Anda di halaman 1dari 28

BAB II

PEMBAHASAN

A. Seksualitas Pada Remaja


1. Pengertian Seksualitas

Istilah seks dan seksualitas adalah suatu hal yang berbeda. Kata
seks sering digunakan dalam dua cara. Paling umum seks digunakan
untuk mengacu pada bagian fisik dari berhubungan, yaitu aktivitas
seksual genital. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik
seseorang itu pria atau wanita (Zawid, 1994; Perry & Potter 2005).
Seksualitas adalah istilah yang lebih luas. Seksualitas diekspresikan
melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin
yang berbeda dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal,
nilai, fantasi, dan emosi. Seksualitas berhubungan dengan bagaimana
seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka
mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada lawan jenis melalui
tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan
senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti
isyarat gerakan tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata
(Denny & Quadagno, 1992; Zawid, 1994; Perry & Potter, 2005).
Masa remaja pekembangan seksualitas diawali ketika
terjalinnya interaksi antar lawan jenis, baik itu interaksi antar teman
atau interaksi ketika berkencan. Dalam berkencan dengan
pasangannya, remaja melibatkan aspek emosi yang diekspresikan
dalam berbagai cara, seperti memberikan bunga, tanda mata, mengirim
surat, bergandengan tangan, berciuman dan lain sebagainya. Atas dasar
dorongan-dorongan seksual dan rasa ketertarikan terhadap lawan
jenisnya, perilaku remaja mulai diarahkan untuk menarik perhatian
lawan jenis. Dalam rangka mencari pengetahuan tentang seks, ada
remaja yang melakukan secara terbuka mengadakan percobaan dalam
kehidupan seksual. Misalnya, dalam berpacaran mereka
mengekspesikan perasaannya dalam bentuk perilaku yang menuntut
keintiman secara fisik dengan pasangannya, seperti berpelukan,
berciuman hingga melakukan hubungan seksual (Saifuddin, 1999).
Seksualitas dan aktivitas seksual merupakan suatu area yang
harus dibicarakan dengan setiap remaja secara rahasia. Insidensi
aktivitas seksual pada remaja tinggi dan meningkat sesuai dengan
pertambahan usia. Kebanyakan remaja di bawah usia 15 tahun belum
pernah melakukan hubungan seksual, 8 dari 10 remaja putri dan 7 dari
10 remaja putra belum pernah melakukan hubungan seksual pada usia
15 tahun (Alan Guttmacher Institute, 1998; Wong, 2008).
Remaja terlibat dalam seksualitas karena berbagai alasan,
diantaranya yaitu: untuk memperoleh sensasi menyenangkan, untuk
memuaskan dorongan seksual, untuk memuaskan rasa keingintahuan,
sebagai tanda penaklukan, sebagai ekspresi rasa sayang, atau mereka
tidak mampu menahan tekanan untuk menyesuaikan diri. Keinginan
yang sangat mendesak untuk menjadi milik seseorang memicu
meningkatnya serangkaian kontak fisik yang intim dengan pasangan
yang diidolakan. Masa remaja pertengahan adalah waktu ketika remaja
mulai mengembangkan hubungan romantis dan ketika kebanyakan
remaja ingin memulai percobaan seksual (Wong, 2008).

Menurut Hurlock (1999) dorongan seksual dipengaruhi oleh :

a) Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri


individu yang berupa bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi
sehingga menimbulkan dorongan seksual pada individu yang
bersangkutan dan hal ini menuntut untuk segera dipuaskan.
b) Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar individu
yang menimbulkan dorongan seksual sehingga memunculkan
perilaku seksual. Stimulus eksternal tersebut dapat diperoleh
melalui pengalaman kencan, informasi mengenai seksualitas,
diskusi dengan teman, pengalaman masturbasi, pengaruh orang
dewasa serta pengaruh buku-buku bacaan dan tontonan porno.
Perubahan pola perilaku seksual di antara para remaja masa kini tidak
dianggap salah karena biasanya mereka hanya mempunyai satu
pasangan seksual yang dalam banyak kasus diharapkan akan dinikahi
di masa mendatang. Meskipun hubungan yang telah terjalin ditentang
oleh para orang tua, namun banyak remaja tetap melangsungkannya.
Ada banyak alasan untuk mengikuti pola perilaku seksual yang baru
ini. Di antaranya adalah keyakinan bahwa hal ini harus dilakukan
karena semua orang melakukannya; bahwa mereka harus tunduk pada
tekanan kelompok sebaya bila ingin mempertahankan status mereka di
dalam kelompok; dan bahwa perilaku ini merupakan ungkapan dari
hubungan yang bermakna yang memenuhi kebutuhan semua remaja
untuk mengadakan hubungan yang intim dengan orang lain, terlebih
bila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi dalam hubungan keluarga
(Hurlock, 1999).

2. Dimensi Seksualitas

Seksualitas memiliki dimensi dimensi sosiokultural, dimensi agama


dan etik, dimensi psikologis dan dimensi biologis (Perry & Potter,
2005).
Masing-masing dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Dimensi Sosiokultural

Seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural


yang menentukan apakah perilaku yang diterima di dalam
kultur. Keragaman kultural secara global menciptakan variabilitas
yang sangat luas dalam norma seksual dan menghadapi spektrum
tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya termasuk cara dan
perilaku yang diperbolehkan selama berpacaran, apa yang
dianggap merangsang, tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan
dalam perilaku seksual, dengan siapa seseorang menikah dan siapa
yang diizinkan untuk menikah.
Setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam
membentuk nilai dan sikap seksual, juga dalam membentuk atau
menghambat perkembangan dan ekspresi seksual anggotanya.
Setiap kelompok sosial mempunyai aturan dan norma sendiri yang
memandu perilaku anggotanya. Peraturan ini menjadi bagian
integral dari cara berpikir individu dan menggarisbawahi perilaku
seksual, termasuk, misalnya saja, bagaimana seseorang
menemukan pasangan hidupnya, seberapa sering mereka
melakukan hubungan seks, dan apa yang mereka lakukan ketika
mereka melakukan hubungan seks.

b) Dimensi Agama dan etik

Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan agama


dan etik. Ide tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang
berhubungan dengan seksualitas membentuk dasar untuk
pembuatan keputusan seksual. Spektrum sikap yang ditunjukan
pada seksualitas direntang dari pandangan tradisional tentang
hubungan seks yang hanya dalam perkawinan sampai sikap yang
memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi
dirinya. Keputusan seksual yang melewati batas kode etik individu
dapat mengakibatkan konflik internal.
c) Dimensi Psikologis

Seksualitas bagaimana pun mengandung perilaku yang dipelajari.


