Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH PATOFISIOLOGI

GANGGUAN HEMATOLOGI

Disusun Oleh : Kelompok 4

1. Deden Mulya Prayoga (180105020)


2. Dhina Isro Insani (180105021)
3. Esi Riskiyah (180105029)
4. Khusnul Aliyah (180105051)
5. Pariyem (180105078)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Farmakognosi pada Program Studi Farmasi. Kami berterimakasih
kepada dosen pembimbing dari mata kuliah Patofisiologi yaitu Ibu Tri Sumarni, S.Kep., Ns.,
M.Kep. kami mengharapkan ada ide, kritik dan saran yang membangun untuk dapat
menyempurnakan makalah ini agar dapat menjadi makalah yang baik serta dapat lebih
menambah wawasan,semoga dengan memebaca makalah ini pembaca lebih mudah untuk
memahami perihal Gangguan Hematologi.

Kami sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami mengharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun untuk dapat menyempurnakan makalah ini agar dapat
menjadi makalah yang baik serta dapat lebih menambah wawasan, semoga dengan memebaca
makalah ini pembaca lebih mudah memahami Gangguan Hematologi.

Purwokerto, 24 Oktober 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata pengantar ......................................................................................................... 1


Daftar Isi .................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
I.1 Latar Belakang............................................................................................. 3
I.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
I.3 Tujuan .......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 5
II.1 Pengertian Hematologi .............................................................................. 5
II.2 Bagian-Bagian Dari Darah ......................................................................... 5
II.3 Mekanisme Gangguan Hematologi ......................................................... 11
II.4 Faktor Koagulasi dan Jalur Kaskade........................................................ 26
II.5 Pemeriksaan Darah .................................................................................. 32
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 35
III.1 Kesimpulan ............................................................................................. 35
III.2 Saran ...................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 36

2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Darah berasal dari kata “haima”, yang berasal dari akar kata hemo atau hemato.
Merupakan suatu cairan yang berada didalam tubuh, berfungsi mengalirkan oksigen ke
seluruh jaringan tubuh, mengirimkan nutrisi yang dibutuhkan sel-sel dan menjadi benteng
pertahanan terhaap virus dan infeksi (Haryani, 2014). Darah selamanya beredar didalam tubuh
oleh karena adanya atau pompa jantung. Selama darah berada dalam pembuluh maka akan tetap
encer, tetapi kalau ia keluar dari pembuluhnya maka ia akan menjadi beku. Pembekuan ini dapat
dicegah dengan jalan mencampurkan kedalam darah tersebut sedikit obat anti pembekuan atau
sitras natrikus (Darda, 2016).
Darah merupakan bagian dari tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan
kehidupan. Sebab, ia berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Darah
berbentuk cairan, sehingga dapat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.
Volume dalam tubuh bervariasi, pada orang dewasa volume darah sekitar 6 liter atau sekitar 7-8
% dari berat badan. Darah terdiri dari komponen berbentuk dan komponen plasma. Komponen
berbentuk kurang lebih 45% (eritrosit, lekosit dan trombosit). Angka (45 %) ini dinyatakan
dalam nilai hermatokrit atau volume sel darah merah yang dipadatkan yang berkisar antara 40
sampai 47 (Erna et al, 2015).
Sekitar 44% darah terdiri dari unsur-unsur sel yang membentuk bagian terbesar adalah
eritrosit (sel darah merah). Eritrosit adalah sel yang tidak memiliki nukleus dan hidup sekitar 120
hari dan merupakan sel paling banyak dalam darah. Berfungsi untuk mengangkut oksigen dan
karbon dioksida melalui aliran darah. Sel darah merah normal berbentuk lempeng bikonkaf
dengan diameter kira-kira 7,8 mikrometer. Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel
berjalan melewati kapiler. Eritrosit yang bersikulasi mempunyai masa paruh sekitar 120 hari.
Pada pria, jumlah sel darah merah normal (RBC) adalah 5.500.000 per mm3, sedang RBC
normal pada wanita adalah 4.800.000 per mm3 (Erna et al, 2015).
Fungsi utama darah ialah mentranspor senyawa. Oksigen yang diambil oleh paru-paru
harus dibawa ke seluruh jaringan dengan bantuan eritrosit, karbondioksida dari jaringan harus
dibawa kembali ke paru-paru. Pada saat yang sama zat-zat seperti bahan makanan, mineral,

3
hormone dan lain-lain serta semua bahan obat dan produknya dibawa ke sel dan hasil
metabolismenya dibawa kembali dan dibuang. Di samping itu darah berperan penting pada
pemeliharaan pH dalam tubuh, dan dengan darah mempunyai kemampuan bertindak darah
mempunyai kemampuan bertindak sebagai system dapar yang berbeda-beda (dapar protein,
dapar posfat, dapar hydrogenkarbonat). Darah juga melakukan pengaturan suhu organisme
dengan membawa energi kalor yang dibentuk pada metabolism kepermukaan tubuh. Darah ikut
berperan besar pada pertahanan tubuh terhadap masuknya zat asing atau penyebab penyakit
(Mutschler, 1999).
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Hematologi ?
2. Bagaimana bagian-bagian dari Darah ?
3. Bagaimana Mekanisme Gangguan Hematologi ?
4. Bagaimana Faktor Koagulasi dan Jalur Kaskade ?
5. Bagaimana Pemeriksaan Darah ?
I.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui Pengertian Hematologi
2. Mahasiswa mengetahui bagian-bagian dari Darah
3. Mahasiswa mengetahui Mekanisme Gangguan Hematologi
4. Mahasiswa mengetahui Faktor Koagulasi dan Jalur Kaskade
5. Mahasiswa mengetahui Pemeriksaan Darah

4
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Hematologi
Hematologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ
pembentuk darah dan penyakitnya. Khususnya jumlah dan morfologi sel-sel darah, serta
sumsum tulang. Darah adalah jaringan khusus yang berbeda dengan organ lain, karena
berbentuk cairan. Jumlah darah dalam tubuh adalah 6-8% berat tubuh total. Empat puluh
lima sampai 60% darah terdiri dari sel-sel, terutama eritrosit, leukosit dan trombosit.
Fungsi utama darah adalah sebagai media transportasi, serta memelihara suhu tubuh dan
keseimbangan cairan (Atul et al, 2008, Arifin et al, 2015).
II.2 Bagian-bagian Dari Darah
a. Eritrosit (Sel Darah Merah)
Sel darah merah atau eritrosit adalah sel yang sangat penting untuk makhluk hidup.
Sel eritrosit termasuk sel yang terbanyak didalam tubuhmanusia. Dalam keadaan
fisiologik, darah selaluberada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan
fungsinya sebagai pembawa oksigen, mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi dan
mekanisme hemostatis. Darah terdiri dari dua komponen utama, pertama plasma darah
yaitu bagian darah yang terdiri dari air, elektrolit dan protein darah, kedua sel-sel darah
merah yang terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) dan keping
darah (trombosit)(Indah V dan Tristyanto, 2012).
Pembentukan dan pematangan eritrosit di dalam sumsum tulang selama 7 hari.
Dalam darah perifer inti umumnya sudah hilang. Retikulosit adalah sel eritrosit termuda
yang mengandung RNA, yang jumlahnya cukup untuk menggantikan eritrosit yang mati.
Kira-kira 10% dari eritrosit dalam darah perifer adalah retikulosit hal ini hanya 1% dari
jumlah jangka hidup eritrosit. Sedangkan panjang masa hidup eritrosit setelah pelepasan
dari sumsum tulang kurang lebih 120 hari sampai mengalami penuaan dan dekstruksi
(Kosasih E.N dan Kosasih A.S, 2008).

