Anda di halaman 1dari 10

1

Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

BULLYING DAN REMAJA


oleh Muzaki Saifurrohman
2016

Seperti yang kita ketahui, kemajuan sebuah bangsa tidak hanya dilihat dari
kekayaan sumber daya alam saja, tetapi juga dari kualitas sumber daya manusia
yang dimiliki terutama pada generasi mudanya. Kualitas manusia sendiri
didasarkan pada bagaimana individu mampu untuk bersikap, bertingkah laku,
bersosialiasi dengan masyarakat. Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan
untuk meningkatkan sikap dan moral melalui berbagai hal.
Namun, kondisi lapangan menyatakan bahwa tidak seluruh individu mampu
mengembangkan kemampuan masing-masing, hal ini ditunjukkan dengan masih
banyaknya problematika dalam kehidupan bermasyarakat. Dan salah salah satu
problem serius yang menjadi perhatian dikalangan masyarakat adalah perilaku
bullying, terutama bullying yang terjadi di sekolah. Dunia pendidikan yang
seharusnya menjadi tempat setiap orang belajar dan mendapatkan ilmu ternyata
harus diwarnai oleh hal-hal yang berbau kekerasan.
Data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mendata mengenai
kasus kekerasan, kekerasan anak dapat terjadi melalui 3 hal, dari orang tua,
keluarga, atau orang terdekat seperti teman. Pemantauan KPAI dari tahun 2011
sampai 2014 meningkat dari 2178 kasus pada tahun 2011 hingga 5066 kasus pada
tahun 2014. Pemantauan yang dilakukan oleh KPAI menyebutkan jika tahun 2012,
91% anak menjadi korban kekerasan dalam keluarga, 87,6% di lingkungan sekolah
seperti bullying yang terjadi di sekolah, dan 17,9% di sekitar lingkungan
masyarakat (Setyawan, 2015). Sedangkan kasus bullying menurut KPAI pada tahun
2011-2014 juga semakin meningkat dan menduduki peringkat teratas sebanyak 369
pengaduan kepada KPAI, dalam bidang pendidikan seperi kekerasan di sekolah,
diskriminasi terdapat sekitar 1480 kasus (Setyawan, 2014).
Istilah bullying sendiri menurut American Psychology Association pada
tahun 2013 adalah “a form of aggressive behavior in which someone intentionally
and repeatedly causes another person injury or discomfort. Bullying can take the
2
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

form of physical contact, words or more subtle actions.” Yang berarti bullying
merupakan bentuk perilaku yang agresif atau termasuk perilaku agresi karena
dilakukan secara berulang kali sehingga membuat orang lain merasakan
ketidaknyamanan. Bentuk bullying termasuk kontak fisik, kata-kata atau tindakan
yang lebih halus.
Perilaku bullying ialah penyalahgunaan kuasa yang dilakukan individu baik
dalam konteks psikologis maupun fisik yang terjadi berulang-ulang terhadap
individu yang memiliki daya tahan atau proses adaptasi yang lemah terhadap suatu
kelompok (Yusuf & Fahrudin, 2012). Bullying erat dikaitkan dengan perilaku
agresi. Perilaku agresi sendiri menurut (Baron & Byrne,1994; Brehm &
Kassin,1993; Bringham,1991 dalam Suryanto, Bagus Ani Putra, Herdiana, & Nur
Alfian, 2012) adalah perilaku yang dengan sengaja dimasudkan untuk menyakiti
orang lain, baik secara fisik maupun psikisnya.
Perilaku bullying yang terjadi di kalangan remaja memiliki bentuk yang
beragam antara lain bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional dan bullying
elektronik. Bullying fisik adalah perilaku yang dengan sengaja menyakiti atau
melukai fisik orang lain, bullying verbal adalah perilaku yang dilakukan dengan
mengucapkan perkataan yang menyakiti atau menghina orang lain, bullying
relasional adalah perilaku yang mengucilkan atau mengintimidasi orang lain dalam
pergaulan, sedangkan bullying elektronik adalah perilaku yang menyakiti orang lain
dengan menggunakan jejaring sosial (Budiarti, 2013).
Salah satu contohnya adalah seperti yang kita ketahui, beberapa tahun
terakhir sering terjadi bullying pada saat penerimaan siswa baru (MOS) dimana
kakak tingkat sebagai panitia melakukan kekerasan kepada para siswa baru.
Awalnya, para kakak tingkat memberikan tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh
para siswa baru sebagai “prasyarat” agar dapat diterima sebagai warga sekolah
tersebut. Tapi sering kali pemberian tugas tersebut diiringi oleh bullying baik secara
verbal maupun non verbal, seperti ejekan dan makian. Bahkan sering kali bullying
tersebut akhirnya berujung pada kematian.
Termasuk dalam kasus tersebut, pelaku bullying menyiksa korban untuk
mendapatkan status yang lebih tinggi di kelompok dan pelaku memerlukan orang
3
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

