Heksaloga
Jl. Imogiri Timur Km. 10, No. 27, Jejeran 1,
Wonokromo, Pleret, Bantul,
Yogyakarta, 55791
(62)881 2740625
2009
2
BAB I
PENDAHULUAN
Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun belum
dapat dikategorikan dewasa. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-
baik, maka remaja lebih siap memasuki tahap perkembangan selanjutnya (Hurlock,
1980).
Jika dilihat dari segi usia, masa remaja berlangsung mulai usia 13 sampai 16
tahun (Hurlock, 1980), namun, juga dapat berlangsung mulai usia 12 sampai 21 tahun,
yang terbagi menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18
tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun) (Mönks dkk, 1998).
Para ahli berpendapat bahwa masa remaja merupakan tahap perkembangan yang
rawan, dengan disertainya berbagai gejolak serta benturan, Mönks dkk (1998)
(1980) terjadi antara remaja dengan lingkungan keluarga (orangtua) dan dengan
mencari jati diri serta identitas pribadinya. Selama proses pencarian tersebut, remaja
cenderung menentang norma yang telah berlaku, tidak ingin sama dengan lingkungan,
dan ingin menampilkan dirinya sebagai pribadi berbeda dengan karakteristik khas yang
dapat dielakkan bahwa remaja berada pada periode transisi dengan tingkah laku anti
pribadi remaja yang mengandung unsur dan usaha berkaitan dengan kedewasaan seksual,
serta pencarian suatu identitas kedewasaan, meski dibarengi dengan ambisi materiil yang
tidak terkendali, dan kurang atau tidak adanya disiplin diri (Kartono, 2006).
orang lain, menegakkan standar tingkah laku sendiri, disertai unsur-unsur mental dengan
motif-motif subjektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dengan cara kekerasan
dan agresi. Remaja seperti ini sangat egois, dan suka menyalahgunakan atau melebih-
lebihkan harga dirinya. Motif yang mendorong terjadinya kenakalan remaja antara lain:
seksual, salah asuh dan salah didik orangtua sehingga anak menjadi manja dan lemah
mental, hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib atau sebaya dan kesukaan meniru-
niru, kecenderungan pembawaan patologis atau abnormal, serta konflik batin sendiri yang
2006).
dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan suatu stimulus yang menghendaki
negatif seperti mencuri, menipu, berbohong, menggunakan kata-kata kasar dan kotor,
terlarang. Sementara itu, menurut Santrock (1997), bentuk kenakalan remaja berupa
kabur dari rumah, membawa senjata tajam, kebut-kebutan di jalan, bahkan sampai
pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kriminal lainnya.
ketika mendapatkan stimulus tepat dan berubah menjadi tindak kejahatan. Sayangnya,
tindak kejahatan yang dilakukan remaja sulit diketahui dengan tepat jumlahnya, karena
kasus yang dilaporkan kepada polisi dan diajukan ke pengadilan sangat terbatas. Hanya
proporsi sangat kecil dapat diketahui atau dilaporkan, yang biasanya berupa tindak
kriminal bengis dan sangat mencolok di mata umum. Sementara kejahatan yang tidak
dilaporkan, lebih disebabkan keengganan berurusan dengan pihak berwajib, atau merasa
Berdasarkan laporan Bimmas Polri Metro Jaya, tindak kejahatan remaja lebih
banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, yang sebagian
besar berupa perkelahian (tawuran) remaja antar sekolah. Data di Jakarta tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian, kemudian tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus yang
5
menewaskan 10 pelajar. Tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13
pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 sebanyak 230 kasus, yang
menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya meningkat dengan 37
korban tewas. Dari data tersebut terlihat, bahwa dari tahun ke tahun jumlah perkelahian
dan korban cenderung meningkat, bahkan tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga
Kenakalan remaja sebenarnya tidak saja tampak dalam perkelahian antar pelajar.
narkotika lebih marak terjadi, dengan perkiraan dari sekitar tiga juta orang pengguna
narkoba sebagian besarnya adalah remaja. Disadari atau tidak oleh remaja, penggunaan
narkotika tersebut merupakan dampak dari perubahan fisik, psikis, dan sosial, sehingga
Blaine (PKBI, 2006), mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan kenapa remaja
yang didorong oleh rasa ingin tahu yang besar. Kedua, solidaritas teman sebaya atau
tekanan teman sebaya (takut dikatakan tidak gaul, kuper, sok alim, tidak funky, dan lain
orangtua, dan hukum, dan yang ke lima, ingin membuktikan keberanian dalam hal yang
berbahaya.
narkoba pada pelajar dan mahasiswa sejak tahun 2003 sampai dengan 2006 meningkat
dari 3,9% menjadi 5,3% atau jumlah totalnya 1.037.682 siswa (Koran Pendidikan, 2009).
6
Hal yang sama dikatakan Rahardjo selaku Ketua Harian Badan Narkoba D.I. Yogyakarta
(dalam Suara Merdeka, 2008), bahwa penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya (napza) di Indonesia terus mengalami peningkatan. Data dari Badan
juta jiwa atau sekitar 1,5 persen dari penduduk Indonesia, dan terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Dari jumlah itu, menurut Raharjo, tercatat sekitar 8.000
orang di antaranya menggunakan narkoba dengan alat bantu yang berupa alat suntik.
Akibatnya, 60 persen di antara pengguna yang menggunakan alat bantu suntik terjangkit
sering kali berawal dari keinginan coba-coba, untuk memperoleh pengalaman baru, atau
untuk mencapai dunia khayal yang semu sebagai pelarian berbagai tekanan dan
narkoba, seperti menjadi pengedar, dan perantara. Masih menurut Sihite, kejahatan
narkoba merupakan fenomena gunung es, sebab apa yang sesungguhnya terjadi jauh
melampaui angka-angka statistik yang tercatat. Berikut data kriminalitas di DKI Jakarta
Tabel 1
Kriminalitas di DKI Jakarta Tahun 2002-2004
Jenis Peristiwa 2002 2003 2004
Pembunuhan 65 65 64
Penganiayaan berat 1.372 1.134 2.277
Pencurian dengan pemberatan 4.567 5.542 8.100
Pencurian dengan kekerasan 2.546 1.822 2.426
Pencurian kendaraan bermotor 6.180 5.788 9.996
Kebakaran 489 441 413
Perjudian 400 538 693
Pemerasan 594 547 767
Pemerkosaan 107 134 172
Narkotika 2.642 2.973 3.541
Kenakalan remaja 49 35 66
Jumlah 19.011 19.001 28.515
Narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba) di kalangan mahasiswa dan pelajar masih
menjadi permasalahan serius yang dihadapi jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penuturan Kombes Edy Purwanto, bahwa menurut catatan Polda
DIY hingga bulan Mei 2008, terdapat 130 kasus penyalahgunaan narkoba terjadi dengan
tersangka sejumlah 164 orang. Dari 130 kasus narkoba yang terjadi hingga Mei tersebut,
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurutnya, pada tahun 2006 kasus narkoba
di Propinsi DIY mencapai 250 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 325 orang.
Sedangkan untuk tahun 2007 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai 312 kasus dengan
8
jumlah tersangka sebanyak 420 orang. Selama dua tahun tersebut, kalangan pelajar dan
mahasiswa masih cukup banyak walaupun tidak dominan. Kebanyakan dari mereka
(mahasiswa dan pelajar) mengonsumsi narkoba jenis ganja, sabu-sabu dan putaw.
mengungkapkan, terdapat tiga daerah utama di DIY yang menjadi daerah peredaran dan
Sleman dan Kabupaten Bantul. Sedangkan dua kabupaten lain, Kabupaten Kulonprogo
(Joglosemar, 2008).
Mencermati data di atas, kenakalan remaja kian marak terjadi dari tahun ke
tahunnya. Khusus di Kota Yogyakarta, pada bulan Mei 2008, terdapat 130 kasus
penyalahgunaan narkoba terjadi dengan tersangka sejumlah 164 orang, dan 57 kasus di
antaranya melibatkan mahasiswa dan pelajar. Bahkan untuk mahasiswa menempati posisi
kedua terbanyak. Berdasarkan wawancara penulis dengan salah seorang warga Kelurahan
Purwokinanti pada tanggal 14 Juni 2009, kenakalan remaja yang terjadi masih relatif
tinggi. Kenakalan yang sering dilakukan umumnya adalah perkelahian antar kampung,
seperti dituturkan:
......“pernah terjadi tawuran mas, dengan kampung Juminahan. Ketika itu, kami sedang
duduk-duduk di warung angkringan dekat rumah. Tiba-tiba anak-anak dari kampung
Juminahan melempar botol kaca kepada kami. Langsung kami balas dengan melempar
gelas angkringkan, dan perkelahian pun terjadi”. Dituturkan lebih lanjut oleh responden,
“biasanya perkelahian paling sering terjadi ketika acara tujuh belasan. Meski satu
kelurahan, biasanya RT sana membuat panggung sendiri. Pas ketemu biasanya nyok
gontok-gontokan gitu mas. Pokoknya sulit banget untuk diakurkan”.