5
Proses penghancuran eritrositterjadi karena proses penuaan (senescene)dan proses
patologis (hemolisis). Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya
komponen-komponen hemoglobin menjadi dua komponen yaitu komponen protein,
komponen yang globin nya dikembangkanke poolprotein dan dapat di gunakan kembali.
Kedua komponen heme, yang dipecah menjadi dua yaitu besi dan billirubin. Besi akan
dikembalikan ke poolbesi dan digunakan ulang. Billirubin akan di ekskresikan melalui hati
dan empedu (Handayani dan Haribowo,2008).
Penurunan jumlah eritrosit dapat dijumpai pada anemia, peningkatan hemolisis,
kehilangan darah (perdarahan), trauma, leukemia, infeksi kronis, mieloma multiple, cairan
per intra vena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, dehidrasi berlebih, defisiensi
vitamin, malnutrisi, infeksi parasit, penyakit sistem endokrin, intoksikasi. Peningkatan
jumlah eritrosit dijumpai pada polisitemia vera, hemokonsentrasi/dehidrasi, penduduk yang
tinggal di dataran tinggi, dan penyakit kardiovaskuler. Nilai normaleritrosit pada pria
dewasa 4,5-6,5jt/mm3dan pada wanita dewasa 3,8-4,8jt/mm3(Riswanto, 2013).
b. Leukosit (Sel Darah Putih)
Leukosit disebut juga sel darah putih, sel ini memiliki inti tetapi tidak memiliki
bentuk sel yang tetap dan tidak berwarna. Mempunyai granula spesifik (granulosit), inti
bentuk bulat seperti ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : limfosit dan monosit.
Terdapat tiga jenis granuler: neutrofil, basofil, asidofil atau eosinofil yang dapat dibedakan
dengan afinitas .granula terhadap zat warna netral, basa dan asam (Efendi,2003).
Sel leukosit mempunyai peranan penting, leukosit menyediakan pertahanan yang
cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius yang mungkin ada. Peningkatan leukosit
dijumpai pada infeksi yang disebabkan bakteri maupun mikroba lain yang infeksius dan
toksik.Pada radangakut yang berperan yaitu netrofil dan monosit. Sedangkan yang radang
kronik yang berperan yaitu makrofag dan limfosit (Sadikin MH, 2003).Orang deawasa
darah tepi mempunyai jumlah leukosit antara 5000-10000 sel/mm3. Hitung jumlah leukosit
merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk menunjukkan adanya infeksi dan juga
dapat digunakan untuk mengikuti perkembangan penyakit tertentu. Dua metode
pemeriksaan leukosit yaitu manual atau otomatis (Zukesti, 2003).
Leukosit terdiri dari 2 kategori yaitu granulosit dan agranulosit.

6
a.Granulosit, yaitu sel darah putih yang di dalam sitoplasmanya terdapat granula-
granula. Granula-granula ini mempunyai perbedaan kemampuan mengikat warna misalnya
pada eosinofil mempunyai granula berwarna merah terang, basofil berwarna biru dan
neutrofil berwarna ungu pucat.
b.Agranulosit, merupakan bagian dari sel darah putih dimana mempunyai inti sel
satu lobus dan sitoplasmanya tidak bergranula. Leukosit yang termasuk agranulosit adalah
limfosit, dan monosit. Limfosit terdiri dari limfosit B yang membentuk imunitas humoral
dan limfosit T yang membentuk imunitas selular. Limfosit B memproduksi antibodi jika
terdapat antigen, sedangkan limfosit T langsung berhubungan dengan benda asing untuk
difagosit (Tarwoto, 2007).
Ada tidaknya granula dalam leukosit serta sifat danreaksinya terhadap zat warna,
merupakan ciri khas dari jenisleukosit. Selain bentuk dan ukuran, granula menjadi bagian
pentingdalam menentukan jenis leukosit (Nugraha, 2015).Dalam keadaan normal leukosit
yang dapat dijumpai menurut ukuran yang telah dibakukan adalah basofil, eosinofil,
neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan monosit. Keenam jenis sel tersebut berbeda
dalam ukuran, bentuk, inti, warna sitoplasma serta granula didalamnya (Mansyur,2015).
1. Neutrofil
Neutrofil berukuran sekitar 14 μm, granulanya berbentuk butiran halus tipis
dengan sifat netral sehingga terjadi percampuran warna asam (eosin) dan warna basa
(metilen biru), sedang pada granula menghasilkan warna ungu atau merah muda yang
samar (Nugraha 2015).Neutrofil berfungsi sebagai garis pertahanan tubuh terhadapzat
asing terutama terhadap bakteri. Bersifat fagosit dan dapat masuk ke dalam jaringan yang
terinfeksi. Sirkulasi neutrofil dalam darah yaitu sekitar 10 jam dan dapat hidup selama 1-4
hari pada saat berada dalam jaringan ekstravaskuler (Kiswari,2014).
Neutrofil adalah jenis sel leukosit yang paling banyak yaitusekitar 50-70% diantara
sel leukosit yang lain. Adadua macamnetrofil yaitu neutrofil batang (stab) dan neutrofil
segmen(polimorfonuklear) (Kiswari,2014). Perbedaan dari keduanya yaitu neutrofil batang
merupakan bentuk muda dari neutrofil segmensering disebut sebagai neutrofil tapal kuda
karena mempunyaiinti berbentuk seperti tapal kuda. Seiring dengan prosespematangan,
bentuk intinya akan bersegmen dan akan menjadineutrofil segmen. Sel neutrofil
mempunyai sitoplasma luas berwarna pink pucat dan granulahalus berwarna ungu

7
(Riswanto,2013). Neutrofil segmen mempunyai granula sitoplasma yang tampak tipis
(pucat), sering juga disebut neutrofil polimorfonuklear karena inti selnya terdiri atas 2-5
segmen (lobus) yangbentuknya bermacam-macam dan dihubungkan dengan benang
kromatin. Jumlah neutrofil segmen yaitu sebanyak 3-6, dan bila lebih dari 6 jumlahnya
maka disebut dengan neutrofil hipersegmen (Kiswari,2014).
2. Eosinofil
Eosinofil dalam tubuh yaitu sekitar 1-6%, berukuran 16 μm.Berfungsi sebagai
fagositosis dan menghasilkan antiboditerhadap antigen yang dikeluarkan oleh parasit.
Masa hidupeosinofil lebih lama dari neutrofil yaitu sekitar 8-12
jam(Kiswari,2014).Eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi pada eosinofil,granula
sitoplasma lebih kasar dan berwarna merahorange.Warna kemerahan disebabkan adanya
senyawa protein kation(yang bersifat basa) mengikat zat warna golongan anilin
asamseperti eosin, yang terdapat pada pewarnaanGiemsa.Granulanya sama besar dan
teratur seperti gelembungdan jarang ditemukan lebih dari 3 lobus inti. Eosinofil lebih
lamadalam darah dibandingkan neutrofil (Hoffbrand,dkk.2012).
Eosinofil akan meningkat jumlahnya ketika ditemukanpenyakit alergi, penyakit
parasitik, penyakit kulit, kanker, flebitis,tromboflebitis, leukemia mielositik kronik (CML),
emfisema danpenyakit ginjal. Sedangkan pada orang stres, pemberian steroidper oral atau
injeksi, luka bakar, syok danhiperfungsiadrenokortikal akan ditemukan jumlah eosinofil
yangmenurun (Riswanto,2013).
3. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnyayaitu kira-kira kurang
dari 2% dari jumlah keseluruhan leukosit.Sel ini memiliki ukuran sekitar 14 μm, granula
memiliki ukuranbervariasi dengan susunan tidak teratur hingga menutupinukleus dan
bersifat azrofilik sehingga berwarna gelap jikadilakukan pewarnaan Giemsa.Basofil
memiliki granula kasar berwarna ungu atau biru tuadan seringkali menutupi inti sel, dan
bersegmen. Warna kebiruandisebabkan karena banyaknya granula yang berisi
histamin,yaitu suatu senyawa amina biogenik yang merupakan metabolitdari asam amino
histidin Basofil jarang ditemukan dalam darah normal. Selama proses peradangan akan
menghasilkan senyawa kimia berupaheparin, histamin, beradikinin dan serotonin. Basofil

8
berperandalam reaksi hipersensitifitas yang berhubungan denganimunoglobulin E (IgE)
(Kiswari,2014).

4. Monosit

Jumlah monositkira-kira 3-8% dari total jumlah leukosit. Monosit memiliki dua
fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme (khusunya jamur dan bakteri) serta berperan
dalam reaksi imun (Kiswari,2014).Monosit merupakan sel leukosit yang memiliki ukuran
paling besar yaitu sekitar 18 μm, berinti padat dan melekuk seperti ginjal atau biji kacang,
sitoplasma tidak mengandung granula dengan masa hidup 20-40 jam dalam sirkulasi. Inti
biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Granula azurofil,
merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma
sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Aparatus Golgi
berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi
inti. Monosit terdapat dalam darah, jaringan ikat dan rongga tubuh. Monosit tergolong
fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor
pada permukaan membrannya (Effendi, 2003).