lain untuk menyaksikan kekuasaanya. Dalam salah satu penelitian, pelaku bullying
hanya ditolak oleh kawan sebaya dimana mereka menjadi ancaman (Veenstra dkk,
2010 dalam Santrock, 2012). Dan dalam penelitian lain, pelaku bullying sering
berafiliasi atau dalam beberapa kasus mempertahankan posisi mereka dalam
kelompok yang populer (Wivliet dkk, 2010 dalam Santrock, 2012).
Data-data yang dijelaskan sebelumnya memberi identifikasi bahwa ada
kondisi yang tidak normal dalam tahap perkembangan anak. Namun, persoalan
bullying ini seringkali terjadi pada anak-anak terlebih pada remaja. Hal ini
dikarenakan masa remaja adalah masa peralihan atau masa transisi dimana pada
tahap perkembangan ini remaja dihadapkan dengan persoalan identitas dan
keraguan akan peran setiap individu (Margaretha & Nindya, 2012). Dan hal ini
sejalan dengan salah satu teori dalam psikologi perkembangan yaitu teori
psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson.
Pada tahap perkembangan individu dalam teori psikososial Erikson terdapat
delapan tahap dimana masing-masing tahapan memiliki permasalahan sendiri.
Tahap yang sangat berkaitan dengan konteks permasalahan yang marak saat ini
ialah masa remaja sekitar periode pubertas sampai 20 lebih. Dalam tahap ini
individu mulai dihadapkan dengan krisis mengenai identitas diri. Peran orang tua
dalam tahapan ini sangat penting karena melalui orang tua seharusnya individu
belajar berbagai peran dalam hidupnya. Jika hal tersebut tidak dapat terpenuhi maka
individu dapat mengalami kebingungan identitas. (Santrock, 2007)
Salah satu contoh kasus pada remaja di era ini adalah cyberbullying,
perilaku bullying yang dilakukan melalui media sosial dengan perantara internet.
Salah satunya adalah kasus yang dialami oleh Amanda Tood, seorang gadis remaja
asal Kanada berumur 15 tahun yang bunuh diri akibat cyberbullying. Kasus ini
berawal dari perkenalan Amanda dengan seorang pria, melalui videocam pria
tersebut membujuk amanda agar mau memperlihatkan tubuhnya tanpa sehelai
pakaian. Setahun setelahnya video topless Amanda tersebut beredar di media sosial.
Hal tersebut semakin membuat banyak orang mem-bully Amanda karena
tindakannya tersebut, sekaligus membuat Amanda dicemooh baik di sekolah
4
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