9
......“untuk saat ini sebenarnya mungkin masih banyak mas, tapi tidak bisa seperti dulu
pas jaman saya. Sekarang banyak operasi, jadi biasanya sembunyi-sembunyi. Baik itu
dalam menggunakan narkoba atau minum-minum. Kalau jaman saya dulu (2 tahun lalu),
biasanya kalo kumpul-kumpul sering dibarengi dengan acara minum-minum. Sekarang
polisi sering berkeliweran mas, jadinya mungkin tidak pada berani”.....
relatif masih tinggi, dan dimungkinkan dapat terjadi, mengingat perselisihan belum
terselesaikan.
Dampak dari perkembangan zaman yang semakin modern menjadikan segalanya semakin
cepat. Perkembangan teknologi yang serba cepat, menuntut remaja segera mampu
menguasai dan mengikuti perubahan jika tidak mau tertinggal dengan remaja lainnya.
Tuntutan tersebut adalah tugas berat yang harus diemban remaja dewasa ini. Remaja yang
memiliki keahlian tidak dapat ikut berkompetisi dengan remaja lainnya dan tersisihkan
dari pergaulan.
mengembangkan pola-pola tingkah laku sesuai serta membekali diri dengan keahlian-
keahlian sesuai tuntutan terhadap dirinya sebagai remaja. Namun, dalam kondisi emosi
yang labil, kerap kali remaja yang berusia di bawah 18 tahun lebih sulit melakukan
10
status sosial, dan penghargaan dari lingkungan adalah alasan kuat remaja cenderung
Menurut Becker (Soekanto, 2001), kenakalan remaja dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu
disengaja atau tidak disengaja. Tidak disengaja apabila remaja bersangkutan tidak
mengetahui jika perilaku tersebut menyimpang, sementara disengaja apabila remaja tahu
bahwa perilaku tersebut menyimpang namun tetap melakukannya. Apapun itu, baik
catatan, kenapa pada sebagian remaja dorongan-dorongan tersebut tidak muncul dalam
perilaku nyata. Hal itu dikarenakan remaja yang normal mampu menahan diri dari
konsep diri, 2) kontrol diri, 3) usia, 4) jenis kelamin, 5) harapan terhadap pendidikan dan
sosial ekonomi, dan 9) kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal. Di antara sekian faktor
tersebut, menurut Ahmadi (2004), kelompok teman sebaya merupakan faktor penting
sebaya daripada orangtua pada usia-usia remaja atau menjelang dewasa, dibandingkan
masa-masa sebelumnya.
11
remaja dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang
ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat dalam rangka
remaja menemukan jati dirinya. Namun, apabila nilai yang dikembangkan dalam
kelompok sebaya adalah nilai yang negatif, maka akan menimbulkan bahaya bagi
ikatan remaja dengan orangtua, sekolah dan norma-norma konvensional (Sihite, 2007).
Selain itu, banyaknya waktu yang diluangkan remaja di luar rumah bersama dengan
teman-teman sebayanya daripada dengan orangtuanya adalah salah satu alasan pokok
pentingnya peran teman sebaya bagi remaja. Peranan penting kelompok teman sebaya
terhadap remaja terutama berkaitan dengan sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan
perilaku. Remaja sering kali menilai bahwa bila dirinya memakai model pakaian yang
sama dengan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk diterima
oleh kelompok menjadi besar. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum
alkohol, obat-obatan terlarang atau rokok, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa
memedulikan perasaannya sendiri dan akibatnya. Hal ini berarti bahwa di antara
berpengaruh bagi kehidupan remaja. Terpengaruh atau tidaknya remaja dengan kelompok
teman sebaya tergantung pada persepsi remaja terhadap kelompoknya, sebab persepsi
remaja terhadap kelompok teman sebaya akan menentukan keputusan yang diambil oleh
12
remaja, yang nantinya akan mengarahkan pada tinggi atau rendahnya kecenderungan
sosial antara individu (remaja) dengan kelompoknya teman sebaya. Peran interaksi
dengan kelompok teman sebaya tersebut dapat berupa imitasi, identifikasi, sugesti dan
simpati. Remaja dapat meniru (imitasi) kenakalan yang dilakukan teman sebayanya,
sementara itu sugesti bahwa kebut-kebutan dan penggunaan narkotika adalah remaja
ideal, dapat mengakibatkan remaja yang mulanya baik menjadi nakal. Kuatnya pengaruh
kelompok teman sebaya yang mengarahkan remaja menjadi nakal atau tidak juga
Persepsi memegang peran penting bagi tinggi atau rendahnya kecenderungan kenakalan
remaja, yang dalam tahapan selanjutnya dapat menjadi aksi nyata berupa perilaku nakal
yang merugikan lingkungan dan dapat dikenai sangsi pidana. Dengan kata lain, jika
remaja melihat bahwa kelompok teman sebayanya adalah media yang tepat untuk
menyalurkan keinginan negatif atau tujuan-tujuan negatif lainnya, maka tinggi pulalah
kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal. Penilaian seperti itu tentu saja penilaian
panca indera dan memungkinkan individu untuk membuat konstruksi dan prediksi
tentang keseluruhan dari stimulus tersebut. Kemudian dari persepsi tersebut, individu
dapat menilai kejadian yang ada di luar dirinya (Branca dalam Sari, 2003). Persepsi
remaja terhadap kelompok teman sebaya melibatkan pengalaman masa lalu yang telah
dimiliki oleh remaja. Dalam mempersepsi, remaja menyeleksi informasi baru yang
13
informasi yang telah dimiliki sebelumnya. Cara ini dinamakan strategi memilih. Pada
kelompok teman sebaya sebagai tempat memperoleh informasi yang tidak didapatkan di
dalam keluarga, tempat menambah kemampuan dan menjadi tempat kedua setelah
keluarga untuk mengarahkan dirinya (menuju kepada perilaku yang baik) serta
memberikan masukan (koreksi) terhadap kekurangan yang dimilikinya, yang tentu saja
akan membawa dampak baik bagi remaja bersangkutan (Santrock, 1997). Sebaliknya,
remaja yang mempersepsi negatif terhadap kelompok teman sebayanya, maka remaja
melihat bahwa kelompok teman sebaya adalah sebagai kompensasi penebusan atas
kekurangan yang dimilikinya atau sebagai ajang balas dendam terhadap lingkungan yang
dikucilkan) secara spontan saling bersimpati dan tarik menarik, dan kemudian
kebutuhannya (Kartono,2006).
mempersepsi bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk belajar bebas dari
dengan standar kelompok, belajar bermain dan olah raga, belajar berbagi rasa, belajar
bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab, belajar bersaing
14
dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, dan belajar bekerja sama (Hurlock,
1980).
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara
remaja.
B. Tujuan Penelitian
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
kenakalan remaja.