5. Limfosit

Limfosit adalah jenis leukosit kedua paling banyak setelahneutrofil (20-40% dari
total leukosit). Jumlah limfosit pada anak-anakrelatif lebih banyak dibandingkan jumlah
orang dewasa,dan jumlah limfosit ini akan meningkatbila terjadi infeksi virus.Berdasarkan
fungsinya limfosit dibagi atas limfosit B danlimfosit T. Limfosit B matang pada sumsum
tulang sedangkanlimfosit T matang dalam timus. Keduanya tidak dapat dibedakandalam
pewarnaan Giemsakarena memiliki morfologiyang samadengan bentuk bulat dengan
ukuran 12μm. Sitoplasma sedikitkarena semua bagian sel hampir ditutupi nukleus padat
dan tidak bergranula (Nugraha, 2015).

Limfosit B berasal dari sel stem di dalam sumsum tulang dantumbuh menjadi sel
plasma, yang menghasilkan antibodi. Limfosit T terbentuk jika sel stem dari sumsum
tulang pindahke kelenjar thymus yang akanmengalami pembelahandan pematangan.Di
dalam kelenjar thymus, limfosit T belajarmembedakan mana benda asing dan mana bukan

9
benda asing.Limfosit T dewasa meninggalkan kelenjar thymus dan masukke dalam
pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagiandari sistem pengawasan
kekebalan(Farieh, 2008).

c. Trombosit
Trombosit adalah fragmen sitoplasmamegakariosit yang tidak berinti dan terbentuk
di sumsum tulang. Trombosit matangberukuran 2-4 um, berbentuk cakram bikonkaf.
Setelah keluar sumsum tulang, sekitar 20-30% trombosit mengalami sekuestrasi di limpa
(Wulandari dan Zulaikah, 2012). Jumlah trombosit adalah 150.000-450.000 sel/mm3darah.
Masa hidupnya 8-10 hari, setelah itu keping darah akan dibawa ke limpa untuk
dihancurkan. Sisa-sisa sel tersebut akan dimakan oleh makrofag (Dharma AR dkk, 2011).
Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbatan mekanis selama respon
hemostatik normal terhadap luka vaskuler. Trombosit juga penting untuk mempertahankan
jaringan apabila terjadi luka. Trombosit ikut serta dalam usaha menutup luka, sehingga
tubuh tidak mengalami kehilangan darah dan terlindung dari benda asing. Trombosit
melekat (adhesi) pada permukaan asing terutama serat kolagen. Trombosit akan melekat
pada trombosit lain (agregasi). Selama proses agregasi terjadi perubahan bentuk trombosit
perubahan bentuk yang menyebabkan trombosit akan melepaskan isinya. Masa agregasi
trombosit akan melekat pada endotel, sehingga terbentuk sumbat trombosit yang dapat
menutup luka pada pembuluh darah, sedangkan sumbat trombosit yang stabil melalui
pembentukan fibrin (Sadikin MH, 2003).
d. Haemoglobin
Haemoglobin terdiri dari bahan yang mengandung besi yang disebut (heme) dan
protein globulin. Terdapat 300 molekul haemoglobin dalam setiap sel darah merah.
Haemoglobin merupakan zat protein yang kaya akan zat besi yang dinamakan conjugated
protein. Sebagai intinya Fe dengan protoporphyrin globulin (tetra phirin), menyebabkan
warna darah merah karena adanya Fe. Hemoglobin dinamakan juga zat warna merah.
Bersama-sama dengan eritrosit, hb, karbondioksida menjadi karboxyhemoglobin dan
warnanya menjadi merah tua. Darah arteri mengandung oksigen dan darah vena
mengandung karbondioksida (Corwin E J, 2000).

10
Fungsi dari hemoglobin sendiri adalah mengatur pertukaran oksigen dengan
karbondioksida didalam jaringan tubuh. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian
dibawa keseluruh tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar. Membawa karbondioksida dari
jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk dibuang (Kee J L,
2007).Nilai normal hemoglobin berbeda antara wanita dan pria. Laki-laki dewasa kadar
normal 13,5-17,0 g/dl, rentang normal pada perempuan adalah 12,0-15,0 g/dl . Apabila
wanita maupun pria mengalami penurunan jumlah hemoglobin maka pertanda anemia.
Menurut morfologi eritrosit didalam sediaan darah apus, anemia dapat digolongkan atas
tiga golongan yaitu anemia mikrositik hipokrom, anemia makrositik, dan anemia
normositik normokrom. Untuk mencari penyebab suatu anemia diperlukan pemeriksaan-
pemeriksaan lebih lanjut (Kay, 2007)).
Apabila kadar hemoglobin meningkat tergantung oleh lamanya reksia, juga
tergantung dari respon individu yang berbeda-beda. Kerja fisik yang berat juga dapat
menaikkan kadar hemoglobin. Mungkin ini disebabkan masuknya sejumlah eritrosit yang
tersimpan dalam kapiler-kapiler peredaran darah atau karena hilangnya plasma (Dharma,
2004).

II.3 Mekanisme Gangguan Hematologi


a. Leukimia
Leukemia adalah suatu penyakit keganasan pada sistem hematopoiesis yang
menyebabkan proliferasi sel darah yang tidak terkendali. Sel-sel progenitor dapat
berkembang pada elemen sel yang normal, karena peningkatan rasio proliferasi sel dan
penurunan rasio apoptosis sel. Hal ini menyebabkan gangguan dari fungsi sumsum
tulang sebagai pembentuk sel darah yang utama (Kliegman,2007).

Leukemia merupakan penyakit keganasan yang paling sering pada anakanak.


Diperkirakan sebanyak 41% dari seluruh penyakit keganasan pada anak yang berumur
kurang dari 15 tahun. Pada tahun 2002, tercatat sekitar 2500 anak dibawah umur 15
tahun didiagnosa dengan leukemia di Amerika. Insidensi sebesar 4,5 kasus per 100.000
anak(Greer J.P,2003) Leukemia limfoblastik akut terhitung sebanyak 77% kasus
leukemia pada anak. Leukemia mieloblastik akut sekitar 11%, leukemia mieloblastik

11
kronik sekitar 2-3%, dan leukemia mieloblastik kronik juvenil sekitar 1-2%(American
Cancer Society,2012).

a) Klasifikasi Leukimia
Berdasarkan maturasi sel dan asal sel, leukemia dapat di klasifikasikan
sebagai berikut:
1. Leukemia Akut
Leukemia akut adalah suatu proses proliferasi dari sumsum tulang yang
immature. Sel-sel ini dapat melibatkan darah pada daerah tepi dan juga
organ-organ padat. Persentase yang di temukan pada penegakan diagnosa
leukemia akut berkisar 30% atau lebih(AbdulHamid G,2011).
a. Leukemia limfoblastik akut
Leukemia limfoblastik akut adalah leukemia yang paling sering
terjadi pada anak-anak. Diperkirakan sejumlah 30% dari kanker anak-
anak. Data yang diperoleh dari The National Cancer Institute`s
surveillance, Epidemiology, and End Result (SEER) menyatakan bahwa
leukemia limfoblastik akut pada anak-anak terjadi sebanyak 26 anak
/1.000.000 pertahun di Amerika serikat(Greer J.P, 2003).
Leukemia mieloblastik akut
Leukemia mieloblastik akut adalah suatu keganasan hematologi yang
ditandai dengan pembentukan dan penyebaran dari sel myeloid yang
muda(Greer J.P, 2003).
2. Leukemia kronik
Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai
proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau terjadi
karena keganasan hematologi.
a. Leukemia Mieloblastik kronik (LMK)
LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan
produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.
LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang
dewasa usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang
dinamakan kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95% penderita
12
LMK. Sebagian besar penderita LMK akan meninggal setelah
memasuki fase akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi
berlebihan sel muda leukosit, biasanya berupa mieloblas/promielosit,
disertai produksi neutrofil, trombosit dan sel darah merah yang amat
kurang(Greer J.P, 2003).
b. Leukemia Limfoblastik kronik (LLK)
LLK adalah suatu keganasan klonal limfosit B (jarang pada limfosit
T). Perjalanan penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi
progresif yang berjalan lambat dari limfosit kecil yang berumur panjang.
LLK cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang
individu yang berusia 50 sampai 70 tahun dengan perbandingan 2:1
untuk laki-laki dan perempuan(Greer J.P, 2003).
b) Patofisiologi
Leukemia terjadi dari proses mutasi tunggal dari sel progenitor pada sistem
hematopoiesis yang meneyebabkan sel mampu untuk berproliferasi secara tidak
terkontrol yang dapat menjadi suatu keganasan dan sel prekursor yang tidak
mampu berdiferensiasi pada sistem hematopoiesis(American Cancer
Society,2012).
Pada leukemia, terjadi keganasan sel darah pada fase limphoid, mieloid,
ataupun pluripoten. Penyebab dari hal ini belum sepenuhnya diketahui. Namun
diduga berhubungan dengan perubahan susunan dari rantai DNA. Faktor
eksternal juga dinilai mempengaruhi seperti bahan-bahan obat bergugus alkil,
radiasi, dan bahan-bahan kimia. Sedangkan faktor internal, yaitu kromosom
yang abnormal dan perubahan dari susunan DNA(Wu,2010).
Perubahan susunan dari kromosom mungkin dapat mempengaruhi struktur
atau pengaturan dari sel-sel onkogen. Leukemia pada sel limfosit B terjadi
translokasi dari kromosom pada gen yang normal berproliferasi menjadi gen
yang aktif untuk berproliferasi. Hal ini menyebabkan limfoblas memenuhi
tubuh dan menyebabkan sumsum tulang gagal untuk berproduksi dan akhirnya
menjadi pansitopenia(Wu,2010).

