikan memiliki

pengaruh terhadap kecenderungan kenakalan remaja yaitu konsep diri, kontrol diri, usia,

jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai sekolah, proses keluarga, kelas

sosial ekonomi, dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal.


67

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya dengan

kecenderungan kenakalan remaja; semakin positif persepsi remaja terhadap kelompok

teman sebaya maka semakin rendah kecenderungan kenakalan remaja, sebaliknya

semakin negatif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka semakin tinggi

kecenderungan kenakalan remaja. Hal itu berarti hipotesis dalam penelitian ini dapat

diterima. Besarnya koefisien determinasi (rxy2) adalah 0,482, yang menunjukkan bahwa

variabel persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya memiliki pengaruh sebesar

48,2% terhadap kecenderungan kenakalan remaja, sedangkan sisanya sebesar 51,8%

dimungkinkan berasal dari variabel lainnya yang tidak ikut dilibatkan dalam penelitian

ini.

B. Saran

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya hubungan antara persepsi

remaja terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja. Ada

beberapa hal yang dapat dipetik bersama sebagai saran dan masukan untuk berbagai

pihak. Pihak-pihak tersebut meliputi:


68

1. Subjek penelitian

Untuk subjek penelitian yang memiliki tingkat kecenderungan kenakalan

remaja rendah diharapkan dipertahankan, sebaliknya subjek yang memiliki

kecenderungan kenakalan remaja tinggi sebaiknya berupaya mengubah persepsinya

tentang kelompok teman sebaya, sementara subjek penelitian yang memiliki

kecenderungan kenakalan sedang sebaiknya juga berupaya untuk memperbaiki

persepsi terhadap kelompok teman sebaya sehingga dapat lebih baik daripada

sebelumnya. Untuk itu subjek penelitian dapat berupaya mengoreksi diri sendiri,

tentang kekurangan yang dimiliki, dan mencoba terbuka terhadap masukan-masukan

yang diberikan oleh orangtua dan lingkungan.

2. Remaja pada umumnya

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa persepsi positif remaja terhadap

kelompok teman sebaya mempengaruhi rendahnya tingkat kecenderungan kenakalan

remaja. Diharapkan pada para remaja mampu mengubah persepsi yang negatif

tentang kelompok teman sebaya, dengan berpikiran lebih objektif, yaitu menyadari

kekurangan dan kelemahan yang dimiliki sehingga dapat menyesuaikan dengan

tuntutan yang datang dari lingkungannya sesuai dengan perkembangan zaman.

Remaja sebaiknya memahami bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk

mendapatkan kompensasi atas kekurangan yang dimiliki atau ajang balas dendam atas

kekecewaan yang dirasakan, menjadi kelompok teman sebaya sebagai tempat

mengembangkan potensi diri, tempat untuk memotivasi diri agar menjadi lebih baik,

dan tempat belajar tentang banyak hal positif yang tidak didapatkan dari kedua

orangtua.
69

3. Peneliti selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian yang sama,

diharapkan dapat melibatkan variabel-variabel lainnya seperti konsep diri, kontrol

diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai sekolah, proses

keluarga, kelas sosial ekonomi, dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal.
70

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2004. Metode Penelitian. Cetakan V. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. 2005. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Beane, J. A. & Lipka, R. P. 1986. Self Concept, Self Esteem and The Curriculum. New
York: Teacher College Press.

Cox. 2007. Juvenile Justice, Part 3, Characteristics of Juvenile Offenders.


http://www.sagepub.com/upm-
data/15996_Chapter_3___Characteristics_of_Juvenile_Offenders.pdf. Diakses
tanggal 16 Juni 2009.

Fuhrmann, B.S. 1990. Adolescence, Adolescent. London: Foresman and Company

Gerungan, A. G. 1986. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco.

Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.

Hurlock, E. B. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan. Penerjemah: Istiwidayanti. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Joglosemar. 2008. Polda Catat 130 Kasus Narkoba.


http://harianjoglosemar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=163
82. Diakses tanggal 16 Juni 2009.

