Anda di halaman 1dari 10

PERAN PERAWAT JIWA, KOLABORASI INTERDISIPLIN DALAM

KEPERAWATAN JIWA, DAN PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA PADA


SITUASI BENCANA

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh :

Kelompok IX

Andreas Y Nugroho 30120118003 K

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

BANDUNG

2019

1
A. Peran Perawat Jiwa

Peran perawat dalam kesehatan jiwa, antara lain:


1. Pelaksana Asuhan Keperawatan
Bertanggung jawab melaksanakan asuhan keperawatan yang komprehensif terhadap
pasien dengan gangguan jiwa.
2. Pengelola Keperawatan
Bertanggung jawab dalam administrasi keperawatan, seperti menerapkan teori
manajemen dan kepemimpinan dalam mengelola asuhan keperawatan, menorganisasi
pelaksaan terapi modalitas pada pasien dengan gangguan jiwa.
3. Pendidik Keperawatan
Bertanggung jawab memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga,
komunitas sehingga mampu merawat diri sendiri, maupun pasien dengan gangguan
jiwa dengan optimal dan komprehensif. Serta dalam upaya preventif dan promotif
penemuan kasus dini, skrining dan tindakan yang cepat.
4. Peneliti
Bertanggung jawab dalam menguji, menciptakan, dan memperbaiki teori untuk
meningkatkan praktek keperawatan jiwa

Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara kompleks dari
elemen historis aslinya (Stuart, 2002 dalam Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati, 2015 :28).
Peran perawat jiwa sekarang mencakup parameter kompetensi klinik, advokasi pasien,
tanggung jawab fiscal (keuangan), kolaborasi professional, akuntabilitas (tanggung gugat)
sosial, serta kewajiban etik dan legal. (Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati, 2015 : 28)
Dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa, perawat dituntut melakukan
aktivitas pada tiga area utama, yaitu : (Hamid, 2008 dalam Yusuf, Fitryasari, dan
Nihayati, 2015 : 28-29)
1. Aktivitas Asuhan Langsung
Domain Asuhan Keperawatan Jiwa
 Advokasi  Tindak lanjut setelah  Penanggulangan
 Konsultasi kasus keperawatan perilaku
 Pengelolaan kasus  Penanggulangan kognitif  Penyuluhan komunitas
 Intervensi krisis  Perencanaan pulang  Konseling kepatuhan
 Kerja kelompok  Peningkatan kesehatan  Intervensi keluarga
 Peningkatan kesehatan  Penyuluhan kesehatan  Pengkajian risiko

2
 Kunjungan rumah  Konseling individu tinggi
 Skrinning dan evaluasi  Pemberian pengobatan  Peningkatan kesehatan
masukan  Penatalaksanaan mental
 Pernik-pernik terapi pengobatan  Penyuluhan orang tua
 Konseling nutrisi  Informed consent  Penanganan psikologis
 Triase pasien  Pengkajian fisik  Memberikan
 Terapi bermain  Obat-obatan yang keamanan lingkungan

 Pengkajian psikososial diresepkan  Implementasi

 Psikoterapi  Pencegahan penelitian

 Aktivitas perawatan diri kekambuhan  Penatalaksanaan stress

 Penanganan somatik  Pelatihan keterampilan


sosial
2. Aktivitas Komunikasi
Domain Asuhan Keperawatan Jiwa
 Konferensi kasus klinik  Mengembangkan  Dokumentasi asuhan
 Kesaksian forensic rencana penanggulangan  Hubungan antar agen
 Umpan balik sejawat  Menyiapkan laporan  Jaringan kerja perawat
 Pertemuan staf  Penulisan order professional
 Pertemuan tim  Laporan verbal asuhan
3. Aktivitas Pengelolaan/Pelaksanaan Manajemen Keperawatan
Domain Asuhan Keperawatan Jiwa
 Alokasi sumber dan  Penyelia klinik  Kolaborasi
anggaran  Peran serta komite  Tindakan komunitas
 Hubungan konsultasi  Negosiasi kontrak  Koordinasi pelayanan
 Delegasi penugasan  Penulisan jaminan  Pemasaran dan humas
 Mediasi dan resolusi  Pengkajian dan  Penguasaan organisasi
konflik perkiraan kebutuhan  Penatalaksanaan hasil
 Evaluasi kinerja  Perencanaan program  Publikasi
 Aktivitas peningkatan  Aktivitas rekrutmen dan  Aktivitas badan
kualitas retensi legislasi
 Penatalaksanaan risiko  Pengembangan  Penjadwalan staf
 Penyuluhan staf dan perangkat lunak  Perencanaan strategis
peserta didik  Umpan balik  Penguasaan unit
pendayagunaan