13
Seiring sumsum tulang gagal, sel-sel yang abnormal bersirkulasi dalam
tubuh dan masuk ke organ-organ lain, seperti hati, limpa, dan mata. Gangguan pada
sistemik ini menyebabkan perubahan pada kadar hematologi tubuh, terjadi infeksi
oportunistik, iatrogenik karena komplikasi dari kemoterapi(Wu,2010).

c) Etiologi dan Faktor risiko leukemia


Etiologi dari leukemia akut masih tidak diketahui. Namun diketahui ada
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi, yaitu:
1. Radiasi dan zat ionisasi
2. Bahan-bahan kimia (contohnya, benzene penyebab LMA)
3. Obat-obatan (contohnya, penggunaan bahan-bahan bergugus alkil pada
terapi kombinasi radiasi dapat menyebabkan LMA) (Lanzkowsky P,
2011)
d) Berdasarkan genetika seseorang, ada beberapa faktor yang diduga
mempengaruhi:
1. Kembar identik- apabila anak kembar yang pertama didiagnosa leukemia
pada 5 tahun pertama, maka risiko untuk anak kembar kedua meningkat
menjadi 20% didiagnosa leukemia.
2. Kejadian leukemia pada saudara yang didiagnosa leukemia akan meningkat
sebanyak 4 kali lipat dibandingkan pada populasi umum.
3. Gangguan pada kromosom:
Trisomy 21 (Down Syndrome) memiliki risiko 95% untuk mengalami
leukemia. Bloom syndrome memiliki risiko 8% untuk mengalami leukemia.
Anemia fanconi memiliki risiko 12% untuk mengalami leukemia. (Lanzkowsky
P, 2011). Berdasarkan penelitian Buffler P.A,et al, 2005, faktor risiko dari
penyakit leukemia terdiri atas:
1. Paparan dari pekerjaan orang tua Setelah sekitar lebih kurang 3 dekade
penelitian yang dilakukan, maka hubungan paparan dari pekerjaan orang tua
masih belum jelas. Awalnya hal ini diduga dari paparan hidrokarbon yang
ada dalam pekerjaan orang tua, contohnya adalah pegawai pom bensin yang
sering terpapar langsung dengan asap kendaraan tanpa menggunakan
masker.
14
2. Polusi udara Polusi udara yang dapat menjadi pemicu terjadinya leukemia
ada beberapa seperti anak perokok pasif dari orang tua yang merokok. Hal
ini masih menjadi perdebatan apakah memiliki hubungan sebab-akibat yang
jelas atau tidak. Kemudian bahan dari turunan benzena. Benzena telah
terbukti menjadi suatu faktor risiko yang besar untuk terjadi leukemia.
Benzena dapat kita temukan pada makanan, pabrik perindustrian, dan
kosmetik yang digunakan.
3. Pestisida, merupakan suatu bahan yang digunakan untuk membunuh hama,
serangga, jamur, dan lain-lain. Pada penelitian ditemukan terdapat
hubungan terhirupnya pestisida melalui udara pada saluran nafas anak dapat
menyebabkan leukemia pada anak.
4. Radiasi Radiasi merupakan suatu bahan yang di gunakan sebagai proses
imaging dari seorang ibu yang hamil. Pada penelitian ini ditemukan
hubungan sebab akibat paparan radiasi dari alat prosedur diagnostik
menyebabkan leukemia.
5. Pasien anak yang immunocompromise Pada pasien yang mengalami
transplantasi organ, maka akan terjadi penurunan dari sistem imunitas
tubuh. hal ini telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya leukemia pada
anak(American Cancer Society, 2012).
e) Gejala klinis
Gejala klinis yang terjadi pada leukemia pada anak disebabkan kurangnya
sel darah yang normal, karena berlebihannya sel darah normal yang membentuk
sel darah baru pada sumsum tulang belakang. Akibatnya anak tidak memiliki sel
darah merah, sel darah putih, dan platelet yang cukup. Hal-hal tersebut dapat
diketahui pada pemeriksaan darah, namun dapat juga menyebabkan suatu gejala.
Adapun beberapa tanda dan gejala yang ditimbulkan pada anak dengan leukemia
adalah: (American Cancer Society, 2012):
1. Lemah dan kulit yang pucat
Tanda-tanda ini merupakan tanda anemia(kurangnya sel darah merah).
Hal ini menyebabkan anak merasa lemah, lelah, pusing, dan nafas yang

15
pendek. Hal ini juga dapat menyebabkan kulit menjadi pucat(American
Cancer Society, 2012).
2. Infeksi dan demam
Gejala yang sering ditimbulkan leukemia pada anak adalah demam. Hal
ini sering disebabkan infeksi, bahkan hal ini tidak berpengaruh setelah
diberikan antibiotik sekalipun(American Cancer Society, 2012).
3. Mudah berdarah
Pada penderita leukemia sering terjadi mimisan,gusi berdarah, dan
bahkan perdarahan besar pada luka gores yang kecil. Pada kulit terlihat
bercak-bercak kemerahan yang disebabkan perdarahan pada pembuluh
darah yang kecil. Hal ini disebabkan karena kurangnya platelet normal yang
berfungsi memberhentikan perdarahan(American Cancer Society, 2012).
4. Nyeri pada tulang atau sendi
Nyeri pada tulang dan sendi disebabkan penumpukan sel-sel darah
muda pada tulang ataupun sendi(American Cancer Society, 2012). 2.6.5.
Perut yang membesar Gejala yang jelas terlihat adalah hepatomegali dan
spleenomegali. Hal ini terjadi karena penumpukan sel-sel leukemia
menumpuk pada limpa dan hati(American Cancer Society, 2012).
5. Penurunan selera makan,
Penurunan berat badan Gejala penurunan selera makan dan penurunan
berat badan disebabkan pembesaran dari organ pada abdomen penderita.
Sehingga banyaknya makanan yang bisa masukpun juga
berkurang(American Cancer Society, 2012).
6. Kelenjar limph yang membengkak
Sel-sel leukemia dapat menyebar pada kelenjar limph. Hal ini
menyebabkan terlihat pembengkakan pada leher, ketiak, atau tempat
lainnya. Untuk mengetahui penyebab pasti biasanya dilakukan
biopsi(American Cancer Society, 2012).

