Anda di halaman 1dari 5

Jakarta - Di Desa Jenilu NTT ada tradisi ibu dan bayi yang baru dilahirkan dimasukkan

dalam ruangan yang dipenuhi asap dari kayu bakar atau disebut 'Panggang Api'.
Ritual untuk menghangatkan itu dilakukan selama 42 hari. Tapi akibatnya, setelah ritual itu
banyak ibu yang anemia dan bayinya mengalami gangguan pernapasan.

Tradisi di masyarakat Desa Jenilu, Kecamatan Kakuluk Atupupu, Kabupaten Belu, Nusa
Tenggara Timur ini sudah begitu melekat dan dianggap hal yang wajib, meskipun berdampak
negatif bagi kesehatan ibu dan bayi. Desa ini berjarak 12 km dari perbatasan Timor Leste.

Ritual 'Panggang Api' menjadi tantangan tersendiri untuk Bidan Delin yang berupaya
mengubah kebiasaan buruk tersebut karena dampaknya yang merugikan kesehatan ibu dan
bayi.

"Katanya ritual itu untuk menghangatkan diri, selama 42 hari ibu dan bayi yang baru
dilahirkan setiap hari berada di sana setelah mandi," ujar Bidan Rosalinda Delin, finalis
Srikandi Award saat ditemui di Balai Kartini, Senin (19/12/2011).

Bidan Delin mengungkapkan sejak ia bertugas di sana pada Agustus 1999 ia menemukan ada
5 ibu yang melakukan budaya panggang api. Hal ini terjadi karena masyarakat disana tidak
tahu kalau budaya panggang api ini berbahaya bagi kesehatan.

"Untuk ibu biasanya setelah 42 hari mengalami anemia, wajahnya pucat, dehidrasi dan
matanya sakit karena asap, sedangkan bayinya susah bernapas, gangguan pernapasan,
pneumonia dan gangguan rasa nyaman," ungkapnya.

Melihat kondisi tersebut Bidan Delin berusaha mengubah paradigma dari masyarakat bahwa
budaya panggang api ini berbahaya. Untuk awalnya ia melakukan kerjasama dengan kader
posyandu dan bermitra dengan dukun.

Di tiap posyandu terdapat 5 orang kader yang membantu melakukan pemantauan mulai dari
ibu tersebut hamil, setelah melahirkan sampai waktu nifas. Dalam pendekatan ini ia berusaha
memberikan penjelasan apa yang akan terjadi pada bayi dan ibu jika melakukan ritual
tersbeut.

"Kita tidak hanya melakukan sekali tapi terus menerus dengan masyarakat, karena mereka
murni tidak mengerti dampak dari ritual ini," ujar Bidan Delin.

Beruntungnya Bidan Delin tidak terlalu mendapatkan pertentangan dari masyarakat, karena
umumnya masyarakat tidak tahu apa pengaruhnya kalau bayi diletakkan dekat dengan asap
serta bagaimana efek dari ventilasi tertutup.

Ia juga menyosialisasikan hal ini dari rumah ke rumah dengan merencanakan terlebih dahulu
bersama kader kapan harus mengunjungi rumah ibu yang baru melahirkan. Serta berusaha
menganalogikan tubuh manusia yang dipanggang dengan seekor ikan yang dibakar.

"Saya bilang, Bu besok tolong bawa ikan dan besi panggang ya, nanti kita analogikan hal ini
di posyandu," ungkap Delin.

Usaha yang dilakukan oleh Bidan Delin ternyata tidak sia-sia, karena kini masyarakat Jenilu
telah meninggalkan budaya panggang api tersebut. Walau tidak ada budaya panggang api, ibu
dan bayi yang baru lahir tetap bisa dihangatkan dengan menggunakan selimut dan memakai
minyak kayu putih.

(ver/ir)

(ver/ir)

Di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga
terdapat tradisi postpartum yang masih dilakukan hingga saat ini, yaitu tradisi se’i dan tatobi.
Se’i adalah tradisi memanaskan/memanggang ibu yang baru melahirkan 7

bersama bayinya selama 40 hari. Tradisi ini mengharuskan ibu dan bayinya duduk dan tidur diatas
tempat tidur dengan bara api dibawahnya. Bahan bakar yang digunakan adalah kayu bakar.
Masyarakat setempat meyakini bahwa tradisi ini dapat bermanfaat untuk mempercepat pemulihan
kesehatan ibu yang baru melahirkan dan bayinya menjadi lebih kuat (Soerachman, 2013). Selama
melakukan se’i ibu dan bayi menghirup udara yang tercemar akibat pembakaran. Mengingat bahan
bakar yang digunakan dapat mengemisikan bahan berbahaya, diperkirakan ibu dan bayi yang
melakukan tradisi ini akan beresiko terhadap penyakit akibat paparan bahan berbahaya tersebut.
Dampak yang ditimbulkan cukup beragam mulai dari yang bersifat alergi, iritan, sampai karsinogenik,
mutagenik (Anwar, 2014). Sedangkan tatobi adalah tradisi mengompres tubuh ibu menggunakan air
panas dengan tujuan agar tubuh ibu menjadi lebih segar (Soerachman, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Anwar (2014), dari 358 ibu yang berasal dari 2 kecamatan
berbeda di Kabupaten TTS yang melakukan tradisi se’i, ibu yang mengalami gangguan
pernafasan sebanyak 134 orang atau 37,4%. Sedangkan untuk bayi yang mengalami
gangguan 8
kesehatan seperti batuk, pilek dan sesak nafas sebanyak 155 orang atau 43,3%.
Oleh karena itu pemerintah Kabupaten TTS mengeluarkan peraturan daerah yang
mengharuskan semua ibu hamil melakukan persalinan di fasilitas kesehatan, dengan tujuan
agar persalinan dapat dikontrol oleh tenaga kesehatan dan mengurangi tradisi se’i dan
tatobi yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat setelah melahirkan. Selain itu dinas
kesehatan kabupaten TTS juga menggalakkan promosi kesehatan berupa sosialisasi
tentang dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat tradisi ini.
Sampai sekarang tradisi tersebut masih tetap dilakukan. Kebanyakan masyarakat
melakukannya di rumah setelah kembali dari fasilitas kesehatan. Hal ini dapat meningkatkan
resiko terkena penyakit paru–paru (pneumonia, ISPA) dan iritasi, bahkan yang lebih fatal
adalah adanya ibu atau anak yang terbakar baik karena bara api maupun air panas yang
digunakan untuk tatobi. Berdasarkan realiti ini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terkait perawatan tradisional selama masa nifas (postpartum) dijalankan, terutama
bagaimana persepsi ibu dan tenaga kesehatan mengenai tradisi se’i dan tatobi 9
tersebut. Karena sampai saat ini peneliti melihat minimnya penelitian yang menggali tentang
persepsi ibu dan tenaga kesehatan mengenai tradisi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai