Disusun Oleh
Kelomok 10
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) yang telah melimpahkan rahmatnya serta memberikan perlindungan dan
kesehatan, sehingga kami dapat menyusun makalah dengan judul “Konsep Keperawatan
Anak Dalam Konteks Keluarga”. Dimana makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah keperawatan Anak. Kami sebagai penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama
penyusunan makalah ini kami banyak menemui kesulitan di karenakan keterbatasan referensi
dan keterbatasan kami sendiri. Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang kami miliki,
maka kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya.
Dalam kesempatan ini tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini. Sebagai manusia kami menyadari
bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah
ini dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………….
2
1.4 Manfaat ……………………………………………………………………………...
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep tumbuh kembang anak mulai neonatus sampai remaja dan
permasalahannya..3
2.2 Pengukuran dan permasalahannya: SDIDTK, Denver, Vineland, Sex Education,
Anticipatory Guidance, Toilet Training……………………………………………….
9
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan…………………………………………………………………………...... 21
3.2 Saran………………………………………………………………………………… 21
DAFTAR PUSTAKA
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara alamiah, setiap individu hidup akan melalui tahap pertumbuhan dan
perkembangan, yaitu sejak embrio sampai akhir hayatnya mengalami perubahan ke arah
peningkatan baik secara ukuran maupun secara perkembangan. Istilah tumbuh kembang
mencakup dua peristiwa yang sifatnya saling berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit
dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pengertian mengenai pertumbuhan
dan perkembangan adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi tingkat
sel organ, maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pon, kilogram),
ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium
dan nitrogen tubuh) (Adriana, 2013).
Perkembangan (development) adalah bertambahnya skill (kemampuan) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses
diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistem organ yang
berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi
dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2012). Pertumbuhan dan perkembangan secara
fisik dapat berupa perubahan ukuran besar kecilnya fungsi organ mulai dari tingkat sel
hingga perubahan organ tubuh. Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak dapat
dilihat dari kemampuan secara simbolik maupun abstrak, seperti berbicara, bermain,
berhitung, membaca, dan lain-lain.
1. Bagaimana konsep tumbuh kembang anak mulai neonatus sampai remaja dan
permasalahannya ?
2. Bagaimana pengukuran dan permasalahannya: SDIDTK, Denver, Vineland, Sex
Education, Anticipatory Guidance, Toilet Training?
1
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
Penulis dapat mengetahui apa saja konsep tumbuh kembang anak mulai neonatus
sampai remaja dan permasalahannya, pengukuran dan permasalahannya : SDIDTK,
Denver, Vineland, Sex Education, Anticipatory Guidance, Toilet Training.
2. Bagi Pembaca
Pembaca dapat mengetahui apa saja konsep tumbuh kembang anak mulai neonatus
sampai remaja dan permasalahannya, pengukuran dan permasalahannya : SDIDTK,
Denver, Vineland, Sex Education, Anticipatory Guidance, Toilet Training.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Tumbuh Kembang Anak Mulai Neonatus Sampai Remaja Dan
Permasalahannya
2.1.1 Pengertian Tumbuh Kembang
Secara alamiah, setiap individu hidup akan melalui tahap pertumbuhan dan
perkembangan, yaitu sejak embrio sampai akhir hayatnya mengalami perubahan ke
arah peningkatan baik secara ukuran maupun secara perkembangan. Istilah tumbuh
kembang mencakup dua peristiwa yang sifatnya saling berbeda tetapi saling
berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pengertian
mengenai pertumbuhan dan perkembangan adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi
tingkat sel organ, maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram,
pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan
metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Adriana, 2013).
Perkembangan (development) adalah bertambahnya skill (kemampuan) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat
diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses
diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistem organ yang
berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2012).
Pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dapat berupa perubahan ukuran
besar kecilnya fungsi organ mulai dari tingkat sel hingga perubahan organ tubuh.
Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak dapat dilihat dari kemampuan secara
simbolik maupun abstrak, seperti berbicara, bermain, berhitung, membaca, dan lain-
lain.