16
7. Batuk atau gangguan bernafas
Sel T limfosit pada leukemia juga melibatkan kelenjat timus yang
berada di belakang sternum dan di depan trakea. Pembesaran dari kelenjar
limph dapat menyebabkan batuk(American Cancer Society, 2012).
8. Nyeri kepala, kejang, muntah
Pada leukemia, terjadi penyebaran ke seluruh tubuh. Nyeri kepala yang
di timbulkan karena sel-sel leukemia telah menyebar hingga otak. Selain
itu pandangan kabur juga menjadi gejala leukemia yang menyebar hingga
sistem saraf pusat(American Cancer Society, 2012).
9. Ruam,
Masalah gusi Pada penderita leukemia mieloblastik akut terjadi
pembesaran gusi karena sel-sel leukemia menyebar pada gusi(American
Cancer Society, 2012).
10. Kelemahan pada alat gerak
Gangguan ini jarang ditemukan. Namun hal ini terjadi karena
penumpukan sel-sel leukemia yang sangat banyak pada
exxtremitas(American Cancer Society, 2012).
b. Anemia
Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin
atau hematokrit di bawah normal (Brunner & Suddarth, 2000:22). Anemia adalah suatu
keadaan dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari nilai normal (Emma, 1999).
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah
dari harga normal yaitu bila Hb < 14 g/dL dan Ht < 41%, pada pria atau Hb < 12 g/dL
dan Ht < 37% pada wanita (Mansjoer, 1999).
Klasifikasi anemia dibagi menjadi 5 yaitu Anemia mikrositik hipokrom (anemia
defisiensi besi, anemia penyakit kronis), Anemia makrositik (defisiensi vitamin B12,
defisiensi asam folat), Anemia karena perdarahan, Anemia hemolitik, Anemia aplastik
(Mansjoer, 1999). Secara umum anemia di bagi menjadi :

17
1. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi
dalam darah. Pengobatan anemia zat besi dilakukan dengan cara pemberian asupan Fe
yang cukup. Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dilakukan
dengan anamnesa (Proverawati dan Asfuah, 2009). Hasil anamnesa didapatkan keluhan
cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan keluhan mual dan muntah pada
hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan minimal 2 kali
selama kehamilan yaitu trimester I dan III. Hasil pemeriksaan Hb dengan sahli dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Hb 11 g% : tidak anemia
2. Hb 9-10 g% : anemia ringan
3. Hb 7-8 g% : anemia sedang
4. Hb < 7 g% : anemia berat (Proverawati dan Asfuah, 2009).
2. Anemia megaloblastik
Anemia ini disebabkan karena defisiensi asam folat (ptery glutamic acid) dan
defisiensi vitamin B12 (cyanocobalamin) walaupun jarang (Proverawati dan Asfuah,
2009).
3. Anemia hipoplastik dan aplastik
Anemia disebabkan karena sumsum tulang belakang kurang mampu membuat sel-
sel darah baru (Proverawati dan Asfuah, 2009).
4. Anemia hemolitik
Disebabkan oleh karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat
daripada pembuatannya. Menurut penelitian, ibu hamil dengan anemia paling banyak
disebabkan oleh kekurangan zat besi (Fe) serta asam folat dan vitamin B12. Pemberian
makanan atau diet pada ibu hamil dengan anemia pada dasarnya ialah memberikan
makanan yang banyak mengandung protein, zat besi (Fe), asam folat, dan vitamin B12
(Proverawati dan Asfuah, 2009).
a) Penyebab Anemia
1. Pada umumnya masyarakat Indonesia (termasuk remaja putri) lebih banyak
mengkonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit,

18
dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan zat
besi tidak terpenuhi
2. Remaja putri biasanya ingin tampil langsing, sehingga membatasi asupan
makanan
3. Setiap hari manusia kehilangan zat besi 0,6 mg yang diekskresi, khusunya
melalui feses (tinja)
4. Remaja putri mengalami haid setiap bulan, di mana kehilangan zat besi ±1,3
mg per hari, sehingga kebutuhan zat besi lebih banyak dari pada pria (Tarwoto
et al, 2010).
b) Patofisiologi Anemia
Anemia terjadi jika produksi hemoglobin sangat berkurang sehingga kadarnya
di dalam darah menurun. World Health Organization (WHO) merekomendasikan
sejumlah nilai cut off untuk menentukan anemia karena defisiensi zat besi pada
berbagai kelompok usia, jenis kelamin, dan kelompok fisiologis. Meskipun
sebagian besar anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi, namun peranan
penyebab lainnya (seperti anemia karena defisiensi folat serta vitamin B12 atau
anemia pada penyakit kronis) harus dibedakan (WHO, 2010). Menurut Gibney
(2009), deplesi zat besi dapat dipilah menjadi tiga tahap dengan derajat keparahan
yang berbeda dan berkisar dari ringan hingga berat.
1. Tahap pertama meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai
berdasarkan penurunan feritin serum. Meskipun tidak disertai konsekuensi
fisiologis yang buruk, namun keadaan ini menggambarkan adanya
peningkatan kerentanan dan keseimbangan besi yang marginal untuk jangka
waktu lama sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi yang berat ( Gibney,
2009).
2. Tahap kedua ditandai oleh perubahan biokimia yang mencerminkan
kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Pada keadaan ini
terjadi penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan protoporfirin
eritrosit, dan peningkatan jumlah reseptor transferin serum (Gibney, 2009).
3. Tahap ketiga defisiensi zat besi berupa anemia. Pada anemia defisiensi zat
besi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dl (Gibney, 2009).

19
Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut Hidremia
atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan
dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah.
Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18%
dan hemoglobin 19% Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai
sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara
32 dan 36 minggu. Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu
meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan.
Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena
perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dan
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada
trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan
meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterm serta
kembali normal 3 bulan setelah partus (Setiawan, 2005).
c) Manifestasi Klinis
Tanda-tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat,
takikardi, sakit dada, dyspnea, nafas pendek, cepat lelah, pusing, kelemahan,
tinitus, penderita defisiensi yang berat mempunyai rambut rapuh dan halus, kuku
tipis rata mudah patah, atropi papila lidah mengakibatkan lidah tampak pucat,
licin, mengkilat, merah daging meradang dan sakit (Guyton, 1997). Manifestasi
klinis anemia besi adalah pusing, cepat lelah, takikardi, sakit kepala, edema mata
kaki dan dispnea waktu bekerja. (Gasche, 1997).
c. Myelomia
Plasmacytoma adalah keganasan sel plasma yang memiliki karakteristik proliferasi
otonom dari sel plasma (Sharma, 2006). Keganasan ini dapat bermanifestasi sebagai
myeloma diffus dengan keikutsertaan sistemik (plasma cell myeloma atau multiple
myeloma), monoclonal gammopathy of undetermined significance (MGUS), atau
sebagai varian dari plasma cell myeloma seperti indolent myeloma, smoldering
myeloma, osteosclerotic myeloma, plasma cell leukaemia dan non-secretory myeloma
(Wei, 2003). Multiple myeloma (MM) adalah tumor ganas sel plasma yang
mensekresikan paraprotein monoklonal. Angka kejadian MM sebesar 10 % dari

20
keganasan hematologi, dengan insiden 5,5 kasus per 100.000 populasi. Usia median
diagnosis pada usia 70 tahun dan hanya 3,4% dari kasus didiagnosis antara usia 35-44
tahun (Sharma, 2006).
Myelomia multipel adalah kanker sel plasma yang membentuk tumor bebrapa
lokasi pada lebih dari satu tulang. Normal nya sel plasma terutama ditemukan di
sumsum tulang dan berperan penting dalam sistem imun atau kekebalan tubuh sebagai
penghasil antibodi (imunoglobin) (Seiter, 2011).
a) Faktor Resiko
1. Usia
Kemungkinan mengidap MM semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Kurang dari 1% kasus ditemukan pada usia kurang dari usia 15 tahun,
kebanyakan penderita terdiagnosa pada usia lebih dari 65 tahun.
2. Jenis Kelamin
Lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibanding perempuan.
3. Ras
Lebih sering ditemukan pada ras kulit hitam
4. Radiasi
Paparan radiasi akan meningkatkan kejadian myelomia
5. Genetik
Jika terdapat saudara sekandung atau orang tua yang mengidap myelomia,
maka kemungkinan untuk mengidap myelomia meningkat sebanyak 4 kali
lipat.
6. Paparan Kerja
Orang-orang yang bekerja agrikulture terutama yang menggunakan herbisida
dan insektisida maupun yang berkeja di industri petrokimia memiliki resiko
lebih besar mengidap multiplet myelomia. Paparan lama (lebih dari 20 tahun)
terkait erat dengan peningkatan resiko multiplet myelomia
7. Infeksi
Virus HPV yang menyerang sel dendrit pada susmsum tulang ditemukan pada
pasien dengan multiplet myelomia

21
8. Obesitas
Obesitas meningkatkan resiko multiplet myelomia (American cancer society,
2011).
b) Patofisiologi Myelomia
Myelomia berawal dari dalam sel. Myelomia dimulai ketika sel plasma menjadi
abnormal. Sel-sel abnormal membelah dirinya sendiri secara terus menerus.
Perkembangan sel plasma maligna merupakan suatu proses multi langka,
dawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan
sel plasma maligna, adanya perkembangan dilingkungan makro sum-sum
tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol penyakit.
Multi langka ini melibatkan didalamnya aktivasi onkogen seluler, hilangnya
atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin keluhan
dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran mass tumor, kinetik
pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologi dan humoral produk
yang dibuat dan sekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain pada protein dan
faktor pengaktivasi osteo klastik. Patofisiologi dasar dari penampakan klinis
yang ditimbulkan oleh Multiplet Myelomia adalah sebagai berikut :
a. Sistem skeletal
Perombakan tulang oleh osteoplas serta mekanisme humoral akan
meningkatkan jumlah kalsium dalam darah. Isolatid plasma sitoma (yang
menjangkit 2-10% pasien) akan menyebabkan hiperkalesmia melalui
produksi dari osteoclap-activating-faktor.
b. Sistem hematologi
Multipet Myelomia akan menempati 20% populasi tulang sehingga
menekan produksi sel-sel darah penyebab timbulnya neutropenia, anemia,
dan trombosittopenia. Dalam hal pendarahan, monoclonal antibodi yang
dihasilkan multiplet myelomia dapat berinteraksi dengan faktor
pembekuan, sehingga terjadi agregasi yang tidak sempurna.
c. Sistem Renal