maupun lingkungannya. Kejadian ini membuat Amanda tak tahan hingga


kemudian melakukan usaha bunuh diri (Putra, 2014).
Kasus tersebut berhubungan dengan tahap perkembangan remaja dimana
remaja yang berhasil untuk mengatasi krisisnya maka akan dapat membentuk
dirinya dan diterima oleh masyarakat. Namun apabila individu tidak dapat
mengatasi konflik dan krisis identitas maka akan terjatuh dalam kondisi
kebingungan peran atau identitas yang disebut role confusion. Kasus yang terjadi
pada Amanda berujung pada hasil dari role confusion. Individu tidak dapat
mengatasi konfliknya sehingga bila individu tersebut adalah korban bullying,
terdapat kemungkinan bahwa individu akan mengisolasi dirinya dari lingkungan.
Sedangkan untuk pelaku bullying, individu melakukan kejahatan melalui media
internet besar kemungkinan karena pengaruh dari teman sebaya sehingga
kehilangan identias dalam kerumunan orang-orang tersebut.
Sedangkan, dilihat dari segi gender, hasil suatu penelitian menunjukkan
anak laki-laki sangat dominan untuk menjadi pelaku bullying di sekolah daripada
perempuan. 74% menjadi pelaku bullying, sedangkan 56% anak perempuan
menjadi korban bullying, lebih besar daripada persentase anak perempuan sebagai
pelaku bullying (Pratama, Krisnatuti, & Hastuti, 2014).
Dalam teori perbedaan gender, tingkat agresifitas lebih banyak dilakukan
oleh pria dibanding wanita. Hal ini dikarenakan hormon seks pria yaitu testosteron
lebih tinggi fan mempengaruhi perilaku agresif. (Suryanto, Bagus Ani Putra,
Herdiana, & Nur Alfian, 2012).
Survei yang dilakukan pada lebih dari 2200 anak dan remaja usia 8 – 18
tahun, mereka menghabiskan 6,5 jam sehari pada media, 2,25 jam untuk orang tua
dan 50 menit untuk mengerjakan pekerjaan rumah (Santrock, 2012). Hal ini
membuktikan bahwa intensitas penggunaan media yang tinggi akan sangat
berpengaruh bagi kehidupan mereka. Berdasarkan teori belajar sosial dari Albert
Bandura bahwa perilaku agresi dapat terjadi akibat dari meniru dan mencontoh
perilaku orang lain baik secara langsung atau tidak langsung, maka media termasuk
salah satu penyebab bagi terjadinya perilaku bullying.
5
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

Banyaknya perilaku agresi seperti bullying dalam media elektronik baik


televisi maupun internet yang diperlihatkan terang-terangan secara tidak langsung
akan mempengaruhi cara berpikir seorang remaja bahwa itu adalah hal yang wajar
sehingga mereka dapat secara bebas meniru perilaku tersebut. Adanya efek yang
menyenangkan dan pencapaian yang dihasilkan dari perilaku yang dilakukan akan
menjadi penguat bagi pelaku bullying untuk mengulangi perilaku tersebut. Menurut
Saripah (2006) survey yang dilakukan oleh Kompas menyatakan bahwa 56,9%
anak-anak yang menonton adegan film akan meniru adegan yang ditontonnya
tersebut dimana sebanyak 64% mereka meniru gerakan dan 45% mereka meniru
kata-katanya (Budiarti, 2013). Selain media, seorang remaja juga dapat terpengaruh
oleh paparan agresi secara langsung seperti adanya budaya bullying di lingkungan
sekitar mereka baik di rumah, sekolah atau teman sebaya mereka. Semakin besar
perilaku bullying terjadi di sekita mereka maka akan semakin memungkinkan bagi
mereka untuk turut serta dalam perilaku tersebut sebagai salah satu bentuk imitasi.
Selain itu salah satu penanggung jawab dari perilaku bullying adalah kepribadian
dari remaja itu sendiri. Berdasarkan teori psikoanalisa Sigmund Freud, dimana
manusia memiliki dua insting dalam dirinya yaitu insting hidup (eros) dan insting
mati (tanatos). Perilaku agresi yang dilakukan kepada orang lain dianggap sebagai
salah satu bentuk kemenangan dari usaha untuk mempertahankan naluri
kehidupannya. Perilaku agresi yang ditujukan bagi orang lain juga merupakan
bentuk peralihan dari insting mati yang dimiliki yang pada awalnya bertujuan untuk
menghancurkan diri sendiri berkembang menjadi dilampiaskan kepada orang lain
(Suryanto, Bagus Ani Putra, Herdiana, & Nur Alfian, 2012). Di dalam teori Freud
juga dijelaskan bahwa perilaku agresi ini termasuk bullying adalah tanggung jawab
dari id yaitu insting manusia yang mendorong diri untuk melakukan agresi.
Walaupun manusia memiliki ego sebagai bentuk realitas diri dan superego atau
hati nurani, namun terkadang tidak cukup untuk membendung keinginan untuk
melakukan perilaku agresi itu sendiri.
Perilaku agresi termasuk bullying akan selalu memilki korban dimana
terdapat karakteristik tertentu, baik bersifat eksternal dan internal. Hal-hal yang
bersifat ekternal sendiri mengacu pada penampilan dan kebiasaan yang berbeda
6
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