4
kedua orang tuanya sehingga kecenderungan untuk meniru tingkah laku orang
dewasa disekitarnya.
Pada masa usia prasekolah anak mengalami proses perubahan dalam
pola makan dimana pada umunya anak mengalami kesulitan untuk makan.
Proses eliminasi pada anak sudah menunjukkan proses kemandirian dan
perkembangan kognitif sudah mulai menunjukkan perkembangan, anak sudah
mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah (Hidayat, 2008).
a. Masa sekolah
Perkembangan masa sekolah ini lebih cepat dalam kemampuan fisik dan
kognitif dibandingkan dengan masa usia prasekolah.
b. Masa remaja
Pada tahap perkembangan remaja terjadi perbedaan pada perempuan dan
laki-laki. Pada umumnya wanita 2 tahun lebih cepat untuk masuk ke dalam
tahap remaja/pubertas dibandingkan dengan anak laki-laki dan
perkembangan ini ditunjukkan pada perkembangan pubertas.
5
laki-laki. Akan tetapi setelah melewati masa pubertas, pertumbuhan anak laki-
laki akan lebih cepat.
e. Genetik
Genetik (heredokonstitusional) adalah bawaan anak yaitu potensi anak yang
akan menjadi ciri khasnya. Ada beberapa kelainan genetik yang berpengaruh
pada tumbuh kembang anak, contohnya seperti kerdil.
f. Kelainan kromosom
Kelainan kromosom umumnya disertai dengan kegagalan pertumbuhan seperti
pada sindroma Down’s dan sindroma Turner’s.
g. Faktor eksternal
Berikut ini adalah faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada tumbuh
kembang anak.
2. Faktor prenatal
a. Gizi
Nutrisi ibu hamil terutama pada trimester akhir kehamilan akan memengaruhi
pertumbuhan janin.
b. Mekanis
Posisi fetus yang abnormal bisa menyebabkan kelainan kongenital seperti
club foot.
c. Toksin/zat kimia
Beberapa obat-obatan seperti Aminopterin atau Thalidomid dapat
menyebabkan kelainan kongenital seperti palatoskisis.
d. Endokrin
Diabetes mellitus dapat menyebabkan makrosomia, kardiomegali, dan
hyperplasia adrenal.
e. Radiasi
Paparan radiasi dan sinar Rontgen dapat mengakibatkan kelainan pada janin
seperti mikrosefali, spina bifida, retardasi mental, dan deformitas anggota
gerak, kelainan kongenital mata, serta kelainan jantung.
f. Infeksi
Infeksi pada trimester pertama dan kedua oleh TORCH (Toksoplasma,
Rubella, Citomegali virus, Herpes simpleks) dapat menyebabkan kelainan
pada janin seperti katarak, bisu tuli, mikrosefali, retardasi mental, dan
6
kelainan jantung kongenital.
g. Kelainan imunologi
Eritoblastosis fetalis timbul atas dasar perbedaan golongan darah antara
janin dan ibu sehingga ibu membentuk antibody terhadap sel darah merah
janin, kemudian melalui plasenta masuk ke dalam peredaran darah janin dan
akan menyebabkan hemolysis yang selanjutnya mengakibatkan
hiperbilirubinemia dan kerniktus yang akan menyebabkan kerusakan
jaringan otak.
h. Anoksia embrio
Anoksia embrio yang disebabkan oleh gangguan fungsi plasenta
menyebabkan pertumbuhan terganggu.
i. Psikologi ibu
Kehamilan yang tidak diinginkan serta perlakuan salah atau kekerasan
mental pada ibu hamil dan lain-lain.