Apa yang sesuai dan dihargai dipelajari sejak dini dalam kehidupan
dengan mengamati perilaku orangtua. Orangtua biasanya
mempunyai pengaruh signifikan pertama pada anak-anaknya.
Mereka sering mengajarkan tentang seksualitas melalui
komunikasi yang halus dan nonverbal. Seseorang memandang diri
mereka sebagai makhluk seksual berhubungan dengan apa yang
telah orangtua mereka tunjukan kepada mereka tentang tubuh dan
tindakan mereka. Orangtua memperlakukan anak laki-laki da
perempuan secara berbeda berdasarkan jender.
d) Dimensi Biologis

Seksualitas berkaitan dengan pebedaan biologis antara laki-laki dan


perempuan yang ditentukan pada masa konsepsi. Material genetic
dalam telur yang telah dibuahi terorganisir dalam kromosom yang
menjadikan perbedaan seksual. Ketika hormon seks mulai
mempengaruhi jaringan janin, genitalia membentuk karakteristik
laki-laki dan perempuan. Hormon mempengaruhi individu kembali
saat pubertas, dimana anak perempuan mengalami menstruasi dan
perkembangan karakteristik seks sekunder, dan anak laki-laki
mengalami pembentukan spermatozoa (sperma) yang relatif
konstan dan perkembangan karakteristik seks sekunder.
3. Perkembangan Seks Pada Remaja

Pada proses kematangan seks, sama halnya seperti aspek


perkembanagn lainnya akan terlihat juga adanya perbedaan-perbedaan
individu dalam hal saat permulaan mulainya perubahan dan lamanya
proses. Walaupun ada pengaruh-pengaruh individu itu, akan tetapi
prosesnya sama saja seperti perkembangan fisik dan tinggi badan,
dimana pada remaja putri akan dimulai rata-rata 2 tahun lebih dahulu
daripada teman remaja prianya. Perubahan-perubahan yang terjadi
pada tubuh remaja itu, sebenarnya merupakan akibat dari berfungsinya
kelenjar-kelenjar seks dalam dalam tubuh yang disertai dengan
kematangan alat-alat seks atau yang lazim dikenal dengan sebutan
organ reproduksi. Remaja pria seperti remaja putri juga tidak akan
mencapai kematangan seks secara bersamaan. Menurut Gunarsa
(2007), Surtiretna (2001), Perry & Potter (2005) dan Kozier (2004)
perkembangan seks pada remaja adalah sebagai berikut:

a) Remaja putri

Pada anak perempuan sekitar umur 9 sampai 11 tahun sudah mulai


timbul tanda-tanda pertama kematangan seks yakni pembesaran
payudara dan pinggul. Sesudah itu baru mulai pertumbuhan rambut
di daerah kemaluan bagian luar dan ketiak. Suaranya berubah
merdu, kulit bertambah bagus dan halus. Kadar estrogen yang
meningkat mempengaruhi genital. Uterus mulai membesar, dan
terjadi peningkatan lubrikasi vaginal. Menarche atau kedatangan
haid untuk pertama kalinya, pada umumnya akan timbul setelah
memuncaknya percepatan pertumbuhan. Umur tercapainya
menarche tidak sama bagi semua remaja putri. Menarche dapat
terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun atau lebih.
Dengan timbulnya haid pertama belum berarti bahwa perlengkapan
alat berkembangbiak sudah sempurna.
b) Remaja putra

Proses kematangan seks pada remaja putra mulai antara 11 dan 15


tahun, dengan umur rata-rata 13 dan 14 tahun. Proses ini dimulai
dengan pertumbuhan buah pelir dan zakar. Tumbuhnya rambut di
daerah alat kelamin luar lebih lambat. Percepatan pertumbuhan
buah pelir terjadi kira-kira bersamaan dengan percepatan
penambahan tinggi badan. Baru setahun kemudian mulai
penambahan panjang alat kelamin bagian luar atau penis, testis,
prostat, dan vesikula seminalis yang dipengaruhi oleh peningkatan
kadar testosterone dalam tubuh. Remaja putra mulai mempunyai
kumis dan jenggot, bulu-bulu mulai tumbuh di ketiak dan daerah
kelamin. Dengan membesarnya tulang di leher bagian depan
(jakun), suara mereka berubah menjadi pecah dan parau, karena
tali-tali suara di kerongkongan mereka sedang mengalami
penyesuaian menjadi suara orang dewasa, demikian juga bidang
bahunya menjadi lebih besar ketimbang pinggangnya. Di samping
perubahan suara ada pula remaja pria yang mengalami
penumbuhan atau penebalan rambut di dada.

4. Dampak seksualitas pada remaja

Menurut Perry & Potter (2005), Wong (2008), Jusuf (2006) beberapa
dampak yang timbul dari remaja yang aktif secara seksual adalah
sebagai berikut:

a. Dampak Fisik

1) AIDS singkatan dari Aquired Immuno Deficiency Syndrome.


Penyakit ini adalah kumpulan gejala penyakit akibat
menurunnya system kekebalan tubuh. Penyebabnya adalah
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Salah satu cara
penularannya adalah melalui hubungan seksual. Selain itu HIV
dapat menular melalui pemakaian jarum suntik bekas orang
yang terinfeksi virus HIV, menerim tranfusi darah yang
tercemar HIV atau dari ibu hamil yang terinfeksi virus HIV
kepada bayi yang dikandungannya. Di Indonesia penularan
HIV/AIDS paling banyak melalui hubungan seksual yang tidak
aman serta jarum suntik (bagi pecandu narkoba).
2) Penyakit kelamin (Penyakit Menular Seksual/ PMS)