3
B. Kolaborasi Interdisiplin Dalam Keperawatan Jiwa

Pendekatan tim multidisplin merupakan pendekatan yang bermanfaat dalam proses


menyelesaikan berbagai masalah pada penderita gangguan jiwa. Angota tim yang
berbeda-beda dengan keahlian tertentu dalam berbagai bidang dapat memenuhi kebutuhan
klien secara efektif. (Videbeck, 2008: 90)
Anggota tim multidisplin, meliputi : psikiater, psikolog, perawat psikiatri, pekerja
sosial psikiatri, ahli terapi okupasi, ahli terapi rekreasi, dan spesialis rehabilitasi
vokasional. Peran utama tim multidisiplin, yaitu : (Videbeck, 2008 : 90-91)
1. Psikiater
Sertifikasi dokter dalam bidang psikiatri oleh American Board of Psychiatry
and Neurology mewajibkan dokter tersebut menjalankan praktik sebagai dokter
residen selama tiga tahun, dua tahun praktik klinis, dan menyelesaikan ujian. Fungsi
utama psikiater adalah mendiagnosis gangguan jiwa dan meresepkan terapi medis.
2. Psikolog
Psikolog klinis memiliki gelar doktor dalam bidang psikologi klinis dan
disiapkan untuk mempraktikan terapi, melakukan riset, dan menginterpretasikan tes
psikologi. Psikolog juga dapat berpartisipasi dalam merancang program terapi untuk
kelompok individu.
3. Perawat psikiatri
Perawat terdaftar memperoleh pengalaman menangani klien psikiatri setelah
lulus dari program keperawatan yang diakreditasi dan menyelesaikan ujian lisensi.
Perawat memiliki landasan yang kuat dala promosi kesehatan, pencetgahan penyakit,
dan rehabilitasi di semua bidang sehingga ia memandang klien secara holistik.
Perawat juga merupakan anggota tim yang esensial dalam mengevaluasi keefektifan
terapi medis, khususnya medikasi. Perawat terdaftar yang memperoleh gelar master
dalam bidang kesehatan jiwa dapat diberi sertifikat sebagai spesialis klinis atau diberi
lisensi sebagai praktisi lanjutan, bergantung pada undang-undang praktik perawat di
masing-masing negara. Di banyak negara, perawat praktik lanjutan diberi sertifikat
untk meresepkan obat-obatan.
4. Pekerja sosial psikiatri
Kebanyakan pekerja social psikiatri disiapkan pada tingkat master dan diberi
lisensi di berbagai negara. Pekerja sosial dapat mempraktikan terapi dan sering

4
memiliki tanggung jawab utama untuk bekerja dengan keluarga, dukungan
masyarakat, dan rujukan.

5. Ahli terapi okupasi


Ahli terapi okupasi dapat memiliki gelar associate (asisten terapi okupasi
bersertifikat) atau gelar sarjana (ahli terapi okupasi bersertifikat). Terapi okupasi
berfokus pada kemampuan fungsional klien dan cara untuk meningkatkan fungsi klien,
misalnya bekerja dalam bidang seni dan kerajinan tangan serta berfokus pada
keterampilan psikomotor.

6. Ahli terapi rekreasi


Banyak ahli terapi rekreasi menyelesaikan gelar sarjana, tetapi di berbagai
instansi, individu berpengalaman yang mengisi peran ini. Ahli terapi rekreasi
membantu klien mencapai keseimbangan antara bekerja dan bermain dalam hidupnya
dan menyediakan aktivitas yang meningkatan penggunaan waktu luang atau waktu
yang tidak terjadwal secara konstruktif.