2. Manfaat Praktis
Bagi remaja yang membaca penelitian ini diharapkan mendapatkan informasi tentang
pentingnya peran persepsi terhadap kelompok teman sebaya dalam kaitannya dengan
kenakalan remaja.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
diartikan sebagai tindakan anak muda yang merusak dan mengganggu diri sendiri
kenakalan remaja merupakan tindakan pelanggaran hukum oleh remaja yang dapat
tersebut, Mussen dkk (1994), mengatakan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku
dari berbagai macam perilaku yang tidak dapat diterima norma sosial maupun hukum.
merupakan perilaku jahat, atau kejahatan anak-anak muda; merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja disebabkan bentuk pengabaian
mental dan emosi remaja, yang menunjukkan kegagalan dari sistem pengontrolan diri
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kenakalan remaja adalah perilaku
menyimpang dari norma sosial maupun pidana, yang disebabkan kegagalan dari
sistem pengontrolan diri terhadap aksi-aksi instrintif, dan emosi primitif untuk
seberapa jauh individu akan melakukan atau tidak suatu perilaku. Dikatakan oleh
cara tertentu apabila individu dihadapkan suatu stimulus yang menghendaki adanya
respons. Mengacu pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan
kenakalan remaja adalah kesiapan potensial remaja untuk bereaksi yaitu berperilaku
menyimpang dari norma sosial maupun pidana, yang disebabkan kegagalan dari
sistem pengontrolan diri terhadap aksi-aksi instrintif, dan emosi primitif untuk
adalah:
a. Orientasi
Pada umumnya remaja yang nakal tidak memiliki orientasi ke depan atas
senang dan puas akan hari ini, sehingga sering kali remaja yang nakal
risikonya.
b. Emosi
Remaja yang nakal memiliki emosi yang belum matang. Emosi yang
(misalnya amarah) di depan umum, daripada menunggu saat yang tepat untuk
lingkungannya
c. Interaksi sosial
tanggung jawab secara sosial (terhadap lingkungannya). Remaja yang nakal pada
d. Aktivitas
patuh pada pemimpin atau aturan yang telah ditetapkan. Misalnya dalam lingkup
sekolah, remaja yang memiliki kecenderungan kenakalan tidak mau patuh pada
dan cenderung tertutup. Pada sisi yang lain, sering kali remaja yang memiliki
c. Impulsif
sering memiliki perasaan negatif, seperti marah, sulit mengontrol perilaku dan
remaja dapat dilihat dari berbagai bagian. Seperti orientasi yang digunakan untuk
kemudian aspek emosi yang ingin mengetahui gambaran kondisi afektif remaja, serta
aspek interaksi sosial dan aktivitas untuk mengetahui konatif remaja yang memiliki
Farrington & Petechuk, lebih mengarah pada konatif remaja yang memiliki
kenakalan remaja dalam penelitian ini, karena lebih relevan dalam melihat dan
a. Konsep diri
yang dibatasi oleh lingkungan terhadap peran sosial (yang semestinya dapat
diterima remaja), membuat remaja merasa tidak mampu menerima tuntutan sosial
(Beane & Lipka, 1986). Dengan memiliki konsep diri yang positif, maka remaja
remaja yang memiliki konsep diri negatif (rendah) sering kali melanggar aturan
dan norma yang ada dalam masyarakat yang mengarah pada kenakalan remaja
(Maria, 2007).
Menurut Mandel (2009), konsep diri yang negatif juga merupakan salah
satu faktor kontribusi bagi kenakalan remaja. Ketika remaja memiliki konsep diri
21
b. Kontrol diri
perilaku yang sesuai atau bertentangan dengan norma sosial yang berlaku dalam
perbedaan tingkah laku yang dapat diterima atau ditolak oleh lingkungan. Dapat
namun remaja gagal dalam mengembangkan kontrol diri untuk mengatur tingkah
c. Usia
22 tahun, yang tertinggi pada usia 15-19 tahun, dan sesudah usia 22 tahun
(dalam Kartono, 2006), menunjukkan bahwa pada usia dewasa, sebagian besar
pada remaja lebih sering terjadi pada usia 16 sampai dengan 19 tahun, dengan
remaja, lebih banyak ditemui pada usia 10 – 18 tahun, dan mengarah pada
22
d. Jenis kelamin
kejahatan diperkirakan 50 kali lipat lebih banyak daripada remaja putri. Hal
pelacuran, promiskuitas (bergaul bebas dan seks bebas dengan banyak pria) dan
menderita gangguan mental, serta perbuatan minggat atau kabur dari rumah
(Kartono, 2006).
yang signifikan antara kenakalan yang dilakukan oleh remaja laki-laki dengan
remaja perempuan, dan pada usia yang sama, peningkatan jumlah kenakalan
cenderung sama. Namun, terdapat perbedaan jenis kenakalan yang dilakukan oleh
kejahatan yang dilakukan oleh kedua jenis kelamin seperti membawa senjata
(senjata tajam dan senapan), dan berjudi. Sementara itu, prostitusi lebih banyak
sekolah. Remaja ini merasa bahwa sekolah tidak bermanfaat untuk kehidupannya,
rendah. Dituturkan pula oleh Chang & Thao (dalam Maria, 2007), penelitiannya
terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos dan remaja Vietnam,
bahwa faktor berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung prestasi
yang dilakukan terhadap nilai-nilai sekolah dalam perilaku anti sosial secara
bagi tingkah laku bermasalah anak dan kenakalan yang serius. Keinginan yang
sekolah dan proses belajar juga memainkan peran penting sebagai salah satu
disebabkan rendahnya kepuasan guru, hubungan yang tidak harmonis antar guru,
memberikan posisi penting dalam pekerjaan dan merupakan landasan bagi pola
f. Proses keluarga
disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai serta perselisihan dalam keluarga
kriminal pada umumnya dibesarkan oleh orangtua yang juga memiliki riwayat
serupa. Tingkah laku kriminal orangtua atau salah satu anggota keluarga akan
yang dihadapinya kelak (Weatherburn & Lind, 1998). Sementara itu, remaja yang
dengan anggota keluarga lainnya, kekerasan di dalam rumah, lebih rentan untuk
dibesarkan dalam keluarga yang broken home atau dengan orangtua tunggal, atau
25
remaja untuk lebih banyak berada bersama dengan kelompok teman sebayanya
(Murry, Williams, Salekin, 2006). Penelitian yang dilakukan Demuth and Brown
oleh orangtua tunggal (ayah) lebih tinggi memiliki kecenderungan menjadi nakal,
orangtua tunggal (terutama ayah) adalah penyebab remaja menjadi nakal. Seting
dan nantinya akan menjadi salah satu bagian dari karakteristik remaja, maka
struktur, fungsi dan proses keluarga merupakan bagian penting yang harus
gagal struktur, fungsi, dan proses yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
kuat terhadap kenakalan remaja. Menurut Ahmadi (2004), ketika usia-usia remaja,
sebayanya daripada dengan orangtuanya. Kuantitas dan kualitas waktu yang lebih
proses imitasi, identifikasi, sugesti dan simpati, sehingga remaja dapat meniru
mengakibatkan remaja yang mulanya baik menjadi nakal. Jika remaja melihat
bahwa kelompok teman sebayanya adalah media yang tepat untuk menyalurkan
terhadap kelompok teman sebayanya, maka remaja melihat bahwa teman sebaya
adalah tempat yang sesuai untuk penebusan atas kekurangan yang dimilikinya
golongan sosial ekonomi yang lebih rendah, serta perkampungan kumuh padat
27
ekonomi rendah menjadi agresif. Sementara itu, orangtua yang sibuk mencari
sendiri.
dan melakukan kekerasan terhadap anaknya. Tekanan ekonomi yang begitu berat
membuat orangtua dari golongan sosial ekonomi bawah rentan stres dan tidak
kebutuhan hidup, termasuk melakukan tindak kejahatan, dan kondisi semacam ini
kebutuhan ekonomi yang tidak dapat disediakan oleh orangtuanya (United Nation,
2003).
kriminal yang mendatangkan hasil atas aktivitas tersebut, dan akhirnya meniru
perilaku tersebut.
Kenakalan remaja sering kali dibentuk oleh norma sosial yang berlaku
dalam masyarakat tempat remaja berada. Ketika remaja berada dalam lingkungan
atau kumpulan masyarakat yang dicap negatif (perampok, pencuri), maka remaja
harus mengikuti aturan yang berlaku. Remaja yang mencoba melawan dan
menentang aturan yang berlaku, karena mungkin masih memiliki idealisme, akan
dan aturan yang berlaku tersebut, sehingga perilaku nakal diturunkan oleh
yang mempengaruhi kenakalan remaja yaitu konsep diri, kontrol diri, usia, jenis
kelompok teman sebaya, kelas sosial ekonomi, dan kualitas lingkungan sekitar tempat
tinggal.
1. Pengertian
diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Proses tersebut langsung
diteruskan ke pusat susunan syaraf otak dan terjadilah proses psikologis, sehingga
individu menyadari yang dilihat dan didengarnya. Terdapat dua faktor yang
stimulus, yang merupakan faktor dari dalam individu seperti pikiran, perasaan, sudut
pandang, pengalaman masa lalu, daya tangkap, taraf kecerdasan, serta harapan dan
karakteristik yang ditampilkan oleh objek yang bersifat psikis, fisik, maupun suasana.