Remaja yang aktif secara seksual memiliki risiko tinggi tertular


PMS. Secara fisiologis, serviks remaja putri memiliki ektropion
(eversi kanalis serviks uteri) yang besar, terdiri atas sel-sel
epithelial kolumnar yang jauh lebih rentan tertular PMS.
PMS adalah penyakit yang dapat ditularkan dari
seseorang kepada orang lain melalui hubungan seksual dan
hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui
vagina, oral maupun anal. Bila tidak diobati dengan benar
penyakit ini dapat berakibat serius bagi kesehatan reproduksi
yaitu kemandulan dan kebutaan pada bayi yang baru lahir
bahkan kematian.
Penyakit menular seksual (PMS) dialami sekitar 10
juta orang per tahun di bawah usia 25 tahun. Tingkat inseden
tertinggi mengharuskan adolesens yang aktif-seksual dilakukan
skrining terhadap PMS, meskipun mereka tidak menunjukan
gejala. Pemeriksaan fisik pada adolesens yang aktif secara
seksual setiap tahun harus meliputi pemeriksaan seksama
genetalia sehingga kondilomata akuminata (kutil genital),
herpes, dan PMS yang lain tidak terlewat. Uji yang
direkomendasikan bagi wanita meliputi pap smear, kultur
serviks untuk jenis gonore dan uji sifilis. Jika pria melakukan
aktivitas homoseksual, kultur rektal dan faring juga perlu
dilakukan untuk memeriksa adanya gonore. Penyakit kelamin
yang dapat terjadi antara lain kencing nanah (Gonorrhoe), raja
singa (Sifilis), herpes genitalis, limfogranuloma venereum
(LGV), kandidiasis, trikomonas vaginalis, kutil kelamin.
Karena perilaku seksual dapat mencakup seluruh tubuh dan
tidak hanya genital, banyak bagian tubuh adalah tempat
potensial untuk PMS. Telinga, mulut, tenggorok, lidah, hidung
dan kelopak mata dapat digunakan untuk kesenangan seksual.
Perineum, anus, dan rektum juga sering digunakan dalam
aktivitas seksual. Lebih jauh lagi, setiap kontak dengan cairan
tubuh orang lain sekitar kepala atau suatu lesi terbuka pada
kulit, anus, atau genitalia dapat menularkan PMS.
Tanda-tanda penyakit kelamin (Pria), berupa: bintil-
bintil berisi cairan, lecet atau borok pada penis/alat kelamin,
luka tidak sakit; keras dan berwarna merah pada alat kelamin,
adanya kutil atau tumbuh daging seperti jengger ayam, rasa
gatal yang hebat sepanjang alat kelamin, rasa sakit yang hebat
pada saat kencing, kencing nanah atau darah yang berbau
busuk, bengkak panas dan nyeri pada pangkal paha yang
kemudian berubah menjadi borok.
Tanda-tanda penyakit kelamin (Wanita), berupa: rasa
sakit/nyeri saat kencing/hubungan seksual, rasa nyeri pada
perut bagian bawah, pengeluaran lendir pada vagina/alat
kelamin, keputihan berwarna putih susu, bergumpal , rasa gatal
dan kemerahan pada alat kelamin atau sekitarnya , keputihan
yang berbusa, kehijauan, berbau busuk, dan gatal, timbul
bercak-bercak darah setelah berhubungan seksual, bintil-bintil
berisi cairan, lecet atau borok pada alat kelamin.
b. Dampak perilaku dan kejiwaan

Dampak yang timbul akibat remaja yang aktif secara seksual


yaitu dampak perilaku dan kejiwaan antara lain: terjadinya
penyakit kelainan seksual, keinginan untuk selalu melakukan
hubungan seks. Selalu menyibukkan waktunya untuk berbagai
khayalan-khayalan seksual, jima, ciuman, rangkulan, pelukan,
dan bayangan-bayangan bentuk tubuh wanita luar dan dalam,
pemalas, sulit berkonsentrasi, sering lupa, bengong, ngelamun,
badan jadi kurus dan kejiwaan menjadi tidak stabil. Yang ada
dipikirannya hanyalah seks dan seks serta keinginan untuk
melampiaskan nafsu seksualnya, bila tidak mendapat teman
untuk sex bebas, ia akan pergi ke tempat pelacuran (prostitusi)
dan menjadi pemerkosa. Lebih ironis lagi bila ia tak
menemukan orang dewasa sebagai korbannya, ia tak segan-
segan memerkosa anak-anak dibawah umur bahkan nenek yang
sudah uzur.

B. Faktor yang berhubungan dengan seksualitas remaja

Beberapa faktor seorang remaja terlibat dalam seksualitas menurut


Kozier (2004), Dianawati (2003), Strasburger & Donnerstein (1999)
dalam Santrock (2007), Wong (2008), Hurlock (1999), dan Hawari
(2006) yaitu sebagai berikut:

1. Kultur atau budaya

Seksualitas diatur oleh budaya. Misalnya, budaya mempengaruhi sifat


seksual, aturan tentang pernikahan, harapan peran perilaku, dan
tanggung jawab sosial, dan praktik seks tertentu. Sikap masyarakat
sangat bervariasi. Sikap tentang masa anak-anak dan remaja bermain
seksual dengan diri sendiri atau dari jenis kelamin yang sama atau
lawan jenisnya mungkin akan dibatasi. Koitus atau hubungan alat
kelamin sebelum dan dilakukan di luar nikah serta menyukai sesama
jenis (homoseksual) mungkin tidak dapat diterima atau ditoleransi
dalam masyarakat.

2. Nilai Agama
Agama mempengaruhi remaja dalam mengekspresikan seksual. Hal ini
dapat memberikan pedoman bagi remaja untuk mengontrol perilaku
seksual dan perilaku tersebut dapat diterima, serta perilaku seksual
yang dilarang dan menerima akibat dari melanggar aturan seksual.
Aturan tentang perilaku seksual dibuat secara rinci, tegas dan meluas.
Sebagai contoh, beberapa agama melihat bentuk ekspresi seksual
hubungan laki-laki dan perempuan sebagai keperawanan yang alami
dan tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Banyak
nilai-nilai agama bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di
masyarakat yang telah berkembang selama beberapa dekade terakhir,
seperti penerimaan seks pra nikah, ibu tidak menikah,
homoseksualitas, dan aborsi. Konflik-konflik ini menyebabkan
kecemasan dan penyimpangan seksual yang terjadi pada beberapa
remaja.

3. Etika
Meskipun etika merupakan bagian tak terpisahkan dari agama,
pemikiran etis dan pendekatan etis tetapi seksualitas dapt dilihat secara
terpisah dari agama. Banyak individu dan kelompok telah
mengembangkan kode etik baik tertulis maupun tidak tertulis
berdasarkan berdasarkan prinsip-prinsip etika. Masyarakat
berpandangan bahwa masturbasi, hubungan oral atau anal, hubungan
seks di luar nikah sebagai suatu yang aneh, menyimpang atau salah.
Masyarakat menerima ungkapan seksual adalah bentuk hubungan yang
dilakukan orang dewasa yang dilakukan secara pribadi dan tidak
berbahaya bagi pasangan tersebut. Pasangan perlu mencari dan
berkomunikasi tentang berbagai cara mengekspresikan seksual untuk
mencegah pengambilan keputusan seksual dari salah satu pasangan.
Hal ini untuk menghindari adanya pemaksaan dari pasangan dalam
mengekspresikan seksual.