dalam berperilaku sehari-hari. Kasus yang seringkali kita temui di lingkungan


sehari-hari adalah korban bullying mempunyai penampilan fisik yang berbeda dari
kebanyakan anak, seperti ukuran badan yang terlalu besar. Tidak hanya itu,
perbedaan dalam latar belakang etnik, keyakinan dan budaya yang berbeda dari
kebanyakan anak di lingkungan tersebut akan mempertinggi tingkat bullying
(Murphy, 2009).
Namun ada kasus dari beberapa anak yang menjadi korban bullying karena
mempunyai penampilan, kemampuan dan bakat istimewa, misalnya kasus Jade
Stringer. Gadis berusia 14 tahun tersebut bunuh diri dengan cara gantung diri di
kamarnya karena banyak yang cemburu atas kecantikan dan kepopulerannya di
sekolah. Teman-temannya mengatakan jika Jade yang berwajah cantik dan menarik
mendapatkan tekanan dan bully di sekolah karena wajahnya yang cantik selama
beberapa bulan terakhir. Hal tersebut dikuatkan dengan post yang ditulis Jade di
media sosialnya. Jade meninggal setelah enam hari ditemukan tak sadarkan diri
oleh ayahnya (Blake & Narain, 2012).
Selain karakteristik eksternal terdapat karakteristik internal yang mengacu
pada anak-anak yang memiliki jenis kepribadian pasif dan submisif. Mereka tidak
mampu mempertahankan diri dan hak-hak mereka, walaupun tidak dalam situasi
bullying. Korban bullying biasanya merasakan cemas, gugup, atau rasa tidak aman.
Korban bullying cenderung anak-anak yang memiliki self esteem rendah, pemalu
dan memiliki sedikit teman. Kondisi sosial semacam ini malah semakin membuka
peluang mereka untuk menjadi target bullying (Murphy, 2009).
Maka dari itu, diperlukan penanggulangan maupun pencegahan agar anak
tidak menjadi pelaku bullying seperti yang dikatakan oleh Clara dalam Ehan (2007)
adalah dengan menghimbau para orang tua atau wali dari anak untuk
mengembangkan kecerdasaan emosional anak sejak kecil. Pendidikan untuk
memiliki rasa empati, menghargai orang lain dan memberikan penyadaran pada
anak tentang peran dirinya sebagai mahluk sosial yang memerlukan orang lain
dalam kehidupannya. Menurut Ratna dalam Ehan (2007) dengan mengajak
pemerintah untuk mengatasi bullying berupa program yang tegas, jelas dan terarah,
bila masyarakat kita diam saja dengan bullying sama dengan melegalkan tradisi
7
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