Persepsi adalah suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki (yang
stimulus (rangsangan) yang diterima oleh alat indera seperti mata, telinga, dan hidung
(Matlin dalam Suharnan, 2005). Secara singkat dapat dikatakan bahwa persepsi
melalui sistem alat indera manusia. misalnya, pada waktu seseorang melihat sebuah
interpretasi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya dan yang relevan dengan hal-
pemahaman terhadap suatu objek yang merangsang panca indera dan memungkinkan
individu untuk membuat konstruksi dan prediksi tentang keseluruhan dari stimulus
tersebut. Kemudian, dari persepsi tersebut, individu dapat menilai kejadian yang ada
di luar dirinya. Robbins (2004), mengartikan persepsi sebagai sebuah proses individu
Persepsi merupakan proses yang melibatkan pengalaman masa lalu yang telah
dimiliki dan pengalaman individu saat ini. Dalam mempersepsi, individu menyeleksi
dimiliki sebelumnya (Sakharov, Davydov & Pavlygina, dalam Vickhoff, 2008). Cara
terdahulu yang telah dimiliki individu, berupa norma (budaya) yang telah meresap
baru dan gudang informasi (disebut sebagai kode informasi) yang telah dimiliki
persepsi adalah proses pemahaman terhadap suatu objek yang merangsang panca
membuat konstruksi dan prediksi, dan memberikan arti atas stimulus yang diterima
inderanya dari lingkungan berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap
individu.
Persepsi memiliki peran penting bagi setiap individu, karena respons yang
akan diberikan atas stimulus bergantung pada persepsi individu terhadap stimulus
yang mengenainya tersebut. Demikian pula halnya dengan persepsi remaja terhadap
31
kelompok teman sebaya, juga berpengaruh pada perilakunya bersama dengan teman-
usia yang relatif sama, yang memiliki aturan yang berbeda dengan aturan pada
arti atas kelompok teman sebayanya yang terdiri dari sekumpulan individu dengan
tingkatan usia yang relatif sama, yang memiliki aturan berbeda dengan aturan pada
masyarakat, dan proses tersebut dipengaruhi faktor dari dalam dan luar individu,
sehingga remaja menyadari apa yang dirasakan atas teman sebayanya tersebut
(Santrock, 1997).
Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah cara pandang atau
penilaian remaja terhadap kelompok teman sebayanya. Persepsi yang positif berarti
remaja menilai bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat yang sesuai untuk
negatif berarti remaja menganggap bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat
kompensasi terhadap kekurangan yang dimiliki atau sebagai ajang balas dendam
merupakan pandangan atau proses pemberian arti (makna) atas sekumpulan individu
dengan usia yang relatif sama yang dapat memberikan kegembiraan bagi dirinya dan
Menurut Mönks dkk (1998), persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah
32
pandangan atau proses pemberian arti (makna) atas sekumpulan individu (remaja)
yang merasa senasib. Hal itu mengandung maksud bahwa individu-individu tersebut
sama-sama memiliki keinginan untuk memisahkan diri dari orangtua dan berkumpul
dengan teman-teman sebaya. Selain itu, teman sebaya memiliki kesamaan untuk
mencari kebebasan, dan saling mengisi satu sama lain dalam kelompok. Hal itu
persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah proses pemahaman terhadap
kelompok teman sebaya berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap
mengenai atau diterima oleh individu. Stimulus tersebut diteruskan indera menuju
sehingga individu dapat menyadari apa yang diterimanya. Pada akhirnya individu
Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya dapat dilihat dari bagaimana
remaja melihat aspek-aspek yang terkandung dalam kelompok teman sebaya itu
Persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya adalah kesatuan antara persepsi itu
a. Tujuan
melakukan penilaian terhadap tujuan kelompok teman sebaya. Dalam menilai dan
positif, menilai bahwa banyak aktivitas positif dan bermanfaat dilakukan oleh
yaitu dengan cara menyesuaikan diri dengan standar kelompok, melatih kepekaan
berperilaku sosial yang baik, menerima dan melaksanakan tanggung jawab, dan
kelompok teman sebaya seperti ini terdiri dari remaja-remaja yang menganggap
b. Anggota kelompok
terkenal sebagai tukang onar di sekolah atau mencari gara-gara, dan tidak
c. Minat
Ketika berada dalam kelompok, remaja dapat melihat minat dari kelompok
pengetahuan yang ada padanya, maka remaja yang mempersepsi positif kelompok
yang dimiliki oleh setiap anggotanya. Misalnya minat terhadap olah raga, musik,
kelompok teman sebaya adalah tujuan, anggota kelompok, dan minat, yang masing-
3. Persepsi Positif dan Persepsi Negatif Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
Santrock (1997) yang dimaksud dengan kelompok teman sebaya adalah sekumpulan
individu yang memiliki tingkatan usia yang sama, yang pada umumnya memiliki
norma atau aturan yang berbeda dengan aturan yang ada dalam masyarakat. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kelompok teman sebaya memiliki peran penting bagi remaja,
pada persepsi remaja terhadap kelompok teman sebayanya tersebut, apakah positif
atau negatif.
Dengan demikian, persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya berarti proses
kognitif yang dipengaruhi faktor dari dalam dan luar individu yaitu berupa pemberian
arti (pemaknaan) atas kelompok teman sebayanya yang terdiri dari para remaja
dengan tingkatan usia, tujuan dan minat yang relatif sama, yang di dalamnya terdapat
aturan (norma) yang berbeda dengan aturan pada masyarakat, sehingga remaja
tidak terlepas dari penilaian remaja terhadap komponen-komponen yang ada dalam
anggota kelompok, dan minat. Masih menurut Hurlock (1980), persepsi negatif
terhadap teman sebaya berarti remaja menilai bahwa kelompok teman sebayanya
memiliki tujuan untuk membalas dendam atas kekecewaan yang dirasakan terhadap
orang lain.
sebaya berarti remaja menganggap bahwa kelompok teman sebaya seperti tempat
mencari kompensasi atas kekurangan yang dimiliki atau sebagai ajang balas dendam
37
menggiring remaja pada penilaian bahwa kelompok teman sebaya adalah media untuk
menghadapi kekurangan dan penolakan dari lingkungan terhadap dirinya, atau merasa
dikucilkan oleh lingkungan), dan secara spontan saling bersimpati dan tarik menarik,
segenap kebutuhannya.
kemampuan, dan menjadi tempat ke dua setelah keluarga untuk mengarahkan dirinya
(menuju kepada perilaku yang baik) serta memberikan masukan (koreksi) yang akan
membawa dampak positif. Senada dengan itu, menurut Mönks dkk (1998) persepsi
positif terhadap kelompok teman sebaya berarti remaja mampu memahami bahwa
pribadinya.
ada ketika remaja mampu memandang bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat
untuk belajar bebas dari orang-orang dewasa (mandiri), belajar kepada kelompok,
belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok, belajar bermain dan olah raga,
38
belajar berbagi rasa, belajar bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan
tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik,
dan belajar bekerja sama. Sebaliknya, persepsi negatif terhadap kelompok teman
sebaya ada ketika remaja memandang kelompok teman sebaya sebagai tempat untuk
membalas kelalaian kelompok sosial yang benar-benar ada atau yang dikhayalkan;
negatif remaja terhadap kelompok teman sebaya terletak pada seberapa positif atau
negatif komponen-komponen yang ada dalam kelompok teman sebaya dipahami oleh
remaja. Persepsi yang positif terjadi apabila kelompok teman sebaya memiliki aspek-
aspek yang positif, dan sebaliknya, negatif jika kelompok teman sebaya memiliki
kelompok teman sebaya seperti telah dijelaskan di atas, maka persepsi positif atau
negatif bukan pada sesuai atau tidak kelompok teman sebaya dengan keinginan
remaja, melainkan pada seberapa positif atau negatif aspek-aspek dalam kelompok
teman sebaya yang teraplikasi dalam perilaku nyata dilihat oleh remaja secara
objektif.
Kehidupan remaja yang penuh dengan dinamika menarik untuk disimak, yang
menempatkan kelompok teman sebaya pada posisi penting. Kelompok teman sebaya bagi
39
remaja adalah tempat kedua setelah keluarga, bahkan dapat menjadi tempat pertama
sebelum keluarga. Perasaan nyaman dapat didapatkan remaja ketika bersama dengan
diluangkan remaja bersama dengan kelompok teman sebaya di luar rumah daripada
dengan orangtua adalah salah satu alasan pentingnya peran teman sebaya bagi remaja,
terutama pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku (Hurlock, 1980).