3. Faktor persalinan
Komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, asfiksia dapat
menyebabkan kerusakan jaringan otak
4. Faktor pasca persalinan
a. Gizi
Untuk tumbuh kembang bayi, diperlukan zat makanan yang adekuat.
b. Penyakit kronis atau kelainan kongenital
Tuberculosis, anemia, dan kelainan jantung bawaan mengakibatkan retardasi
pertumbuhan jasmani.
c. Lingkungan fisik dan kimia
Lingkungan yang sering disebut melieu adalah tempat anak tersebut hidup
berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak (provider). Sanitasi
lingkungan yang kurang baik, kurangnya sinar matahari, paparan sinar
radioaktif dan zat kimia tertentu (Pb, Merkuri, rokok, dan lain-lain)
mempunyai dampak yang negatif terhadap pertumbuhan anak.
d. Psikologis
Hubungan anak dengan orang sekitarnya. Seorang anak yang tidak dikehendaki
oleh orang tuanya atau anak yang selalu merasa tertekan, akan mengalami
hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangan.
7
e. Endokrin
Gangguan hormon, misalnya pada penyakit hipotiroid, akan menyebabkan
anak mengalami hambatan pertumbuhan.
f. Sosioekonomi
Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan serta kesehatan
lingkungan yang jelek dan tidaktahuan, hal tesebut menghambat pertumbuhan
anak.
g. Lingkungan pengasuhan
Pada lingkungan pengasuhan, interaksi ibu-anak sangat memengaruhi tumbuh
kembang anak.
h. Stimulasi
Perkembangan memerlukan rangsangan atau stimulasi, khususnya dalam
keluarga, misalnya penyediaan mainan, sosialisasi anak, serta keterlibatan ibu
dan anggota keluarga lain terhadap kegiatan anak.
i. Obat-obatan
Pemakaian kortikosteroid jangka panjang akan menghambat pertumbuhan,
demikian halnya dengan pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf
yang menyebabkan terhambatnya produksi hormon pertumbuhan.
8
berkomunikasi, mengikuti perintah dan sebagainya.
4. Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan selesai
bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya, dan sebagainya.
9
Anak umur > 1–3 tahun = 3 bulan sekali
Anak umur > 3–6 tahun = 6 bulan sekali
B. Denver
DDST adalah sebuah metode pengkajian yang digunakan secara luas untuk
menilai kemajuan perkembangan usia0-6 tahun. DDST adalah salah satu metode
screening terhadap kelainan perkembangan anak Tes ini bukanlah tes diagnostik atau
tes IQ.(Soetjiningsih, 1998). DDST terdiri dari item-item tugas perkembangan yang
sesuai dengan usia anak mulai dari usia 0-6 tahun. Item-item tersebut tersusun dalam
formulir khusus yang terbagi dalam 4 sektor yaitu :
Sektor personal sosial adalah penyesuaian diri di masyarakat dan kebutuhan
pribadi.
Sektor motorik halus yaitu koordinasi tangan kemampuan memainkan dan
menggunakan benda-benda kecil serta pemecahan masalah.
Sektor bahasa adalah mendengar,mengerti menggunakan bahasa.
Sektor motorik kasar adalah duduk,berjalan,dan melakukan gerakan otot besar
lainnya.
Manfaat DDST
Manfaat DDST tergantung padau muranak. Pada bayi tes ini dapat mendeteksi
berbagai masalah neurologi seperti serebral palsi. Padaa nak tes ini dapat
membantu meringankan permasalahan akademik dan social.
Denver II dapat berguna untuk berbagai tujuan sebagai berikut :
• Menilai tingkat perkembangan anak sesuai dengan umurnya.
• Menilai tingkat perkembangan anak yang tampak sehat.
• Menilai tingkat perkembangan anak yang tidak menunjukkan gejala
kemungkinan adanya kelainan perkembangan.
• Memastikan dan memantau anak yang diduga mengalami kelainan
perkembangan.
• Mengetahui berbagai masalah perkembangan yang memerlukan pengobatan
atau konseling genetic Adriana Dian,(2011).
10
C. Vineland
Vineland Sosial Maturity Scale ,yaitu sebuah tes yang digunakan untuk
mengukur dan mengungkapkan derajat tingkat kematangan anak. Tes ini diberikan
kepada anak usia 0-12 tahun dengan tujuan untuk mencari kematangan sosial anak.
Dalam tes ini terdapat poin-poin yang dapat mengungkapkan kematangan sosial :
Self General
Self Direction
Ocupation
Locomotion
Socialitation
communication
Skala maturitas dari Vineland ini menjadi 8 kategori sebagai berikut :
1) Self-help general (SHG) : eating and dressing oneself Mampu menolong
dirinya sendiri: makan dan berpakaian sendiri.