22
Multiple myelomia menyebabkan cidera pada tubulas ginjal, amiloidosis,
atau invasi dari plasma sitoma. Kondisi kerusakan ginjal yang diamati
anatara lain neuropatik rantai utama amiloidosis, dan glomorulosklerosis.
d. Sistem Neurologi
Kelainan pada sistema nerfosa merupakan akibat dari radikulopatik dan atau
kompresi jaras dan destruksi tulang.
e. Proses umum
Proses patofisiologi umum termasuk sindrom hiperviskositas. Sindrom ini
jarang terjadi pada kasus multiple myelomia dan melibatkan igG1,igG3 dan
igA pengendapan di kapiler dapat menghasilkan purpura pedarahan retina,
pepiledema, iskemia, koroner, iskemia SSP. Iskemia SSP dapat
menimbulkan gejala seperti kebingungan, vertigo, kejang.
Cryoglobulenimea dapat menyebabkan fenomena rainoud, trombosis dan
gangrene pada kaki (Seiter, 2011).

d. Malaria
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit (protozoa) dari
genus Plasmodium sp, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles sp.
Istilahmalariadiambil dari dua kata bahasa Italia, yaitu mal (=buruk) dan area (=udara)
atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang
mengeluarkan bau busuk (Prabowo, 2004).
a) Patofisiologi Malaria
Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk Anopheles spbetina
menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh
darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan
sebagian kecil sisanya akan mati didarah. Di dalam sel parenkim hati mulailah
perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erytrocytes schizogony).
Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk Plasmodium falciparumdan 15
hari untuk Plasmodium malariae. Setelah sel parenki hati terinfeksi, terbentuk
sizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke sirkulasi
darah. Pada P. vivax dan ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk

23
hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan
menyebabkanterjadinya relaps pada malaria (Sudoyo, 2009).
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan
masuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. vivaxreseptor ini berhubungan
dengan faktor antigen Duffy Fyaatau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan
golongan darah Duffynegatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor unutk
Plasmodium falciparum diduga suatu glycophorins, sedangkan pada Plasmodium
malariae dan Plasmodium ovale belum diketahui. Dalam waktukurang dari 12 jam
parasit berubah menjadi bentuk ring, pada Plasmodium falciparummenjadi bentuk
stereo –headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi
sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam
metabolismenya membentuk pigment yang disebut hemozoin yang dapat dilihat
secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding
berubah lonjong, pada Plasmodiumfalciparum dinding eritrosit membentuk
tonjolan yang disebut knobyang nantinya penting dalam proses cytoadherencedan
rosetting. Setelah 36 jam invasi kedalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont,
dan bila sizont pecah akan mengeluarkan 6 –36 merozoit dan siap menginfeksi
eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax,dan Plasmodium ovale ialah 48 jam dan pada Plasmodiummalariaeadalah 72
jam (Sudoyo, 2009).
Di dalam darah betina sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan
betina, dan bila nyamuk menghisap darah manuasia yang sakit akan terjadi siklus
seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan

akan terbentuk zygotedan menjadi lebih bergerak menjadi ookinetyang menembus


dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk oocyst yang akan menjadi
masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk
dan siap menginfeksi manusia (Sudoyo, 2009).

b) Manifestasi Klinis
Keluhandantandaklinis,merupakan petunjuk yang penting dalam diagnosa
malaria.Gejala klinisinidipengaruhioleh jenis atau strainPlasmodium sp,

24
imunitas tubuh dan jumlahparasit yang menginfeksi.Waktu mulai terjadinya
infeksi sampai timbulnya gejala klinis dikenal sebagai waktu
inkubasi,sedangkan waktu antara terjadinya infeksi sampai ditemukannya
parasitdalam darahdisebut periode prepaten.Menurut Gejala klasik malaria yang
umum terdiri dari tiga stadium (trias malaria) yaitu:
a. Periode dingin
Mulai dari menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering
membungkus diri dengan selimut dan pada saat menggigil sering seluruh
badan bergetar dan gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang
kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan
meningkatnya temperatur.
b. Periode panas
Penderita berwajah merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas
badan tetap tinggi dapat mencapai 400C atau lebih, respirasi meningkat,
nyeri kepala, terkadang muntah-muntah, dansyok. Periodeini lebih lama
dari fase dingin, dapat sampai dua jam atau lebih diikuti dengan keadaan
berkeringat.
c. Periode berkeringat
Mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperaturturun,
lelah, dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan
dapat melaksanakan pekerjaan seperti biasa Didaerah dengantingkat
endemisitas malaria tinggi, sering kali orang dewasa tidak menunjukkan
gejala klinis meskipun darahnya mengandung parasit malaria.Hal
inimerupakan imunitasyang terjadi akibat infeksi yang berulang-ulang.
Limpa penderita biasanya membesar pada serangan pertama yang berat atau
setelah beberapa kali serangan dalam waktu yang lama. Bila dilakukan
pengobatan secara baik maka limpa akan berangsur-berangsur mengecil.
Keluhan pertama malariaa dalah demam, menggigil, dan dapat disertai sakit
kepala, mual,muntah,diare dannyeri ototatau pegal-pegal.Untukpenderita
tersangka malaria berat,dapatdisertaisatuataulebihgejala berikut:gangguan
kesadaran dalam berbagaiderajat, kejang-kejang, panassangattinggi,mata

25
atau tubuh kuning, perdarahan dihidung, gusi atau saluran pencernaan, nafas
cepat,muntah terus-menerus,tidak dapat makan minum,warna air seniseperti
the tua sampai kehitaman sertajumlah air seni kurangsampai tidak ada
(Harijanto, 2010).

II. 4 Faktor Koagulasi dan Jalur Kaskade

Sistem koagulasi terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik melibatkan faktor


pembekuan darah yang merupakan protein plasma. Secara skematik proses ini mirip
fenomena air terjun (waterfall) atau seperti tangga (cascade), proses awal pembentukan
trombus merah adalah pada daerah yang abnormal karena respon pembuluh darah
dilakukan oleh lintasan intrinsik. Pembentukan bekuan fibrin sebagai respon cidera
jaringan dilakukan oleh lintasan ekstrinsik. Lintasan intrinsik dan ekstrinsik menyatu
dalam final common pathway (lintasan akhir bersama) yang melibatkan aktivasi
protrombin menjadi trombin dan pemecahan fibrinogen yang dikatalisasi oleh trombin
untuk membentuk bekuan fibrin. Secara umum protein yang terlibat dalam kaskade
koagulasi diklasifikasikan menjadi zimogen yang bergantung pada serin dan menjadi bentuk
aktif dalam proses koagulasi, kofaktor, fibrinogen, transglutaminase yang menstabilkan
bekuan fibrin dan protein pengatur (regulasi) serta sejumlah protein lainnya (Murray and
Margareth, 2003).

Gambar 2.1 Skema kaskade koagulasi secara singkat (Murray and Margareth, 2003).

26
Terlihat pada gambar faktor VII mengalami kontak dengan tissue factor (TF),
terbentuk faktor VII aktif (VIIa) yang mengaktifkan faktor X dan faktor IX (melalui titik-
titik berwarna biru). Kompleks faktor VIIa dan IVa akan memperkuat pembentukan faktor
Xa dari X. Pembentukan trombin dari protrombin oleh kerja faktor Va mengakibatkan
terbentuknya fibrin, trombin juga mengaktifkan faktor XI ( garis putus biru) (Murray and
Margareth, 2003).