4. Tekanan teman pergaulan


Teman pergaulan atau sering juga disebut teman bermain. Pada
awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang
bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam
proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain
adalah pada masa remaja.
Remaja biasanya berpikir sosial, suka berteman, suka bergaul, dan
suka berkelompok. Pergaulan merupakan cara untuk mengenal atau
mencari teman baru, informasi, dan menambah wawasan. Dengan
demikian kelompok teman sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada
evaluasi diri dan perilaku remaja. Untuk memperoleh penerimaan
kelompok, remaja berusaha menyesuaikan diri secara total dalam
berbagai hal seperti model pakaian, gaya rambut, selera musik, dan tata
bahasa, sering kali mengorbankan individualitas dan tuntutan diri.
Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya. Rasa
memilki merupakan hal yang paling penting. Oleh karena itu remaja
akan berperilaku dengan cara memperkuat keberadaan mereka di
dalam kelompok. Remaja sangat rentan terhadap persetujuan,
penerimaan, dan tuntutan sosial. Diabaikan dan dikritik oleh teman
sebaya menimbulkan perasaan inferioritas, tidak adekuat dan tidak
kompeten.
Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki seorang remaja dapat juga
berpengaruh untuk menekan temannya yang belum mengetahui tentang
seksualitas atau yang belum melakukan hubungan seks. Bagi remaja
tersebut, tekanan dari teman-temannya itu lebih kuat daripada tekanan
yang didapat dari pacarnya sendiri. Keinginan untuk dapat diterima
oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga dapat
mengalahkan semua nilai yang didapat, baik dari orang tua maupun
dari sekolahnya. Pada umumnya, remaja tersebut melakukannya hanya
sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-
temannya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dari kelompoknya
seperti yang dinginkannya.
Dalam pergaulan dengan teman sebaya tentunya jika ingin diterima di
lingkungan pergaulan, remaja akan mengikuti apa yang dilakukan di
lingkungan pergaulannya tersebut. Pengaruh teman pergaulan yang
sangat bermacam-macam, mulai dari suka dengan hal yang pornografi
dan seksualitas, membicarakan pornografi dan seks, mengajak teman
melihat video porno, mengajak ke tempat prostitusi, menyuruh
melakukan hubungan seks, dikucilkan, dikritik dan dikatakan kuno.
Jika remaja tidak bisa mengendalikan diri maka remaja sangat mudah
mengikuti lingkungan di sekitarnya. Apalagi didorong dengan rasa
ingin tahu tentang seks yang besar dari diri remaja. Berdasarkan data
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007, remaja
melakukan hubungan seks selain karena rasa ingin tahu sebesar 45%,
remaja melakukan hubungan seks di luar nikah karena tekanan teman
sebesar 5% (Okezone.com).

5. Tekanan pacar

Pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Pacar diartikan sebagai
orang yang spesial dalam hati selain orangtua, keluarga, dan sahabat.
Makna pacaran seringkali disalahgunakan sebagai ajang pelampiasan
nafsu, ajang pertunjukan gengsi, dan ajang meraup keuntungan pribadi.
Pacaran merupakan salah satu upaya untuk saling mengenal satu sama
lain, saling mengerti dan dimengerti, saling cinta dan saling setia
(KBBI, 2002).
Karena kebutuhan seorang untuk mencintai dan dicintai, seorang
harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, seperti mengajak
bercumbu saat berkencan sampai ingin melakukan hubungan seks pra
nikah, tanpa memikirkan risiko yang nanti dihadapinya. Dalam hal ini
yang berperan bukan saja nafsu mereka, melainkan juga karena sikap
memberontak terhadap orang tuanya. Remaja lebih membutuhkan
suatu bentuk hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai
layaknya manusia dewasa. Jika di dalam lingkungan keluarga tidak
dapat membicarakan masalah yang dihadapinya, remaja tersebut akan
mencari solusinya di luar rumah. Adanya perhatian yang cukup dari
orang tuanya dan anggota keluarga terdekatnya memudahkan remaja
tersebut memasuki masa pubertas.
Dengan demikian, dia dapat melawan tekanan yang datang dari
lingkungan pergaulan dan pasangannya. Selain itu, kemampuan dan
kepercayaan diri untuk memegang teguh prinsip hidupnya sangat
penting. Pandangan ini tidak sebatas masalah seksual, tetapi juga
dalam segala hal, baik tentang apa yang seharuanya dilakukan maupun
tentang apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

6. Rasa penasaran

Rasa penasaran atau rasa ingin tahu merupakan salah satu ciri dari
manusia. Manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir dan dengan
akal pikiran tersebut maka dapat memuaskan rasa ingin tahunya. Rasa
ingin tahu di dorong dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Adanya
rasa ingin tahu yang besar maka manusia akan berpikir dan memulai
mencari jawaban yang sebanyak-banyaknya (Yuanita, 2011).
Masa remaja terjadi beberapa perkembangan, salah satunya
perkembangan seksual. Adanya perkembangan seksual tersebut
meningkatkan keingintahuan remaja tentang seks. Apalagi jika teman-
temannya mengatakan bahwa seks terasa nikmat, ditambah lagi adanya
segala informasi yang tidak terbatas masuknya. Maka, rasa penasaran
tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan
berbagai macam percobaan sesuai dengan yang diharapkannya
(Dianawati, 2003).

Hal yang terkait dengan rasa penasaran remaja tentang seksual antara
lain tertarik terhadap seksualitas, menonton video porno, mencari
informasi tentang seks, ingin mencoba hubungan seks, mengunjungi
tempat prostitusi. Rasa penasaran yang kuat dari diri remaja harus
diimbangi dengan informasi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan agar remaja tidak terjerumus ke hal-hal yang
dapat merusak moral para remaja.
Perilaku penyimpangan seksualitas terhadap remaja di usia 15-24
tahun kebanyakan dilandasi oleh rasa penasaran. Berdasarkan data
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007, alasan
remaja melakukan hubungan seksual pranikah yang pertama kali
karena Rasa ingin tahu (45%). 5% yang lain karena alasan tekanan dari
teman.