2) Self-help eating (SHE) the child can feed himself Mampu makan sendiri.
3) Self-help dressing (SHD : the child can dress himself Mampu berpakaian
sendiri.
4) Self-direction (SD) : the child can spend money and assume responsibilities
Mampu memimpin dirinya sendiri : misalnya mengatur keuangannya dan
memikul tanggung jawab sendiri.
5) Occupation (O) : the child does things for himself, cuts things, uses a
pencil, and transfer objects Mampu melakuka pekerjaan untuk dirinya,
menggunting, menggunakan pensil, memindahkan benda-benda.
6) Communication (C) : the child talks, laughs, and reads Mampu
berkomunikasi seperti berbicara, tertawa, dan membaca
7) Locomotion (L) : the child can move about where he want to go Gerakan
motorik : anak mampu bergerak kemanapun ia inginkan.
8) Socialization (S): the child seeks the company of others, engages in play,
and competes.Mampu bersosialisasi : berteman, terlibat dalam permainan
dan berkompetisi.
D. Sex Education
Pendidikan seks didefinisikan sebagai pendidikan mengenai anatomi organ
11
tubuh yang dapat dilanjutkan pada reproduksi seksualnya dan akibat-akibatnya bila
dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum,agama,dan adat istiadat,serta kesiapan
mental dan material seseorang.
1. Tujuan Sex Education Memiliki tujuan yang berbeda :
Pada usia balita,tujuannya adalah untuk memperkenalkan organ seks yang
dimiliki,seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya,termasuk menjelaskan fungsi
serta cara melindunginya.
Untuk usia sekolah mulai 6-10 tahun bertujuan memahami perbedaan jenis kelamin
(laki-laki dan perernpuan), menginformasikan asal-usul manusia, membersihkan
alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit.
Sedangkan usia menjelang remaja, pendidikan seks bertujuan untuk menerangkan
masa pubertas dan karakteristiknya,serta menerima perubahan dari bentuk tubuh
.
E. Anticipatory Guidance
Pedoman untuk pencegahan terhadap hal-hal yang terjadi pada perawatan anak
termasuk pencegahan terhadap masalah yang terjadi pada keluarga dalam penerimaan
bayi barunya sesuai dengan kriteri ausia dan perkembangannya.
1. Konsep Anticipatory Guidance
Usia anak-anak dapat mengalami trauma disetiap tahap perkembangan
mereka, misalnya ketakutan yang tidak jelas pada anak- anak usia prasekolah
yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak. Dalam upaya
untuk memberikan bimbingan dan arahan pada masalah-masalah yang
kemungkinan timbul pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangan anak, ada
petunjuk-petunjuk yang perlu dipahami oleh orang tua. Orang tua dapat
membantu untuk mengatasi masalah anak pada setiap fase pertumbuhan dan
perkembangannya dengan cara yang benar dan wajar (Hasinuddin & Fitriah,
2010).
13
adaptasi terhadap perubahan ini, terutama pada ibu yang tinggal dirumah/tidak
bekerja. Anak mulai masuk taman kanak- kanak dan ibu mulai membutuhkan
kegiatan-kegiatan di luar keluarga, seperti keterlibatannya di masyarakat atau
mengembangkan karier. Bimbingan terhadap orang tua pada masa ini adalah
sebagai berikut:
a) Usia 3 Tahun
Menyiapkan orang tua untuk meningkatkan minat anak dalam hubungan
yang luas.
Menganjurkan orang tua untuk mendaftarkan anak ke taman kanak-kanak.
Menekankan pentingnya batas-batas/tata cara/peraturan-peraturan.
Menyiapkan orang tua untuk mengantisipasi tingkah laku yang berlebihan
dalam hal ini akan menurunkan ketegangan (tension).
Menganjurkan orang tua untuk menawarkan kepada anaknya alternatif-
alternatif pilihan ketika anak dalam keadaan bimbang.