Fungsi faktor-faktor pembekuan darah (Murray and Margareth, 2003)

Zimogen protease serin

Faktor XII Berikatan pada kolagen yang terpapar pada


tempat luka dinding pembuluh darah,
diaktifkan oleh kininogen berat molekul
tinggi dan kalikrein

Faktor XI Diaktifkan oleh Faktor XIIa

Faktor IX Diaktifkan oleh factor XIa dengan adanya


Ca+

Faktor VII Diaktifkan oleh thrombin dengan adanya


Ca2+

Faktor X Diaktifkan pada permukaan trombosit aktif


oleh komplek protrombinase (Ca2+, factor
VIIIa dan IXa) dan oleh factor VIIa dengan
adanya faktor jaringan serta Ca2+

Faktor II Diaktifkan pada permukaan trombosit aktif


oleh kompleks protrombinase (Ca2+, faktor
Va dan Xa). ( faktor II, VII, IX dan X)

27
Kofaktor

Faktor VIII Diaktifkan oleh trombin, faktor VIIIa


merupakan kofaktor dalam aktivasi
protrombin oleh faktor Xa

Faktor V Diaktifkan oleh trombin; faktor Va


merupakan kofaktor dalam aktivasi
protrombin oleh faktor Xa

Faktor Jaringan (Faktor III) Sebuah protein yang terpapar pada


permukaan sel-sel endotel yang sudah
terangsang, yang membutuhkan fospolipid
untuk bekerja sebagai kofaktor untuk faktor
VII

Fibrinogen

Faktor I Dipecah oleh thrombin sehingga terbentuk


bekuan fibrin.

Transglutaminase yang tergantung tiol

Faktor XIII Diaktifkan oleh trombin dengan adanya


Ca2+ menstabilkan bekuan fibrin melalui
ikatan silang kovalen.

28
Protein pengatur dan protein lain

Protein C Diaktifkan menjadi protein Ca dengan


pengikatan thrombin menjadi trombomodulin;
kemudian pecah menjadi factor VIIa dan Va

Peotein S Bekerja sebagai kofaktor protein C; baik


protein yang mengandung residu Gia (γ-
karboksiglutamat)

Trombomodulin Protein pada permukaan sel-sel endotelial


mengikat trombin yang kemudian
mengaktifkan protein C

Fibrinolisis merupakan sistem yang diatur secara terintegrasi dengan sistem


koagulasi melalui beberapa jalur molekuler. Jalur-jalur tersebut berupa substrat, aktivator,
inhibitor, kofaktor dan reseptor. Aktivasi koagulasi akan membentuk trombin, yang
menghasilkan pembentukan trombus oleh konversi fibrinogen menjadi fibrin dan aktivasi
trombosit. Plasmin adalah protease fibrinolitik utama. Plasminogen (PLG) merupakan
zymogen yang beredar di dalam plasma, dapat diubah menjadi plasmin oleh Tissue
Plasminogen Activator (tPA) maupun oleh Urokinase (UPA) ( Maus and Hajjar, 2005).

29
Gambar 2.2. Skema dari sistem fibrinolitik (Payel, 2009)

Terlihat pada gambar 2.2, plasminogen activators, tissue plasminogen activator (tPA)
and urokinase plasminogen activator (UPA), membelah ikatan Arg560-Val561 dari plasminogen
untuk menghasilkan enzim plasmin aktif. Lysine-binding sites dari plasmin (dan plasminogen)
memungkinkannya untuk mengikat fibrin, sehingga fibrinolisis fisiologis merupakan “fibrin
specific”. Kedua plasminogen (melalui lysine binding sites) dan TPA memiliki afinitas khusus
terhadap fibrin. Terbentuk fibrin degradation product (FDP) merupakan bentukan fibrin yang
terdegradasi oleh plasmin. Setiap plasmin bebas membentuk suatu komplesk α2-antiplasmin
(α2Pl) (Konkle, 2010). Sistem hemostasis mengontrol pembentukan trombin aktif atau trombosis
melalui mekanisme umpan balik sehingga menghasilkan keseimbangan antara aktivasi dan
inhibisi (Bakta, 2001; Rahayuningsih, 2007).
Pada penderita trombosis terjadi status hiperkoagubilitas. Keadaan ini menyebabkan
lambatnya aliran darah yang merupakan faktor risiko terjadinya trombosis. Penurunan anti
trombin (AT) salah satu faktor hemostasis dalam tubuh, berperan dalam terjadinya trombosis.
Fungsi AT adalah menetralkan trombin, VIIa, IXa, XIa dan XIIa. Jika terjadi penurunan aktivitas
trombin, maka faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak dapat dinetralkan sehingga cenderung
terjadi trombosis. Peningkatan berbagai faktor pembekuan juga berperan untuk terjadinya
trombosis, dintaranya fibrinogen, FV, VII, VIII dan X. Masuknya tromboplastin jaringan ke
dalam pembuluh darah menyebabkan aktivasi sistem pembekuan darah (Rahayuningsih, 2007).

30
Sebagian praktisi klinis mengganggap bahwa kaskade jalur koagulasi tersebut terlalu
lemah untuk digunakan sebagai konsep fisiologis dikarenakan bahwa jalur intrinsik dan
ekstrinsik tidak bisa terjadi secara independen. hal tersebut juga diperkuat dari studi sebelumnya
yang menyatakan bahwa bukan hanya faktor pembekuan darah saja yang berperan, namun sel
juga turut serta dalam proses koagulasi tersebut. Proses koagulasi yang normal tidak mungkin
terjadi tanpa adanya tissue factor (TF) pada sel. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh
keikutsertaan sel dalam proses pembekuan darah, peneliti mengajukan model koagulasi darah
dimulai dari proses yang terjadi di permukaan sel (Rahayuningsih, 2007).
II.5 Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna
dalam pengambilan keputusan klinik mulai dari pemilihan obat, penggunaan obat hingga
pemantauan efektivitas dan keamanan, Apoteker memerlukan hasil pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan tersebut dibutuhkan sebagai pertimbangan dalam penggunaan obat, penentuan
dosis, hingga pemantauan keamanan obat. Oleh karena itu, Apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam interpretasi data laboratorium, khususnya
yang terkait penggunaan obat, yaitu pemahaman nilai normal dan implikasi perubahannya
(Menkes RI, 2011). Suatu uji laboratorium akan bernilai hasilnya jika mempengaruhi diagnosis,
prognosis atau terapi, memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses penyakit dan
memberikan rekomendasi terkait penyesuaian dosis (Menkes RI, 2011).
a. Leukimia
Tes darah yang dilakukan diambil dari vena pada lengan atau dari jari tangan perifer.
Pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat kadar hematologi pasien. Pemeriksaan apusan
darah tepi juga dilakukan untuk melihat morfologi dari sel darah. Pada pasien dengan
leukemia, akan ditemukan sel darah putih yang sangat banyak dibandingnkan sel darah
merah dan platelet yang sedikit (American Cancer Society, 2012).
b. Anemia
Apus darah tepi merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan
anemia yang biasa dilakukan. Pemeriksaan apus darah tepi memberikan informasi penting
tentang sifat anemia dan merupakan alat penting dalam diagnosis banding dan indikasi
pemeriksaan yang diperlukan lebih lanjut, diagnosis cepat karena infeksi spesifik tertentu,

31
dan merupakan peran utama untuk diagnosis banding anemia (WHO. Worldwide Prevalence
of Anaemia. WHO, 2008). Pemeriksaan diagnostik pada anemia adalah:
Pemeriksaan darah sederhana dapat menentukan adanya anmia. Presentase sel darah
merah dalam volume darah total (hematokrit) dan jumlah hemoglobin dalam suatu contoh
darah bisa ditentukan. Pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari hitung jenis darah
komplit (CBC).
1. Jumlah darah lengkap (JDL) di bawah normal (hemoglobin, hematokrit dan SDM).
2. Feritin dan kadar besi serum rendah pada anemia defisiensi besi.
3. Kadar B12 serum rendah pada anemia pernisiosa.
4. Tes Comb direk positif menandakan anemia hemolitik autoimun.
5. Hemoglobin elektroforesis mengidentifikasi tipe hemoglobin abnormal pada penyakit sel
sabit.
6. Tes schilling digunakan untuk mendiagnosa defisiensi vitamin B12 (Engram, 1999).

c. Myelomia
Multiple myeloma adalah keganasan sel plasma yang keterlibatan epitel jaringan, tumor
atau komponen tumor. ditandai oleh proliferasi sel plasma yang bersifat ganas di Selain itu
juga untuk mengidentifikasi metastase dalam sum-sum tulang (Middela, 2009). Tumor
multiple myeloma karsinoma di limfonodi, sumsum tulang atau pada potong merupakan
tumor ganas yang paling umum ditemukan beku dengan immunohistokimia. Pada kasus ini
primer pada tulang (sekitar 27 % dari hasil biopsi tumor pemeriksaan sitokeratin negatif
sehingga dapat tulang) (Middela, 2009).
1. Pada pemeriksaan laboraterium biasanya terdapat anwmia dengan gambaran
nonmokronnormositik atau makrositik (Hb 7-10 g/dl) pembentukan rouleaux menonjol
pda sebagian besar kasus
2. Pemeriksaan leukosit umumnya normal kecuali pada 50% kasus ditemukan neutropenia
dengan limfositosis relative. Sel plasma abnormal nampak dalam film darah pada 15%
pasien. Trombosit umumnya juga dalam batas normal meskipun trombositopenia
mungkin dapat terjadi
3. Laju endapan eritrosit atau LED tinggi, akan tetapi bila terjadi krioglobulin, nilainya akan
menjadi nol.