7. Lingkungan keluarga

Bagi seorang remaja, mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua


orang tuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua pihak (orang
tua dan anak). Akibatnya, remaja tersebut merasa tertekan, sehingga
ingin membebaskan diri dengan menunjukkan sikap sebagai
pemberontak, yang salah satunya dalam masalah seksual. Remaja akan
mulai tertarik dengan seksualitas.
8. Media informasi

Media informasi adalah suatu instrument perantara informasi. Jaman


sekarang media informasi sangat berkembang. Berkembangnya media
informasi dikarenakan adanya pengaruh pertumbuhan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Media informasi kini
dengan mudah dapat diakses oleh remaja di seluruh dunia seperti
televisi, radio, internet, bahkan telepon genggam pun telah masuk ke
dalam bagian media informasi. Perkembangan media informasi juga
memudahkan remaja untuk mengakses materi pornografi.
Dewasa ini remaja terus-menerus terpajan simbolisme seksual
dan stimulasi erotik dari media massa. Pada saat yang sama,
perkembangan karakteristik seks primer dan sekunder dan peningkatan
sensitivitas genital menghasilkan pikiran dan fantasi tentang hubungan
seksual. Aspek-aspek seksual pada hubungan interpersonal menjadi
sangat penting. Tuntutan sosial mendorong remaja untuk melakukan
kencan, dan dorongan seks dari dalam dirinya mendesak mereka untuk
melakukan hubungan seksual tersebut.
Dorongan seksual pada remaja semakin meningkat jika faktor
dari luar ikut pula menunjang. Seperti diketahui, VCD-VCD atau
bacaan-bacaan porno kini telah dijual bebas dan seorang akan dengan
sangat mudah mendapatkannya. Selain itu, maraknya warung-warung
internet semakin memudahkan untuk mengakses gambar-gambar
porno. Hal-hal inilah yang semakin memicu timbulnya ke dalam
hubungan seksual.
Dewasa ini sudah menjadi rahasia umum terdapat industri untuk
pornografi dan pornoaksi dalam bentuk VCD, DVD, tabloid, majalah,
layanan telepon dan lain sebagainya. Salah satu faktor provokasi
pergaulan bebas (hubungan seks di luar nikah) adalah pornografi. Dan
mengutip Ensiklopedia Hukum Islam (1997) pornografi berarti bahan
baik tulisan maupun gambaran yang dirancang dengan sengaja dan
semata-mata untuk tujuan membangkitkan nafsu birahi (syahwat) dan
seks. Dari segi psikologi atau kejiwaan pornografi dan pornoaksi dapat
berakibat pada melemahnya fungsi pengendalian diri (self control)
terutama tehadap naluri agresivitas seksual.
Banyak remaja senang menonton acara televisi dengan muatan
seksual. Menonton potret seksual di televisi dapat mempengaruhi sikap
dan perilaku seksual remaja. Walaupun demikian, seperti agresi yang
ditampilkan di televisi, apakah seks di televisi benar-benar
mempengaruhi perilaku remaja bergantung pada sejumlah faktor,
meliputi kebutuhan remaja, minat, kepedulian, dan kematangan.
Media informasi yang berkaitan dengan seksual sekarang sangat
mudah didapatkan oleh semua kalangan umur terutama remaja. Media
informasi tersebut antara lain media elektronik yang meliputi televisi,
radio, handpone, internet, vcd, film dan media cetak seperti koran,
majalah, buku cerita, komik, serta dari orang lain pun juga bisa
menjadi media informasi misalnya dari teman, keluarga, guru, dan
pacar.
Hasil survei “Perilaku Seks” siswi DKI Jakarta yang
diselenggarakan oleh produsen pembalut perempuan Laurier dengan
jumlah responden 1400 siswi se-DKI Jakarta dengan sistem acak
menunjukkan sumber informasi tentang seks diperoleh dari Teman
(69%), Orangtua (14%), Sekolah (13%), dan Pacar (4%) (Andre,
2007).
Sumber : http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=739
B. KEHAMILAN PADA MASA REMAJA

Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan dimana masa remaja
merupakan masa badai dan tekanan (Hall S dalamDhamayanti, 2009). Tahap
perkembangan remaja yang ditandai oleh perkembangan kognitif, psikososial dan
fisik dapat mempengaruhi salah satu aktifitas seksual remaja yaitu perilaku seks
pranikah. Akhir-akhir ini muncul fenomena semakin tingginya tingkat perilaku
seks pranikah padaremaja yang dapatmenimbulkan dampak negative yaitu
terjadinya kehamilan diluar nikah (Gemala, 2009).

Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada usia remaja (kurangdari
20 tahun) (Depkes RI, 2007). Wanita yang hamil pada usia 15-19 tahun
mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami komplikasi kehamilan dan
persalinan (UNICEF, 2001). Wanita kurang dari 20 tahun organ-organ
reproduksinya belum berfungsi dengan sempurna sehingga bila terjadi kehamilan
dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi (FaserdalamKusumawati,
2006).

Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada remaja yang merupakan
akibat perilaku seksual baik disengaja (sudah menikah) atau tidak disengaja
(belum menikah). Kehamilan remaja disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

> Factor agama dan iman

Kurangnya penanaman nilai-nilai agama sejak dini dan tipisnya iman remaja, akan
berdampak pada terjerumusnya remaja pada pergaulan bebas.

> Factor lingkungan

1. Orang tua –> Peran orang tua dalam keluarga, terutama perkembangan
anak/remaja, sangat penting. Peran dan perhatian orang tua sangat
berpengaruh pada perkembangan mental anak. Perhatian, cinta dan kasih
sayang orang tua sangat dibutuhkan anak pada masa remaja, yang mana pada
masa ini remaja sedang mencari jati dirinya. Sehingga apabila anak kurang
mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua, anak mencari sosok
pengganti yang dapat memberikan perhatian dan kasih sayang seperti yang
anak harapkan.
2. Pendidikan seks yang kurang dari orang tua dan keluarga –>Komunikasi yang
lebih terbuka antara anak dan orang tua, dapat berperan penting dalam
pemantauan perilaku anak di masyarakat. Informasi yang cukup tentang
seksualitas yang anak dapatkan dari orang tua, dapat meminimalisasi
keingintahuan anak untuk mengakses informasi di luar rumah ( internet,
media cetak, teman sebaya, maupun pacar ).
3. Teman, tetangga dan media –>Pergaulan yang salah dan penyalahgunaan
media dapat menyebabkan perubahan pola pikir pada remaja tentang seks,
sehingga menreka menganggap bahwa seks pranikah adalah suatu hal yang
lazim.