Memberi gambaran perubahan pada usia 3,5 tahun ketika anak kurang
koordinasi motorik dan emosional, menjadi tidak aman, menunjukkan
emosi yang ekstrim, dan perkembangan tingkah laku seperti gagap.
Menyiapkan orang tua untuk mengekspestasi tuntutan-tuntutan ekstra
perhatian terhadap mereka sehingga refleksi dan emosi tidak aman dan
ketakutan kehilangan cinta.
Mengingatkan kepada orang tua bahwa keseimbangan pada usia tiga tahun
akan berubah ke tingkah laku agresif di luar batas pada usia empat tahun.
Mengantisipasi selera makan menetap dengan lebih luas dalam pemilihan
makanan.
b) Umur 4 Tahun
Menyiapkan orang tua terhadap perilaku anak yang agresif termasuk
aktivitas motorik dan bahasa yang mengejutkan.
Menyiapkan orang tua menghadapi perlawanan anak terhadap kekuasaan
orang tua.
Kaji perasaan orang tua sehubungan dengan tingkah laku anak.
Menganjurkan beberapa macam istirahat dari pengasuh utama seperti
menempatkan anak pada taman kanak-kan untuk sebagian harinya.
Menyiapkan meningkatkan rasa ingin tahu seksual
14
Menekankan batas-batas yang realistis dari tingkah laku.
Mendiskusikan disiplin
Menyiapkan orang tua meningkatkan imajinasi usia empat tahun yang
memperturutkan kata hatinya dalam “tinggi bicaranya” (bedakan dengan
kebohongan) dan kemahiran anak dalam permainan yang membutuhkan
imajinasi.
Menyarankan pelajaran berenang.
Menjelaskan perasaan-perasaan Oedipus dan reaksi-reaksinya.
Anak laki-laki biasanya lebih dekat dengan ibunya dan anak perempuan
dekat dengan ayahnya. Oleh karena itu, anak perlu dibiasakan tidur
terpisah dengan orang tuanya.
F. Toilet Training
Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar
mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil atau buang air besar. Toilet
training secara umum dapat dilaksanakan pada setiap anak yang sudah mulai
memasuki fase kemandirian pada anak. Fase ini biasanya pada anak usia 18-24 bulan.
Dalam melakukan toilet training ini, anak membutuhkan persiapan fisik, psikologis
maupun intelektualnya. Dari persiapan tersebut anak dapat mengontrol buang air
besar dan buang air kecil secara mandiri (Hidayat, 2005 dalam Lestari, 2013).
1. Tindakan Ibu yang Berkaitan dengan Toilet Training
Ibu merupakan tokoh sentral yang akan berperan sebagai pendidik pertama dan
15
utama dalam keluarga sehingga ibu harus menyadari untuk mengasuh anak secara
baik dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Dalam melakukan toilet
training, pengetahuan ibu sangat diperlukan. Pengetahuan yang kurang
menyebabkan orang orang tua memiliki sikap negatif dalam melatih toilet training
seperti memarahi dan menyalahkan anak saat buang air kecil atau besar di celana,
bahkan ada orang tua yang tidak pernah memberikan toilet training pada anaknya
(Denada & Nazriati, 2015).
Cara latihan toilet training Menurut (Maidartati, 2018) pada anak toddler merupakan
suatu hal yang harusdilakukan pada orang tua anak, mengingat dengan latihan itu di
harapkan anakmempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air kecil
dan buang airbesar tanpa merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan
mengalamipertumbuhan dan perkembangan sesuai tumbuh kembang anak. Banyak
cara yangdilakukan oleh orang tua dalam melatih anak untuk buang air besar dan
buang airkecil, di antaranya:
16
dan kebutuhannya untuk memicu munculnya respon positif. Respon positif ini
berupa perilaku mengikuti instruksi, berusaha pergi ke toilet ketika akan BAK,
upaya bantu diri dalam perilaku BAK di toilet, dan upaya mengkomunikasikan
keinginan BAK baik secara verbal maupun nonverbal. Metode DTT banyak
digunakan pada pembelajaran untuk anak autistik. Metode ini merupakan metode
yang sangat penting untuk pembelajaran bagi anak autistik(Koerniandaru, 2016).