dendam di sekolah tersebut. Lebih serius lagi, bullying akan menjadi bahaya laten
yang akan kerap menghantui para siswa, baik dalam generasi ini maupun generasi
mendatang. Dalam mengatasi dan mencegah bullying diperlukan aturan yang
bersifat menyeluruh yang mengikat antara guru dan muridnya, dari kepala sekolah
hingga wali murid/orang tua, kerjasama antara guru, orang tua dan masyarakat atau
pihak yang berwenang seperti polisi, apparat hukum dan sebagainya sangan
dibutuhkan untuk mengatasi persoalan bullying di sekolah.
Peran pengasuh atau orang tua murid saat di rumah yang harus bias
menciptakan suasana komunikasi yang baik dengan anaknya dan membekalinya
dengan pemahaman spiritual/agama yang cukup dan memberikan contoh ahlakul
karimah yang bias dilakukan anak di rumah, karena anak akan meniru orang tua
sebagai role model (Ehan, 2007).
Kemudian, salah satu solusi yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah melalui
program anti bullying di sekolah. Menurut Huneck dalam Ehan (2007) seorang ahli
intervensi bullying yang bekerja di Jakarta Internatonal School, bullying akan tetap
terjadi di sekolah-sekolah bila orang dewasa tidak mampu membina lingkungan
saling percaya dengan siswa, tidak menyadari perilaku yang termasuk bullying,
tidak menyadari dampak/luka yang disebabkan oleh bullying dan tidak ada campur
tangan dari sekolah yang secara efektif. Dalam Ehan (2007) bentuk manfaat
penanggulangan dengan program sekolah anti bullying sebagaimana berikut:
1. Memberikan pengertian bahwa rasa aman dan nyaman adalah hak dan milik
seluruh orang.
2. Menyadarkan kepada seluruh orang di sekolah bahwa bullying dalam
bentuk apapun tidak dapat ditolelir.
3. Membekali siswa untuk membuat keputusan
4. Membantu siswa dalam membentuk orang yang mereka percayai
Kegiatan yang bisa dilakukan selama program ini yaitu:
1. Brainstorming dan diskusi
2. Kegiatan dengan lembar kerja
3. Membaca buku cerita tentang bullying
4. Membuat gambar/poster tentang pencegahan bullying
8
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

5. Bermain drama/peran
6. Berbagi cerita dengan orang tua di rumah
7. Menulis puisi
8. Menyanyikan lagu anti bullying dengan lirik yang dirubah seperti nada lagu
popular
9. Bermain teater boneka
9
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Blake, M., & Narain, J. (2012, June 18). Schoolgirl,14,'builed for being pretty'
found hanged in her bedroom. Retrieved from MailOnline:
www.dailymail.co.uk/news/article-2161006/Jade-Stringer-Schoolgirl-14-
hanged-bedroom-builed.html
Ehan, D. (2007). Bullying dalam Pendidikan. Bullying dalam Pendidikan, 1-21.
Margaretha, & Nindya. (2012). Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak
terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental.
Murphy, A. G. (2009). Character Education : Dealing with Bullying. New York:
Chelsea House Publishers.
Pratama, A. A., Krisnatuti, D., & Hastuti, D. (2014). Gaya Pengasuhan Otoriter
dan Perilaku Bullying di Sekolah Menurunkan Self-Esteem Anak Usia
Sekolah. Jur. Ilm. Kel. & Kons.
Putra, D. F. (20114, September 10). Ketika Bullying Berujung Maut. Retrieved from
CNN Indonesia: http://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20140910112008-255-2906/ketika-bullying-berujung-maut/
Santrock, J. W. (2007). Remaja, Edisi sebelas. Surabaya: Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development (13 ed.). Surabaya: Penerbit
Erlangga.
Setyawan, D. (2014, Oktober 16). KPAI : Kasus Bullying dan Pendidikan Karakter.
Retrieved from KPAI: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-
dan-pendidikan-karakter/
Setyawan, D. (2015, June 14). KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap
Tahun Meningkat. Retrieved from KPAI:
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-
tahun-meningkat/
Suryanto, Bagus Ani Putra, M., Herdiana, I., & Nur Alfian, I. (2012). Pengantar
Psikologi Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.
10
Muzaki Saifurrohman – zetakai21@gmail.com

Yusuf, H., & Fahrudin, A. (2012). Perilaku Bullying: Assesmen Multidimensi dan
Intervensi Sosial. Jurnal Psikologi Undip.

Anda mungkin juga menyukai