Penelitian yang dilakukan Santrock (1997), terhadap 500 pelaku kenakalan dan
500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, menemukan tingginya persentase
kenakalan pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang
persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya berperan penting dalam menentukan
menghantarkan remaja pada kemampuan untuk menyadari apa yang dilihat dan
didengarnya, sehingga dapat membuat konstruksi baru dalam memberikan arti (makna)
atas tujuan, anggota kelompok, dan minat, sehingga, baik atau buruk persepsi remaja atas
kenakalan remaja. Dengan kata lain, terdapatnya hubungan antara persepsi remaja
pengorganisasian, dan interpretasi remaja terhadap tujuan, anggota kelompok, dan minat
berkorelasi dengan orientasi, emosi, interaksi sosial, dan aktivitas, sebagai komponen dari
komponen penting dalam kelompok teman sebaya, maka bagaimana cara remaja
merupakan tempat untuk belajar berinteraksi dengan orang lain, dalam hal ini adalah
teman sebaya.
Hal yang sama dikatakan oleh Hurlock (1980), bahwa remaja yang mempersepsi
merupakan tempat untuk melatih kemandirian, belajar berinteraksi dengan orang lain,
belajar bertanggung jawab, dan belajar memainkan peran sosial. Dikatakan pula oleh
Santrock (1997), persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman sebaya, akan
membawa remaja kepada penilaian bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk
mendapatkan banyak hal positif yang tidak didapatkan dalam keluarga, yaitu oleh
orangtuanya. Lebih lanjut, persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman
sebaya akan berpengaruh pada orientasi remaja atas kehidupannya. Tujuan yang positif
akan membuat remaja memiliki orientasi ke depan dan kemampuan untuk mengelola
kelompok teman sebaya remaja dapat belajar mandiri dan bertanggung jawab atas
perbuatan dan pilihannya, belajar menyesuaikan diri dengan aturan, dalam hal ini adalah
standar kelompok, belajar berbagi perasaan, belajar bersikap sportif, belajar perilaku
sosial yang baik, dan belajar bekerja sama. Tujuan-tujuan yang sifatnya positif tersebut
membawa remaja untuk lebih optimis dalam memandang masa depannya. Remaja belajar
untuk dapat mengatur aktivitas, merancang, dan mempersiapkan masa depan yang kelak
akan dijalaninya. Tentu saja, dalam mempersiapkan masa depan yang baik, perilaku-
perilaku positif dan membangun harus dijalani oleh remaja. Kemauan untuk
kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal atau anti sosial. Wujud dari orientasi yang
baik atas masa depannya maka perilaku-perilaku positif yang coba dibangun remaja,
Aspek lain dari persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya yang juga
kelompok. Menurut Mönks dkk (1998), persepsi positif atau negatif remaja atas anggota
kelompoknya akan membawa pengaruh pada dirinya yang akan menentukan tinggi atau
positif anggota kelompoknya memandang bahwa kelompok teman sebayanya terdiri dari
teman-teman yang populer (memiliki prestasi akademik yang bagus, memiliki prestasi
yang bagus dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau prestasi-prestasi positif lainnya yang
akademiknya buruk, maka dengan konformitas remaja akan berusaha untuk dapat seperti
orientasi ke depan atas kehidupannya, lebih bersifat emosional, kurang berinteraksi, dan
yang mayoritas memiliki latar belakang prestasi yang membanggakan, otomatis remaja
akan memiliki gairah untuk dapat meraih harapan-harapan yang sama dengan teman-
untuk bersaing kini tergantikan dengan semangat untuk maju dan meraih yang terbaik
bagi dirinya, dan itu berarti pula bahwa gambaran menjadi remaja yang nakal semakin
positif atas tujuan kelompok teman sebayanya akan sangat berpengaruh terhadap
bahwa dengan memiliki pandangan mengenai kelompok teman sebaya sebagai tempat
untuk melatih kemandirian, belajar hidup berkelompok, belajar menaati peraturan, belajar
berbagi rasa, belajar bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggung
jawab, belajar bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, dan belajar
bekerja sama, merupakan pertanda bahwa remaja memiliki orientasi atas masa depannya.
Remaja lebih memilih masuk kelompok teman sebaya yang sekiranya dapat
diperolehnya yang membawa pada perubahan yang bersifat baik. Dapat disimpulkan
bahwa terdapat kaitan antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebayanya
melakukan kenakalan remaja dapat dilihat dari adanya korelasi antara aspek-aspek
D. Hipotesis
Ada hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya
sebaliknya semakin negatif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel-variabel Penelitian
bereaksi, yaitu berperilaku menyimpang dari norma sosial maupun pidana, yang
disebabkan kegagalan dari sistem pengontrolan diri terhadap aksi-aksi instrintif, dan
emosi primitif untuk menyalurkannya pada perbuatan yang berguna serta keinginan-
mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Kartono (2006) yaitu orientasi, emosi,
kelompok teman sebaya berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikap
kelompok teman sebaya dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang tergabung dalam beberapa
dalam melakukan kenakalan remaja. Hanya saja, antara laki-laki dan perempuan
melakukannya dalam jenis yang berbeda. Jika remaja laki-laki lebih banyak
pembunuhan, pada remaja perempuan kenakalan yang dilakukan sering kali berupa
pelacuran, promiskuitas (bergaul bebas dan seks bebas dengan banyak pria),
perbuatan minggat atau kabur dari rumah. Keduanya memiliki risiko yang sama dan
berada dalam rentang usia sama, yaitu 15-19 tahun. Karena pada usia tersebut, emosi
Jika dilihat dari segi usia, masa remaja berlangsung mulai usia 13 sampai 16
tahun (Hurlock, 1980), namun, juga dapat berlangsung mulai usia 12 sampai 21
tahun, yang terbagi menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja
pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun) (Mönks dkk, 1998).
Di antara rentang usia tersebut, menurut Kartono (2006), kenakalan remaja paling
banyak dilakukan remaja di bawah usia 22 tahun, dengan jumlah tertinggi pada usia
46
15-19 tahun. Sesudah usia tersebut, biasanya kenakalan yang dilakukan mulai
menurun.
Menurut Santrock (1997), remaja yang berasal dari keluarga berantakan lebih
lainnya. Menurut Kartono (2006) anak yang dibesarkan dalam keluarga broken home
atau terpisah dari orangtua lebih mudah terjerumus dalam perilaku-perilaku sosial
yang menyimpang. Karena kurang adanya pengawasan dari orangtua dan figur contoh
Selanjutnya deskripsi identitas subjek dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Frekuensi Jenis Kelamin Persentase (%)
Usia
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
15 6 4 24 16
16 2 3 8 12
17 4 6 16 24
18 1 2 4 8
19 12 10 48 40
Jumlah 25 25 100 100
Tabel 3
Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Frekuensi %
Pendidikan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
SMP kelas 1 0 0 0 0
SMP kelas 2 0 0 0 0
SMP kelas 3 6 4 24 16
SMA kelas 1 2 3 8 12
SMA kelas 2 4 6 16 24
SMA kelas 3 1 2 4 8
Lulus SMA 12 10 48 40
Jumlah 25 25 100 100
47
Teman Sebaya yang dibuat oleh penulis dengan mengacu kepada metode rating yang
dijumlahkan dari Likert. Alasan digunakannya skala berpegang kepada anggapan yang
1. Alat pengumpul data yang paling tepat untuk mengungkap aspek-aspek afektif dan
memahami pertanyaannya akan tetapi tidak mengetahui arah jawaban yang dimaksud.
