Anda di halaman 1dari 5

Seksualitas remaja menurut jurnal psikologi “PERILAKU SEKSUAL REMAJA DALAM

BERPACARAN DITINJAU DARI HARGA DIRI BERDASARKAN JENIS KELAMIN ”

Suatu fenomena yang menarik adalah bahwa hubungan seksual sebelum menikah justru banyak
dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Meskipun tidak semua remaja berpacaran melakukan hal
tersebut, tetapi dari fakta tersebut menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan dan
memprihatinkan. Ironisnya, bujukan atau permintaan pacar merupakan motivasi untuk
melakukan hubungan seksual dan hal ini menempati posisi keempat setelah rasa ingin tahu,
agama atau keimanan yang kurang kuat serta terinspirasi dari film dan media massa
(Kosmopolitan, 1999).

Perilaku seksual remaja dalam berpacaran adalah manifestasi dorongan seksual yang diwujudkan
mulai dari melirik ke arah bagian sensual pasangan sampai bersenggama yang dilakukan oleh
remaja yang sedang berpacaran. Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim
dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Hal ini senada dengan pendapat Hurlock (1973) yang
mengungkapkan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi atau tingkahlaku
berpacaran dan rasa cinta.

Rahman dan Hirmaningsih (1997) juga mengungkapkan adanya dorongan seksual dan rasa cinta
membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik
maupun kontak fisik yang terjadi antara remaja yang sedang pacaran akan berbeda dengan
kedekatan fisik atau kontak fisik antara remaja dengan teman dan keluarga. Kedekatan fisik
inilah yang akhirnya akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran.

Di dalam hal ini remaja tidak dapat begitu saja menunjukkan ekspresi cintanya dengan aktivitas
seksual. Banyak hal yang membuat remaja harus membatasi aktivitas seksual selama berpacaran,
seperti norma keluarga, agama dan masyarakat yang menjadi rambu-rambu yang harus ditaati
oleh remaja yang sedang berpacaran.

Dalam kondisi seperti ini, sudah selayaknya remaja mempunyai kemampuan diri untuk
mengendalikan dorongan seksual dan mengontrol perilakunya, sehingga terhindar dari risiko
yang berat dan mengancam. Kemampuan mengontrol diri dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan
kognitif, sehingga dapat membawa ke arah konsekuensi positif (Lazarus, 1976).
Seksualitas remaja menurut jurnal FK UNAND “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Seksual Remaja di Kota Padang”

Masa remaja adalah masa transisi yang unik. Terjadi berbagai perubahan pada masa ini.
Perubahan tersebut meliputi: fisik, psikologik dan sosial. Perubahan fisik terjadi lebih cepat
dibandingkan perubahan psikologik dan sosial. Hal tersebut dapat membuat remaja merasa
bingung dengan perubahan yang terjadi. Hormon seksual sudah mulai berfungsi pada masa
remaja. Hal tersebut mendorong remaja untuk melakukan berbagai jenis perilaku seksual.

Menurut CDC (Center for Disease Control), dalam penelitian yang dilakukan pada beberapa
orang pelajar SMA di US tahun 2011, sekitar 47,4% pelajar pernah melakukan hubungan seksual
(sexual intercourse), Sekita 33,7% melakukan hubungan seksual dalam 3 bulan terakhir, 39,8%
diantaranya tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual dan 76,7% tidak
menggunakan pil KB untuk mencegah kehamilan dimasa yang akan datang dan 15,3% telah
melakukan hubungan seksual dengan empat orang atau lebih selama hidupnya.

Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2012 mendapatkan
29,5% remaja laki-laki dan 6,2% remaja perempuan pernah meraba atau merangsang
pasangannya, 48,1% remaja laki-laki dan 29,3% remaja perempuan pernah berciuman bibir, serta
79,6% remaja laki-laki dan 71,6% remaja perempuan pernah berpegangan tangan dengan
pasangannya.

Ada dua hal penting yang mendasari perilaku seksual pada remaja yaitu harapan untuk menikah
dalam usia yang relatif kecil (umur 20 tahun) dan semakin derasnya arus informasi yang dapat
menimbulkan rangsangan seksual pada remaja, terutama remaja di daerah perkotaan.
Rangsangan tersebut mendorong remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah.

Faktor lain yang ikut berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja adalah usia pubertas, jenis
kelamin, pengawasan orang tua, tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan sikap
terhadap berbagai perilaku seksual.
Seksualitas remaja menurut jurnal Psikostudia Universitas Mulawarman ” PENGARUH
HARGA DIRI DAN PENALARAN MORAL TERHADAP PERILAKU SEKSUAL REMAJA
BERPACARAN”

Remaja relatif masih sangat peka terhadap perubahan lingkungan dan suasana yang dihadapinya,
sehingga mudah terkena dampak perkembangan dan teknologi, karena pada masa ini remaja
mengalami masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Gunarsa &
Gunarsa, 2006). Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas.