Teknik Oral seperti memberikan pengetahuan dengan penyuluhan pada ibu
meliputi kesiapan balita, usia balita, dan metode yang tepat untuk pelaksanaan
toilet training serta melakukan pelatihan seperti menggunakan pispot yang
memberikan perasaan aman pada anak. Apabila pispot tidak tersedia, anak dapat
duduk atau jongkok di atas toilet dengan bantuan. Perkuat toilet training dengan
memotivasi anak untuk duduk pada pispot atau closed duduk dan jongkok dalam
jangka waktu 5 sampai 10 menit.
Metode Bazelton, strategi ini didasarkan pada pedoman “pasif”, di samping
kematangan fisiologis anak, pelatihan harus ditunda sampai anak menunjukkan
minat dan kemampuan psikososial untuk memulai pelatihan. Strategi ini
dirancang untuk meminimalkan konflik dan kecemasan anak serta menekankan
pentingnya fleksibilitas. Pelatihan harus dilakukan dengan cara yang relatif
lembut dan dengan keyakinan bahwa anak akan belajar pergi ke kamar mandi
sendirian, pada waktu yang tepat.
Metode pelatihan eliminasi dini, metode ini kurang dikenal dalam masyarakat.
Metode ini dimulai selama minggu-minggu pertama kehidupan, menggunakan
strategi pengamatan tanda-tanda eliminasi yang berasal dari bayi. Setelah tanda-
tanda ini dikenali oleh ibu (atau pengasuh), bayi diletakkan diatas pispot,
sementara bayi dipegang oleh ibu/pengasuh. Strategi ini saat ini digunakan oleh
bebrapa komunitas di Cina, India, Afrika, Amerika Selatan dan Tengah, dan
bagian Eropa.
Metode Spock, metode ini muncul sebelum metode Bazelton. Metode ini
menggunakan strategi dengan tidak memaksa anak dalam melakukan toilet
training.
3. Hal-Hal yang Di Perhatikan Dalam Latihan Toilet Training
Mengajari anak menggunakan toilet adalah sebuah proses yang membutuhkan
kesabaran, pengertian, kasih sayang dan persiapan. Mengajari cara buang air paling
17
mudah adalah ketika anak sudah merasa siap melaksanakan tahapan ini dan dia mau
bekerja sama. Memulai sebelum anak siap hanya akan mengundang masalah dan
sering menyebabkan kecelakaan dalam pemakaian toilet. Mengompol dan buang air
besar dicelana biasanya merupakan akibat dari ketidakmampuan anak mengenali
dorongan untuk pergi ke toilet atau mengatur otot-otot pelepasan. Ini bukan usaha
untuk melawan atau tanda ketidakpatuhan. Tampaknya anak juga akan frustasi jika
dia tidak dapat melakukan seperti yang diharapkan (Rahayunigsih & Rizky, 2013).
Belajar menggunakan toilet tidak bisa dilakukan sampai anak mampu dan ingin.
Anak harus belajar mengenali kebutuhan tersebut, belajar menahan air besar atau
kecil sampai dia berada di toilet, dan kemudian melepaskannya. Kebanyakan anak
tidak siap baik secara fisiologis maupun psikologis untuk mencapai tahap tersebut
paling tidak pertengahan tahun kedua. Sebagian besar anak, tanpa memperhatikan
waktu dimulainya usaha berlatih menggunakan toilet, mampu melakukannya dengan
benar pada usia dua setengah hingga tiga tahun. Semakin awal melatihnya bukan
berarti akan lebih cepat berhasil, tetapi mengulur-ulur proses tersebut juga akan
memberi kesempatan timbulnya konflik (Rahayunigsih & Rizky, 2013).
Perilaku ibu dalam penerapan toilet training adalah ketika anak sudah mampu
melakukan toilet training dengan benar ibu memberikan imbalan berupa pujian,
makanan, atau benda yang disenangi oleh anak. Imbalan tersebut sebagai konsekuensi
dan penguatan atas perilaku positif anak dalam penerapan toilet
training(Koerniandaru, 2016).