3. Jawaban yang diberikan oleh subjek merupakan proyeksi dari keadaan subjek yang
Skala dalam penelitian ini memiliki dua arah aitem, yaitu aitem favorabel dan
aitem tak favorabel, yang berbentuk pernyataan dengan pilihan empat respons jawaban,
yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS),
dengan skor yang bergerak dari 1-4. Pada aitem favorabel, respons Sangat Sesuai (SS)
mendapatkan skor 4, jawaban Sesuai (S) mendapatkan skor 3, Tidak Sesuai (TS)
mendapatkan skor 2, dan Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapatkan skor 1. Sementara
untuk aitem tak-favorabel jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) mendapatkan skor 4,
Tidak Sesuai (TS) mendapatkan skor 3, Sangat Sesuai (SS) mendapatkan skor 2, dan
pada aspek-aspek kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Kartono (2006). Aspek-
a. Orientasi
Pada umumnya remaja yang nakal tidak memiliki orientasi ke depan atas
senang dan puas akan hari ini. Sering kali remaja menceburkan diri ke dalam
b. Emosi
Remaja yang nakal memiliki emosi yang belum matang, emosi yang
belum matang tersebut ditandai oleh adanya depresi mental, yaitu perasaan
lainnya. Kekecewaan tatkala ditolak seorang gadis dapat muncul dalam bentuk
c. Interaksi sosial
d. Aktivitas
empat kategori jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS), yang bergerak dari 1-4. Untuk aitem favorabel, jawaban
Sangat Sesuai (SS) diberi skor 4, kemudian Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Sesuai
(TS) diberi skor 2, dan jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 1. Sementara
itu, pada aitem-aitem tak-favorabel jawaban Sangat Sesuai (SS) diberi skor 1,
jawaban Sesuai (S) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 2, dan jawaban
Aitem-aitem tersebut tersebar ke dalam keempat aspeknya secara merata, baik aitem
favorabel maupun aitem tak-favorabel. Untuk distribusi aitemnya dapat dilihat pada
Tabel 4.
50
Tabel 4
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
(Uji Coba)
No Aspek Nomor aitem Jumlah
Favorabel Tak-favorabel
1 Orientasi 1,3,5,7,14 9,28,30,37,39 10
2 Emosi 20,24,27,33,34 10,11,31,32,40 10
3 Interaksi sosial 2,6,12,21,23 16,17,18,22,38 10
4 Aktivitas 4,8,13,15,19 25,26,29,35,36 10
Jumlah 20 20 40
kepada subjek yang berjumlah 50 orang, terdiri dari 25 remaja putra dan 25 remaja
putri yang berusia 15 – 19 tahun. Setelah selesai dilakukan pengambilan data, maka
selanjutnya dilakukan uji validitas. Oleh Azwar (2003) validitas diartikan sebagai
sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dapat melakukan fungsi
ukurnya. Besarnya koefisien validitas aitem dalam penelitian ini adalah 0,200.
Kenakalan Remaja terdapat 6 aitem yang gugur, dan 34 aitem yang valid. Aitem yang
gugur yaitu aitem nomor 14,21,28,29,31,33, dengan koefisien validitas bergerak dari
0,208 sampai 0,645. Untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
(Setelah Uji Coba)
No Aspek Nomor aitem Jumlah
Favorabel Tak-favorabel
1 Orientasi 1,3,5,7,14 9,28,30,37,39 10
2 Emosi 20,24,27,33,34 10,11,31,32,40 10
3 Interaksi sosial 2,6,12,21,23 16,17,18,22,38 10
4 Aktivitas 4,8,13,15,19 25,26,29,35,36 10
Jumlah 20 20 40
Ket: aitem yang dicetak miring dan bergaris adalah aitem yang gugur.
51
uji reliabilitas. Menurut Azwar2 (2004) yang dimaksud dengan reliabilitas adalah
sejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya (konsisten), dan bila dilakukan
sama, maka hasilnya tidak akan berbeda jauh. Pada penelitian ini, reliabilitas alat ukur
terhadap aitem-aitem yang valid, diperoleh koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,915,
yang berarti bahwa variasi yang tampak dalam skor tes tersebut diasumsikan 92%
merupakan skor murni subjek yang bersangkutan. Untuk hasil selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran halaman 71, sedangkan untuk sebaran aitem Skala
Kecenderungan Kenakalan Remaja setelah uji coba yang telah disusun ulang dapat
Tabel 6
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
(Penelitian)
No Aspek Nomor aitem Jumlah
Favorabel Tak-favorabel
1 Orientasi 1,3,5,7 9,28,29,30 8
2 Emosi 20,24,27,34 10,11,14,32 8
3 Interaksi sosial 2,6,12,23 16,17,18,21,22 9
4 Aktivitas 4,8,13,15,19 25,26,31,33 9
Jumlah 17 17 34
a. Tujuan
dan olah raga, belajar berbagi rasa, belajar bersikap sportif, belajar menerima dan
perilaku sosial yang baik, dan belajar bekerja sama, dapat didapatkan dari
teman sebaya melihat bahwa tujuan dari kelompok teman sebaya tersebut adalah
Biasanya kelompok teman sebaya seperti ini terdiri dari remaja-remaja yang
b. Anggota kelompok
c. Minat
seperti minat terhadap jenis olah raga, jenis musik, dan lain sebagainya. Remaja
positif akan menganggap bahwa kelompok teman sebaya sebagai tempat untuk
(mabuk-mabukan).
Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya terdiri dari aitem-
aitem favorabel yang disusun sesuai dengan blue print-nya. Skala Persepsi Remaja
terhadap Kelompok Teman Sebaya memiliki empat kategori jawaban, yaitu Sangat
Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS), yang
bergerak dari 1-4. Jumlah aitem favorabel dan tak-favorabel Skala Persepsi Remaja
terhadap Kelompok Teman Sebaya adalah 90 aitem, dengan sebaran aitem sebagai
Tabel 7
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
(Uji Coba)
Aitem
No Aspek Jumlah
Favorabel Tak favorabel
1,3,18,32,54,5,23,34,41,81,45, 2,16,17,21,26,46,47,48,50
1 Tujuan 49,61,62,64 ,65,10,76,79,86,90
30
Anggota 6,7,9,11,78,13,37,38,39,84,58, 12,20,24,33,43,4,51,52,55
2 66,67,70,72 ,82,35,40,53,83,85
30
kelompok
8,14,15,22,36,25,31,42,44,63, 19,27,28,29,71,56,57,60,6
3 Minat 30,59,68,73,75 9,74,77,80,87,88,89
30
Jumlah 45 45 90
Hasil uji validitas menunjukkan dari 90 aitem, terdapat 26 aitem yang gugur,
dan 64 aitem yang valid. Aitem yang gugur tersebut adalah nomor
1,7,8,15,16,24,27,29,30,31,32,34,35,37,39,46,48,51,56,60,62,63,67,87,89,90. Untuk
Tabel 8
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
(Setelah Uji Coba)
Aitem
No Aspek Jumlah
Favorabel Tak favorabel
1,3,18,32,54,5,23,34,41 2,16,17,21,26,46,47,48,50,65,
1 Tujuan 30
,81,45,49,61,62,64 10,76,79,86,90
Anggota 6,7,9,11,78,13,37,38,39 12,20,24,33,43,4,51,52,55,82,
2 30
kelompok ,84,58,66,67,70,72 35,40,53,83,85
8,14,15,22,36,25,31,42, 19,27,28,29,71,56,57,60,69,74
3 Minat 30
44,63,30,59,68,73,75 ,77,80,87,88,89
Jumlah 45 45 90
Ket: aitem yang dicetak miring dan bergaris adalah aitem yang gugur.
Kelompok Teman Sebaya adalah 0,935, yang berarti bahwa skor tampak murni
subjek adalah 94%. Selanjutnya dilakukan kembali pengaturan aitem secara acak
Tabel 9
Blue Print
Distribusi Aitem Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
(Penelitian)
Aitem
No Aspek Jumlah
Favorabel Tak favorabel
3,18,54, 5,23,41,46,
1 Tujuan 2,17,21,26, 1,47,50, 10,32,37,62 30
45,49,61,64
Anggota 6,9,11,35, 13,38,56, 12,20,33,43,4,48,52,55,40,51,53,6
2 30
kelompok 7,16,27,58 0
14,22,36, 25,42,44,
3 Minat 19,24,28, 15,30,57, 34,39,63 30
8,29,31,59
Jumlah 45 45 90
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan Product Moment dari
Pearson. Digunakannya Product Moment karena menurut Hadi (2000) Product Moment
dapat digunakan dengan mudah untuk mengetahui besarnya korelasi antara dua variabel,
dikorelasikan dalam penelitian ini adalah Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman
variabel tergantung. Olah data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 12.