> Perkembangan IPTEK yang tidak didasari dengan perkembangan mental


yang kuat

Dengan adanya kemajuan di bidang IPTEK, memudahkan remaja untuk


mengakses informasi tentang seks. Apabila hal ini tidak didasari dengan
perkembangan mental yang kuat, maka dapat membuat para remaja terjerumus
dalam pergaulan yang salah, yang dapat mengarah pada pergaulan bebas.

> Minimnya pengetahuan dan rasa ingin tahu yang berlebihan

Pengetahuan tentang seksualitas yang minim atau setengah-setengah, dapat


menyebabkan meningkatnya rasa keingintahuan pada remaja. Sehingga hal ini
mendorong remaja untuk mencari informasi tentang seksualitas dari sumber-
sumber yang mudah mereka dapatkan, seperti : teman sebaya, buku, majalah,
internet, video, dll. Rasa keingintahuan yang besar juga dapat menjadi stimulus
remaja untuk melakukan hubungan seksual di luar nikah. Pengetahuan yang
minim tentang kehamilan pada remaja dan infeksi menular seksual,
mengakibatkan seks yang tidak aman serta terjadinya kehamilan remaja.

> Perubahan zaman


System nilai dan moralitas dapat berubah seiring dengan perubahan zaman. Hal
ini juga berdampak pada persepsi remaja tentang pergaulan. Sebagian remaja
menganggap bahwa pergaulan bebas merupakan suatu hal wajar, karena sesuai
dengan perkembangan zaman. Sebagian remaja menganggap bahwa trend
berpacaran adalah suatu hal yang normal, seks di luar nikah bukan suatu hal yang
tabu untuk dilakukan. Persepsi yang salah tentang seks inilah yang akhirnya
menjadikan kehamilan pada remaja semakin tahun jumlahnya semakin meningkat.

> Usia pubertas yang semakin cepat

Pubertas mengakibatkan perubahan kadar hormone, dan mengakibatkan


meninggatnya kadar hormone seksual. Peningkatan usia pubertas apabila tidak
diimbangi dengan penyaluran seksual yang tepat, mka akan berakibat pada seks
dini dan kehamilan usia dini.

Kehamilan pada remaja, terutama pada kasus hehamilan yang tidak disengaja,
akan menimbulkan beberapa dampak, yaitu:

Psikologis

1. Perasaan tertekan karena mendapat cercaan dari teman, keluarga atau


lingkungan masyarakat
2. Tersisih dari pergaulan, karena dianggap belum mampu membawa diri
3. Remaja yang masih sekolah akan putus sekolah, dan yang sudah bekerja
terancam kehilangan pekerjaannya –> putus asa kerena kehamilannya
mengancam masa depannya.

Fisik

1. Kehamilan remaja berisiko à kematian ibu, preeklamsi-eklamsi, anemia,


BBLR, abortus, kelahiran preterm dan kematian bayi.
2. Kehamilan disertai infeksi menular seksual
3. Saat persalinan sering memerlukan tindakan medis
4. Janin dapat mengalami kelainan congenital
5. Kematian maternal dan perinatal pada kehamilan remaja lebih tinggi
dibanding pada usia reproduksi sehat ( 20 – 35 tahun ).

Apabila direnungkan kembali, kehamilan remaja lebih banyak dampak negatif


yang ditimbulkan daripada dampak positifnya. Untuk mencegah terjadinya
kehamilan remaja, maka upaya yang dilakukan adalah :

1. Tidak melakukan aktifitas seksual sebelum menikah


2. Melakukan kegiatan positif
3. Menghindari perilaku seks bebas
4. Meningkatkan iman dan taqwa
5. Bagi remaja yang sudah menikah, menunda kehamilan dengan menggunakan
alat kontrasepsi.

Untuk mengendalikan masalah kehamilan remaja, upaya yang dilakukan adalah:

Sebelum terjadi kehamilan

1. Menjaga kesehatan reproduksinya dengan aman


2. Menghindari seks bebas
3. Menghindari multipartnerseks
4. Pendidikan seksual sejak dini
5. Meningkatkan iman dan taqwa
6. Mengunakan alkon darurat

Setelah terjadi kehamilan

1. Membiarkan janin tetap hidup sampai lahir


2. Menikahkan remaja yang hamil
3. Remaja diperbolehkan merawat anaknya
4. Dapat dilakukan terminasi kehamilan pada kasus-kasus tertentu.
C. MENJADI ORANG TUA PADA MASA REMAJA

Masa remaja adalah masa kritis dimana masa itu remaja memiliki
rasa keingitahuan yang tinggi, sedang mrncari jati diri, emosi labil ingin
dianggap sudah mandiri dan bertanggung jawab. Masa ini merupakan
periode yang kritis, karena remaja harus melepaskan ketergantungan
kepada orangtua dan mandiri sehingga bisa diterima dan dianggap dewasa.
Pada masa remaja terjadi perkembangan yang dinamis dalam kehidupan
individu yang ditandai dengan percepatan pertumbuhan fisik, emosional,
dan sosial. Selain itu, masa remaja juga merupakan masa yang rentan
untuk terpengaruh hal negatif misalnya melakukan bentuk-bentuk perilaku
seksual remaja yang berisiko gaya pacaran yang tidak sesuai norma, seks
pranikah, kehamilan tidak dikehendaki, aborsi, kekerasan dalam
berpacaran (Nisa, 2009)
Transisi menjadi orangtua yang masih remaja akan sulit dijalani
karena tugas-tugas perkembangan orangtua seringkali diperburuk oleh
kebutuhan dan tugas perkembangan remaja salah satunya kemandirian
yang belum dipenuhi kelahiran seiorang bayi menyebabkan timbulnya
suatu tantangan mendasar terhadap struktur interaksi keluarga yang sudah
terbentuk. Orang yang mandiri akan mengandalkan dirinya sendiri dalam
merencanakan dan membuat keputusan penting, akan tetapi mereka bisa
saja meminta dan mempertimbangkan pendapat orang lain sebelum
akhirnya membuat keputusan yang tepat bagi dirinya sendiri.
Menurut Santrock (2008) mengatakan individu yang tidak cukup
mandiri akan memiliki kesulitan dalam hubungan pribadi maupun karir
uraian ini dapat dipahami bahwa untuk memiliki hubungan pribadi yang
sehat dengan lingkungan sosial, maka individu harus mandiri, sehingga
dapat dikatakan kemandirian merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi penyesuaian diri individu.
Pada masa peralihan ini terdapat keraguan akan peran, namun
dimasa ini pula remaja memiliki waktu untuk mencoba gaya baru yang
berbeda, menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang sesuai dengan
dirinya. Karena pada masa ini remaja memiliki keinginan untuk bebas
dalam menentukan dirinya sendiri, hal ini menimbulkan dampak positif
dan negatif bagi remaja tersebut. Dampak positifnya, dengan adanya
dukungan yang baik dari luar, remaja dapat melalui masa penyesuaian
terhadap tumbuh kembangnya. Sedangkan dampak negatifnya, jika
pengaruh dari luar buruk maka akan berdampak terhadap keberhasilan
remaja melalui masa peralihan tersebut (Dariyo, 2004)