7. Spesialis rehabilitasi vokasional


Rehabilitasi vokasional, meliputi kegiatan menetapkan kegiatan menetapkan
minat dan kemampuan klien serta mencocokannya dengan pilihan vokasional. Klien
juga dibantu dalam keterampilan mencari pekerjaan dan keterampilan
mempertahankan pekerjaan, juga mencapai pendidikan lebih tinggi jika memang
diperlukan dan diinginkan. Spesialis rehabilitasi vokasional dapat dipersiapkan pada
tingkat master atau sarjana dan mungkin memiliki tingkat otonomi yang berbeda-beda
serta supervise program berdasarkan pendidikan mereka.

5
Pelayanan Keperawatan Jiwa Dalam Situasi Bencana

Dampak psikologis yang diakibatkan bencana sangat bervariasi. Faktor


keseimbangan yang mempengaruhi respon individu terhadap krisis adalah persepsi
terhadap kejadian, system pendukung yang dimiliki, dan mekanisme koping yang
digunakan. Reaksi emosi dapat diobservasi dari individu yang menjdai korban. (Keliat,
dkk, 2011 : 44-45)
Ada tiga tahapan reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana, yaitu : (Keliat,
dkk, 2011 : 45-46)
1. Reaksi individu segera (24 jam pertama) setelah bencana
a. Tegang, cemas, panic
b. Terpaku, linglung, syok, tidak percaya
c. Gembira atau euphoria, tidak terlalu merasa menderita
d. Lelah, bingung
e. Gelisah, menangis, menarik diri
f. Merasa bersalah
Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan
memerlukan upaya pencegahan primer.
2. Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana
a. Ketakutan, waspada, sensitive, mudah marah, kesulitan tidur
b. Khawatir, sangat sedih
c. Mengulang-ulang kembali (flashback) kejadian
d. Bersedih
e. Reaksi positif yang masih dimiliki : berharap atau berpikir tentang masa depan,
terlibat dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan
f. Menerima bencana sebagai takdir
Kondisi ini masih termasuk respon normal yang membutuhkan tindakan psikososial
minimal, termasuk untuk respon yang maladaptif
3. Lebih dari minggu ketiga setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan dapat menetap
dan dimanifestasikan dengan :
a. Kelelahan
b. Merasa panic
c. Kesedihan terus berlanjut, pesimis, dan berpikir tidak realistis
6
d. Tidak beraktivitas, isolasi, dan menarik diri
e. Kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit
kepala, dll
Pada sebagian korban bencana yang selamat dapat mengalami gangguan mental
akut yang timbul dari beberapa minggu hingga berbulan-bulan sesudah bencana. Beberapa
bentuk gangguan tersebut, antara lain : reaksi akut terhadap stres, berduka dan berkabung,
gangguan mental yang terdiagnosis, gangguan penyesuaian, gangguan mental yang
kambuh kembali atau semakin berat, dan psikosomatis. (Keliat, dkk, 2011 : 46)
Kondisi ini membutuhkan bantuan psikososial dari tenaga kesehatan professional.
(Keliat, dkk, 2011 : 46)
Faktor penyeimbang yang membuat individu dapat melalui krisis yang dialami
adalah persepsi terhadap kejadian realistis, mempunyai sistem pendukung dari
lingkungan, dan mempunyai mekanisme koping adekuat. Prinsip tindakan untuk
mengatasi krisis sesuai dengan tiga factor penyeimbang tersebut, yaitu membina
hubungan saling percaya yang erat dengan pasien, menggali permasalahan yang dialami
pasien, dan mengembangkan alternative pemecahan masalah. (Keliat, dkk, 2011: 51)