E. Pelaksanaan Penelitian
November 2008 penulis mendatangi Kantor Kelurahan Purwokinanti untuk meminta izin
melakukan penelitian di wilayah tersebut, dan pada hari itu juga surat izin untuk
Pembagian skala dilakukan dengan cara mendatangi satu persatu rumah subjek
yang dimaksud, dan di beberapa tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul remaja di
56
tempat tersebut. Penulis meminta bantuan salah seorang warga mengingat individu
Setelah bertemu subjek dan mengatakan maksud serta tujuan, kemudian skala
diberikan. Skala langsung dikerjakan oleh subjek, sementara penulis menunggu sambil
(asisten) lainnya bersama dengan warga lokal tersebut membagikan skala pada subjek
lainnya. Hal ini dilakukan mengingat waktu yang terbatas, dan mobilitas remaja yang
tinggi, sehingga sedapat mungkin penulis mendapatkan data dari sejumlah subjek yang
Selama tiga hari penulis melakukan pembagian skala, dan akhirnya skala yang
berjumlah 50 buah telah dibagikan semuanya dan setelah dilakukan pengecekan tidak ada
aitem yang terlewat. Hal itu berarti bahwa tidak ada skala yang gugur.
57
BAB IV
A. Hasil Penelitian
Data yang diperoleh dari Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja dan Skala
adalah 136 – 34 = 102, sementara standar deviasinya 102 : 6 = 17, dan rerata
hipotetiknya (34 + 102) : 2 = 68. Selanjutnya pada Skala Persepsi Remaja terhadap
Kelompok Teman Sebaya, diperoleh skor minimal hipotetik 1 x 64 = 64, dan skor
standar deviasinya 192 : 6 = 32, dan rerata hipotetiknya (64 + 256) : 2 = 160. Untuk
Tabel 10
Deskripsi Data Penelitian
Data Hipotetik Data Empirik
Variabel
Rerata SD Min Maks Rerata SD Min Maks
Kecenderungan
Kenakalan 68 17 34 136 63,24 12,455 45 97
Remaja
Persepsi Remaja
terhadap
160 32 64 256 155,36 31,896 80 230
Kelompok Teman
Sebaya
Keterangan:
SD : Standar Deviasi.
Rerata : Jumlah skor rata-rata (hipotetik/empirik) yang diperoleh subjek dalam penelitian ini.
Min : Jumlah skor terendah (hipotetik/empirik) yang diperoleh subjek dalam penelitian.
Maks : Jumlah skor tertinggi (hipotetik/empirik) yang diperoleh subjek dalam penelitian.
58
kategori, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kriteria kategorisasi tersebut didasarkan
pada standar deviasi dan rerata hipotetiknya. Menurut Azwar (2003) kategorisasi
mana yang termasuk tinggi, sedang, atau rendah. Hasil selengkapnya dapat dilihat
Tabel 11
Kategorisasi Skor Skala Kecenderungan Kenakalan Remaja
Persentase
No Pedoman Kategorisasi Skor Frekuensi
(%)
1. µ+1σ≤X<µ+3σ Tinggi 85≤X<119 4 8
2. µ-1σ≤X<µ+1σ Sedang 51≤X<85 38 76
3. µ-3σ≤X<µ-1σ Rendah 17≤X<51 8 16
Jumlah 50 100
Keterangan:
µ = Rerata hipotetik
σ = Standar deviasi hipotetik
Berdasarkan Tabel 11 di atas, dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada
kategori rendah berjumlah 8 orang, sedang 38 orang, dan tinggi 4 orang. Subjek
paling banyak berada pada kategori sedang yaitu 76% dari jumlah sampel.
Tabel 12
Kategorisasi Skor Skala Persepsi Remaja terhadap Kelompok Teman Sebaya
Persentase
No Pedoman Kategorisasi Skor Frekuensi
(%)
1. µ+1σ≤X<µ+3σ Tinggi 192≤X<256 5 10
2. µ-1σ≤X<µ+1σ Sedang 128≤X<192 40 80
3. µ-3σ≤X<µ-1σ Rendah 64≤X<128 5 10
Jumlah 50 100
Keterangan:
µ = Rerata hipotetik
σ = Standar deviasi hipotetik
Berdasarkan Tabel 12 di atas, dapat dilihat bahwa subjek yang berada pada
kategori rendah berjumlah 5 orang, sedang 40 orang, dan tinggi 5 orang. Subjek
paling banyak berada pada kategori sedang yaitu 80% dari jumlah sampel.
59
a. Uji Prasyarat
hipotesis, maka terlebih dahulu harus dilakukan uji prasyarat berupa uji
1) Uji Normalitas
2) Uji Linieritas
b. Uji Hipotesis
Moment.
bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara persepsi remaja
semakin positif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka semakin
diasumsikan berasal dari faktor-faktor lain yang tidak ikut dilibatkan dalam
penelitian ini.
B. Pembahasan
negatif antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan
kenakalan remaja. Semakin positif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya
persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka semakin tinggi kecenderungan
kenakalan remaja. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan
Patacchini & Zenou (2008), yang menunjukkan adanya hubungan antara kelompok teman
sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa
pengaruh kelompok teman sebaya terjadi melalui proses konformitas remaja terhadap
menyesuaikan diri dengan aturan dalam kelompok. Ketika remaja berada dalam
61
kelompok dan berstatus sebagai anggota kelompok, maka remaja harus menyesuaikan
diri dengan aturan yang berlaku dalam kelompok, yang juga diikuti oleh anggota lainnya.
Konformitas ini merupakan modal penting bagi keseimbangan di dalam kelompok teman
sebaya, yang mengarah pada kekompakan antar anggota sebagai bentuk kuatnya
dalam kelompok teman sebaya, meski kadang hal ini merugikan remaja, sebab tidak
semua norma yang ada dalam kelompok sejalan dengan norma yang berlaku di
masyarakat. Ibarat aturan adat, maka demikian pula halnya dengan aturan yang ada dalam
kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya memiliki aturan yang berbeda sesuai
dengan tempat kelompok teman sebaya tersebut berada. Ketika norma kelompok
bertentangan dengan norma masyarakat, maka anggota dalam kelompok teman sebaya
(2001), juga menemukan hubungan yang kuat antara kelompok teman sebaya dengan
kenakalan remaja, dalam hal ini berupa perilaku antisosial. Penelitian ini melaporkan
bahwa kelompok teman sebaya yang bersifat antisosial akan berdampak langsung pada
dikarenakan beberapa hal, yaitu kedekatan (ibarat sahabat karib) remaja dengan
kelompoknya, serta tekanan dari kelompok teman sebaya itu sendiri. Lebih lanjut,
penelitian ini menyebutkan bahwa sering kali remaja menjadi anggota dalam kelompok
teman sebaya ketika remaja kehilangan atau miskin perhatian dari orangtuanya, dan
kepada remaja, sehingga dalam kelompok, remaja menemukan perhatian yang tidak
didapatkan dari orangtuanya. Sementara itu, kurangnya pengawasan serta waktu yang
dalam kelompok menjadi bagian dari diri remaja, karena bagi remaja, kelompok teman
sebaya merupakan anggota keluarganya, dan yang paling penting bahwa dari kelompok
teman sebaya, remaja mendapatkan apa yang tidak didapatkan dari orangtuanya.
sebaya merupakan media bagi remaja dalam rangka melatih interaksi sosial kelak sebagai
bagian dari anggota masyarakat. Dalam kelompok teman sebaya juga terdapat hierarki
yang kurang lebih sama dengan hierarki yang ada dalam kelompok sosial dewasa, meski
dengan norma (aturan) yang dibuat dan cenderung berbeda dengan norma yang umumnya
berlaku dalam masyarakat. Kelompok teman sebaya ini memberikan remaja perasaan
hubungan yang dijalin dengan keluarga dan sekolah. Kelompok teman sebaya
pengetahuan tentang interaksi sosial, dan loyalitas terhadap kelompok. Ikatan ini
dipertahankan secara menyeluruh sebagai kekuatan inti, melalui disiplin yang diterapkan
kepada para anggota. Kuatnya ikatan antara anggota kelompok dalam kelompok teman
sebaya merupakan pemersatu atas perbedaan yang ada, sehingga kerap kali remaja
merasa bahwa kelompok sudah seperti keluarga, dan karena itu pulalah kelompok teman
Hal yang sama dikatakan oleh Hurlock (1980), bahwa remaja yang mempersepsi
merupakan tempat untuk melatih kemandirian, belajar berinteraksi dengan orang lain,
belajar bertanggung jawab, dan belajar memainkan peran sosial. Dikatakan pula oleh
Santrock (1997), persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman sebaya, akan
membawa remaja kepada penilaian bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk
mendapatkan banyak hal positif yang tidak didapatkan dalam keluarga, yaitu oleh
orangtuanya. Lebih lanjut, persepsi positif remaja terhadap tujuan kelompok teman
sebaya akan berpengaruh pada orientasi remaja atas kehidupannya. Tujuan yang positif
akan membuat remaja memiliki orientasi ke depan dan kemampuan untuk mengelola
remaja yang mempersepsi positif tujuan kelompok teman sebayanya menilai bahwa
kelompok teman sebayanya di dalam kelompok teman sebaya remaja dapat belajar
mandiri dan bertanggung jawab atas perbuatan dan pilihannya, belajar menyesuaikan diri
dengan aturan dalam hal ini adalah standar kelompok, belajar berbagi perasaan, belajar
bersikap sportif, belajar perilaku sosial yang baik, dan belajar bekerja sama. Lebih lanjut,
tujuan-tujuan yang sifatnya positif tersebut membawa remaja untuk lebih optimis dalam
memandang masa depannya. Remaja belajar untuk dapat mengatur aktivitas, merancang,
dan mempersiapkan masa depan yang kelak akan dijalaninya. Tentu saja, dalam
mempersiapkan masa depan yang baik, perilaku-perilaku positif dan membangun harus
dijalani oleh remaja. Kemauan untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik,
64
otomatis menjauhkan remaja kecenderungan remaja untuk berperilaku nakal atau anti
sosial. Perilaku-perilaku positif yang coba dibangun remaja sebagai wujud dari orientasi
yang baik atas masa depannya, bukan perilaku-perilaku kompensatoris dan lebih pada
orientasi kekinian.