Menurut Bourgeois dan Wolfish (1994) remaja mulai merasakan dengan jelas meningkatnya
dorongan seks dalam dirinya, misalnya muncul ketertarikan dengan orang lain dan keinginan
untuk mendapatkan kepuasan seksual. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang
lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang
yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.

Masa sekarang, apa yang disebut oleh Santrock dengan cinta romantis ini, dimanifestasikan
dalam bentuk pacaran. Pacaran memiliki problem tersendiri bila dikorelasikan dengan telah
matangnya organ-organ seksual pada remaja yang mengakibatkan munculnya dorongandorongan
seksual. Seksual dan pacaran sudah merupakan fenomena yang banyak ditemukan dikalangan
remaja sekarang ini. Dapat juga dikatakan bahwa motivasi pacaran remaja saat ini sudah berubah
pada orientasi keintiman fisik/seksual, sehingga yang akan ditonjolkan di sini adalah pemuasan
hawa nafsu, bukan untuk pengenalan pribadi pasangannya.

Penelitian di kota Samarinda sendiri telah dilakukan oleh PKBI wilayah Kaltim pada tahun 2010.
Hasil survei mengungkapkan dari 400 responden yang terdiri dari 100 pelajar SMP, 100 pelajar
SMA/SMK, 100 mahasiswa, dan 100 remaja putus sekolah, 25 persen pelajar putra dan putri
mengaku pernah melakukan hubungan seksual. 28 persen mengaku melakukan dirumah, 4
persen di sekolah, dan sisanya di tempat wisata, losmen, dan sejumlah lokasi lain yang
memungkinkan.

Penelitian menunjukkan bahwa harga diri akan mempengaruhi proses berfikir dan bertingkah
laku. Seperti dikemukakan oleh Azwar (1995). munculnya harga diri membuat remaja tidak
mudah ceroboh melakukan tindakan yang dapat merendahkan harga dirinya dan bisa mengontrol
dorongan perilaku seksualnya.
Nunally dan Hawari (Marini. L, 2005) menambahkan bahwa salah satu penyebab para remaja
terjerumus pada seks bebas adalah kepribadian yang lemah. Adapun ciri kepribadian yang lemah
tersebut antara lain, daya tahan terhadap tekanan dan tegangan rendah, harga diri yang rendah,
kurang bisa mengekspresikan diri, menerima umpan balik, menyampaikan kritik, menghargai
hak dan kewajiban, kurang bisa mengendalikan emosi dan agresif serta tidak dapat mengatasi
masalah dan konflik dengan baik.

Penelitian Soetjiningsih (2008) juga menyebutkan bahwa harga diri berpengaruh secara tidak
langsung terhadap perilaku seksual remaja, yaitu melalui tekanan teman sebaya. Remaja yang
harga dirinya rendah cenderung mudah dipengaruhi tekanan negatif teman-teman sebayanya.

Kohlberg (Sarwono, 2002), mengungkapkan secara moral sebenarnya remaja telah mencapai
tingkat moral konvensional, yang menunjukkan bahwa remaja cenderung menyetujui aturan dan
harapan masyarakat hanya memang demikian keadaannya.

Faktanya, remaja menghadapi kenyataan yang kontradiktif antara nilai tentang seksualitas yang
mereka peroleh di dalam keluarga, sekolah ataupun agama dengan keadaan yang terjadi di
masyarakat, terutama pengenalan hal yang baik dan buruk tentang seks. Para remaja diberikan
larangan-larangan atau keharusan yang harus dipatuhi tentang berperilaku seksual sebelum
pernikahan, misalnya berciuman, menyentuh bagian tubuh yang sensitif lawan jenis, menonton
atau membaca cerita porno tidak boleh dilakukan karena dapat merangsang nafsu seks yang
dapat menyebabkan terjadinya persetubuhan diluar pernikahan. Namun dalam kenyataannya,
tidak sedikit remaja berpelukan atau berciuman mesra di tempat-tempat umum seperti di bioskop
atau mall, perilaku tersebut tentu saja dipandang bertentangan dengan nilai norma dan moral
dalam masyarakat.

Penelitian perilaku seksual remaja di Yogyakarta yang dilakukan Soetjiningsih (2008)


mengungkapkan bahwa secara keseluruhan perilaku seksual responden telah mencapai tahap
meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan berpakaian. Jumlah responden yang telah
melakukan hubungan seksual atau bersenggama berjumlah 4,77 persen, usia pertama kali
melakukan hubungan seksual terbanyak pada usia 15-18 tahun.

Dari 398 subjek penelitian, sebagian besar yaitu 84 persen (334 remaja) menyatakan hubungan
seks pranikah adalah salah/tidak boleh dilakukan dengan alasan terbanyak karena dosa/dilarang
agama dan hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Hasil ini sangatlah bertolak
belakang dengan fakta yang terjadi dilapangan.

Anda mungkin juga menyukai