Resiko pada remaja yang menjadi orang tua


Adapun resiko secara psikologis adalah stress, depresi berat,
berhenti untuk tidak meneruskan pendidikannya, penganiayaan terhadap
bayinya, merasa terasing karena lingkungan dan teman-teman menjauh
(Najma, 2010). Pada akhirnya, masalah kehamilan remaja mempengaruhi
diri remaja itu sendiri. Remaja dengan kehamilan tidak diinginkan
merupakan masalah yang menyababkan stres. Sumber stress utama aib
karena hamil tanpa menikah, merasa berdosa karena menggugurkan,
berpacu pada waktu karena hamil makin besar. Ia akan merasa semakin
tertekan karena takut menyampaikan pada orang tua, tersisih dari keluarga
karena hamil, dianggap abnormal dalam pergaulan (Manuaba, 2007).
Ketika individu menyatakan bahwa siap untuk mandiri dengan kehidupan
yang dijalani itu memberikan suatu dorongan atau tujuan untuk
memandang kehidupan dalam hal yang positif dan tidaklah masalah itu
selalu menjadi hal yang negatif. Transisi dalam kehidupan menghadapkan
individu pada perubahan dan tuntutan-tuntutan sehingga diperlukan
adanya penyesuaian diri. Setiap orang pasti mengalami masalah dalam
mencapai tujuan hidupnya dan penyesuaian diri sebagai keadaan atau
sebagai proses (Irene, 2013). Semua makhluk hidup secara alami dibekali
kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan, agar dapat bertahan hidup. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap kehidupan individu dalam menghadapi segala
tantangan dan perubahan-perubahan yang akan terjadi nanti. Berbagai
permasalah yang dihadapi oleh subjek maka dibutuhkan solusi agar
permasalahan tersebut dapat ditangani secara efektif, yakni perlu
dilakukannya penyesuaian diri (Mash & Wolfe, 2005). Menurut Holland
(dalam Farisy, 2007) penyesuaian diri adalah suatu proses mempelajari
tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi situasi-situasi baru.
Dalam kenyataan, tidak selamanya individu akan berhasil dalam
melakukan penyesuaian diri. Hal itu disebabkan adanya rintangan atau
hambatan tertentu yang menyebabkan ia tidak mampu melakukan
penyesuaian diri secara optimal. Rintangan-rintangan dapat bersumber dari
dalam dirinya keterbatasan dan dari luar dirinya. Dalam hubungannya
dengan rintangan-rintangan tersebut, ada individu-individu yang mampu
melakukan penyesuaian diri secara positif dan penyesuaian diri yang salah.

- Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia


Indonesia.
- Irene, L. 2013. Perbedaan Tingkat Kemandirian dan Penyesuaian Diri
Mahasiswa Perantauan Suku Batak Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal
Psikologi Vol.01. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
- Mash, E.J., & Wolfe, D.A. 2005. Abnormal Child Psychology. 3rd
Edition. New York : Wadsworth Publishing Company.
- Najma. 2010. Pengantar Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo
- Nisa R N A, Eny P, & Yadi P. 2009. Persepsi Anak Terhadap
Delinquency Penyalahguaan Napza. Jurnal Penelitian Psikologi
Vol.05.
- Santrock., J.W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta:
Prenada Media Group.
PSIKOBORNEO, 2017, 5 (1) : 33 - 42 ISSN 2477-2674 (online), ISSN
2477-2666 (cetak), ejournal.psikologi.fisip-unmul.ac.id (diakses pada
tanggal 2 desember 2017)
C. factor-faktor yang mempengaruhi
Menurut Bowner dan Spanier dalam Rahmi (2003) terdapat
beberapa alasan seseorang untuk menikah seperti mendapatkan jaminan
ekonomi, membentuk keluarga, mendapatkan keamanan emosi, harapan
orang tua, melepaskan diri dari kesepian, menginginkan kebersamaan,
mempunyai daya tarik seksual, untuk mendapatkan perlindungan,
memperoleh posisi sosial dan prestise, dan karena cinta.
Faktor-faktor pendorong terjadinya perkawinan pada usia muda
antara lain : faktor ekonomi, faktor keluarga, faktor pendidikan, faktor
kemauan sendiri, dan faktor adat setempat. Faktor ekonomi, keluarga yang
masih hidup dalam keadaan sosial ekonominya rendah/belum bisa
mencukupi kebutuhan hidup sehari- hari. Faktor pendidikan, karena
rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak, akan
pentingnya pendidikan. Faktor keluarga yaitu orang tua mempersiapkan
atau mencarikan jodoh untuk anaknya. Faktor kemauan sendiri, karena
pergaulan bebas sehingga mereka melakukan pernikahan. faktor adat yang
menyebabkan terjadinya pernikahan usia muda karena ketakutan orang tua
terhadap gunjingan dari tetangga dekat. Apabila anak perempuan belum
takut anaknya dikatakan perawan tua. 2. Remaja yang memutuskan untuk
menikah di usia muda pada umumnya beranggapan bahwa pendidikan bagi
mereka adalah formalitas, sehingga mereka lebih mementingkan untuk
berumahtangga daripada melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Bahkan kebanyakan dari remaja yang menikah di usi muda rela
meninggalkan bangku sekolah.