Kartono, K. 2006. Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja. Jakarta: P. T. RajaGrafindo


Persada.

Koran Pendidikan. 2009. Mewaspadai Pengaruh Narkoba pada Pelajar.


http://www.koranpendidikan.com/artikel/3144/mewaspadai-pengaruh-narkoba-
pada-pelajar.html. Diakses tanggal 27 Mei 2009.

Loeber, R., Farrington, D. P. & Petechuk, D. 2003. Child Delinquency: Early


Intervention and Prevention. Child Deliquency, Bulletin Series.
http://www.ncjrs.gov/pdffiles1/ojjdp/186162.pdf. Diakses tanggal 16 Juni 2009.
71

Mandel, I. 2009. Running Head: Causes of Delinquency.


http://www.scribd.com/doc/12952165/Causes-of-Delinquency-APA. Diakses
tanggal: 15 Juni 2009.

Maria, U. 2007. Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap
Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis (tidak dipublikasikan). Fakultas
Psikologi: Universitas Gadjah Mada.

Mar’at. 1981. Sikap Manusia serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

McCord, Widom, & Crowell. 2001. Juvenile Justice, Panel on Juvenille Crime:
Prevention, Treatment, and Control. Washington DC: National Academy Press.
http://www.nap.edu/openbook.php?isbn=0309068428. Diakses tanggal: 22 Juni
2009.

Murry, C. L.; Williams, J.; Salekin, R. T. 2006. Juvenile Delinquency and Family
Structure: Links to Severity and Frequency of Offending.
http://graduate.ua.edu/mcnair/journals/2006/CrystalMurry.pdf. Diakses tanggal:
15 Mei 2009.

Mussen dkk. 1994. Child Development and Personality. Fifth ed. New York: Harper and
Row Publisher.

Mönks, K. & Haditono. 1998. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Patacchini, E. & Zenou, Y. 2008. Juvenile Delinquency, Deterrence, and Confirmsm.


http://www.eea-esem.com/files/papers/EEA-ESEM/2008/1091/swp0000.pdf.
University of Rhoma: Faculty of Statistic. Diakses tanggal: 23 Juni 2009.

PKBI. 2006. Narkoba. Yogyakarta: PKBI DIY Divisi Pengembangan Media dan
Pelatihan.

Riggio, E. 1990. Introduction to Industrial and Organizational Psychology. London:


Scoot Forestment and Company.

Robbins, S. P. 2004. Decide & Conquer: Making Winning Decisions and Taking
Control of Your Life. NJ: Financial Times/Prentice Hall.

Santrock, J. W. 1997. Life Span Development. Sixth ed Boston: McGraw-Hill.

Sari, P. A. 2003. Hubungan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif dengan
Kenakalan Remaja. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Wangsa Manggala.

Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Edisi Enam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
72

Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan: Suatu Tinjauan


Berwawasan Gender. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soekanto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke 30. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Suara Merdeka. 2008. Setiap Tahun Pengguna Narkoba Meningkat.


http://cybernews.cbn.net.id/cbprtl/Cybernews/detail.aspx?x=Regional&y=Cyber
news|0|0|11|883. Diakses tanggal: 16 Juni 2009.

Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Tambunan, R. 2001. Perkelahian Pelajar. www.e-psikologi.com. Yogyakarta, 16


Oktober 2007.

United Nation. 2003. Juvenile Deliquency. World Youth Report. Chapter 7, hlm. 187-211.
http://www.un.org/esa/socdev/unyin/documents/ch07.pdf. Diakses tanggal: 15
Mei 2009.

Vickhoff, B. 2008. A Perspective Theory of Music Perception and Emotion. University of


Gothenburg: Department of Culture, Aesthetics and Media.

Walgito, B. 2001. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Weatherburn, Don & Lind, Bronwyn. 1998. Poverty, Parenting, Peers and Crime-Prone
Neighbourhoods. Canberra: Australia Institut of Criminology.
http://www.sju.edu/academics/centers/ivrp/pdf/Povertyparentingcrime.pdf.
Diakses tangal: 16 Juni 2009.

Anda mungkin juga menyukai