4. Dampak Masalah Toilet Training
Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya
perlakuan atau aturan yang ketat dari orang tua kepada anaknya yang dapat
mengganggu kepribadian anak yang cenderung bersifat retentive dimana anak
cenderung bersifat keras kepala. Hal ini dapat terjadi apabila orang tua sering
memarahi anak pada saat buang air kecil atau buang air besar saat bepergian karena
sukar mencari toilet. Bila orang tua santai dalam memberikan dalam memberikan
aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian eksprensif
dimana anak cenderung ceroboh, emosional dan seenaknya dalam melakukan
kegiatan sehari-hari (Elsera, 2016).
5. Faktor Pendukung Toilet Training
Seorang anak mungkin akan kesulitan untuk memahamu cara menggunakan
18
perkakas toilet pada awal toilet training. Oleh karena itu, apabila dilakukan
pengalihan dari penggunaan popok ke penggunaan toilet, terlebih dahulu dilakukan
dengan alat bantu berupa toilet mini menurut (Murhadi & Almanar, 2019):
1. Peragakan cara penggunaan toilet. Kemudian anak dibiasakan duduk di toilet
dengan menggunakan popok saat akan BAB dan BAK. Sehingga setelah tiba
waktunya untuk menggunakan toilet, anak sudah mengenal toilet dan cukup
paham mengenai cara penggunaannya.
2. Sesuaikan ukuran toilet. Ukuran toilet yang biasanya ada di rumah dan tempat-
tempat lain adalah ukuran yang disesuaikan berdasarkan tinggi dan berat badan
orang dewasa. Maka ada kecenderungan bahwa toilet berukuran jauh lebih besar
dari yang dibutuhkan anak. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan
meletakkan penyangga, kursi toilet, maupun mengganti dudukan toilet menjadi
ukuran yang sesuai dengan anak.
3. Gunakan kursi toilet. Kursi atau bangku toilet digunakan sebagai panjatan anak
menuju toilet yang tinggi dan sebagai pijakan saat duduk di toilet. Hal ini
menjaga keamanan anak jika sedang tidak diawasi dan perasaan mengendalikan
diri sendiri yang dimiliki seorang anak.
4. Jaga kebersihan. Untuk menjaga keseimbangannya saat BAB dan BAK, ada
kemungkinan seorang anak akan menggunakan tangannya sebagai tumpuan pada
toilet. Maka dalam hal ini, toilet harus dibersihkan terlebih dahulu dengan
menggunakan antikuman. Selain itu anak harus dibiasakan untuk mencuci tangan
dan berdiri dengan pijakan bangku.
5. Jangan paksakan pelatihan pada anak jika anak belu siap atau masih ketakutan
menghadapi toilet. Hal ini akan berakibat pada tidak optimalnya perlatihan toilet
tersebut. Pada keadaan ini, gunakan toilet mini sebagai alternatif pilihan.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, atau dimensi
tingkat sel organ, maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram,
pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan
metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Adriana, 2013).
Pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak dapat dilihat dari kemampuan
secara simbolik maupun abstrak, seperti berbicara, bermain, berhitung, membaca,
dan lain-lain. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku
sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 2012).
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat bersifat membangun bagi
pembaca pada umumnya. Dan penulis juga menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan
untuk menyempurnakan makalah ini.
20
DAFTAR PUSTAKA
Adriana. D. (2013). Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak.Jakarta: Selemba
Medika.
Batuatas, T. &. (2012). Pengaruh peran ibu dengan keberhasilan toilet training pada anak
usiatoddler di play group tarabbiyatul shibiyan mojoanyr mojokerto. Jakarta: EGC
Elsera, C. 2016. Tingkat Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap Ibu dalam Toilet
Training pada Toddler. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia. Vol 4, no 1, hal 35-38
Lauren, S. (2011). Ensiklopedia Perkembangan Anak, alih bahasa Lukman Andrian dan
Cahyani Insawati. Jakarta : Erlangga.
Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak dan Permasalahannya dalam Buku Ajar I Ilmu
Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta :Sagungseto .Pp 86-90
21