Tindakan yang dapat dilakukan setelah terjadi bencana, antara lain: (Keliat, dkk,
2011: 51-54)
1. Tindakan segera setelah bencana (24 jam)
a. Pertolongan kedaruratan untuk masalah-masalah fisik
b. Memenuhi kebutuhan dasar
c. Membantu individu melalui fase krisis dengan menjadi sumber koping (sistem
pendukung) bagi klien
2. Tindakan minggu 1-3 setelah bencana
a. Beri informasi sederhana dan mudah diakses tentang lokasi jenasah
b. Mendukung keluarga jika jenasah dimakamkan tanpa upacara tertentu
c. Bantu mencari anggota keluarga yang terpisah pada individu yang berisiko, seperti
lansia, ibu hamil, anak, dan remaja
d. Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan aktivitas kelompok yang
terorganisir, seperti ibadah bersama
e. Motivasi anggota tim lapangan untuk terlibat dalam proses berkabung
f. Lakukan aktivitas rekreasi bagi anak-anak
g. Informasikan pada korban tentang reaksi psikologis normal yang terjadi setelah
bencana
7
h. Informasikan tentang reaksi stres yang normal pada masyarakat secara massal
i. Motivasi para korban untuk bekerjasama memenuhi kebutuhan mereka, seperti
membersihkan lokasi bersama, memasak bersama
j. Libatkan korban yang masih sehat dalam pelaksanaan bantuan
k. Motivasi pemimpin masyarakat dan tokoh kunci lainnya untuk terlibat dalam
diskusi kelompok dan dapat memotivasi pasien klien untuk berbagi perasaan
3. Tindakan setelah minggu ketiga setelah bencana
a. Tindakan psikososial secara umum
1) Identifikasi individu dengan koping yang tidak efektif yang ditandai dengan
gejala psikologis yang dilaporkan
2) Bina hubungan saling percaya
3) Penuhi kebutuhan fisik yang mendesak
4) Mobilisasi dukungan sosial
5) Cegah timbulnya bahaya lain
6) Mulai berkomunikasi : mendengarkan masalah mereka, sampaikan
keprihatinan, berikan bantuan yang berkelanjutan
7) Sampaikan bahwa semua korban bencana merasakan perasaan yang sama
8) Tetap mensupervisi perawatan samapi reaksi berlalu
b. Tindakan psikososial khusus
1) Konseling terhadap trauma
a) Dengarkan ungkapan perasaan pasien dengan penuh perhatian
b) Tanyakan dan klarifikasi untuk menggali lagi pengalamannya, tetapi
jangan memaksa bila pasien menolak
c) Coba untuk memahami penderitaan yang dialami pasien dan keluarga
d) Sampaikan bahwa kita akan selalu membantu dan perlihatkan bahwa kita
memahami apa yang dirasakannya
e) Sampaikan bahwa orang lain pun akan mengalami hal yang sama bila
mengalami kejadian seperti yang dialami pasien
f) Bicarakan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
2) Konseling terhadap proses berduka
a) Lakukan pendekatan dengan cara yang lemah lembut
b) Tanyakan tentang kondisi keluarga dan kemudian bicarakan tentang korban
yang meninggal
c) Motivasi untuk berbagi informasi tentang anggota keluarga yang
meninggal
8
d) Fokuskan pembicaraan pada hubungan dengan orang-orang terdekat
sebelum bencana dan arti kehilangan secara pribadi
3) Bimbingan antisipasi
a) Bantu klien untuk menerima bahwa reaksi yang mereka perlihatkan adalah
normal sehingga dapat mengurangi rasa tidak berarti dan putus asa
b) Beri informasi tentang reaksi stres yang alamiah dan intensitas perasaan
dapat berkurang seiring dengan berjalannya waktu
c) Lakukan pertemuan yang berisi informasi yang perlu diketahui korban
d) Jangan fokuskan perhatian hanya pada reaksi akibat stres secara individual,
tetapi fokuskan pada kekuatan kelompok untuk menghadapi krisis secara
bersama-sama
4) Konseling krisis
a) Bersama klien mengidentifikasi masalah yang menyebabkan klien meminta
pertolongan
b) Bantu klien untuk membantu daftar alternatif dan strategi untuk mengatasi
masalahnya
c) Bantu klien untuk menilai dukungan sosial yang tersedia untuknya
d) Bantu klien untuk mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya
e) Bantu klien untuk melaksanakan keputusan yang tepat bagi dirinya
f) Diskusikan persepsi klien tentang kemampuannya
5) Konseling untuk menyelesaikan masalah
a) Mengidentifikasi masalah
b) Mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah melalui curah pendapat
c) Bandingkan keuntungan dan kerugian dari tiap penyelesaian masalah
d) Identifikasi solusi yang paling sesuai untuk klien
e) Implementasikan bentuk penyelesaian yang telah dipilih

9
Daftar Pustaka
Keliat, dkk. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Jakarta :
EGC
Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Yusuf, AH, Rizky Fitryasari PK, dan Hanik Endang Nihayati. 2015. Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

10

Anda mungkin juga menyukai