32
4. Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 (T helper limfosit) dan peningkatan CD8
(T supresor limfosit).
5. Kunci dari pemeriksaan diagnostik adalah elektroforesis serum dan imunoelektroforesis
yang merupakan pemeriksaan darah untuk menemukan dan menentukan antibodi
abnormal yang merupakan tanda khas dari myelomia multipel. Antibodi ini ditemukan
pada sekitar 85% penderita (Wallach, 1996).

d. Malaria
Tes Laboraterium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di
Puskesmas/lapangan/ rumah sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:
1. Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif)
2. Spesies dan stadium plasmodium.
3. Kepadatan parasit.
4. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT perlu dibaca
petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT tidak digunakan
untuk mengevaluasi pengobatan.
Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan
minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium (WHO,
2015):
1. Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3)
2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
3. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distres pernafasan
5. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik <80 mm Hg (pada
anak: <70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal

33
9. Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%
Gambaran laboratorium :
1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk endemis sedang-rendah),
pada dewasa Hb<7gr% atau hematokrit <15%)
4. Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di daerah endemis
rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di daerah endemis tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%) (Depkes RI, 2017).

34
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Hematologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ pembentuk
darah dan penyakitnya. Bagian-bagian Dari Darah antara lain : Eritrosit (Sel Darah Merah),
Leukosit (Sel Darah Putih), trombosit, dan haemoglobin. Pada leukemia, terjadi keganasan sel
darah pada fase limphoid, mieloid, ataupun pluripoten. Penyebab dari hal ini belum sepenuhnya
diketahui. Namun diduga berhubungan dengan perubahan susunan dari rantai DNA. Patofisiologi
Anemia antara lain : Tahap pertama meliputi berkurangnya simpanan zat besi yang ditandai
berdasarkan penurunan feritin serum, Tahap kedua ditandai oleh perubahan biokimia yang
mencerminkan kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal, Tahap ketiga
defisiensi zat besi berupa anemia. Patofisiologi dasar dari penampakan klinis yang ditimbulkan
oleh Multiplet Myelomia adalah sebagai berikut : Sistem skeletal, sistem hematologi, sistem
renal dan sistem neurologi. Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
(protozoa) dari genus Plasmodium sp, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
sp. Sistem koagulasi terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik melibatkan faktor pembekuan darah
yang merupakan protein plasma. Secara skematik proses ini mirip fenomena air terjun (waterfall)
atau seperti tangga (cascade), proses awal pembentukan trombus merah adalah pada daerah yang
abnormal karena respon pembuluh darah dilakukan oleh lintasan intrinsik. Pembentukan bekuan
fibrin sebagai respon cidera jaringan dilakukan oleh lintasan ekstrinsik. Pemeriksaan
laboratorium rutin dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna dalam pengambilan
keputusan klinik mulai dari pemilihan obat, penggunaan obat hingga pemantauan efektivitas dan
keamanan, Apoteker memerlukan hasil pemeriksaan laboratorium.
III.2 Saran

Mengingat makalah ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan
adanya kritik serta saran dari pembaca untuk menjadikan makalah dapat bermanfaat bagi
pembaca dan menambah pengetahuan bagi yang membaca.

35
DAFATR PUSTAKA

Abdul-Hamid G. 2011. Classification of Acute Leukemia. The Scientist`s. Perspective and


Challenge.

Al-Refaie,A., Wu, T., dan Li, M., 2010, An Effective Approach For Solving The Multi-
Response, Problem in Tongue Methode, Jordan Journal of Mechanical and
Industrial Engineering, Vol. 4,Number 2, pp 314-323

American Cancer Society. (2012). Cancer Facts and Figures 2012. Atlanta: American
Cancer Society

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna
Publishing. A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss, Kapita Selekta Hematologi
Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2005: 221, 295

Alderman, Kay. (2004). Motivation for Achievement : Posibilities for Teacing and
Learning. London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher

Brunner & Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J.2000. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta.

Darda, AM. 2009. Karakteristik Permukiman diWilayah Pinggiran Kota Jakarta Tenggara
Tahun 1991-2007. Depok. UI

Depkes RI. 2007. Keputusan Mentri Kesehatan RI No: 900/MENKES/VII/2007. Konsep


Asuhan Kebidanan. Jakarta.

Depkes RI. Buku saku penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Jakarta: Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI; 2017.

Dharma, 2004, Metodologi Penelitian Keperawatan Panduan Melaksanakan dan


Menerapkan Hasil Penelitian. Trans Info Media. Jakarta.

36
Dharma, Kusuma Kelana (2011), Metodologi Penelitian Keperawatan : Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian, Jakarta, Trans Info Media

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

Engram, Barbara, 1999. Rencana asuhan keperawatan medikal bedah, Volume 3. Alih
Bahasa Suharyati Samba. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Gibney, M.J., et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC. P.

Greer JP FJ, Lukens JN. Wintrobe's Clinical Hematology Edisi Ke-11. New York:
Lippincolt Williams & Willkins Publishers,2003. Hlm 528-87

Handayani, W dan Haribowo, A.S 2008. “Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Hematologi”. Salemba medika: Jakarta.

Harijanto,PN., 2010. Malaria. Dalam Ilmu Penyakit Dalam 4th ed. A.W. Sudoyo. FKUI
Press. Jakarta.

Haryani. 2014. Alasan Tidak Diberikannya Asi Ekslusif Oleh Ibu Bekerja di Kota
Mataram Nusa Tenggara Barat. Thesis terpublikasi

Kee, J.L. (2007). Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Edisi 6. Jakarta :
EGC

Kementerian Kesehatan RI., 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Dalam: Buletin


Jendela Data dan Informasi Kesehatan edisi I.1: 1-16.

Kiswari, R. 2014. Hematologi & Transfusi. Jakarta. Erlangga

Kosasih, E.N dan A.S Kosasih. 2008. Tafsiran Hasil pemeriksaan Laboratorium Klinik
edisi kedua. Karisma Publishing Group : Tangerang

37
Lanzkowsky, P, 2011. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Fifth Edition.
Elsevier USA, 518-549

Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI

Middela S and Kanse P. Non Secretory Multiple Cytodiagnosis of Multiple Myeloma


Presenting as Myeloma. Indian Journal of Orthopaedics. 2009; 43(4): 408–411.

Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi,
diterjemahkan oleh Widianto, M.B., dan Ranti, A.S., Edisi Kelima, Penerbit
ITB, Bandung.

Nugraha, Gilang (2015). Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar. Jakarta:


CV Trans Info Medika

Prabowo, A. 2004. Malaria Mencegah & Mengatasinya. Jakarta: Puspa Swara.

Proverawati, A. & Asfuah S., Siti. 2009. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Nuha Medika.
Yogyakarta.

Rahayuningsih , Edia dan Djoko Dwiyanto, 2005, Pembelajaran di Laboratorium,


Yogyakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Gadjah Mada

Sadikin MH, 2002. Biokimia Darah Edisi ke-1. Jakarta: Penerbit Wijaya Medika.

Seiter K. 2011. Multiple Myeloma. http//emedicine.medscape.com (14 Agustus 2015)

Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Sagung Seto.

Wallach J. Interpretation of Diagnostic Tests. 6th ed. Boston: Little Brown and Company, 1996,
398.

World Health Organization. World Malaria Report 2014; Switzerland; WHO; 2015.p.32-40

World Health Organiztion, 2014. Global Malaria Programe: Status Report on Artemisinin
Resistance January 2014 . WHO Press. Geneva Switzerland.

38
Zukesti Effendi, 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam Darah.
Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

39

Anda mungkin juga menyukai