Sity yuli astuty, 2013 : 3 & 8 (Jurnal.usu.ac.id) diakses pada tanggal 2


desember 2017

Dampak psikologis pada remaja yang menjadi orang tua

Dilihat secara psikologis, perkawinan seseorang yang masih belum


cukup usia atau dibawah umur memberikan dampak yang berpotensi
menjadi sebuah trauma. Kemuculan trauma ini diakibatkan oleh
ketidaksiapan menjalankan tugas-tugas perkembangan yang muncul
setelah adanya perkawinan, sementara hal ini tidak didukung dengan
kemampuan dan kematangan diri yang dimiliki. Dalam aspek
perkembangan sosial, Erikson menjelaskan salah satu tugas perkembangan
selama masa remaja adalah menyelesaikan krisis identitas, sehingga
diharapkan terbentuk identitas dri yang stabil pada masa remaja, sehingga
akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya. Pada
konteks remaja yang melakukan perkawinan, proses identifikasi diri
remaja yang ideal sulit untuk dicapai. Hal ini karena pada konteks
perkawinan seorang individu remaja akan dipandang sebagai orang
dewasa bahkan sebagai calon orangtua. Pandangan ini memberikan efek
kebingunan terhadap pelaku perkawinan dan kesulitan
mengidentifikasikan dirinya dalam masyarakat. Krisis yang harusnya
diselesaikan pada pencarian identitas diri akan mengalami kegagalan,
sehingga membahayakan masa depan remaja.
Selain krisis identitas diri, pemerolehan otonomi pada remaja dari
peran orangtua tidak bisa dicapai oleh remaja yang melakukan
perkawinan. Padahal salah satu kebutuhan perkembangan remaja adalah
adanya peran orang yang positif dan suportif yang membantu remaja
mengembangkan kompetensi sosial dan otonomi mereka menjadi lebih
bertanggung jawab. Selain hubungan dengan orang tua, hubungan remaja
dengan teman sebaya akan sulit dijalani pada remaja yang melakukan
perkawinan.
Dalam aspek perkembangan emosional, kesejahteraan psikologis
dan kebahagiaan seseorang lebih ditentukan oleh perubahan atau
pengalaman emosional yang sering dialaminya. Pada remaja yang
melakukan perkawinan rentan terhadap kegagalan dalam meraih
kesejateraan psikologis. Hal ini erat kaitannya dengan kematangan
emosional dalam menyelesaikan konflik rumah tangga. Remaja yang tidak
matang secara emosi berakibat pada timbulnya emosi negatif atau afek
negatif. Kondisi ini berakibat pada situasi yang tidak menyenangkan dan
menyusahkan selama menjalani rumah tangga.
Perkembangan sosial-emosional remaja memiliki peran untuk
memenuhi tugas-tugas perkembangannya dengan baik. Tugas-tugas
perkembangan remaja ini harus dipenuhi untuk membentuk pondasi yang
bertujuan mencapai kesejahteraan psikologis dan kebahagiaan individu.

Jurnal Penelitian Psikologi 2016, Vol. 07, No. 02, 15-39


(jurnalfpk.uinsby.ac.id) diakses pada tanggal 2 desember 2017

Dukungan orang tua terhadap kesiapan remaja menjadi orang tua


Dukungan orang tua merupakan sistem dukungan social yang
terpenting dimasa remaja, karena orang tua dalam keluarga berperan
sebagai guru, penuntun, pengajar bagi anaknya. Dukungan orang tua akan
berhubungan dengan kesiapan menjadi orang tua pada remaja yang
menikah dini. Namun pada kenyataan di lapangan banyak orang tua yang
terpaksa memberikan dukungan kepada anaknya misalnya pada kasus
hamil diluar menikah, adapun orang tua yang memberikan dukungan
kepada anknya yang menikah muda karena ingin segera mempunyai cucu,
karena keadaan ekonomi, perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan
takut anaknya menjadi perawan tua.
Hause dan Kahn (cit Smet, 1994 dalam Andari, 2013) menjelaskan bahwa
dukungan oleh keluarga dapat dibagi menjadi empat ciri sebagai dasar
penyusunan alat ukur yang digunakan untuk mengungkapkan dukungan
orang tua terhadap kesiapan menjadi orang tua pada remaja yang menikah
dini yaitu : Dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
informatif,dan dukungan instrumental.
Kesiapan adalah keseluruhan kondisi seseoran atau individu yang
membuat siap untuk memberikan respon atau jawaban di dalam cara
tertentu terhadap suatu situasi. Penyesuaian pada suatu saat akan
berpengaruh pada kecenderungan untuk memberi respon (Slameto, 2010).
Orang tua merupakan komponen keluarga yang terdiri dari ayah
dan ibu dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang
dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab
untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk
mencapai tahap tertentu yang menghantarkan siap dalam kehidupan
bermasyarakat (Soethiningsih, 2007).
Menjadi orangtua bukanlah hal yang mudah, tetapi tidak juga
sesulit yang dibayangkan.Salah satu kunci sukses menjadi orangtua sukses
adalah mempersiapkan dari kedua belah pihak.Hamil dan punya anak
sudah pasti menjadi dambaan bagi pasangan usai menikah. Ketika
memiliki kehidupan pun akan berubah. Dan yang pasti, kedua pasangan,
akan menjadi orangtua. Menjadi orangtua merupakan dambaan bagi
mereka yang sudah membina rumah tangga. Oleh sebab itu, tidak ada
salahnya jika sudah mempersiapkan hal ini sejak awal. Dimulai dari
persiapan kehamilan sampai kelahiran. Namun ini bukan saja menjadi
tugas seorang istri, tetapi juga suami yang harus mengerti apa saja yang
harus dipersiapkan untuk menjadi orangtua (Rostinah, 2012).

- Andari, W.A. 2013. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat


Kecemasan Ibu Premenopouse dalam Menghadapi Menopouse di
Dusun Padan, Keji, Muntilan Yogyakarta.
- Rostinah. 2012. Hubungan Pernikahan Dini Dengan Kesiapan Menjadi
Orangtua Di Desa Tepusan Kecamatan Kaloran Kabupaten
Temanggung. Diii Kebidanan-Stikes Nwu: 040801073 Katalog Karya
Ilmiah Akbid, Akper, Stikes Ngudi Waluyo Ungaran.
- Soetjiningsih. 2007. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya.
Jakarta: CV Sagung seto

Umi fahati kurnia, 2015 (digilib.unisayogya.ac.id) diakses pada tanggal 2


desember 2017

Anda mungkin juga menyukai