Menurut Mönks dkk (1998), persepsi positif atau negatif remaja atas anggota
kelompoknya akan membawa pengaruh pada dirinya yang akan menentukan tinggi atau
positif anggota kelompoknya memandang bahwa kelompok teman sebayanya terdiri dari
teman-teman yang populer (memiliki prestasi akademik yang bagus, memiliki prestasi
yang bagus dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau prestasi-prestasi positif lainnya yang
sebagai salah satu aspek, anggota kelompok memiliki peran penting terhadap
Keinginan tersebut diwujudkan dalam langkah nyata yaitu dengan mengubah perilaku-
perilakunya yang buruk. Jika sebelumnya dirinya tidak memiliki orientasi ke depan atas
aktivitas non produktif, maka semenjak berada dalam komunitas yang mayoritas
memiliki latar belakang prestasi yang membanggakan, otomatis remaja akan memiliki
gairah untuk dapat meraih harapan-harapan yang sama dengan teman-temannya tersebut.
kini tergantikan dengan semangat untuk maju dan meraih yang terbaik bagi dirinya, dan
itu berarti pula bahwa gambaran menjadi remaja yang nakal semakin jauh tidak terlihat.
remaja yang rendah mampu memahami bahwa kelompok teman sebaya dapat menjadi
tempat untuk mengembangkan identitas pribadinya, sehingga akan berdampak baik bagi
perilakunya. Hal itu berarti bahwa dengan memiliki persepsi yang positif atas kelompok
teman sebayanya, maka remaja memiliki konsep yang jelas tentang apa yang akan
dilakukan di dalam kelompoknya, serta apa yang akan didapatkan dari kelompoknya.
remaja yang tinggi, memiliki persepsi yang negatif terhadap kelompok teman sebayanya.
Remaja menganggap bahwa kelompok teman sebaya merupakan tempat untuk mencari
kompensasi atas kekurangan yang dimilikinya atau sebagai ajang balas dendam terhadap
lingkungan yang menolak atau memusuhi dirinya. Remaja yang merasa frustrasi (karena
dikucilkan) secara spontan saling bersimpati dan tarik menarik, dan kemudian
kebutuhannya.
menunjukkan bahwa 16% sampel dalam penelitian ini memiliki tingkat kecenderungan
kenakalan remaja yang rendah, 76% memiliki tingkat kecenderungan kenakalan remaja
yang sedang, dan sisanya 8% memiliki tingkat kecenderungan kenakalan remaja yang
tinggi. Hal itu berarti bahwa remaja dalam penelitian ini memiliki kecenderungan
kenakalan remaja yang sedang. Sementara itu, hasil kategorisasi variabel persepsi remaja
66
terhadap kelompok teman sebaya menunjukkan bahwa 10% sampel dalam penelitian ini
memiliki persepsi terhadap kelompok teman sebaya yang tinggi, 80% berada pada
sebesar 48,2%, sedangkan 51,8% sisanya diasumsikan berasal dari faktor-faktor lain yang
tidak ikut dilibatkan dalam penelitian ini. Faktor-faktor lain yang diasumsikan memiliki
pengaruh terhadap kecenderungan kenakalan remaja yaitu konsep diri, kontrol diri, usia,
jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai sekolah, proses keluarga, kelas
BAB V
A. Kesimpulan
hubungan negatif antara persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya dengan
semakin negatif persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya maka semakin tinggi
kecenderungan kenakalan remaja. Hal itu berarti hipotesis dalam penelitian ini dapat
diterima. Besarnya koefisien determinasi (rxy2) adalah 0,482, yang menunjukkan bahwa
variabel persepsi remaja terhadap kelompok teman sebaya memiliki pengaruh sebesar
dimungkinkan berasal dari variabel lainnya yang tidak ikut dilibatkan dalam penelitian
ini.
B. Saran
remaja terhadap kelompok teman sebaya dengan kecenderungan kenakalan remaja. Ada
beberapa hal yang dapat dipetik bersama sebagai saran dan masukan untuk berbagai
1. Subjek penelitian
persepsi terhadap kelompok teman sebaya sehingga dapat lebih baik daripada
sebelumnya. Untuk itu subjek penelitian dapat berupaya mengoreksi diri sendiri,
remaja. Diharapkan pada para remaja mampu mengubah persepsi yang negatif
tentang kelompok teman sebaya, dengan berpikiran lebih objektif, yaitu menyadari
Remaja sebaiknya memahami bahwa kelompok teman sebaya adalah tempat untuk
mendapatkan kompensasi atas kekurangan yang dimiliki atau ajang balas dendam atas
mengembangkan potensi diri, tempat untuk memotivasi diri agar menjadi lebih baik,
dan tempat belajar tentang banyak hal positif yang tidak didapatkan dari kedua
orangtua.
69
3. Peneliti selanjutnya
diri, usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai sekolah, proses
keluarga, kelas sosial ekonomi, dan kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal.
70
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2005. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Beane, J. A. & Lipka, R. P. 1986. Self Concept, Self Esteem and The Curriculum. New
York: Teacher College Press.
Maria, U. 2007. Peran Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konsep Diri terhadap
Kecenderungan Kenakalan Remaja. Tesis (tidak dipublikasikan). Fakultas
Psikologi: Universitas Gadjah Mada.
McCord, Widom, & Crowell. 2001. Juvenile Justice, Panel on Juvenille Crime:
Prevention, Treatment, and Control. Washington DC: National Academy Press.
http://www.nap.edu/openbook.php?isbn=0309068428. Diakses tanggal: 22 Juni
2009.
Murry, C. L.; Williams, J.; Salekin, R. T. 2006. Juvenile Delinquency and Family
Structure: Links to Severity and Frequency of Offending.
http://graduate.ua.edu/mcnair/journals/2006/CrystalMurry.pdf. Diakses tanggal:
15 Mei 2009.
Mussen dkk. 1994. Child Development and Personality. Fifth ed. New York: Harper and
Row Publisher.
PKBI. 2006. Narkoba. Yogyakarta: PKBI DIY Divisi Pengembangan Media dan
Pelatihan.
Robbins, S. P. 2004. Decide & Conquer: Making Winning Decisions and Taking
Control of Your Life. NJ: Financial Times/Prentice Hall.
Sari, P. A. 2003. Hubungan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif dengan
Kenakalan Remaja. Skripsi (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Wangsa Manggala.
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Edisi Enam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
72
United Nation. 2003. Juvenile Deliquency. World Youth Report. Chapter 7, hlm. 187-211.
http://www.un.org/esa/socdev/unyin/documents/ch07.pdf. Diakses tanggal: 15
Mei 2009.
Weatherburn, Don & Lind, Bronwyn. 1998. Poverty, Parenting, Peers and Crime-Prone
Neighbourhoods. Canberra: Australia Institut of Criminology.
http://www.sju.edu/academics/centers/ivrp/pdf/Povertyparentingcrime.pdf.
Diakses tangal: 16 Juni 2009.